Dalam hidup ini kita semua punya parameter yang pasti untuk dapat menentukan benar atau salah dari suatu keadaan, parameter tersebut tidak lain dari akal, dengan akal kita dapat mengenal berbagai macam bentuk ekosistem yang ada, dengan akal misalnya kita bisa membedakan antara si A dengan si B, dengan akal pula kita bisa membedakan antara anjing dengan manusia … begitulah seterusnya dan siapapun sepakat bahwa secara akal pun kita bisa menilai sejauh mana sesuatu itu bisa bersifat benar dan sejauh apa pula sesuatu itu bisa disebut salah.
Dalam hal agama serta ketuhanan, semua agama pasti mendogmakan agamanya saja yang paling benar, orang Islam bilang Islamlah yang paling benar, orang kristen bilang kristenlah yang benar, orang budha akan berkata budhalah yang benar dan demikianlah adanya klaim-klaim dari semua agama dan ajaran yang ada, tidak ada yang memproklamirkan ajarannya sesat, ajarannya salah … sangat egois memang, tetapi begitulah fakta dan begitulah sunnatullahnya.
Kita tidak mungkin bisa membedakan mana dogma yang benar dan mana dogma yang salah dengan berdasarkan dogma juga (baca: Iman), artinya seseorang tidak bisa berdalih dibelakang kata " iman " untuk membenarkan dogma yang ia anut, sebab sekali lagi kata " iman " ini adalah bagian dari dogma yang ada, dan setiap pemeluk masing-masing agama bisa berkata yang sama, akibatnya jika dipaksakan dan dibenturkan secara emosional bisa dipastikan akan kacaulah apa yang disebut sebagai kebenaran yang sejati (toh akhirnya kebenaran menjadi sangat relatif dan subyektif padahal kebenaran itu sifatnya absolut atau pasti).
Akhirnya, semua doktrin keagamaan termasuk dogma ketuhanan sekalipun tidak berarti apa-apa jika tidak bisa dicerna secara ilmu melalui akal pikiran yang ada pada manusia, dan inilah sikap rasionalitas keber-agamaan yang saya anut. Konsep ini pernah digunakan oleh orang-orang Muktazilah dan juga sebagian komunitas Syiah pada masanya. Tetapi saya bukan bagian dari mereka meskipun ada kesamaan dalam hal metode pembelajaran agama yang digunakan.
Anda boleh berkata saya orang yang sombong atau apapun jenisnya, tidak jadi persoalan buat saya karena bagi saya Tuhan tidak akan membebani umat-Nya dengan hal-hal yang tidak bisa mereka mengerti dengan kondisi yang ada pada mereka. Kebenaran sejati hanya bisa didapatkan melalui jalan belajar, dan belajar identik dengan ilmu sementara ilmu merupakan tempatnya akal bekerja.
Hanya melalui akal saja maka masing-masing klaim dari dogma agama-agama yang ada itu bisa dijustifikasi benar dan salahnya.
Hidup ini penuh dengan hukum-hukum keseimbangan, coba anda pelajari apa saja, pasti tidak akan anda dapati kepincangan dalam perputaran hukum-hukum alam tersebut.
Begitu pula dengan hal keimanan kepada Allah, mesti diraih dengan keseimbangan, yaitu antara akal (rasio logika + ilmu pengetahuan) dan hati.
Kebenaran adalah sesuatu yang bernilai absolut, mutlak.
Namun seringkali kebenaran ini menjadi relatif, bergantung kepada bagaimana cara masing-masing orang memberikan arti dan penilaian terhadap kebenaran itu sendiri, sehingga itu pula kebenaran sudah menjadi sesuatu yang bersifat subjektif.
Bahwa untuk menjalankan ketentuan suatu agama terkadang harus dimulai dengan kata iman memang sering menjadi sesuatu hal yang tidak dapat terbantahkan.
Keadaan beriman sesorang umumnya berada dalam kondisi "jadi" dari seseorang itu (sebab ini akan kembali dari lingkungan mana ia dilahirkan).
Namun seiring dengan bertambah dewasanya cara kita berpikir, sangat pantas sekali apabila kita mencoba mempertanyakan sejauh mana kebenaran dari keberimanan yang kita peroleh dari kondisi 'jadi' tadi.
Tuhan memberikan kita akal untuk berpikir, untuk menjadi cerdas bukan untuk jadi figuran dan sekedar ikut-ikutan.
Karenanya kita berdua tidak bisa mengatakan kondisi beriman tersebut ada karena lewat iman.
Pernyataan ini tertolakkan dalam dunia ilmiah dan bertentangan dengan penalaran saya selaku manusia yang fitrah.
Menurut saya, sebenarnya seseorang memperoleh keimanannnya lewat dua jalur, ada yang lewat akal dan ada yang lewat nafsu (nafsu dalam hal ini adalah persangkaan atau praduga manusia).
Jika iman diartikan percaya, maka percaya juga bisa lewat akal atau persangkaan.
Misalnya apabila kita hendak melewati sebuah jembatan dari besi, tentu kita akan enteng saja melewatinya, karena persangkaan kita jembatan tersebut sudah kuat. Tetapi bila yang dilewati adalah jembatan dari kayu dan tali, paling tidak kita akan mengecek kekuatan jembatan tersebut terlebih dahulu (menginjak-injak dari pinggir terlebih dahulu dsb )
Dalam beragama pun demikian, terdapat orang-orang yang mencapai iman dengan akal, dan ada yang dengan persangkaan.
Misalnya yang dengan persangkaan adalah seorang islam yang tidak mampu menjawab pertanyaan " Mengapa anda memilih Islam ?", "Darimana anda tahu bahwa Islam itu benar ?", " jika dahulunya orang tua anda bukan Islam kira-kira apakah anda masih Islam ?", atau bisa juga "mengapa anda harus menjadi Kristen ?", "Darimana anda yakin bahwa Kristen itu benar ?"
Jadi bagi saya, Iman terhadap sesuatu itu tetap harus dibuktikan dulu apakah memang pengimanan tersebut sudah benar atau belum. Dan jalan untuk membuktikan kebenaran akan keimanan ini salah satunya dengan mengadakan penelaahan terhadap iman itu sendiri dengan mengadakan penyeimbangan dengan akal pikiran sebagai suatu anugerah dari Allah bagi manusia.
Tuhan menjadikan alam semesta ini dengan ilmu-Nya, dan Dia telah mengukur keseimbangan masing-masing komposisi ciptaan-Nya itu secara proporsional dan adil. Demikian pula halnya dengan penciptaan manusia. Ini sudah dibahas oleh kitab anda sendiri di Genesis pasal 3 ayat 22 : "Sesungguhnya manusia itu telah menjadi seperti salah satu dari Kita, tahu tentang yang baik dan yang jahat". Inilah fitrah awal manusia, mereka sudah disetting untuk memiliki ilmu. DImana dengan ilmu itu manusia menjadi mengerti dan dapat memisahkan kebaikan dengan kejahatan. Hal ini selaras dengan firman Allah dalam al-Qur'an surah Asy-Syams ayat 7 dan 8 :
"Wa nafsin wama sawwaha, fa alhamaha fujuroha wa taqwaha"
Dan Nafs serta penyempurnaannya, dilhamkan kepadanya kefasikan serta ketakwaan…
Oleh karena itu juga maka II Timotius pasal 3 ayat 16 menyatakan bila kitab suci sendiripun termasuk hal-hal yang dapat dipelajari dengan ilmu : "Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran".
Tuhan itu Maha Pintar, dan Dia ingin kita sebagai makhluk-Nya pun mencontoh kepintaran yang sudah Dia ilhamkan dan Dia ajarkan melalui ayat-ayat-Nya, baik itu yang sifatnya kontekstual ( seperti kitab suci ) ataupun global ( seperti alam semesta ini dan semua hal disetiap proses kausalitasnya ).; Karenanya, Tuhanpun pasti akan menyesuaikan dan membagikan ilmu-Nya sesuai tingkat yang bisa dicapai maupun bisa dipahami oleh kita yang memang notabene tidak berarti apa-apa dibanding Dia.
Tuhan misalnya mengilhamkan dan menurunkan ilmu matematika didunia ini tentunya selain untuk ilmu duniawiah, Dia juga punya misi khusus untuk membuat ilmu matematika itu sebagai salah satu jalan menggapai dan mengenal diri-Nya.; karena itu, bila dalam matematika kita mengenal satu ditambah satu sama dengan dua, maka itulah kepastiannya dan selamanya tidak akan mungkin berubah kecuali faktor-faktor atau operasionalnya dirubah menjadi perkalian atau sebagainya.
Kalau kita lihat kenyataan saat ini semua pengetahuan manusia yang didijitalkan maka semuanya akan melulu kombinasi 10101010 yang tak lebih dari pernyataan bahwa semua ilmu pengetahuan adalah ilmu pengetahuan Allah Yang Maha Esa. Ketika Anda melihat televisi, mendengarkan radio, berselancar di internet, melihat situs porno, mengetikkan e-mail, menulis artikel, atau apapun aktivitas yang Anda lakukan dengan perangkat elektronik maka semua itu tak lebih dari sinyal-sinyal 10101010.
Dalam kenyataan yang lebih mengejutkan, tubuh kita dan otak kitapun tak lebih dari biokomputer yang menguraikan semua tangkapan sistem inderawi kita dalam kode-kode biner 101010 dari semua informasi dan pengetahuan yang kita ekstrak melalui cahaya yang tertangkap sinyalnya dari sekeliling kita. Apakah indera itu mata, telinga, hidung, kulit ataupun perasaan kita, semua itu tak lebih dari kode-kode biner atau suatu penauhidan atas Allah Yang Maha Esa.
Allah itu ingin adanya keteraturan dalam semua proses hidup dan kehidupan didunia ini. Dan itu hanya bisa terjadi apabila Dia sendiri menjadikan segala sesuatunya itu secara logis dan bisa dimengerti atau bisa dipelajari.
Misalnya, kenapa Tuhan toh masih butuh waktu sekian hari untuk sebuah proses penciptaan alam semesta ? kenapa Dia tidak menjadikannya dengan sekali jadi saja ? apakah Dia tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya ?
Ya tentu tidak demikian, khan.
Itu semua menumbuhkan asumsi-asumsi kepada kita bahwa Allah itu ingin semuanya berjalan secara logis sehingga kehendak-kehendak-Nya itu bisa diterima dengan wajar dan membuat kita semakin kagum terhadap diri-Nya.
Samalah misalnya kita ambil contoh lain tentang penciptaan diri Yesus, toh, Allah memulainya dari mengirimkan malaikat kepada Maria sang ibunda untuk memberikan kabar suka cita, lalu kemudian Maria melalui proses Parthenogenesenya menjadi hamil dan mulai mengandung sama seperti wanita-wanita lainnya mengandung dan ketika sudah tiba waktunya lahirlah bayi Yesus terus dengan semua proses perkembangan alamiahnya dia kemudian menjadi besar dan membutuhkan proses belajar dari ahli-ahli Taurat sampai kemudian sekian puluh tahun kemudian dia menjadi orang yang mampu menjadi seorang al-Masih dikalangan umatnya, Bani Israel.
Semua itu melalui tahapan-tahapan, melalui proses demi proses … sehingga kalimah : tidak ada yang mustahil bagi Tuhan sudah sewajarnya kita tempatkan pada proporsi yang seharusnya dan tidak menyimpang dari kausalitas yang sudah Dia tentukan sendiri dalam menjaga keseimbangan tatanan-tatanan penciptaan-Nya.
"Allah adalah Allah yang suka akan ketertiban; Ia bukan Allah yang suka pada kekacauan. Seperti yang berlaku di dalam semua jemaat Allah." (1 Korintus 14:33 Bahasa Indonesia sehari-hari)
Intinya, iman yang buta tidak bisa dijadikan sandaran dalam beragama :
Sekali lagi buat anda ingatlah pesan Paulus dibawah ini :
1 Telasonika 5:21 : "Hendaklah segala perkara kamu uji dan yang baik kamu pegang."
Kita hanya bisa sampai kepada Tuhan apabila jalan yang kita tempuh juga benar, dan untuk tahu benar tidaknya maka gunakan akal untuk menganalisanya, apabila sesudah dianalisa dengan akal kebenaran itu tertolakkan maka bisa jadi dia bukan kebenaran sejati.
Akal diberikan oleh Allah untuk berpikir, membedakan mana yang salah dan mana yang benar.
Tanpa akal, manusia tidak lebih dari sekedar hewan yang tidak pernah memikirkan benar salah tindakannya bahkan mungkin jauh lebih sesat daripada itu.
Allah telah mengutus para Nabi dan Rasul kedunia untuk memberikan petunjuk kepada manusia agar memilih jalan kebenaran, dan petunjuk Allah itu hanya bisa diterima oleh orang-orang yang mau untuk berpikir tentang hakikat kebenaran sejati. Dan berpikir yang benar didalam penerimaan tersebut adalah berpikir yang tidak hanya merenung atau asal-asalan, namun berusaha untuk mengerti, mempelajari, menyelidiki, memahami serta mengamalkan.
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya." (Qs. al-Israa' 17:36)
Menisbikan peranan akal pikiran untuk menggapai keimanan sama sekali tidak layak kita terapkan, sebab hal ini akan menyamakan kedudukan kita dengan para penyembah berhala yang tidak pernah mau tahu tentang benar salahnya keimanan mereka, yang jelas mereka harus menerima dan yakin.
Ini hal yang harus anda sepakati dulu berdasar ilmu dan referensi kitab anda sendiri Lingga.,
Kenapa saya menolak Trinitas dan apakah saya terpengaruh oleh doktrin ketuhanan didalam Islam atau Yahudi ? Itu sudah jelas bahwa konsep ketuhanan trinitas tidak bisa saya terima dengan akal saya dan keterbatasan saya sebagai manusia. Saya hanya membodohi diri saja bila terus memaksakan diri untuk menerimanya secara bulat tanpa bisa dan boleh mengkritiknya.
Saya adalah seorang muslim, orang yang berserah diri pada Allah, Tuhan yang Maha Esa, tidak bisa disetarakan dengan apa dan siapapun, Tuhan yang bisa saya cerna dengan akal saya, karena itu saya bangga menjadi muslim dan akan tetapi mati sebagai seorang muslim : "Sungguh shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, (QS. Al-An'am [6] :162)
Saya tidak akan pernah menyembah makhluk manapun sebagai tuhan saya, tidak juga yesus yang anda pertuhankan itu. Sebab sudah tegas konsep Tauhid sejati :
Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku. Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu
(Kitab Keluaran pasal 20 ayat 3 s/d 5)
Hukum yang terutama ialah: Dengarlah hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa (Markus pasal 12 ayat 29)
Tuhan secara filsafat adalah tuhan dalam bentuk yang terlalu bervariasi sebagaimana bisa dibaca melalui pendapat para filosof yang ada (sebut saja nama socrates, plato, aristoteles, descartes atau juga kant dan bandingkan semua konsepsi filsafat mereka tentang tuhan). Saya lebih memilih ranah akal atau rasio untuk memahami Tuhan dan menemukan eksistensi kebenaran Dia. Ini juga yang pernah ditempuh oleh ilmuwan besar dunia Isaac Newton (1642-1727) yang juga terkenal dengan karyanya yang mengkritik ajaran Trinitas dengan judul "An Historical Account of Two Notable Corruption of Scripture" artinya dalam bahasa Indonesia adalah "Sebuah catatan sejarah tentang dua penyelewengan pokok terhadap kitab suci". Newton pernah berkata :
Bagi mereka yang mampu, biarlah mereka mengambil kebaikan dari kontroversi tersebut. Untuk saya sendiri, saya tidak bisa mengambil apa-apa darinya. Jika dikatakan bahwa kita tidak boleh menentukan maksud dari kitab suci dan apa yang tidak bisa ditentukan oleh penilaian-penilaian kita, maka saya mengatakan bahwa bukanlah tempatnya dipertentangkan. Tetapi pada bidang-bidang yang dipertentangkan, saya menyukai untuk mengambil apa yang paling saya mengerti. Adalah sikap keras dan sisi takhayul dari manusia dalam masalah-masalah agama menjadi bukti misteri-misteri tersebut.
2010/4/20 rizal lingga <nyomet123@yahoo.com>
Berbicara tentang Tuhan berarti berbicara tentang hal yang abstrak. Bagaimana manusia bisa mengetahui tentang Tuhan? Bagaimana manusia bisa mengenal akan Tuhan?
Apa arti kata Tuhan jika dihubungkan dengan eksistensi diri manusia? Apakah manusia mengenal siapakah dirinya sendiri? Bagaimana dia bisa ada? Apa artinya ADA, berada di dunia ini? Apa makna dari segala sesuatu jika dihubungkan dengan dirinya?
Lantas, apa artinya Tuhan jika dihubungkan dengan dirinya? Karena kesadaran akan Tuhan hanya ada jika ada kesadaran akan diri manusia itu sendiri.
Bagaimana manusia bisa mengenal Tuhan?
Menurut saya ada dua macam cara:
Pertama dengan perenungan mencari makna ada (the meaning of BEING), ada dunia (the existence of cosmos and world) , ada diri manusia (the existence of being), ada dirinya sendiri (the existence of self). Lantas didalam mencari makna ini manusia yang merenung itu menyadari adanya suatu Eksistensi yang lebih besar dari dirinya sendiri, dan itulah yang disebut dengan nama Tuhan.Jalan ini ada dalam ranah filsafat.
Yang Kedua, dengan jalan agama. Manusia itu beragama, lantas agama yang dianutnya memberitahukan kepadanya tentang Tuhan menurut apa yang dipahami oleh agama itu. Dengan beragama berarti manusia itu berteologi secara khas agama tersebut, dan hal ini tidak bisa dihindari, sebab tidak ada teologi agama yang obyektif.
Semua teologi agama itu subyektif, dan merasa tafsirnyalah yang paling benar akan manusia, dunia, dan Tuhan.
Jadi, berbicara akan Tuhan dengan warna agama dipastikan akan subyektif, dan dipastikan tidak akan ada titik temunya dengan pemahaman agama lain, karena setiap agama menafsirkan akan Tuhan dengan cara yang berbeda.
Jadi, sekalipun Tuhan itu Esa, namun setiap agama melihat dan memaknakan arti Esa itu secara berbeda-beda.
Armansyah mengkritik pemahaman saya akan Tuhan sebagai dipengaruhi oleh teologi Kristen, khususnya akan doktrin Trinitas. Namun Armansyah sendiri bagaimanapun juga, bisa dipastikan, akan memahami Tuhan dengan teologi Islam. Memahami Tuhan dengan kacamata Islam, dan tentu saja Armansyah akan merasa yakin bahwa teologinya
tentang Tuhan adalah yang paling benar.
Armansyah, sadarlah, kita takkan pernah bisa berteologia tentang Tuhan secara obyektif keilmuan. Karena teologia tentang Tuhan yang obyektif dan murni itu TIDAK ADA. Semua orang pasti akan dipengaruhi oleh teologia agamanya sendiri dalam mengartikan Tuhan.
Jadi Armansyah, jika kita berteologia tentang Tuhan, perspektif kita pasti beda, karena teologia yang obyektif akan Tuhan itu sekali lagi kukatakan, TIDAK ADA. Jadi, jika kamu mengkritik akan doktrin Trinitas, bisa dipastikan itu karena kamu menilai doktrin Trinitas dari perspektif ISLAM, tidak mungkin lari dari itu.
Sebab saya belum pernah membaca, kajian Armansyah tentang Tuhan secara Filsafat, yang mencoba mengambil jarak dari agamanya sendiri. Saya lihat kamu belum pernah mencobanya (apa ada artikel tulisanmu yang mengkaji Tuhan secara Filsafat?) dan saya tidak yakin bahwa kamu bisa. Karena kalau kamu berbicara tentang Tuhan, hampir dipastikan itu berdasarkan teologi agama Islam.
Tapi, bagaimanapun juga, saya berusaha mencari titik-titik temu tentang Tuhan, sesuati dengan apa yang saya pahami selama ini akan Tuhan.
Pertama-tama, Tuhan itu Kekal, tidak punya awal tidak punya akhir.
Kedua, Tuhan itu Maha Kuasa, tidak ada apapun yang tidak bisa diperbuatnya, kecuali kalau perbuatan itu bertentangan dengan sifatNya sendiri. Misalnya, Tuhan dan dosa tidak akan pernah bisa bertemu, karena itu mustahil bagi Tuhan berbuat dosa dan kejahatan.
Ketiga, Tuhan itu Maha Tahu, tidak ada yang tidak diketahuinya.
Keempat, Tuhan itu Maha Hadir, tidak ada ruang di alam semesta ini yang tidak diketahui dan dilihatnya.
Kelima, Tuhan itu mengasihi semua makhluk ciptaanNya, teristimewa manusia. Tuhan itu memiliki semua perasaan yang terdapat pada diri manusia, ini disebabkan karena Tuhan telah menciptakan manusia itu demikian, seperti Dia sendiri. Namun Dia seimbang dalam melaksanakan semua sifat-sifatNya, tidak ada sifat Tuhan yang ekstrim dan berlebihan dalam satu hal.
Keenam,Tuhan itu Adil, Dia pasti menghukum semua dosa dan pelanggaran dengan setimpal dan adil.Sehubungan dengan sifatnya yang adil ini, maka Tuhan harus meminta pertanggung-jawaban dari semua makhluk ciptaannya, manusia dan malaikat, akan apapun yang telah diperbuat oleh manusia dan malaikat.
Itu dari segi pelanggaran. Keadilan Tuhan juga akan membuat Dia memberikan ganjaran akan setiap perbuatan baik yang dibuat oleh manusia.
Sehubungan dengan keadilan dan ganjaran dari Tuhan bagi manusia dan malaikat, Tuhan menciptakan Surga dan Neraka. Surga pertama-tama adalah tempat tinggal Tuhan sendiri, tapi juga tempat tinggal malaikat-malaikat dan manusia-manusia yang telah berkenan kepadanya. Neraka diciptakan pertama-tama bagi malaikat-malaikat yang tidak taat, tapi kemudian juga
tempat manusia-manusia berdosa. Tuhan tidak melempar malaikat dan manusia ke neraka atas kehendakNya sendiri apalagi ditentukan terlebih dahulu, tapi malaikat dan manusia itu sendiri karena perbuatan-perbuatannya, mendapat hukuman di neraka.
Jadi, Neraka itu harus ada karena keadilan Tuhan mengharuskanNya demikian.
Nah, Armansyah, inilah yang bisa saya katakan dan ketahui tentang Tuhan.
--- On Mon, 4/5/10, Armansyah <armansyah.skom@gmail.com> wrote:
From: Armansyah <armansyah.skom@gmail.com>
Subject: [Milis_Iqra] Diskusi tentang Tuhan [Untuk Rizal Lingga]Date: Monday, April 5, 2010, 3:03 PM
--Rizal, saya ingin membuka thread perdiskusian baru dengan anda jika berkenan.,
Kita lupakan saja semua diskusi lama kita yang banyak bersisa dan belum anda jawab, saya menawarakan anda sebuah awal yang baru.
Saya beri subject "Diskusi tentang Tuhan", sebenarnya ini saya ambil dari jawaban anda kepada Sdr. Mohd Mat Yaman dalam thread : Trinitas Misteri yang tidak bisa dijelaskan.
Inilah yang anda tuliskan ...2010/4/1 rizal lingga <nyomet123@yahoo.com>
Dengan demikian memang memastikan bahwa Allahnya Islam memang tidak mampu menjadi manusia.
[Arman] :
Kenapa kita harus menciptakan konsep Tuhan yang masuk akal berdasarkan akal kita pribadi ? kenapa kita tidak menerima konsep Tuhan yang masuk akal berdasarkan akalnya para utusan resmi dari Dia sendiri ? kenapa harus menerima konsep ketuhanan yang diajarkan dan coba dipahami oleh bapa-bapa gereja padahal Yesus sendiri sudah menjabarkan konsep ketuhanan secara jelas ? ; jadi ini semua murni kesalahan manusia-manusia yang mencoba mengukur keakalannya yang dangkal dan dipengaruhi oleh hawa keberhalaan dengan keakalan para Nabi dan Rasul yang akalnya sudah di-isi dengan nilai-nilai Tauhid dan ketuhanan.
Dengan adanya konsep Tuhan menjadi daging seperti yang ada dalam dogma ketuhanan Trinitas, maka sebenarnya pihak kristiani sudah membuat jarak dengan Tuhan, sebab kalian atau mereka nyata-nyata sudah membatasi kemahakuasaan Tuhan menjadi sesuatu yang terbatas.
Allah itu jauh lebih besar dari akal manusia, maka kenapa kita harus membatasi kebesaran-Nya itu dengan sekatan yang hanya mampu kita terima dengan bentuk dan permodelan jasmani yang kita ketahui ? ; Sedemikian kecilkah personifikasi kita akan kebesaran ilahiah ? sedemikian kerdilnyakah kemahakuasaan-Nya sehingga harus kita deskripsikan semua sifat ketuhanan yang Dia miliki dalam bentuk dan perwujudan berhalaisme ?
Padahal jauh-jauh hari, Perjanjian Lama sudah berpesan :
Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi; Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya - Perjanjian Lama, Ulangan 5 : 8-9
Artinya apa ?
Anda atau kita semua jangan pernah mencoba mendeskripsikan ataupun mempersonifikasikan Tuhan dengan semua bentuk kemakhlukan yang kepadanya juga anda atau kita semua melakukan ibadah atau penyembahan. Dengan menjadikan ilahi dalam perwujudan daging atau jasad maka sama artinya dengan melanggar apa yang sudah dikatakan oleh kitab Ulangan diatas.
Untuk menjadikan sebuah ruang maka panjang, tinggi dan lebar harus dibentuk terlebih dahulu, artinya ruangan memiliki ketergantungan terhadap ke-3 unsur tadi, tanpa diukur panjang dan tinggi serta lebar maka ruang tidak akan ada. Sementara Tuhan apakah Dia memiliki ketergantungan dengan daging manusia bernama Yesus ? apakah tanpa mendaging Dia tidak bisa disebut sebagai Tuhan dan memperlihatkan kemahakuasaan serta kemaha pengasihan-Nya terhadap manusia ?
Menurut pendapat saya pribadi, Tuhan bisa berdiri sendiri tanpa Yesus atau siapapunlah dia adanya. Demikian pula Yesus dan Roh Kudus, masing-masing bisa berdiri sendiri tanpa harus terikat satu dengan yang lainnya. Melalui perwujudannya kedalam bentuk daging, maka Tuhan berarti terikat dengan sang waktu.
Padahal seperti yang kita tahu, adanya waktu karena adanya rotasi dari planet, ketika planet tidak mengalami rotasi maka saat itu juga tidak akan terbentuk waktu, tidak ada masa lalu, tidak ada masa sekarang dan tidak ada masa depan. Sementara Allah tidak bisa dianalogikan demikian, sebab Dia adalah alpha dan omega, Dia ada meski waktu itu tiada. Waktu memiliki ketergantungan dengan keadaannya, tetapi Allah, Dia bebas dari semua ketergantungan.; Dia adalah Qiyamuhu Binafsihi dan Dia adalah as-Somad.
Bagaimana pendapat anda, Lingga ?
--
Salamun 'ala manittaba al Huda
ARMANSYAH
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=- =-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
--
Salamun 'ala manittaba al Huda
ARMANSYAH
--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
No comments:
Post a Comment