Prita Mulyasari dan Kebebasan Beropini
Prita Mulyasari (32) telah dibebaskan pihak kejaksaan kemarin, Rabu (3/6/2009), dari LP Wanita Tangerang. Pihak kejaksaan telah mengalihkan status penahanan Prita dari tahanan rutan menjadi tahanan kota (detikNews).
Prita, ibu dua balita, masuk sel per 13 Mei. Dia dijebloskan ke penjara setelah dijerat UU Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 27 (3) tentang pencemaran/penghinaan nama baik melalui media elektronik (internet) dengan ancaman hukuman hingga 6 tahun atau denda 1 milyar rupiah. Tuduhan ini berawal dari keluhan Prita atas pelayanan RS Omni International yang dimuat di detikCom.
Kasus yang menimpa Prita ini cukup menjadi perhatian publik karena ia adalah orang pertama yang dijerat UU Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008 (UU ITE). Yang menarik di sini adalah masyarakat mulai sadar bahwa segala aktivitas di dunia maya ternyata dapat berpengaruh pada dunia nyata. Artinya, jika kita melakukan kejahatan atau tindak pidana di dunia maya maka kita dapat dituntut secara hukum dan apabila terbukti bersalah maka kisah kita dapat berakhir di "hotel prodeo" yang notabene eksis di dunia nyata.
UU ITE pada dasarnya adalah implementasi hukum terhadap pemanfaatan teknologi informasi karena sering timbulnya permasalahan hukum terkait penyeampaian informasi, komunikasi serta transaksi secara elektronik. Kegiatan melalui media sistem elektronik meski bersifat virtual (tidak nyata) dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan hukum yang nyata dan dapat dituntut secara hukum.
Pelajaran yang dapat diambil dari kasus Ibu Prita adalah jangan sekali-kali menuliskan sebuah opini dan disebarkan di media massa, dalam keadaan emosi, walaupun pada kenyataannya memang kita yang jadi korban. Pikirkan dahulu baik-baik opini yang akan dibuat, bagaimana akibatnya, dan apa reaksi dari orang nantinya.
Opini tentu saja harus didukung bukti-bukti yang akurat, baik berupa dokumen tertulis, barang bukti, saksi-saksi, ataupun sumber berita. Rasanya, banyak opini negatif yang disampaikan hanya berdasarkan perasaan tidak suka, kecewa, dan perkiraan-perkiraan. Jelas ini berbahaya, baik untuk penulis sendiri, dan juga reaksi dari pembaca tulisan. Intinya menulis di media elektronik sama halnya menulis di media yang lain. Semua materi di dunia maya (email, blog, website) dapat dijadikan bukti akurat dan otentik yang dapat diproses secara hukum. Cara membuat opini yang aman dapat dilihat di sini.
http://dianhadiyansyah.wordpress.com/2009/06/04/prita-mulyasari-dan-kebebasan-beropini/
kutipan link di sini.
Saat berita ini diturunkan, halllaahh… maksudnya, saat ini sedang mencuat pemberitaan tentang sebuah kasus pengadilan seorang ibu bernama Prita Mulyasari yang dituntut oleh pihak Rumah Sakit Omni International, karena Ibu Prita dianggap telah melakukan pencemaran nama baik rumah sakit tersebut. Ibu Prita sampai mendekam di penjara akibat kasus ini.
Untuk yang belum mengetahui berita ini (karena nggak suka nonton tv, atau sedang melakukan tugas penting, atau memang terisolasi dari dunia luar, hehehe…), silahkan googling atau klik link ini.
Kronologi kasus ini saya kurang tahu persis. Secara singkat mungkin dapat saya sampaikan, awalnya Ibu Prita berobat di Rumah Sakit Omni International. Kemudian, menurut beliau, pihak rumah sakit tidak memberikan pelayanan yang semestinya, oleh karena itu beliau membuat sebuah tulisan yang akhirnya tersebar luas di internet (tulisan beliau dapat dilihat di sini). Pihak rumah sakit lalu melakukan tindakan hukum terhadap Ibu Prita karena dianggap telah melakukan pencemaran nama baik, dan akibatnya Ibu Prita mendekam di penjara.
Banyak dukungan ditujukan buat Ibu Prita, baik berupa seruan-seruan yang disampaikan para netters melalui Facebook, blog, komentar-komentar di situs-situs berita, berupa bantuan hukum kepada Ibu Prita, ataupun dukungan-dukungan lainnya. Dalam hal ini, mohon maaf kepada netters yang lain, saya tidak memberikan dukungan kepada pihak manapun, karena saya tidak tahu dan tidak punya bukti-bukti yang akurat tentang itu. Tapi dalam hal kemanusiaan, terlepas dari Ibu Prita bersalah atau tidak, saya mendukung Ibu Prita untuk dibebaskan, mengingat beliau adalah seorang ibu bagi anak-anaknya yang masih kecil, dimana anak-anaknya tersebut pasti membutuhkan seorang ibu untuk merawat dan mendampinginya.
Saya hanya ingin mengambil sebuah pelajaran.
Dari kasus ini, ada hal yang dapat dipelajari, terutama buat kita, saya dan anda, yang ingin menyampaikan sebuah opini tentang sesuatu, apalagi opini yang memberikan penilaian negatif terhadap sebuah institusi, produk atau pun perorangan. Disini saya tidak bisa memberikan semacam panduan bagaimana cara yang aman secara hukum dalam menyampaikan sebuah opini, karena saya bukan praktisi hukum dan saya juga tidak memiliki cukup ilmu yang memadai untuk itu. Saya hanya akan menyampaikan pikiran-pikiran yang sifatnya sekedar mengingatkan kita, termasuk saya sendiri tentunya. Pikiran ini mungkin betul, mungkin juga tidak. Bantu saya juga ya
Harap diingat-ingat, apapun tulisannya, apabila ada yang tidak terima dengan tulisan itu, anda sebagai penulis bisa saja dituntut secara hukum!
Nah, lo! Eng ing eng…..
Pertama, mungkin ini yang paling penting, jangan sekali-kali anda menuliskan sebuah opini dan disebarkan di media massa, pada saat anda sedang emosi, walaupun pada kenyataannya memang anda yang menjadi korban. Pikirkan dahulu baik-baik opini anda, bagaimana akibatnya, dan apa reaksi dari pembaca tulisan anda.
Opini tentu saja harus didukung bukti-bukti yang akurat, baik berupa dokumen tertulis, barang bukti, saksi-saksi, ataupun sumber berita. Rasanya, banyak opini negatif yang disampaikan hanya berdasarkan perasaan tidak suka, kecewa, dan perkiraan-perkiraan. Jelas ini berbahaya, baik untuk penulis sendiri, dan juga reaksi dari pembaca tulisan.
Diperlukan kehati-hatian yang tinggi dalam penulisan opini, apalagi dalam hal penyebutan identitas berupa nama, tempat, dan lain-lain. Kalau memang anda punya bukti yang kuat dan siap 100% untuk menerima tuntutan di pengadilan di kemudian hari akibat tulisan anda dari pihak-pihak yang tidak menerima opini anda, mungkin anda bisa menyebutkan identitas-identitas tersebut. Tapi kalau tidak, ya jangan disebutkan secara jelas. Sebagai alternatifnya, misalnya untuk menyebut satu rumah sakit tertentu bisa disebut rumah sakit A di kota Jakarta, dan lain-lain.
Sebagai catatan, tidak siap ke pengadilan menurut saya belum tentu berarti si penulis opini dalam posisi bersalah, karena mungkin si penulis tidak siap dalam hal-hal tertentu, misalnya ketidaksiapan secara mental, karena memang berhadapan dengan proses hukum membutuhkan mental yang kuat. Atau tidak siap dalam hal waktu, karena apabila sesuatu hal menjadi kasus hukum, waktu anda akan terfokus di situ, sedangkan anda harus mengerjakan hal lain seperti mencari penghasilan atau melanjutkan pendidikan, misalnya.
Bagaimana tentang penyebutan identitas anda sendiri sebagai penulis opini? Kalau anda siap ke pengadilan, silahkan tulis dengan jelas identitas anda. Kalau anda tidak siap, tapi anda ingin sekali membuat tulisan di surat pembaca di sebuah media cetak misalnya, anda perlu tanya terlebih dulu, apakah mungkin identitas anda bisa dirahasiakan sepenuhnya dan terhindar dari kemungkinan tuntutan hukum?
Kalau tulisan dimuat di internet, mungkin identitas bisa disembunyikan dengan cara-cara tertentu. Tapi tetap saja ada kemungkinan untuk diungkapkan, apalagi kalau sudah dalam penyelidikan pihak berwenang.
Mungkin itu saja saran saya. Hehehe… terlalu simpel ya? Kalau hanya itu mungkin anda juga sudah tau. Tapi kan nggak ada salahnya untuk mengingatkan. Mengetahui dan mengingat bisa jadi dua hal yang berbeda.
Menakut-nakuti? Bukan. Maksud tulisan saya ini tidak untuk menakut-nakuti anda dalam menulis opini, di internet misalnya. Saya percaya, anda adalah pembaca atau penulis cerdas yang tidak mudah ditakut-takuti. Saya pengecut? Ya terserah anda saja menilai saya.
Saya hanya menyayangkan, kalau sampai ada suatu kejadian dimana sebuah tulisan yang mengandung kebenaran tapi disampaikan tanpa disertai dengan akurasi data dan bukti, yang kemudian hanya memberikan masalah bagi penulisnya. Kalau seperti itu, 'kan kasihan penulisnya.
Say the truth, only the truth, nothing but the truth.
Semangat terus.
http://zons.wordpress.com/2009/06/03/cara-aman-menyampaikan-opini-di-media-massa/
Seandainya Itu Bukanlah Sebuah Keluhan…
Posted by *hari under 311555, Celoteh, My Life | Tag: Prita Mulyasari |No Comments
Sejak kasus 'keluhan' ibu Prita Mulyasari mencuat, sempat terbersit rasa takut untuk 'mengeluh' tentang sesuatu menyangkut layanan publik di blog saya ini.
Tentu saja karena selama ini saya memang sering ngedumel tentang banyak hal yang tidak menyenangkan yang saya alami sehari-hari di blog saya ini, meskipun biasanya saya jarang menyebutkan nama orang atau instansi tertentu jika saya ngedumel.
Yang saya takutkan, namanya manusia, bisa jadi saya lupa dan tanpa sengaja mencantumkan nama orang atau Instansi tertentu, mungkin bisa berakibat fatal seperti yang dialami ibu Prita itu. Duh serem sekali…
…
Perbedaan antara mengeluh, mengritik atau mencela dan mencemarkan nama baik, mungkin sangat tipis sekali. Terlebih jika yang dikiritik itu adalah orang atau instansi yang memiliki pengaruh (uang atau kekuasaan).
Jika yang dikiritik hanyalah orang-orang kecil, seperti tukang ojek yang ngebut, pedagang kakilima yang jualan sembarangan, supir angkot yang memotong jalan atau mungkin anda mengritik saya , semuanya tak akan terlalu menjadi masalah, meskipun cara mengritiknya sangat kasar (dengan memaki-maki), paling-paling yang terjadi hanyalah adu tegang dan balas memaki, paling parahnya (hanya) berantem.
Dari kasus yang dialami ibu Prita Mulyasari itu, saya jadi terpikir, bagaimana kejadiannya jika yang dilakukan ibu Prita bukanlah mengeluhkan layanan yang buruk melainkan memuji layanan yang sangat memuaskan dari rumah sakit itu, mengirimkan lewat email ke teman dan kenalannya, dan selanjutnya disebarkan orang lewat milis-milis.
Apakah pihak rumah sakit itu akan memberikan 'reward' yang sepadan karena ibu Prita mengharumkan nama baik instansi tersebut dengan misalnya memberikan layanan VIP gratis untuk beliau dan keluarganya jika dirawat di sana? kemudian setelah sembuh dan keluar diberikan uang saku misalnya?
…???…
Yang saya tau dengan pasti, keluhan dan kritik dari konsumen selalu tak pernah menyenangkan, tapi kata orang..
Konsumen adalah Raja…
http://kabarihari.wordpress.com/2009/06/04/seandainya-itu-bukanlah-sebuah-keluhan/
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---
No comments:
Post a Comment