oleh Sabrul Jamil
Rabu, 27/05/2009 07:37 WIB
Magrib telah lewat. Isya belum tiba. Kami - aku dan istriku - berencana
berangkat menjenguk salah seorang sahabat yang sakit. Kami pun
memperhitungkan akan sholat Isya di perjalanan, di salah satu Masjid atau
Musholla yang kami temukan di jalan. Walaupun waktu Isya sebenarnya panjang,
tapi kami sedang melatih diri untuk biasa sholat di awal waktu. Benar saja,
separuh perjalanan, adzan berkumandang. Perlahan kami telusuri jalan-jalan
kecil di perkampungan. Adzan memang terdengar dari mana-mana, menandai bahwa
banyak Masjid atau Musholla di sekitar kami. Musholla pertama yang kami
temui hingar bingar. Anak-anak berlari kesana kemari. Rupanya Musholla ini
menyelenggarakan TPA. Suara adzan tak mampu membendung antusiasme anak-anak
ini untuk bermain. Kami tak jadi mampir.
Hanya berjarak beberapa ratus meter, kami temui Musholla kedua. Musholla
kedua ini tertutup rapat. Tak ada aktifitas apapun. Aneh juga, pikir kami.
Kami juga tak jadi mampir. Akhirnya kami temukan musholla ketiga. Juga
dengan jarak hanya beberapa ratus meter saja. Masih di jalur jalan yang
sama. Alhamdulillah, ada seseorang yang sedang sholat di sana. Kami pun
memarkirkan kendaraan roda dua di dekat teras Musholla. Hanya seorang yang
sedang sholat, dan sedang tahiyat awal. Aku pun bermasbuk, menjadi
satu-satunya makmum di Musholla itu.
Usai sholat, kami - aku dan sang imam - berbincang-bincang singkat.
"Sepi ya Musholla-nya?" tanyaku. Pertanyaan yang tak membutuhkan jawaban
sebenarnya.
Pak Imam membenarkan, dan meneruskan dengan penuh prihatin terhadap kondisi
masyarakat di sekitarnya. Orang-orang malas ke Masjid. Padahal sebagian
besar penduduk bukanlah orang kantoran, alias jam sekian sudah seharusnya
sudah berada di rumah. Profesi mereka rata-rata tukang ojeg, jualan
kecil-kecilan, dan sektor informal lainnya. Mereka lebih tersihir oleh
tontonan televisi ketimbang panggilan untuk menghadap Rabb-nya.
Aku membenarkan juga kata-katanya. Sepanjang jalan yang aku lalui, banyak
anak remaja yang duduk-duduk di pinggir jalan. Mereka 'sibuk' membicarakan
entah apa. Suara adzan tak berarti apa-apa buat mereka. Selanjutnya pak Imam
menanyakan dari mana kedatanganku, dan tak lupa menanyakan pula bagaimana
semangat sholat berjamaah di lingkunganku.
Sejujurnya kusampaikan bahwa tempat tinggalku sebenarnya tak terlalu jauh.
Aku tinggal di perkampungan, dekat pinggiran kompleks. Jadi aku lebih sering
sholat di Musholla atau Masjid kompleks, yang asri dan terawat. Jamaah
sholatnya cukup banyak. Bahkan saat Maghrib bisa hampir memenuhi Masjid.
Sedangkan sholat shubuh pun cukup ramai, menandai warga sekitar Masjid cukup
semangat memakmurkan Masjid mereka. Warga kompleks dan sekitarnya umumnya
dari kalangan berpunya. Rata-rata mereka punya kendaraan roda empat.
Aku pun tergoda untuk menyimpulkan, pada kasus ini, yang kaya justru semakin
menunjukkan peningkatan ketaatan. Mereka lebih peduli terhadap ibadah, dan
lebih rajin mengikuti kajian-kajian keislaman. Dari arus kas masjid pun
dapat disimpulkan bahwa warga sekitar masjid ini gemar berinfaq.
Sebaliknya, setiap kali adzan berkumandang, cukup banyak tukang becak yang
sesungguhnya tidak melakukan apa-apa selain hanya duduk-duduk. Mereka tidak
bergerak meninggalkan becak mereka. Aku pun kembali miris, seolah kemiskinan
berbanding lurus dengan kemalasan beribadah.
* * * * *
Tapi benarkah kekayaanlah yang mendorong seseorang menjadi lebih bertaqwa?
Tentu kesimpulan ini terlalu tergesa-gesa. Sebagaimana tak perlu pula kita
menyimpulkan bahwa kemiskinanlah yang menyebabkan seseorang malas beribadah.
Ada pengalaman-pengalaman lain yang setidaknya memberikan perspektif lain
kepadaku.
Tengoklah itu, Mas Yono, tetanggaku yang mengontrak rumah petak bersama
istri dan lima orang anaknya. Seolah hampir tak peduli dengan pembeli,
setiap adzan Magrib ia langsung meninggalkan gerobak baksonya, bergegas
memenuhi panggilan Allah. Lihat pula abang-abang tukang roti, tukang es dan
tukang entah apa lagi, yang ramai memarkirkan gerobaknya di pelataran
masjid. Mereka bergegas memenuhi panggil Rabb-nya di tengah-tengah usaha
mereka mencari nafkah.
Mereka, kaum mustadhafin itu, berdiri dan duduk berdampingan dengan
orang-orang yang memiliki rumah gedongan dan kendaran mewah. Semua sama di
mata Allah. Allah hanya melihat bagaimana mereka menyikapi kemiskinan
sebagaimana Allah menilai bagaimana saudara-saudara mereka menyikapi
kekayaan.
Sementara itu, boleh jadi di saat yang lain, saudara-saudara mereka yang
bekerja di ruang-ruang AC yang sejuk, masih asyik chatting atau
melihat-lihat berita gosip di internet, meski waktu sholat telah masuk. Atau
boleh jadi dengan alasan pekerjaan belum selesai, mengejar deadline, dan
alasan-alasan 'logis' lainnya, mereka jadi merasa menemukan pembenaran untuk
menunda-nunda sholatnya. Apalagi jika diimbuhi dengan argumentasi "toh masih
sholat, dari pada enggak?"
Alasan seperti ini sesungguhnya hanya mencerminkan betapa rapuhnya hubungan
seseorang dengan Rabb-nya, yang telah memberinya aneka kemudahan,
kelapangan, dan kenikmatan.
Betapa kenyamanan tak selamanya berujung ketaatan.
Akhirnya memang kita bisa menyimpulkan bahwa kaya atau miskin sama-sama bisa
menghantar seseorang untuk menjadi dekat dengan Rabb-nya. Bahwa beberapa
masjid kompleks yang aku temui terlihat lebih makmur aktifitasnya
dibandingkan beberapa masjid/musholla perkampungan, mungkin ini sangatlah
subyektif, karena hanya berdasarkan pengalaman pribadiku saja.
Sesungguhnya Islam hadir untuk mencegah adanya kesenjangan kelas dalam
masyarakat, bahkan membangun persaudaraan antara si kaya dan si miskin dan
menciptakan kesatuan untuk menghadapi berbagai macam kebutuhan.
Allahberfirman, "(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh
jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang
yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari
meminta-minta. Kamu mengenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka
tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan, apa saja harta yang baik
yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui."
(al-Baqarah:273)
Wallahu a'lam
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---
No comments:
Post a Comment