From: Armansyah ( GMAIL ) <armansyah.skom@gmail.com>
Date: 2007/4/7
Subject: Hasil Quis Ilmu Bag. 1 ( Sholat Jum'at )
To: Milis_Iqra@googlegroups.com
Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sholat pada hari Jum`at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Tafsir di seputar ayat ini, terjadi perbedaan pandangan pada kata Fas' auu [Bersegeralah],
Ibnu Abbas r.a. berkata, "Haram berjual beli pada waktu itu." Al-Hafizh berkata, "Ibnu Hazm menyebutkan dari jalan Ikrimah, dari Ibnu Abbas dengan lafal, "Tidak baik berjual-beli pada hari Jumat ketika azan sudah dikumandangkan. Apabila shalat Jumat sudah selesai dilaksanakan, maka berjual-belilah." Diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dari jalan lain dari Ibnu Abbas secara marfu'.
Atha' berkata, "Haram melakukan semua aktivitas.
Ibrahim bin Sa'd berkata dari az-Zuhri, "Apabila muadzin telah mengumandangkan azan pada hari Jumat, padahal seseorang sedang bepergian, maka hendaklah ia menghadiri shalat Jumat itu." Al-Hafizh berkata, "Saya tidak mengetahuinya dari riwayat Ibrahim." Kemudian dia mengatakan bahwa mengenai riwayat dari az-Zuhri ini diperselisihkan
Telepas dari perbedaan pandangan itu, namun mempunyai tujuan yang sama dan yang wajib adalah bersegera menuju musholla dimana disetiap daerah Jum'at itu diadakan, dan meninggalkan semua jual-beli atau pun aktivitas. Berdasarkan Firman Allah "maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli",
Dari Saib bin Yazid berkata, "Adalah azan pada hari Jumat, permulaannya adalah apabila imam duduk di atas mimbar, yakni pada masa Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar. Pada masa Utsman dan orang-orang (dalam satu riwayat: penduduk Madinah) sudah banyak, ia menambahkan (dalam satu riwayat memerintahkan) azan yang ketiga.* (dalam satu riwayat: kedua) lalu dilakukanlah azan itu di Zaura'. [Sumber: Ringkasan Shahih Bukhari - M. Nashiruddin Al-Albani - Gema Insani Press no. 488]
0877. Dari Abdul Azis bin Abu Salamah Majisyun dari Zuhri dari Saib bin Yazid bahwasanya yang menambah adzan ketiga pada hari Jum'at ialah Utsman bin 'Affan r.a ketika telah bertambah banyaknya penduduk Madinah. Bagi Nabi saw. Muadzdzin (tukang adzan) itu hanyalah seseorang yang adzan pada hari Jum'at ketika Imam duduk diatas mimbar. (HR: Bukhari).
0879 "Dari Ibnu Syi'bah bahwasanya sa-ib bin Yazid memberitahukan kepadanya bahwa adzan kedua pada hari Jum'at itu diperintahkan oleh Utsman ketika sudah banyak sekali orang-orang yang mendatanginya di masjid. Adzan itu diadakan pada hari Jum'at ketika imam duduk (yakni sebelum berkhutbah)." (HR: Bukhari)
http://hadis.islamdotnet.com/index.php?katakunci=jum%27at&hal=3&
Perbedaan yang dilakukan Ustman karena di masanya umat Islam sudah banyak dan belum ada speaker yang bisa menjangkau seluruh wilayah.
Namun jika konteksnya pada saat sekarang, dimana teknologi sudah berkembang dan adzan bisa menggunakan speaker hal itu dikembalikan lagi seperti semula, yakni 1 kali dan ketika Imam/orang yang khutbah sudah naik mimbar. Dan inilah yang benar sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah, Abu Bakar dan Umar untuk pertama kalinya. Wallahu'alam bis showab.
* = Yaitu, azan yang pertama (sebelum masuk waktu shalat), dan jumlah seluruhnya menjadi tiga bersama iqamah. Ia disebut azan karena untuk memberitahukan. Nabi saw. bersabda, "Di antara tiap-tiap dua azan (yakni azan dan iqamah) terdapat shalat sunnah bagi yang ingin mengerjakannya." Azan tambahan ini dianggap sebagai azan ketiga karena sebagai tambahan belakangan. Disebut sebagai azan kedua bila kita melihat azan yang hakiki. Sedang Zaura adalah suatu tempat tinggi yang merupakan pasar di Madinah.
Tidak ada, yang ada adalah
Dari Ibnu Umar sesungguhnya ia pernah memanjangkan shalat sebelum jum'at dan sesudah Jum'at dua raka'at, lalu ia menerangkan , bahwa Rasulullah pernah menegerjakan demikian [HR Abu Dawud]
Dan Dari Abu Hurairah dari Nabi Muhammad sholallhu 'alaihi wasallam bersabda: Barang siapa mandi Jum'at , kemudian pergi Jum'at lalu shalat sesuai kemampuannya, kemudian diam sampai imam selesai khutbah, kemudian shalat bersamanya, maka ia akan diampuni [dosa-dosanya] antara jum'at itu dan hari Jum'at berikutnya ditambah tiga hari [HR Muslim}
Jadi menurut sunnah dan apa yang bisa dipahami secara wajar adalah,
Tidak ada contohnya pengajian/membaca Al qur'an baik dengan kaset atau live sebelum khatib naik mimbar, yang dicontohkan dan di lakukan Rasulullah adalah SHALAT Sunnah. Namun para ulama berbeda pendapat menngenai penamaan sholat sebelum khotib naik mimbar itu. Ada yang mengatakan sholat sunnah mutlaq dan ada yang mengatakan sholat sunnah intidhar.
Namun yang pasti terlepas dari penamaan itu, jika kita mau sholat- ya sholat saja tanpa harus pusing apakah ini sholat sunnah mutlaq atau intidhar dan dilakukan dari ketika kita sampai dimasjid hingga sebelum khotib naik mimbar dan disesuaikan dengan kemampuan. Mengenai rakaat Nabi tidak menjelaskannya, berarti Hadist tersebut bersifat umum, dan sesuatu yang umum bisa dijadikan dalil selama sesuatu yang khusus tidak di ketemukan.
Dalam kitab Terjemahan Nailul Authar Jilid 2 halaman 927-928 terbitan PT. Bina Ilmu 1993 disebutkan :
Dari nubaisyah al-Hudzali dari Nabi Saw, beliau bersabda : sesungguhnya seorang Muslim apabila telah mandi pada hari Jum'at, kemudian pergi kemasjid dengan tidak mengganggu seseorang, lalu ia belum mengetahui Imam keluar (menuju mimbar) maka ia boleh sholat semampunya, dan jika telah mengetahui Imam telah keluar, maka ia duduk, lalu memperhatikan dan diam sampai imam selesai berjum'at dan khutbah, seandainya dosa-dosanya tidak diampuni pada hari Jum'at itu, diharapkan bisa menjadi kafarat dihari Jum'at berikutnya - Riwayat Ahmad
(HR: Bukhari)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a ia berkata: Rasulullah s.a.w telah bersabda: Apabila engkau berkata kepada temanmu, diamlah! pada hari Jumaat. Padahal imam sedang berkhutbah, maka kamu benar-benar telah melakukan satu perkara yang sia-sia. [Bukhori No. 882, Muslim No. 1404, At tirmidzi No. 470, An Nasai No. 1384, Abu Dawud No. 938, Ibnu Majah No 1100, Al Mutha Imam Malik No. 214, Ad Darimi no 1504.
Sedikit penjelasan mengenai kata /laghwu {sia-sia],
ada penjelasan yang sangat bagus dari Syaikh Al-Albani dalam kitab Al-Ajwibatun-Naafi'ah (1/62). Beliau berkata :
"Dan pendapat yang terkuat dari dua kemungkinan tersebut adalah yang pertama dengan dalil sabda beliau shallallaahu 'alaihi wasallam (shahih) :
"Apabila engkau berkata kepada temanmu di hari Jum'at dan imam sedang berkhutbah : 'Diamlah'; maka engkau telah berbuat sia-sia".
Diriwayatkan oleh Asy-Syaikhaan dan yang lainnya.
Karena sesungguhnya ucapan seseorang : "Diam", secara bahasa tidak termasuk laghwu (sia-sia), karena ia merupakan Al-Amru bil-Ma'ruf wan-Nahyu 'anil-Munkar. Akan tetapi sungguhpun demikian Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam tetap menamakannya sebagai laghwu yang tidak dibenarkan. Hal ini disebut menguatkan sesuatu yang lebih penting, yaitu diam mendengarkan nasihat khathib atas Al-Amru bil-Ma'ruf pada saat khutbah. Maka segala sesuatu yang sederajat dengan Al-Amru bil-Ma'ruf, hukumnya sama dengannya. Maka bagaimana jika ada perkara selain itu (yang lebih ringan kedudukannya) ? Tidak ragu lagi bahwa hal tersebut lebih pantas hukumnya untuk dilarang melakukannya. Tegasnya, ia termasuk katagori al-laghwu (sia-sia) di dalam kacamata syar'i. Adapun ucapan Penulis (yaitu Al-'Allamah Shiddiq Hasan Khan shahibul-kitab : Al-Mau'idhatul-Hasanah; kitab yang sebagiannya diringkas oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Ajwibatun-Naafi'ah – Abu Al-Jauzaa') pada halaman 27 dan yang ada dalam Kitab Ar-Raudlah (halaman 140) : "Mungkin juga dikatakan bahwa orang yang mengatakan : 'diam!' tidak diperintahkan untuk mengucapkannya waktu itu, karena itu ucapannya termasuk laghwu (sia-sia) dari sisi ini."
Saya (Syaikh Al-Albani) berkata : "Demikian pula dzikir-dzikir yang dikatakan Penulis, pada dasarnya hukum itu tidak diperintahkan untuk dilakukan saat itu. Maka, hal itu termasuk laghwu juga. Wallaahu a'lam."
[selesai perkataan Syaikh Al-Albani dalam Al-Ajwibatun-Naafi'ah].
Penjelasan senada juga disampaikan oleh Imam Ash-Shan'ani (Subulus-Salam 2/71), ulama Yaman, dimana beliau berkata :
"Sabda beliau shallallaahu 'alaihi wasallam ['Apabila engkau berkata kepada temanmu : Diamlah; maka engkau telah berbuat sia-sia'] merupakan ta'kid (penguat) larangan berbicara. Apabila hal tersebut dihitung sebagai perkara laghwu padahal perkataan tersebut termasuk Amrun bi Ma'ruf, maka orang yang berbicara tentu lebih berat lagi hukumnya. Atas dasar ini wajib baginya untuk menegurnya dengan isyarat saja sekiranya memungkinkan.
Adapun yang dimaksudkan dengan perintah diam itu; ada yang mengatakan : "dari perkataan manusia", maka diperbolehkan untuk dzikir dan bacaan Al-Qur'an. (Perkataan ini tidak benar). Padahal telah jelas dari larangan tersebut adalah meliputi semuanya (termasuk dzikir dan bacaan Al-Qur'an). Barangsiapa yang membedakannya, hendaklah dia mendatangkan dalil."
[selesai perkataan Ash-Shan'ani]
Abu Al-Jauzaa' berkata : "Pemahaman yang kita dapat dari hadits dan penjelasan ulama di atas adalah orang yang mengikuti khutbah Jum'at wajib memperhatikannya dan dilarang melakukan segala hal yang dapat melalaikannya dari mendengarkan khutbah. Jika dzikir dan pembacaan Al-Qur'an saja masuk dalam larangan tersebut, maka bagaimana pula dengan kasus Keropak Jum'at yang biasa digulirkan pada waktu imam sedang berkhutbah ? Tentu itu lebih rendah daripada dzikir dan pembacaan Al-Qur'an (sehingga larangan lebih keras lagi). Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam telah bersabda :
"Barangsiapa berwudlu, lalu dia membaguskan wudlunya, lalu dia mendatangi (khutbah) Jum'at, lalu mendengarkan dan diam, maka diampuni (dosanya) yang ada antara Jum'at itu dengan Jum'at lainnya ditambah 3 hari. Dan barangsiapa menyentuh kerikil (dengan menggerak-gerakkan/mempermainkannya), maka dia telah berbuat laghaa (sia-sia)" (HR. Muslim 857, Abu Dawud 105, At-Tirmidzi 498, dan Ibnu Majah 1090).
Kalau di katakan boleh mungkin jawabanya relatif, bisa iya bisa tidak, namun bila bagaimana menurut sunnah rasulullah, penjelasannya pada no 10
Sholat yang panjang/lama….berikut nashnya
Dan Dari Ammar bin Yasir, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah sholallhu 'alaihi wasallam bersabda, Sesungguhnya panjangnya shalat seseorang dan pendeknya khutbah itu menunjukan kepandaiannya, karena itu panjangkanlah shalat dan pendekkanlah khutbah. [HR Ahmad dan Muslim]
Dan dari Jabir bin Samurah, ia berkata: Adalah shalatnya Rasulullah itu sedang dan khutbahnya pun sedang. [HR Jama'ah kecuali Bukhari dan Abu Dawud]
Dari Abdullah bin Abi Aufa, ia berkata Adalah rasulullah biasa memanjangkan shalat dan memendekkan khutbah. [HR Nasa'i]
Jadi berdasarkan sunnah ini, menurut saya yang benar adalah menyederhanakan khutbahnya dan memanjangkan sholatnya. Namun jarang sekali kita liahat di Masjid-masjid yang sesuai sunnah ini, yang ada khutbah yang membuat ngantuk, dengan nada suara yang lemah.
Padahal yang dilakukan Rasululah ketika khutbah adalah "Adalah Rasulullah apabila khutbah kedua matanya menjadi merah, suaranya lantang, berapi-api, seolah-olah memberi komando tentara dengan kata-katanya: siapa siagalah diwaktu pagi dan petang" HR Muslim dan Ibnu Majah dari Jabir.
Boleh, selama si anak muda lebih mahir Al qur'an dan faham tentang Al qur'an.
Dari Abu Said, Rasulullah sholallahu 'alaihi wasallam bersabda: Apabila mereka bertiga maka seorang diantara mereka hendaklah meng-imami mereka. Dan yang paling berhak menjadi imam diantara mereka adalah yang lebih tahu tentang Al Qur'an. [HR Muslim, Ahmad an An Nasai]
Dan dari Abu Mas'ud, yaitu Uqbah bin Amr, ia berkata: Rasululla bersabda: Hendaknya orang yang meng-imami suatu kaum adalah yang lebih tahu tentang Al Quran diantara mereka, lalu jika mereka sama dalam bacaannya, maka hendaklah yang lebih tahu Sunnah, lalu jika mereka sama pengetahuanya tentang sunnah, maka hendaklah yang terlebih dahulu hijrahnya, lalu jika mereka sama dengan hijrahnya, maka yang lebih tua umurnya. Dan jangan sekali-sekali sesorang meng-imami orang lain dalam kekuasaaanya dan janganlah ia duduk dirumah tempat kehormatannya, kecuali dengan idzinnya. HR Muslim dan Ahmad]
Artinya : Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Menurut A. Hassan, Allah telah memerintah kita bila telah selesai dari sholat Jum'at agar kita lekas kembali dari masjid guna mencari rezeki dan lain sebagainya, dan disitu Allah tidak berfirman : Bila kamu selesai sholat (Jum'at) maka ulangilah lagi dengan sholat dzuhur.; Karena itu maka kita bisa mengetahui bahwa mengulangi sholat dzhuhur itu jika boleh atau menjadi kewajiban pasti dijelaskan sesudah ayat ini oleh Allah.
Sumber : A. Hassan dalam buku Soal-Djawab tentang berbagai masalah Agama jilid 2 hal. 473-474 terbitan C.V. Diponegoro Bandung 1969 Bab : Jum'at mestikah di-iringi dzuhur.
--
Salamun 'ala manittaba al Huda
ARMANSYAH
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---
No comments:
Post a Comment