Masalah bid'ah memang masalah dilematis yang dihadapi Islam. Di sini bid'ah hendaknya tidak difahami dalam sekup ritual (ibadah) saja, karena cakupan bid'ah sebenarnya sangat luas, mencakup bidang politik, ekonomi, sosial, kultur, peradaban dan ilmu pengetahuan. Di satu pihak, bid'ah telah mencabik-cabik dan menggerogoti spirit Islam, sehingga dalam banyak hal, agama kita semakin jauh dari spirit aslinya. Di lain pihak, bid'ah telah menjadikan marak dan cantiknya agama kita dan bahkan dalam banyak kasus bid'ah (baca kreatifitas) ini menjadikan Islam mampu menembus rentang waktu dengan fleksibel dan diterima masyarakat. Maka bid'ah oleh sebagian pendapat dibagi menjadi bid'ah hasanah (baik) dan bid'ah dhalalah (sesat). Namun pendapat yang lebih keras tidak mengakui pembagian tersebut dan menyatakan bahwa semua bid'ah sesat.
Kronisnya pembagian dan kriteria bid'ah semacam ini sering dijadikan senjata oleh sebagian kelompok Islam untuk menuduh sesat atau bahkan mengkafirkan kelompok lainnya yang tidak sepaham. Konflik dan pertentangan antar sekte yang saling membidik lawannya dengan senjata bid'ah ini telah begitu banyak membuang potensi dan energi dan bahkan sepirit Islam itu sendiri. Masalah-masalah besar yang mesti diprioritaskan dihadapi dan ditangani umat Islam terbengkelai karena mereka sibuk menghakimi kesesatan dan kekafiran saudaranya seiman.
Dalam menetralisir fenomena perbedaan atau ikhtilaf antar kelompok-kelompok Islam, yang sangat diperlukan adalah sosialisasi "fiqhul ikhtilaf" (fiqih perbedaan). Fiqih perbedaan ini merupakan etika, wawasan, dan solusi untuk menetralisir ketegangan antar kelompok Islam yang mengancam persatuan dan kesatuan umat Islam. Fiqih ini mempunyai bahasan yang cukup luas, namun di sini saya kemukakan beberapa etika ber-ikhtilaf, antara lain: - Memulai dengan "husnuzzan" (prasangka baik) terhadap sesama muslim.
- Menghargai pendapat orang lain sejauh pendapat tersebut mempunyai dalil.
- Tidak memaksakan kehendak bahwa pendapatnyalah yang paling benar, karena pendapat lain juga mempunyai kemungkinan benar yang seimbang.
- Mengakui adanya perbedaan dalam masalah furu'iyah (cabang-cabang ajaran) dan tidak membesar-besarkannya.
- Tidak mengkafirkan orang yang telah mengucapkan "Laailaaha illallah".
- Mengkaji perbedaan secara ilmiyah dengan mengupas dalil-dalilnya.
- Tidak beranggapan bahwa kebenaran hanya satu dalam masalah-masalah furu'iyah (cabang-cabang ajaran), karena ragamnya dalil, di samping kemampuan akal yang berbeda-beda dalam menafsiri dalil-dalil tsb.
- Terbuka dalam menyikapi perbedaan, dengan melihat perbedaan sebagai hal yang positif dalam agama karena memperkaya khazanah dan fleksibillitas agama. Tidak cenderung menyalahkan dan menuduh sesat ajaran yang tidak kita kenal. Justru karena belum kenal, sebaiknya kita pelajari dulu latar belakang dan inti ajarannya.
- Dll.
--- Pada Rab, 19/8/09, andri subandrio <subandrio.andri@gmail.com> menulis:
Dari: andri subandrio <subandrio.andri@gmail.com> Judul: [Milis_Iqra] Re: PENGERTIAN BID'AH DALAM SEGI BAHASA[1] Kepada: milis_iqra@googlegroups.com Tanggal: Rabu, 19 Agustus, 2009, 5:34 AM
Mbak Whe~en, copast cukup jelas dan detail namun tidak pernah akan ketemu dengan mereka yang berbeda pendapat, meski sebenarnya sederhana yakni "kenapa kita harus mengerjakan suatu ibadah yang tidak dicontohkan srta diperintahkan, sedang untuk mencontoh yang ada contoh dan jelas perintahnya saja masih belum dapat dilakukan secara komprehensif?" namun ada saja bagi kalangan yang berbeda pendapat itu untuk berdalih. Makanya ada pendapat yang agak ekstrim bahwa: 1. Pelaku bid'ah akan semakin khusu' dan giat dengan bid'ah yang dilakukan karena merasa yakin bahwa apa yang dilakukan adalah suatu ibadah yang benar dan akan memperoleh pahala yang sangat besar, sehingga tidak mungkin (sangat sulit untuk meninggalkan bid'ah tersebut) 2. Pelaku kejahatan akan berusaha untuk keluar dari lingkaran kejahatan itu karena mereka merasa sadar dan tahu benar bahwa apa yang dilakukannya adalah jahat dan tidak benar. Tapi apa yang saya ungkapkan inipun sebentar lagi akan mengundang polemik dengan panjang untuk berbagai alasan..................kita tunggu saja! Namun apapun itu, ilmu harus disampaikan. 2009/8/19 Whe~en (gmail) <whe.en9999@gmail.com> PENGERTIAN BID'AH DALAM SEGI BAHASA[1]
Oleh : Muhammad bin Husain Al-Jizani
Kata Bada'a dalam bahasa mempunyai dua makna, yaitu :
Pertama Berarti sesuatu yang diciptakan (diadakan) tanpa ada contoh sebelumnya. Makna ini sebagaimana dalam firman Allah.
"Artinya : Katakanlah, "Aku bukanlah rasul pertama diantara para rasul" [Al-Ahqaaf : 10]
Makna ini juga terdapat dalam perkataan Umar Radhiyallahu 'anhu.
"Artinya : Sebaik-baiknya bid'ah" [Dikeluarkan oleh Al-Bukhari 4/250 no.2010]
Juga dalam perkataan para imam lainnya seperti Imam Syafi'i, "Bid'ah itu ada dua, bid'ah yang baik dan bid'ah yang tercela, jika sesuai sunnah, maka itu yang baik, tapi kalau bertentangan dengannya, maka itulah yang tercela" [Dikeluarkan oleh Abu Nuaim dalam Al-Hilyah 9/113]
Ibnu Rajab berkata, "Adapun yang terdapat dalam perkataan ulama salaf yang menganggap baik sebagian bid'ah adalah bid'ah dalam pengertian bahasa. Bukan bid'ah dalam pengertian syari'at. Di antaranya perkataan Umar tatkala memerintahkan kaum muslimin untuk melaksanakan shalat tarawih pada bulan Ramadhan di satu tempat dengan dipimpin seorang imam, maka beliau berkata, "Inilah sebaik-baiknya bid'ah" [Jaamiul Uluum wal Hikam 1/129]
Kedua Berarti lelah dan bosan, dikatakan "Abda'at Al-ibilu" artinya unta bersimpuh di tengah jalan, karena kurus atau (terkena) penyakit atau lelah.
Di antara penggunaan kata bid'ah dalam makna ini adalah perkataan seorang laki-laki yang datang menemui Rasulullah, "Innii ubda'u bii fahmiini" (Sesungguhnya saya kelelahan, tolong berilah saya bekal), maka Rasulullah berkata, 'Saya tidak punya". Maka seorang laki-laki berkata, "Wahai Rasulullah, saya akan tunjukan dia kepada orang yang bisa membantunya". Maka Rasulullah berkata :
"Artinya : Barangsiapa menunjukkan kepada kebaikan, maka dia akan mendapat pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya" [Hadits Riwayat Muslim 13/38-39]
Sebenarnya makna ini tetap kembali kepada makna yang pertama, sebab makna 'unta bersimpuh' adalah rasa lelah yang mulai merasukinya, padahal sebelumnya tidak.
[Disalin dari kitab Qawaa'id Ma'rifat Al-Bida', Penyusun Muhammad bin Husain Al-Jizani, edisi Indonesia Kaidah Memahami Bid'ah, Penerjemah Aman Abd Rahman, Penerbit Pustaka Azzam, Cetakan Juni 2001] _________ Foote Note [1] Lihat An-Nihayah Fii Gharib Al-Hadits wa Al-Atsar 1/106-107, Mukhtar Ash-Shihah 43-44, Al Mishbah Al-Munir 38 dan Al-I'thisham 1/36
Sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/627/slash/0
Whe~en http://wheen.blogsome.com/ "Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku." (QS 20 : 25-28) "Ya Allah jadikan Aku hamba yang selalu bersyukur dan penyabar"
Selalu bisa chat di profil jaringan, blog, atau situs web pribadi! Yahoo! memungkinkan Anda selalu bisa chat melalui Pingbox. Coba --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ -=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=- Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125 Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63 Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com -=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=- -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---
|
No comments:
Post a Comment