PENDAHULUAN
Pada era 1980-an umat Islam dianjurkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengikuti perayaan Natal bersama dengan dalih mengidupkan toleransi dan kerukunan umat beragama. Anjuran tersebut tentu saja meresahkan kalangan umat Islam.1 Kenyataannya anjuran itu bukannya melahirkan sebuah toleransi terhadap umat agama lain namun justru memicu ketegangan dan disharmoni di kalangan internal umat Islam kala itu. Tata cara dan aturan peribadatan dalam Islam merupakan konsep yang otentik dan telah final sejak masa Rasulullah saw, termasuk menyangkut pola hubungan umat Islam dengan umat agama lain. Dalam dimensi peribadatan Islam, sebagaimana telah diajarkan oleh Rasulullah, juga mencakup konsep al-wala' dan al-bara', dimana kaum muslimin dituntut untuk dapat menempatkan diri secara tepat dalam kerangka sebuah loyalitas dan anti-loyalitas. Dari segi loyalitas, seorang muslim yang taat tidak dimungkinkan untuk menghadiri ibadah umat beragama lain.
Maka Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai representasi umat Islam kala itu, segera mengambil tindakan untuk mengatasi keruwetan yang terjadi dengan melahirkan fatwa terkait dengan peristiwa tersebut. Tepatnya, pada 1 Jumadil Awal 1401 H atau 7 Maret 1981, secara resmi MUI mengeluarkan fatwa tentang haramnya mengikuti perayaan Natal bersama. Hal ini dilakukan oleh Majelis Ulama sebagai upaya agar umat Islam tidak terjebak dalam perkara yang syubhat (meragukan) dan terjerumus ke dalam larangan Allah. Natal bersama telah banyak disalah mengerti oleh umat Islam seperti merayakan maulid nabi Muhammad, sehingga tidak sedikit kalangan muslim yang mengikutinya. Padahal perayaan natal bagi umat Kristen merupakan ibadah ritual.2 Muslim bukanlah umat tanpa toleransi, justru Islam-lah, satu-satunya ajaran yang telah mengajarkan toleransi dari teori sampai prakteknya. Permasalahannya apakah menghadiri perayaan Natal bersama merupakan satu-satunya manifestasi dan bukti kerukunan antar umat beragama, dalam hal ini Islam dan Kristen ?
Menteri Agama pada waktu itu Letjen (Purn.) A. Alamsyah Prawiranegara, menyatakan keberatan atas fatwa yang dikeluarkan MUI dan memintanya untuk dicabut. Alasannya, tidak jauh berbeda, fatwa tersebut dianggap berpotensi sebagai pemantik konflik yang pada giliran selanjutnya akan merusak kerukunan umat beragama. Keruwetan tersebut pada akhirnya berujung pada pengunduran diri Prof. Dr. (Buya) HAMKA sebagai ketua MUI.3 Beliau lebih memilih meletakkan jabatan dari MUI ketimbang mencabut fatwa yang bertujuan menjamin kemaslahatan keyakinan umat Islam tersebut.
Beberapa tahun silam, dengan menghasung slogan toleransi dan kerukunan umat beragama yang sama, kaum liberal di Indonesia menyerukan umat Islam mengucapkan Selamat Natal kepada umat Kristen yang merayakannya. Agaknya seruan ini juga merupakan tindak lanjut dari upaya-upaya "membina" kaum muslimin, yang sebelumnya yang dianggap kurang berhasil. Seruan tersebut terekam dalam sebuah buku 'khusus' bernama "Fiqh Lintas Agama". Buku tersebut menyatakan bahwa dengan tujuan kemashlahatan dan tentu saja tanpa mengorbankan akidah, mengucapkan "selamat Natal" adalah diperbolehkan.4 Pendapat tersebut diperkuat dengan argumentasi teologis bahwa umat Islam hendaknya mengenang dan menghayati ucapan selamat natal yang diucapkan oleh Nabi Isa dalam Al Quran sebagai berikut : "Salam sejahtera untukku pada hari kelahiranku, wafatku, dan kebangkitanku kelak". (QS. 19:33).5
Fakta-fakta di atas merupakan gejolak yang berkembang di kalangan kaum muslimin sendiri. Kebanyakan disuarakan oleh intelektual muslim yang telah terpengaruh oleh pemikiran barat sekuler. Namun upaya menarik umat Islam ke dalam ketegangan antar umat beragama tersebut nampaknya bukan hanya bersal dari kalangan Islam. Berdasarkan observasi yang telah penulis lakukan dan serangkaian pengamatan terhadap media massa dan fakta di lapangan, sejumlah gereja juga melakukan upaya yang kurang lebih sama. Beberapa gereja turut terlibat mengundang kaum muslimin yang awam untuk mengikuti kebaktian dalam perayaan Natal. Bahkan tidak jarang dengan iming-iming imbalan yang bersifat materi. Bahkan beberapa waktu lampau sebagian umat Islam juga telah mendapatkan buku tulisan dari Pendeta Poernomo Winangoen yang berjudul "Selamat Natal dalam Al Quran". Isinya tidak terlalu jauh dari apa yang telah ditulis kaum liberalis di Indonesia. Sebuah peragaan penafsiran Al Quran yang gegabah dan sarat muatan kepentingan. Fakta-fakta lapangan yang demikian jelas bukan lagi merupakan wilayah netral atas nama toleransi dan kerukunan umat beragama. Namun telah menjurus ke dalam hegemoni atau lebih tepatnya tirani salah satu agama atas umat agama yang lain.
Pertanyaan besar yang mengemuka adalah apakah penolakan MUI terkait keikutsertaan menghadiri undangan prosesi Natal bersama dan pemberian ucapan Selamat natal, lantas mendudukkan kaum muslimin sebagai intoleran ? Sebaliknya, apakah dengan melakukan kedua hal tersebut, lantas kaum muslimin akan mendapatkan persdikat sebagi umat yang toleran ? Tentu saja jawaban untuk kedua pertanyaan tersebut adalah tidak. Secara normatif, alasan keberatan umat islam mengikuti ritual natal dan penolakan mereka untuk memberikan ucapan selamat natal juga harus diakomodasi dan mendapat porsi pencermatan lebih mendalam. Dengan demikian tidak terjadi penyudutan secara sepihak terhadap umat Islam sebagai pihak anti-toleransi dan kontra terhadap kerukunan antar umat beragama. Apalagi jika alasan sebenarnya justru terletak pada keyakinan yang mendasar terhadap ajaran agamanya.
Terkait dengan kehadiran dalam perayaan Natal bersama, umat Islam telah memperoleh status hukum agama yang tegas melalui fatwa ulama MUI bahwa hukum menghadiri acara tersebut adalah haram. Fatwa tersebut belum dicabut hingga hari ini, sehingga konsekuensi hukumnya bagi seorang muslim tetap berlaku. Akan tetapi terkait dengan pengucapan selamat Natal memang belum mendapatkan penegasan berupa fatwa sebagimana perayaan natal bersama. Namun demikian bukan berati bahwa hukumnya tidak ada atau tidak dapat dijelaskan. Maka, kehadiran tulisan ini dimaksudkan sebagai sebuah usaha untuk memaparkan kesulitan umat Islam yang menyebabkan mereka terlarang untuk mengucapkan selamat Natal kepada penganut agama Kristen. Diharapkan tulisan ini bukan hanya akan memberikan pemahaman terhadap kalangan muslim yang masih awam terhadap hal tersebut sekaligus memberikan pengertian terhadap umat Nashrani bahwa sikap muslim yang menolak memberi ucapan selamat Natal semata-mata merupakan bentuk konsekuensi logis umat Islam atas keimanannya terhadap sumber hukum Islam, yaitu Al Quran. Sekali lagi, bukan karena umat islam berusaha memposisikan diri sebagai umat yang anti toleransi dan anti kerukunan.
KELAHIRAN NABI ISA DALAM AL QURAN
Para penulis buku "Fiqih Lintas Agama" memiliki masalah terkait dengan kecermatan mereka dalam mengetengahkan Al Quran Surat Maryam ayat 33 sebagai pijakan teologis bahwa mengucapkan selamat Natal terhadap penganut Kristen adalah diperbolehkan bagi umat Islam. Ayat yang dimaksud adalah sebagi berikut:
Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari Aku dilahirkan, pada hari Aku meninggal dan pada hari Aku dibangkitkan hidup kembali".6
Ayat tersebut hanya diambil sebagai sebuah penggalan dengan melupakan hubungan ayat tersebut dengan ayat-ayat sebelumnya. Padahal melihat hubungan antar ayat dalam Al Quran guna menghasilkan sebuah penafsiran adalah pendekatan yang mutlak harus dilakukan. Melepaskan hubungan antar ayat, sebagaimana dilakukan oleh para penggagas "Fiqih Lintas Agama" tersebut, akan menghasilkan tafsiran yang kurang komprehensif atau bahkan sangat dimungkinkan akan menghasilkan tafsir menyesatkan. Terbukti penafsiran yang dilakukan oleh kalngan liberal tersebut menghasilkan pemahaman yang fragmentatif karena tidak mempertimbangkan sibaq (pra), lihaq (pasca), dan siyaq (suasana). Adapun keterkaitan antar ayat tersebut akan ditampilkan sebagi berikut:
(30). Berkata Isa: "Sesungguhnya Aku Ini hamba Allah, dia memberiku Al Kitab (Injil) dan dia menjadikan Aku seorang nabi, (31). Dan dia menjadikan Aku seorang yang diberkati di mana saja Aku berada, dan dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama Aku hidup; (32). Dan berbakti kepada ibuku, dan dia tidak menjadikan Aku seorang yang sombong lagi celaka. (33). Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari Aku dilahirkan, pada hari Aku meninggal dan pada hari Aku dibangkitkan hidup kembali".7
Ayat ke-30 tersebut menjelaskan kedudukan Nabi Isa sebagai seorang hamba dan Nabi yang menerima kitab dari Allah. Dalam konsep Islam, nabi dan rasul, termasuk Nabi Isa, adalah manusia biasa yang menjadi hamba dan utusan Allah, bukannya sebagai Tuhan. Sementara itu umat Kristen menyakini bahwa Yesus adalah salah satu oknum dari ketuhanan trinitas atau dengan kata lain Yesus adalah Tuhan itu sendiri. Bagi pemeluk agama Kristen, Yesus adalah manusia dan dia juga seorang nabi, namun dia juga merupakan Firman Tuhan yang pada hakikatnya Yesus adalah satu dengan Tuhan.8 Dari sini telah jelas perbedaan konsep antara kedua agama tersebut. Maka pertanyaan besar yang seharusnya mengemuka adalah : "Apakah umat Kristen akan bersedia menerima jika diberi ucapan selamat natal bagi Yesus yang dilahirkan hanya sebagi manusia biasa, bukannya Tuhan ?". Demikian juga sebaliknya, "Apakah umat Islam akan bersedia memberikan ucapan selamat Natal dengan konsekuensi menganggap Yesus sebagai Tuhan ?
Menurut Ibnu Katsir, maksud ayat 33 Surat Maryam tersebut merupakan sebagian dari ketetapan Nabi Isa atas dirinya sebagai hamba Allah dan dia hanya merupakan makhluk, sebagimana makhluk Allah lainnya. Beliau mengalami hidup, mati, dan dibangkitkan kembali sebagaimana makhluk lainnya pula.9 Prof. DR. (Buya) Hamka menyoroti bahwa maksud ayat tersebut pada dasarnya merupakan sebuah doa yang dipanjatkan oleh Nabi Isa agar diberikan keselamatan dan kesejahteraan mulai dalam kehidupan di dunia yang ditandai dengan sejak kelahirannya, ketika telah mati yaitu saat berada di alam kubur, dan pada hari kiamat pada masa kebangkitan.10 Tengku Hasbi Ash Shiddieqy memaknai bahwa ayat ke 33 Surah Maryam tersebut maksudnya adalah penekanan pada pembelaan Nabi Isa yang ibunya, Maryam, telah dituduh sebagai wanita pezina oleh kalangan Yahudi. Masyarakat Yahudi tidak dapat menerima bahwa Isa adalah seorang utusan bagi mereka.11 Senada dengan Buya Hamka, M. Quraish Shihab menafsirkan bahwa ayat tersebut merupakan doa Nabi Isa bahwa salam yakni keselamatan besar dan kesejahteraan sempurna tercurah atas diri beliau serta terhindarkan dari aib dan bencana serta kekurangan pada hari kelahiran, pada hari meninggal dunia, dan pada hari kebangkitan kelak di padang Mahsyar. Lebih lanjut Quraish Shihab menegaskan bahwa ayat tersebut sama sekali tidak terkait dengan ucapan "Selamat Natal". Pengucapan "Selamat Natal" tersebut terkait dengan Ketuhanan Yesus Kristus, sebagimana diyakini kaum Kristen, jelas bertentangan dengan keimanan karena mengaburkan keyakinan azasi Islam.12 Quraish Shihab nampaknya masih memberikan kelonggaran berupa batasan bahwa ucapan "Selamat Natal" tersebut masih sesuai dengan semangat Al Quran maka hal tersebut tidak menjadi masalah. Mengenai hal ini maka akan penulis bahas lebih lanjut.13
Dari pembahasan di atas memang telah tegas bahwa kedua agama tersebut memiliki konsep yang berbeda terhadap sosok yang kurang lebih adalah sama. Dengan kata lain dapat ditegaskan pula bahwa semua agama tidak sama dan konsekuensinya tidak semua agama benar. Namun perbedaan tersebut tidak harus dimunculkan sebagai potensi konflik. Justru perbedaan konsep teologis antara kedua agama tersebut hendaknya dipahami secara mendalam. Jika permasalahanya terkait hubungan antar umat beragama, maka persoalannya bukan terletak pada ucapan selamat hari raya antar agama. Kerukunan tersebut seharusnya lebih merupakan kesadaran setiap umat beragama sebagai sesama ras manusia. Islam disatu sisi telah memiliki sumber-sumber teologis yang cukup untuk menyusun sebuah kerangka kerukunan antar umat beragama. Piagam Madinah, misalnya, merupakan material source yang telah cukup mamadai guna menghasilkan konsep tersebut. Apalagi ketentuan Rasulullah SAW dalam Piagam Madinah tersebut telah secara meyakinkan mampu dibuktikan untuk mengatur pemerintahan Madinah yang multi etnis dan multi-agama. Di lain pihak perbedaan tidak selalu menjadi sumber konflik jika sikap saling pengertian telah terbina sejak awal. Dalam banyak kejadian, upaya menghilangkan sejumlah perbedaan antar agama dengan mengaburkan nilai-nilai agama yang bersangkutan justru merupakan sumber rentan pemicu konflik.
Nabi Isa dalam pandangan Islam merupakan salah satu Nabi yang diyakini diantara nabi-nabi Allah lainnya. Beliau juga merupakan salah satu Nabi dalam 'ulul azmi. Terkait dengan proses kelahiran Nabi Isa, Al Quran memiliki informasi tersendiri secara mandiri yang secara diametral sangat berbeda dengan keterangan dari Perjanjian Baru, kitab suci umat Kristen. Proses kelahiran yang tidak sama ini, harus disadari sejak awal, juga akan melahirkan konsepsi yang berbeda pula.
Al Quran memberikan informasi bahwa Isa alaihi as salam dilahirkan oleh ibundanya, Maryam, di bawah pohon Kurma yang sedang masak buahnya. Informasi ini akan dapat digunakan untuk merekonstruksi waktu kelahiran berdasarkan versi Islam. Adapun Ayat Al Quran tersebut adalah sebagai berikut:
(23). Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, dia berkata: "Aduhai, alangkah baiknya Aku mati sebelum ini, dan Aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan". (24). Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: "Janganlah kamu bersedih hati, Sesungguhnya Tuhanmu Telah menjadikan anak sungai di bawahmu. (25). Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu,
Dengan asumsi bahwa Nabi Isa lahir di wilayah Betlehem, Palestina, maka kelahiran tersebut telah terjadi pada musim kurma sedang masak. Pohon kurma termasuk pohon musiman dan kematangan buah kurma biasanya memang tidak bisa serentak pada waktu yang sama. Walaupun tidak masak bersamaan kurma di palestina, secara umum, telah mengalami puncak kematangan pada musim panas. Keterangan yang lebih jelas adalah kurma tidak mungkin masak pada musim dingin atau penghujan. Berdasarkan hal ini maka telah jelas, Al Quran mengisyaratkan bahwa kelahiran Isa terjadi pada musim panas. Waktu tepat untuk kematangan kurma itu sendiri adalah antara bulan Maret sampai Juni. Jadi dalam interval kedua bulan itulah Nabi Isa telah dilahirkan oleh Maryam ke dunia. Penggunaan interval waktu dalam kedua bulan tersebut telah mempertimbangkan kematangan kurma yang tidak serempak. Namun masih berada dalam satu musim panas.
Sementara umat Kristen telah meyakini bahwa Yesus lahir pada tanggal 25 Desember dimana setiap tahunnya hari tersebut diperingati sebagi hari Natal. Pada bulan Desember tersebut, matahari berada pada titik balik musim dingin. Dengan kata lain Betlehem sedang mengalami musim dingin. Sedangkan kurma tidak mungkin masak pada musim dingin tersebut. Dengan demikian, semakin jelas sudah bahwa konsep kelahiran Nabi Isa dalam Al Quran dan keyakinan umat Kristiani tentang hari Natal adalah dua hal yang berbeda dan sukar dikompromikan.
Bagi umat Islam, mengucapkan selamat natal kepada penganut agama Kristen sama artinya dengan mengingkari informasi yang diberikan oleh kitab sucinya sendiri. Di lain sisi, pada saat yang sama umat Islam dilarang untuk bermental hipokrit (munafik). Maka, dengan alasan bahwa ucapan selamat Natal tersebut hanya sekedar untuk menjaga hubungan erat dan tidak perlu menjadi keyakinan pun, misalnya sekedar sebagi basa basi, tetap harus dihindari. Sebab konsekuensinya berhubungan dengan keyakinan paling mendasar yaitu terhadap kebenaran informasi dari Allah dalam Al Quran.
Menurut hemat penulis, dengan penjelasan yang demikian, kalangan Kristen sekali pun akan menghargai dan menghormati keyakinan umat Islam dalam menjalankan ajaran agama yang berasal dari kitab sucinya. Hal inilah tindakan bijaksana yang harus dilakukan apabila isu toleransi dan kerukunan umat bergama memang bukan sekadar retorika atau penghias bibir belaka atau bahkan kamuflase kepentingan yang dibungkus dengan memanfaatkan isu tersebut. Sekali lagi, menganjurkan umat Islam untuk mengucapkan selamat Natal dengan mengabaikan keyakinannya, justru merupakan tindakan anti-toleransi dan merusak kerukunan antar umat beragama.
Secara mengejutkan, temuan penulis tentang kelahiran Yesus dalam Perjanjian Baru sangat berbeda dengan keyakinan Kristen yang mempercayai 25 Desember sebagi hari Natal. Keterangan Perjanjian Baru tentang lahirnya Yesus, senada dengan informasi yang diberikan oleh Al Quran, ditengarai terjadi pada musim panas. Dengan demikian bukan terjadi pada bulan Desember dimana terjadi musim dingin. Perjanjian Baru dalam Lukas 2 : 8-11 menceritakan suasan kelahiran tersebut sebagi berikut:
(8). Di daerah itu ada gembala-gembala yang tinggal di padang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam. (9). Tiba-tiba berdirilah malaikat Tuhan di dekat mereka dan kemuliaan Tuhan bersinar meliputi mereka dan mereka sangat ketakutan. (10). Lalu kata malaikat itu kepada mereka: "Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa. (11). Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud.14
Berdasarkan keterangan Lukas 2 : 8-11, Yesus lahir pada saat para penggembala ternak berada di padang Yudea untuk menjaga kawanan ternak yang mereka gembalakan pada suatu malam. Kejadian tersebut tidak mungkin terjadi pada bulan Desember. Sebab wilayah Yudea, setiap bulan Desember memasuki musim penghujan dan hawa malam harinya sangat dingin. Faktanya, paling lambat tanggal 15 Oktober, ternak yang digembalakan di padang Yudea sudah harus berada di kandangnya untuk menghindari hujan dan hawa dingin yang menusuk tulang.15
Perjanjian Lama dalam Ezra 10 : 9 dan 13 secara tersendiri telah menjelaskan bahwa bila musim dingin tiba, hawa yang ditimbulkan sampai membuat tubuh menggigil dan tidak memungkinkan orang, termasuk penggembala dan ternaknya, berada di udara terbuka, apalagi pada waktu malam. Adapun kedua ayat Perjanjian Lama tersebut adalah sebagai berikut:
Lalu berhimpunlah semua orang laki-laki Yehuda dan Benyamin dari Yerusalem dalam tiga hari itu, yakni dalam bulan kesembilan pada tanggal dua puluh bulan itu. Seluruh rakyat duduk di halaman rumah Allah sambil menggigil karena perkara itu dan karena hujan.16
Tetapi orang-orang ini besar besar jumlahnya dan sekarang musin hujan sehingga orang-orang tidak sanggup berdiri di luar. Lagipula pekerjaan itu bukan perkara sehari dua hari, karena dalam hal itu kami telah melakukan pelanggaran.17
Dengan demikian walaupun umat Kristiani meyakini bahwa tanggal 25 Desember adalah hari dimana Yesus telah dilahirkan, namun keyakinan ini justru secara diametral justru bertentangan dengan informasi kitab suci mereka sendiri. Lantas, mengapa hari Natal dirayakan pada tanggal 25 Desember ?. Edward Gibbon, seorang sejarawan, mengungkapkan bahwa perayaan tersebut diadopsi dari perayaan kelahiran Sol yang diselenggarakan oleh penganut paganisme di Romawi, sebagi berikut: "The Roman Christians, Ignorant of his (Christ's) birth, fixed the solemn festival to 25 December, the Brumalia or winter solstice when the pagans annually the birth of Sol "18 .(Orang Kristen Romawi yang tidak mengetahui kelahirannya (Kristus), menentukan perayaan Natal pada 25 Desember, saat Brumalia atau titik balik matahari di musim dingin, ketika kaum pagan setiap tahun merayakan kelahiran Sol).
Beberapa waktu lampau seorang astronom Australia, David Reneke memprediksi kelahiran Yesus Kristus bukan jatuh pada tanggal 25 Desember, seperti yang dirayakan umat Kristiani sedunia seperti sekarang ini. Sebagimana dilansir Telegraph, Reneke mengungkapkan jika ditilik dari peristiwa 'bintang terang natal' di Betlehem 2000 tahun silam, seharusnya Natal jatuh pada tanggal 17 Juni. Bintang terang natal itulah yang dikisahkan dalam Perjanjian Baru menuntun tiga orang majus pada bayi Yesus untuk mempersembahkan, mur emas, dan kemenyan. Penelitian yang dilakukan oleh astronom mengasumsikan, bintang terang tersebut merupakan kombinasi planet Venus dan Jupiter. Ketika itu, kedua planet berada pada posisi terdekat dan menjadikannya lebih bersinar terang dari biasanya.19
Hatta demikian telah diketahui bersama bahwa tidak ada tanggal paling pasti tentang kelahiran Nabi Isa. Perayaan Natal per 25 Desember hanya merupakan tradisi Kristen selama berabad-abad yang diadopsi dari perayaan kaum penyembah berhala. Sendainya saja Nabi Isa menginginkan hari lahirnya dirayakan maka tentu salah satu ajaran yang disampaikannya adalah tentang fakta hari kelahirannya terkait waktu yang tepat. Kenyataannya hal itu tidak disampaikannya dan hal ini menjelaskan hakikat bahwa perayaan kelahiran Nabi Isa memang tidak berasal dari ajarannya. Namun merupakan produk dari perkembangan budaya selama berabad-abad dalam kekristenan. Pada bagian terakhir ini, sekaligus perlu ditegaskan bahwa terkait dengan masalah hubungan Islam dengan agama-agama lain beserta klaim-klaim kebenarannya, secara teologis, sudah selesai, settled, dan final. Allah sendiri yang telah menuntaskannnya sejak awal melalui Al Quran. Islam memandang perbedaan dan keragaman agama sebagai hakikat ontologis dan sunatullah dan oleh karenanya genuine.20 Oleh karenanyalah maka kaum muslimin hendaknya hanya berpegang kepada kitabullah dan sunah Nabi yang menjadi sumber-sumber hukum Islam.
PENUTUP
Berdasarkan kajian di atas, sikap penolakan kaum muslimin untuk mengucapkan selamat natal bukan disebabkan oleh faktor antipati apalagi anti-toleransi. Namun lebih karena berpijak pada konsep agamanya sendiri tentang kelahiran Nabi Isa. Berdasarkan kajian terhadap ayat-ayat Al Quran, Nabi Isa tidak mungkin lahir pada bulan Desember. Konsekuensinya, berdasarkan kajian tersebut maka mengucapkan "Selamat Natal" adalah sebuah wujud penyangkalan terhadap kebenaran Al Quran. Tidak layak bagi seorang muslim untuk melakukan penyangkalan yang demikian halnya. Keyakinan ini, tentu tidak bisa dipaksa untuk berubah hanya karena argumentasi menjaga toleransi dan kerukunan umat beragama. Apalagi telah terbukti bahwa argumentasi tersebut bukannya berakibat positif namun justru memicu konflik baru di kalangan kaum muslimin. Oleh karena itu kurang bijaksan juga apabila umat Islam dibujuk atau bahkan dipaksa untuk mengikuti ritual agama lain dan memberikan ucapan selamat hari raya dimana umat Islam sendiri telah memiliki konsepnya secara mandiri yang berbeda dengan konsep agama tersebut. Umat Kristiani yang bijaksana, menurut hemat penulis, tentu akan menghormati keyakinan umat Islam yang demikian dalam kerangka toleransi dan kerukunan antar umat beragama.
MAROJI'
1KH. Abdullah Wasi'an. Al Quran Mengucapkan Selamat Natal. Majalah Modus Edisi 3/ Th. II/2004. Hal. 5
2Tim Fakta. Propaganda Natal. Majalah Sabili No. 12 Th. XI/ 2004. Hal. 86-87
3KH. Abdullah Wasi'an. Opcit. Hal. 5
4Mun'im A. Sirry (editor). Fiqih Lintas Agama: membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis. Cetakan VII. (Paramadina, Jakarta, 2005). Hal. 84
5Mun'im A. Sirry. Ibid. Hal. 82
8 I. Suharyo, Pr. Membaca Kitab Suci Mengenal Tulisan-tulisan Perjanjian Lama. Cetakan VI. (Lembaga Biblika Indonesia Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1995). Hal. 108-109
9Muhammad Nasib Ar Rifa'i. Taisiru al Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir III. (Ma'tabah Ma'arif, Riyadh, 1989). Terjemah Drs. Syihabuddin. Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir III. (Gema Insani Press, Jakarta, 2000). Hal. 192
10Prof. DR. Hamka. Tafsir Al Azhar Juz XVI. (Pustaka Panjimas, Jakarta, 1988). Hal. 29
11Teungku Muh. Hasbi Ash Shiddieqy. Tafsir Al Quranul Majid 3. (Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2000). Hal. 2475
12M. Quraish Shihab. Tafsir Al Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al Qur'an. Vol. 8. (Lentera Hati, Jakarta, 2002). Hal. 180-184
13M. Quraish Shihab. Ibid. Hal. 183
14 Lukas 2: 8-11. Alkitab. (Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2002)
15 Pendeta Herbert W. Armstrong. Plain Truth About Christmass. Terjemah oleh Masyhud SM. Merayakan Natal Melestarikan Ritual Penyembah Berhala. Modus Vol. II No. 6 Th. II/ 2005. Hal. 28
16 Ezra 10 : 9. Alkitab. (Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2002)
17 Ezra 10 : 13. Alkitab. (Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2002)
18 Edward Gibbon. Decline and Fall of Roman Empire. Vol. II. Hal 383 dalam Wahyudi. Sex in the Bible. (Bina Ilmu, Surabaya, 2004). Hal. 34
20DR. Anis Malik Thoha. Inklusivisme Lahir dari Rahim Kristen. Majalah Tabligh Vol. 02/ No. 9. (Jakarta, 2004). Hal. 18
Penulis: Susiyanto
(Peneliti Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) & Mahasiswa Pasca Sarjana Peradaban Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Dipublikasikan ulang seizin penulis dari www.susiyanto.wordpress.com