Monday, 19 October 2009 13:59
Pelajaran sejarah yang benar harus dipaparkan dengan benar kepada anak didik
kita sehingga mereka bisa mengambil hikmah meneladani pahlawan Islam. Baca
CAP Adian ke-272
Oleh: Dr. Adian Husaini
Hidayatullah.com--Pada jurnal Islamia-Republika, edisi 15 Oktober 2009,
dimuat sebuah artikel menarik berjudul € '´Diponegoro Pangeran Santri Penegak
Syariat€ '´. Artikel itu ditulis oleh Ir. Arif Wibowo, mahasiswa Magister
Pemikiran Islam-Universitas Muhammadiyah Surakarta. Artikel itu membuka
kembali wacana penting dalam penulisan sejarah Islam di Indonesia bahwa
Pangeran Diponegoro bukanlah pahlawan nasional yang berjuang melawan Belanda
semata-mata karena urusan tanah atau tahta. Tapi, Pangeran Diponegoro adalah
pahlawan Islam, bangsawan Jawa yang mendalami serius agama Islam, dan
kemudian melawan penjajah Belanda dengan semangat jihad fi sabilillah.
Diponegoro adalah sosok pahlawan yang berani meninggalkan tahta dan
kenikmatan duniawi demi mewujudkan sebuah cita-cita luhur, tegaknya Islam di
Tanah Jawa.
Berikut ini kita sajikan secara utuh tulisan yang menarik tentang Diponegoro
tersebut.
Pangeran Diponegoro lahir pada 1785. Ia putra tertua dari Sultan
Hamengkubuwono III (1811 € '¶ 1814). Ibunya, Raden Ayu Mangkarawati, keturunan
Kyai Agung Prampelan, ulama yang sangat disegani di masa Panembahan Senapati
mendirikan kerajaan Mataram. Bila ditarik lebih jauh lagi, silsilahnya
sampai pada Sunan Ampel Denta, seorang wali Sanga dari Jawa Timur. Dalam
bukunya, Dakwah Dinasti Mataram, Dalam Perang Dipnegoro, Kyai Mojo dan
Perang Sabil Sentot Ali Basah, Heru Basuki menyebutkan, bahwa saat masih
kanak-kanak, Diponegoro diramal oleh buyutnya, Sultan Hamengkubuwono I,
bahwa ia akan menjadi pahlawan besar yang merusak orang kafir. Heru Basuki
mengutip cerita itu dari Louw, P.J.F € '¶ S Hage € '¶ M nijhoff, Eerstee Deel
Tweede deel 1897, Derde deel 1904, De Java Oorlog Van 1825 € '¶ 1830 door, hal.
89.
Suasana kraton yang penuh intrik dan kemerosotan moral akibat pengaruh
Belanda, tidak kondusif untuk pendidikan dan akhlak Diponegoro kecil yang
bernama Pangeran Ontowiryo. Karena itu, sang Ibu mengirimnya ke Tegalrejo
untuk diasuh neneknya, Ratu Ageng di lingkungan pesantren. Sejak kecil,
Ontowiryo terbiasa bergaul dengan para petani di sekitarnya, menanam dan
menuai padi. Selain itu ia juga kerap berkumpul dengan para santri di
pesantren Tegalrejo, menyamar sebagai orang biasa dengan berpakaian wulung.
Bupati Cakranegara yang menulis Babad Purworejo bersama Pangeran Diponegoro
pernah belajar kepada Kyai Taftayani, salah seorang keturunan dari keluarga
asal Sumatera Barat, yang bermukim di dekat Tegalrejo. Menurut laporan
Residen Belanda pada tahun 1805, Taftayani mampu memberikan pengajaran dalam
bahasa Jawa dan pernah mengirimkan anak-anaknya ke Surakarta, pusat
pendidikan agama pada waktu itu. Di Surakarta, Taftayani menerjemahkan kitab
fiqih Sirat AlMustaqim karya Nuruddin Ar Raniri ke dalam bahasa Jawa. Ini
mengindikasikan, Diponegoro belajar Islam dengan serius. (Dr. Kareel A.
Steenbrink, 1984, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19,
Penerbit Bulan Bintang Jakarta hal. 29).
Dalam Babad Cakranegara disebutkan, adalah Diponegoro sendiri yang menolak
gelar putra mahkota dan merelakan untuk adiknya R.M Ambyah. Latar
belakangnya, untuk menjadi Raja yang mengangkat adalah orang Belanda.
Diponegoro tidak ingin dimasukkan kepada golongan orang-orang murtad. Ini
merupakan hasil tafakkurnya di Parangkusuma. Dikutip dalam buku Dakwah
Dinasti Mataram: € '³Rakhmanudin dan kau Akhmad, jadilah saksi saya,
kalau-kalau saya lupa, ingatkan padaku, bahwa saya bertekad tak mau
dijadikan pangeran mahkota, walaupun seterusnya akan diangkat jadi raja,
seperti ayah atau nenenda. Saya sendiri tidak ingin. Saya bertaubat kepada
Tuhan Yang Maha Besar, berapa lamanya hidup di dunia, tak urung menanggung
dosa (Babad Diponegoro, jilid 1 hal. 39-40).
Perang besar
Dalam bukunya, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19, Kareel
A. Steenbrink, mencatat, sebagian besar sejarawan menyepakati bahwa perang
Diponegoro lebih bersifat perang anti-kolonial. Beberapa sebab itu antara
lain: 1. Wilayah kraton yang menyempit akibat diambil alih Belanda, 2.
Pemberian kesempatan kepada orang Tionghoa untuk menarik pajak, 3.
Kekurangadilan di masyarakat Jawa, 4. Aneka intrik di istana, 5. Praktek
sewa perkebunan secara besar-besaran kepada orang Belanda, yang menyebabkan
pengaruh Belanda makin membesar, 6. Kerja paksa bukan hanya untuk
kepentingan orang Yogyakarta saja, tetapi juga untuk kepentingan Belanda.
Namun menurut Louw, sebab-sebab sosial ekonomis tadi dilandasi oleh alasan
yang lebih filosofis, yaitu jihad fi sabilillah. Hal ini diakui oleh Louw
dalam De Java Oorlog Van 1825-1830, seperti dikutip Heru Basuki: € '³Tujuan
utama dari pemberontakan tetap tak berubah, pembebasan negeri Yogyakarta
dari kekuasaan Barat dan pembersihan agama daripada noda-noda yang
disebabkan oleh pengaruh orang-orang Barat.€ '´
Hal ini tampak dari ucapan Pangeran Diponegoro kepada Jendral De Kock pada
saat penangkapannya. € '³Namaningsun Kangjeng Sultan Ngabdulkamid. Wong Islam
kang padha mukir arsa ingsun tata. Jumeneng ingsun Ratu Islam Tanah Jawi€ '´
(Nama saya adalah Kanjeng Sultan Ngabdulkhamid, yang bertugas untuk menata
orang Islam yang tidak setia, sebab saya adalah Ratu Islam Tanah Jawa).
(Lihat, P. Swantoro, Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu,
(2002)).
Kareel A Steenbrink menyebutkan, pemikiran dan kiprah Pangeran Diponegoro
menarik para ulama, santri dan para penghulu merapat pada barisan
perjuangannya. Peter Carey dalam ceramahnya berjudul Kaum Santri dan Perang
Jawa pada rombongan dosen IAIN pada tanggal 10 April 1979 di Universitas
Oxford Inggris menyatakan keheranannya karena cukup banyak kyai dan santri
yang menolong Diponegoro. Dalam naskah Jawa dan Belanda, Carey menemukan 108
kyai, 31 haji, 15 Syeikh, 12 penghulu Yogyakarta, dan 4 kyai guru yang turut
berperang bersama Diponegoro.
Bagi sebagian kalangan, ini cukup mengherankan. Sebab, pasca pembunuhan
massal ulama dan santri oleh Sunan Amangkurat I tahun 1647, hubungan santri
dengan kraton digambarkan sangat tidak harmonis. Namun Pangeran Diponegoro
yang merupakan keturunan bangsawan dan ulama sekaligus, berhasil menyatukan
kembali dua kubu tersebut.
Paduan motivasi agama dan sosial ekonomi ini menyebabkan Perang Diponegoro
menjadi perang yang sangat menyita keuangan pemerintah kolonial, bahkan
hampir membangkrutkan negeri Belanda. Korban perang Diponegoro: orang Eropa
8.000 jiwa, orang pribumi yang di pihak Belanda 7.000 jiwa. Biaya perang 20
juta gulden. Total orang Jawa yang meninggal, baik rakyat jelata maupun
pengikut Diponegoro 200.000 orang. Padahal total penduduk Hindia Belanda
waktu itu baru tujuh juta orang, separuh penduduk Yogyakarta terbunuh.
Data ini menunjukkan, dahsyatnya Perang Diponegoro dan besarnya dukungan
rakyat terhadapnya. Oleh bangsa Indonesia, Pangeran Diponegoro yang dikenal
dengan sorban dan jubahnya, kemudian diakui sebagai salah satu Pahlawan
Nasional, yang sangat besar jasanya bagi bangsa Indonesia. Louw dalam De
Java Oorlog Van 1825 € '¶ 1830, menulis: € '³Sebagai seorang yang
berjiwa Islam,
ia sangat rajin dan taqwa sekali hingga mendekati keterlaluan.€ '´
Demikianlah artikel penting yang ditulis Saudara Arif Wibowo tentang
Pangeran Diponegoro. Informasi tentang Diponegoro tersebut perlu diajarkan
di sekolah-sekolah kita, khususnya sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan
Islam. Saya masih menemukan banyak sekolah Islam yang masih mengajarkan
cerita tentang Diponegoro yang keliru dan tidak menggambarkan Diponegoro
sebagai seorang pahlawan Islam. Seolah-olah Diponegoro berjuang melawan
Belanda hanya karena urusan duniawi.
Kita berharap, pengelola lembaga pendidikan Islam, juga para orang tua
bersedia meneliti buku-buku pelajaran anak-anaknya, agar tidak menyimpang
dari ajaran Islam dan fakta yang sebenarnya.
Cobalah bertanya kepada anak-anak kita, apakah mereka memahami bahwa Islam
masuk ke Indonesia adalah dibawa oleh para pedagang dari Gujarat India.
Padahal, teori buatan Snouck Hurgronje itu sudah lama dijawab oleh para
ulama dan sejarawan Muslim. Para pendakwah Islam di wilayah Nusantara ini
bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka adalah para pendakwah yang datang
dari negeri Arab yang serius mendakwahkan Islam; bukan sekedar pekerjaan
sambilan dari pekerjaan utama, yaitu berdagang.
Dalam berbagai kesempatan bertemu dengan lembaga-lembaga pendidikan, saya
mengajak para pimpinan dan guru-gurunya, agar serius memperhatikan pelajaran
sekolah anak-anaknya. Suatu ketika anak saya menyodori sebuah soal pelajaran
Bahasa Indonesia untuk kelas VI Sekolah Dasar dari suatu sekolah Islam
terkenal. Salah satu soalnya menceritakan bahwa ada seorang anak yang
rumahnya jauh dari rumah. Setelah pulang sekolah ia harus membantu ibunya
berjualan sampai Magrib. Usai shalat Magrib, dia masih harus mengaji,
sehingga esoknya di sekolah dia kecapekan dan mengantuk.
Soal semacam ini seyogyanya tidak diberikan kepada anak didik, apalagi di
sekolah Islam. Mestinya diajarkan bahwa meskipun anak tersebut rumahnya
jauh, harus membantu orang tuanya berjualan, dan juga harus mengaji, tetapi
si anak tetap dapat meraih prestasi dengan baik di sekolahnya. Faktanya,
tidak sedikit anak-anak berprestasi di sekolahnya justru anak-anak yang suka
belajar dan bekerja keras, meskipun berada dalam kondisi kehidupan yang
tidak mudah.
Itulah pentingnya lembaga-lembaga pendidikan Islam melakukan perbaikan
terhadap guru-guru dan kurikulum serta buku-buku pelajarannya. Kita
berharap, dari sekolah-sekolah itulah akan lahir anak didik yang beradab.
Yakni, anak didik yang mampu memandang dan meletakkan segala sesuatu pada
tempatnya sesuai derajat yang ditentukan Allah SWT.
Seorang Pangeran Diponegoro harus diletakkan secara terhormat sebagai
pahlawan pejuang agama Allah. Era reformasi dan keterbukaan harusnya mampu
dimanfaatkan sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan Islam untuk merevisi,
dan kalau perlu merombak, buku-buku pelajaran yang selama ini diajarkan
kepada anak didik mereka.
Pelajaran sejarah sangat penting diberikan dengan mengungkap fakta dan
perspektif yang benar untuk membentuk persepsi dan sikap hidup. Ketekunan,
keikhlasan, kezuhudan, dan semangat jihad Pangeran Diponegoro seharusnya
dipaparkan dengan benar kepada anak didik sehingga mereka tergerak untuk
mengambil hikmah dan meneladani sang pahlawan Islam tersebut. [Jakarta, 17
Oktober 2009/www.hidayatullah.com]
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---
No comments:
Post a Comment