Semoga kita semua dapat mengambil manfaaat dari penjelasan ini
2009/10/12 Arman <armansyah.skom@gmail.com>
Ridha berasal dari kata radhiya-yardha yang berarti menerima suatu
perkara dengan lapang dada tanpa merasa kecewa ataupun tertekan.
Sedangkan menurut istilah, ridha berkaitan dengan perkara keimanan
yang terbagi menjadi dua macam. Yaitu, ridha Allah kepada hamba-Nya
dan ridha hamba kepada Allah (Al-Mausu'ah Al-Islamiyyah Al-'Ammah:
698). Ini sebagaimana diisyaratkan Allah dalam firman-Nya, ''Allah
ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.'' (QS 98: 8).
=> Saya copy paste saja dari http://www.dudung.net/artikel-islami/antara-ridha-dan-pasrah.html
Ikhlas :
Saya rujuk dari Pusat Studi Al-Qur'an :
http://www.psq.or.id/ensiklopedia_detail.asp?mnid=34&id=40
Kata akhlasha adalah bentuk kata kerja lampau transitif yang diambil
dari kata kerja intransitif khalasha (خَلصَ) dengan menambahkan satu
huruf 'alif (أ). Bentuk mudhâri' (sekarang) dari akhlasha (اَخْلَصَ)
adalah yukhlishu (يُخْلِصُ) dan bentuk mashdarnya yaitu ikhlash
(إِخْلاص). Kata tersebut tersusun dari huruf kha', lam dan shad yang
berarti, "murni", "bersih", "jernih", "tanpa campuran". Maknanya
kemudian berkembang menjadi antara lain "tulus" karena perbuatannya
murni dari pengaruh yang lain, "memilih" karena mengambil sesuatu yang
tidak bercampur dengan hal yang tidak dikehendaki, "bebas" karena
terlepas dari campur tangan atau pengaruh pihak lain, "menyendiri"
karena melepaskan diri dari orang banyak, "ikhlas" karena memurnikan
perbuatan hanya untuk Allah dan terlepas dari tujuan-tujuan lain,
"khusus" karena murni kepada yang ditujukan.
Kata ikhlash (bentuk mashdar akhlasha) mempunyai beberapa pengertian.
Menurut al-Qurtubi, ikhlash pada dasarnya berarti "memurnikan
perbuatan dari pengaruh-pengaruh makhluk". Ar-Ruwaim mendefinisikannya
dengan "tidak ada keinginan dari pelakunya terhadap imbalan dan pahala
di dunia dan akhirat'. Al-Junaid mengartikannya sebagai "rahasia di
antara hamba dan Allah, tidak diketahui oleh para malaikat lalu
mencatatnya, setan juga tidak mengetahuinya sehingga tidak dapat
merusaknya, dan hawa nafsu pun tidak mengenalinya lalu condong
kepadanya". Sejalan dengan Al-Juwaini, Abu Al-Qasim Al-Qusyairi
mengemukakan arti ikhlas dengan menampilkan sebuah riwayat dari Nabi
Saw, "Aku pernah bertanya kepada Jibril tentang ikhlas. Lalu Jibril
berkata, "Aku telah menanyakan hal itu kepada Allah," lalu Allah
berfirman, "(Ikhlas) adalah salah satu dari rahasiaku yang Aku berikan
ke dalam hati orang-orang yang kucintai dari kalangan hamba-hamba-Ku."
Pengertian yang demikian dapat dijumpai di dalam S. Al-Insan [76]: 9,
"Sesungguhnya kami memberi makan kepadamu hanya untuk mengharapkan
keridhaan Allah, kami tidak mengharapkan balasan dari kamu dan tidak
pula ucapan terima kasih."
Akhlasha dan pecahannya di dalam al-Quran terulang 31 kali dan
akhlasha sendiri terulang dua kali dengan pelaku yang berbeda. Bentuk
lain yang terdapat di dalam al-Quran adalah bentuk ism fa'il dari
akhlasha, yaitu mukhlish/mukhlishûn/mukhlishîn (مَخْلِص/مُخْلِصُوْن/
مخُْلِصِين = orang-orang yang ikhlas), terulang 20 kali. Sebagian dari
kata tersebut, ada ulama yang membacanya sebagai bentuk ism maf'ul
sehingga menjadi mukhlash/mukhlashîn/mukhlashûn (مخُْلَصُون/مَخْلَصِين/
مُخْلَص = orang-orang yang terpilih); bentuk kata kerja intransitif,
khalasha (خَلصَ = menyendiri) sekali; bentuk ism fa'il, khâlish/
khâlishah (خالِصَة/خالِص = yang murni, yang khusus) tujuh kali; dan
bentuk kata kerja sekarang (mudhâri'), astakhlishu (أسْتَخْلصْ = aku
memilih) sekali.
Kata akhlasha yang terdapat di dalam S. An-Nisâ' [4]: 146 diartikan
dengan "memurnikan", yaitu memurnikan ibadah dan ketaatan kepada Allah
dari ria dan syirik. Ayat ini berkaitan dengan orang-orang yang tidak
termasuk munafik yang akan disiksa kelak di dalam neraka yang paling
rendah, yaitu orang-orang yang bertobat, dan berpegang teguh pada
agama Allah dan memurnikan ibadahnya hanya kepada Allah. Akhlasha di
dalam S. Shad (38): 46, diartikan dengan mensucikan atau menjadikan
tulus. Ata' dan Malik bin Dinar mengartikannya dengan 'mensucikan',
yaitu Allah mensucikan hati mereka (Ibrahim, Ishaq, dan Ya'qub a.s.)
dari mencintai dunia. Adapun Mujahid mengartikannya dengan 'menjadikan
mereka tulus melakukan perbuatan untuk dan mengingatkan manusia
tentang kehidupan akhirat.'
Orang yang melakukan perbuatan 'ikhlas' disebut mukhlish (مُخْلِص).
Di dalam Alquran kata مُخْلِص dan jamaknya مُخْلِصِين/مُخْلِصُون, ada
yang dapat dibaca dengan dua cara, yaitu mukhlish atau mukhlishun/
mukhlishin (bentuk ism fa'il) atau mukhlash atau mukhlashun/mukhlashin
(bentuk ism maf'ul), seperti yang terdapat di dalam S. Maryam (19):
51, Yusuf (12): 24, Ash-Shaffat (37): 40, 74, 128, 160, dan 169, serta
Shad (38): 83. Bila dibaca mukhlish maka maknanya adalah 'orang yang
tulus atau ikhlas kepada Allah', tetapi jika dibaca mukhlash maka
maknanya adalah 'orang pilihan (Allah).' Kedua makna tersebut dapat
digunakan untuk menerangkan orang yang disebut di dalam ayat yang
dimaksud. Kata tersebut digunakan berkaitan dengan Nabi Musa a.s. (S.
Maryam [19]: 51); Nabi Yusuf a.s. (S. Yusuf [12]: 24); orang-orang
yang akan mendapatkan kenikmatan di surga (S. Ash-Shaffat [37]: 40);
orang yang tidak termasuk golongan yang sesat yang akan di azab di
akhirat; padahal, telah datang kepada mereka pemberi peringatan (S.
Ash-Shaffat [37]: 74); Nabi Ilyas a.s. dan umatnya yang tidak termasuk
penyembah Ba'l dan akan masuk neraka (S. Ash-Shaffat [37]: 128); jin
yang tidak termasuk penghuni neraka (S. Ash-Shaffat [37]: 160); orang
musyrikin yang seandainya mendapat kitab dari Allah tentulah mereka
akan termasuk orang yang ikhlas (S. Ash-Shaffat [37]: 169); dan orang
yang akan selamat dari godaan iblis yang telah bersumpah kepada Allah
akan menggoda segenap anak Adam (S. Shad [38]: 83).
Di samping itu, ada yang hanya dibaca dengan mukhlish dan jamaknya
mukhlishin/ mukhlishun. Bacaan yang demikian selalu dikaitkan dengan
kata ad-din (الدِّيْن) kecuali pada S. Al-Baqarah (2): 39. Kata ad-
din, menurut para ahli tafsir, berarti 'ibadah' atau 'ketaatan kepada
Allah'. Hal ini berarti bahwa penggunaan kata mukhlish (مُخْلِصْ )
selalu diartikan dengan 'orang yang melakukan perbuatan (ibadah atau
ketaatan) yang tulus kepada Allah dan terlepas dari pengaruh makhluk
yang terwujud di dalam ria dan syirik'. Penggunaan kata yang demikian
berkaitan dengan perintah menyembah kepada Allah dengan penuh
keihlasan (S. Az-Zumar [39]: 2, 11, dan 14, Al-A'raf [7]: 29, serta
Al-Mu'min [40]: 14 dan 65); tabiat manusia yang jika dalam kesulitan
pasti akan memohon dengan sejernih hati (ikhlas) hanya kepada-Nya (S.
Yunus [10]: 22, Al-'Ankabut [29]: 65, Luqman [31]: 32); Ahli Kitab
yang diperintah hanya menyembah dengan ikhlas kepada Allah, tetapi
mereka mengkhianatinya (S. Al-Bayyinah [98]: 5); dan pertentangan
orang beriman dengan orang Nasrani dan Yahudi, sedangkan orang beriman
adalah yang lebih tulus menyembah kepada Allah (S. Al-Baqarah [2]:
139). (Zubair Ahmad).
On Oct 12, 2:07 pm, andri subandrio <subandrio.an...@gmail.com> wrote:
> Mas Armansyah, mohon sedikit pencerahan apa beda antara ridho dan ikhlas,
> tapi mohon rujukannya yah
>
No comments:
Post a Comment