---------- Forwarded message ----------
From: Abu Abdillah <abdullah_abu@hotmail.com>
To: assunnah assunnah <assunnah@yahoogroups.com>
PENYIMPANGAN SEPUTAR SHALAT 'ID (*)
Oleh
Redaksi Majalah As-Sunnah
http://www.almanhaj.or.id/content/2582/slash/0
Perhelatan melelahkan dalam menyongsong datangnya hari raya terjadi
dimana-mana. Sebagian kaum muslimin larut dengan kesibukan yang banyak
menyita waktu, tenaga dan biaya. Tak segan-segan, uangpun dikeluarkan
tanpa rasa berat. Yang penting -menurut mereka- hari raya dapat dilalui
dengan lebih berarti.
Kebiasaan seperti ini, pada setiap tahun bisa kita saksikan, hampir
selalu mewarnai saat menjelang hari raya. Seakan kesibukan tersebut
merupakan keharusan yang tidak dapat ditinggalkan oleh sebagian umat
Muhammad n . Akan tetapi, disini lain, pada saat menjelang hari raya,
banyak hal lebih penting yang dilalaikan.
Merebaknya kemungkaran banyak diremehkan oleh sebagian umat ini telah
mengharu biru hari mulia ini. Beberapa kemungkaran itu, ada yang sudah
sering terjadi di luar hari raya, dan bertambah parah ketika hari raya
tiba. Misalnya, seperti menghias diri dengan mencukur jenggot,
bersalam-salaman dengan wanita yang bukan mahramnya, tabarruj (pamer
kecantikan), menyerupai orang kafir dalam berpakaian dan menikmati
musik, mengkhususkan waktu untuk ziarah kubur, serta membagikan makanan
dan permen, duduk-duduk di atas kuburan, menghamburkan harta yang tidak
ada faidahnya, dan masih banyak lagi yang lainnya. Semua ini menodai
hari raya yang mulia ini.
Namun, dalam pembahasan kali ini, kami tidak akan mengupas persoalan
tersebut di atas. Akan tetapi, kami akan fokuskan pada beberapa
kesalahan dalam pelaksaan shalat 'Id. Mudah-mudahan hal ini bisa
menggugah kesadaran kita untuk lebih berhati-hati. Mendorong kita agar
lebih bersemangat mendatangi majelis-majelis ilmu, bertanya kepada
'alim, serta membaca kitab-kitab para ulama, sehingga bisa terhindar
dan tidak terjebak dalam kebiasaan-kebiasaan yang salah. Apalagi
kesalahan itu seakan sudah membudaya.
Diantara kesalahan-kesalahan yang sering terjadi dalam pelaksanaan shalat 'Id, ialah sebagai berikut:
A. SEBAGIAN ORANG MEREMEHKAN SHALAT 'ID DAN MENGANGGAPNYA SUNAT, SERTA TIDAK MENUNAIKANNYA DI LAPANGAN
Imam Asy Syaukani mengatakan; "Ketahuilah, Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam selalu mengerjakan shalat ini pada dua hari raya ('Idul Fithri
dan Adh-ha). Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah
meninggalkannya, meskipun hanya sekali. Beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam memerintahkan kepada kaum muslimin untuk keluar shalat,
sampai-sampai memerintahkan kepada para wanita, baik budak, wanita
pingitan dan wanita yang sedang haid agar keluar. Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam memerintahkan kepada yang haid agar menjauhi tempat
shalat, menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslim. Sampai-sampai
diperintahkan kepada wanita yang memiliki jilbab, agar meminjami
saudaranya yang tidak memiliki jilbab. Semua ini menunjukkan, bahwa
shalat 'Id wajib bagi setiap orang (fardhu 'ain, Red), bukan fardlu
kifayah". [As Sailur Jarar, 1/315].
Aku (Syaikh Masyhur Hasan Salman) mengatakan: "(Dalam penjelasan di
atas, Red), Imam Asy Syaukani mengisyaratkan kepada hadits Ummu Athiyah
Radhiyallahu 'anha yang mengatakan:
"Rasulullah memerintahkan kepada kami untuk mengeluarkan para wanita
pada 'Idul Fithri dan 'Idul Adh-ha, yaitu para budak, wanita yang
sedang haid serta wanita pingitan. Adapun wanita yang sedang haid
keluar dari shalat. (dalam riwayat yang lain dari lapangan) dan
menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Aku (Ummu Athiyah)
mengatakan: "Wahai, Rasulullah. Salah seorang diantara kami tidak
memiliki jilbab". Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,"Hendaklah saudaranya memakaikan jilbabnya kepada saudaranya
yang tidak memiliki jilbab."[1]
Perintah Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam agar keluar, berarti
perintah untuk shalat bagi yang tidak memiliki udzur. Ini berdasarkan
maksud dari pembicaraan. Karena keluar ke mushalla (lapangan) merupakan
washilah (sarana) untuk shalat. (Jika) wasilahnya wajib, maka akan
menyebabkan tujuan dari washilah itu juga menjadi wajib. Dan kaum pria
lebih wajib daripada wanita. (Lihat Al Mau'izhah Al Hasanah, 43).
Diantara dalil yang menunjukkan wajibnya shalat dua hari raya, bahwa
shalat 'Id bisa menggugurkan (bisa mengganti, Red) shalat Jum'at
apabila bertepatan pada hari yang sama. Terdapat riwayat yang sah dari
Rasulullah, bahwa Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda ketika
hari raya bertepatan dengan hari Jum'at.
"Pada hari kalian ini, terkumpul dua hari raya. Barangsiapa yang ingin
(tidak shalat Jum'at), maka ia telah mencukupinya dari shalat Jum'at.
Dan kita mengumpulkan shalat hari raya dan Jum'at, dan kami akan tetap
shalat Jum'at."[2]
Sudah kita ketahui, sesuatu yang hukumnya tidak wajib, tidak akan bisa
menggugurkan sesuatu yang wajib. Terdapat riwayat yang sah, sejak
shalat 'Id disyari'atkan, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam selalu
mengerjakan shalat 'Id secara berjama'ah hingga sampai wafatnya.
Perbuatan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang selalu mengerjakan
shalat 'Id digabungkan dengan perintahnya kepada manusia untuk keluar
shalat 'Id. Lihat Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah (24/212, 23/161) serta Ar
Raudah An Nadiyah (1/142), Nailul Authar (3/282-283) dan Tamamul
Minnah, 344. Dan wajibnya shalat 'Id, merupakan pilihan dari Syaikh
Islam Ibnu Taimiyah. Beliau mengatakan: "Kami menganggap rajih
(menguatkan) pendapat yang menyatakan shalat 'Id itu hukumnya wajib
bagi setiap orang, sebagaimana ucapan Abu Hanifah dan lainnya. Begitu
juga salah satu pendapat Imam Asy Syafi'i, dan salah satu diantara dua
pendapat dalam madzhab Imam Ahmad.
Adapun ucapan yang mengatakan, "Shalat 'Id tidak wajib", merupakan
ucapan yang sangat jauh dari kebenaran. Sesungguhnya shalat 'Id
merupakan syi'ar Islam yang sangat besar, dan manusia yang berkumpul
untuk melakukan shalat 'Id lebih besar daripada shalat Jum'at. Pada
hari ini, disyari'atkan takbir. Dan pendapat orang yang mengatakan
"Shalat 'Id fardhu kifayah", perkataan ini tidak memiliki dasar yang
kuat. (Majmu' Fatawa, 23/161).
Disini, sejenak kita merenungi perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam dalam hadits Ummu Athiyah terdahulu. Di dalamnya terdapat
perintah bagi para wanita yang sedang haid dan para wanita budak untuk
menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Dari hadits ini dapat
diambil dua hukum fiqih:
1). Disyari'atkan kepada para wanita untuk keluar menghadiri shalat 'Id.
Kami menganjurkan kepada para wanita untuk menghadiri jama'ah kaum
muslimin, sebagai realisasi perintah Rasulullah n . Tidak lupa kami
ingatkan mereka, dan juga para penanggungjawab mereka mengenai
kewajiban mengenakan hijab syar'i. Terkadang sebagian orang merasa
heran terhadap syari'at keluarnya wanita ke lapangan untuk shalat 'Id.
Ketahuilah, inilah kebenaran yang tidak ada keraguan di dalamnya.
Karena, banyak hadits menerangkan hal ini. Disini, kami cukupkan dengan
hadits Ummu Athiyah di atas. Hadits ini bukan hanya sebagai dalil
disyari'atkannya shalat saja. Bahkan lebih dari itu, yaitu menandakan
wajibnya shalat atas para wanita, karena perintah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan hukum asal dalam perintah adalah
wajib. Ini dikuatkan dengan riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Abu Bakar
Radhiyallahu 'anhu.
"Benar, bagi setiap orang yang memiliki sayak (rok), keluar untuk shalat 'Id"[3]
2). Shalat dua hari raya tempatnya di lapangan, bukan masjid -meskipun boleh di masjid.
Dari sisi lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam amat
menganjurkan kepada para wanita haidh agar menghadiri shalat 'Id,
sementara masjid tidak layak diisi para wanita haid. Apabila masjid
tidak boleh mereka kunjungi ketika haid, maka hanya lapangan yang boleh
mereka hadiri. Hal ini dijelaskan dalam banyak hadits, seperti dari Abu
Said Al Khudri Radhiyalahu 'anhu, dia berkata:
"Dahulu, Rasulullah n keluar ke mushalla (lapangan) pada hari raya
'Idul Fithri dan Adh-ha. Dan hal pertama kali yang Beliau n kerjakan
adalah shalat (ied)".[4]
Ibnu Al Hajj Al Maliki mengatakan: "Sunnah yang telah berjalan dalam
masalah dua shalat ied ini, ialah dikerjakan di lapangan. Karena, Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Shalat di masjidku ini lebih utama seribu kali dari pada shalat di masjid selainnya, kecuali Masjidil Haram" [5]
Meskipun shalat di Masjid Nabawi sangat besar keutamaannya, namun
Beliau n (tetap) keluar menuju lapangan dan meninggalkan masjidnya. (Al
Madkhal, 2/283). Perbuatan berdasarkan sunnah ini berjalan terus pada
masa-masa awal, terkecuali terpaksa, seperti turun hujan dan yang
semisalnya. Demikian pendapat empat imam madzhab (Hanafi, Malik,
Syafi'i dan Ahmad) serta yang lainnya.
Juga, sunnah ini (shalat di lapangan) memiliki hikmah yang besar. Yakni
kaum muslimin memiliki dua hari (istimewa) dalam setahun. Pada hari
ini, penduduk semua negeri (suatu daerah) berkumpul, baik pria, wanita
maupun anak-anak. Mereka menghadap kepada Allah dengan sepenuh hati.
Mereka terhimpun dengan satu kalimat, shalat di belakang satu imam,
bertakbir, bertahlil dan berdo'a kepada Allah Azza wa Jalla dengan
penuh ikhlas. Seakan mereka sehati. Mereka bersuka ria, bergembira
dengan nikmat Allah Azza wa Jalla kepada mereka. Sehingga hari raya
merupakan hari bahagia.
Semoga kaum muslimin memberikan tanggapan positif untuk meniti sunnah
nabi mereka, menghidupkan syi'ar agama yang menjadi syarat kemuliaan
(kewibawaan) dan keberuntungan mereka.
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul
apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada
kamu" [QS Al Anfal:24]
B. TIDAK MENGERASKAN TAKBIR KETIKA MENUJU LAPANGAN
Dari Az Zuhri rahimahullah, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam biasa keluar pada hari raya dan bertakbir hingga sampai ke
lapangan, dan hingga selesai shalat. Apabila telah selesai, Beliau n
menghentikan takbir.[6]
Dalam hadits ini terdapat dalil disyari'atkannya perbuatan yang
dilakukan oleh sebagian kaum muslimin, yaitu takbir dengan keras ketika
berjalan menuju lapangan. Kebanyakan umat mulai meremehkam sunnah ini,
hingga sekarang ini seakan sudah menjadi cerita masa lampau (dan hampir
tidak bisa ditemukan lagi-red). Ini disebabkan karena lemahnya agama
mereka, serta malu untuk mengaku dan menampakkan sunnah ini.
Ironisnya, diantara mereka ada yang bertugas memberi bimbingan serta
mengajarkan kepada manusia. (Namun) seakan bimbingannya dalam pandangan
mereka terbatas pada transfer ilmu guru kepada manusia. Adapun sesuatu
yang sangat dibutuhkan untuk diketahui, ini tidak mendapatkan perhatian
mereka. Bahkan mereka menganggap pembahasan serta pemberian peringatan
dalam masalah ini, baik dengan perkataan maupun perbuatan sebagai
perbuatan sia-sia, yang tidak pantas untuk diperhatikan dalam tindakan
dan pengajaran. Innalillahi wa inna ilaihi raji'un.
Yang perlu mendapatkan perhatian disini, yaitu dalam mengumandangkan
takbir tidak disyari'atkan secara bersama dengan satu suara,
sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang. Demikian halnya dengan
dzikir yang disyari'atkan dengan suara keras ataupun yang tidak
disyari'atkan dengan suara keras. Ini semua tidak disyari'atkan secara
berjama'ah. Dan yang semisalnya dengan ini, ialah adzan berjama'ah
sebagaimana dikenal di Damaskus dengan nama Adzan Al Juuq. Sering kali,
dzikir berjama'ah (dengan satu suara) menjadi sebab pemutusan satu kata
ataupun kalimat, yang semestinya tidak boleh waqaf (berhenti) pada kata
atau kalimat tersebut, seperti "lailaha" dalam tahlil selepas shalat
Subuh dan Maghrib, sebagaimana hal itu berulang kali kita dengar.
Oleh karena itu, hendaknya kita senantiasa waspada dan selalu ingat sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
"Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam".
C. MENGANGKAT TANGAN DALAM SETIAP TAKBIR SHALAT 'ID
Tidak ada riwayat sah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang
menyatakan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat tangan
ketika takbir dalam shalat 'Id. Akan tetapi Ibnul Qayyim mengatakan:
"Dan Ibnu Umar –padahal ia sangat antusias mengikuti Sunnah Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam - mengangkat kedua tangannya bersamaan
dengan setiap takbir". (Zaadul Ma'ad, 1/441). Dan sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , meskipun hadits
ini diriwayatkan Ibnu Umar dan bapaknya Radhiyallahu 'anhuma, namun
tidak akan menjadikannya sebagai sunnah. Terlebih lagi riwayat tersebut
tidak benar.
Syaikh Al Albani mengatakan: "Adapun riwayat dari Umar, ini
diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad yang lemah. Sedangkan riwayat
dari Ibnu Umar, aku belum mendapatkannya. Dan sesungguhnya Imam Malik
mengatakan,' aku belum mendengar satu haditspun tentang hal ini'."
[Tamamul Minnah, hlm. 349].
Demikian pendapat Imam Malik sebagaimana terdapat dalam Al Madunah
(1/169). Dan pendapat ini dinukil oleh Imam Nawawi dalam Majmu' (5/26).
Hanya saja Ibnu Mundzir menceritakan: "Imam Malik mengatakan,'Dalam hal
ini, tidak ada sunnah yang pasti. Barangsiapa ingin, maka ia mengangkat
tangannya setiap kali takbir. Dan yang paling aku sukai, yaitu yang
pertama (tidak mengangkat tangan)'."
D. SHALAT SUNNAH QABLIYAH SEBELUM SHALAT 'ID DAN UCAPAN "AS SHALAT JAAMI'AH" SEBELUM BERDIRI UNTUK SHALAT
Pemandangan mayoritas di negeri muslim, orang-orang yang hadir shalat
'Id di lapangan melakukan shalat dua raka'at sebelum duduk di
tempatnya, untuk menunggu berdirinya imam untuk shalat. Shalat dua
raka'at ini tidak ada asalnya dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
bahkan ada riwayat dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu
"Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dua raka'at pada hari
raya. Beliau tidak shalat dua raka'at sebelum maupun sesudahnya" [HR.
Bukhari dan Muslim]
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: "Kesimpulannya, tidak ada shalat sunat
sebelum dan sesudah shalat 'Id, berbeda dengan orang yang
mengkiaskannya (menyamakan shalat 'Id) dengan shalat Jum'at". [Fath-hul
Bari, 2/476].
Imam Ahmad mengatakan: "Tidak ada shalat sunnat sebelum dan sesudah
'Id". (Masail Al Imam Ahmad, no. 469). Dan ia berkata pula: "Tidak ada
shalat sunnat sebelum dan sesudah 'Id. Nabi keluar shalat 'Id tidak
melakukan shalat sebelum maupun sesudahnya. Sebagian penduduk Bashrah
melakukan shalat sebelumnya, dan sebagian penduduk Kuffah mengerjakan
shalat sunnat setelahnya". [Masail Al Imam Ahmad, no. 479]
Ibnul Qayyim mengatakan: "Beliau n dan para sahabatnya g tidak
melakukan shalat sunat sebelum dan sesudah shalat 'Id ketika telah
sampai di lapangan". (Zaadul Ma'ad, 1/443). Apabila Nabi n telah sampai
di lapangan, Beliau melakukan shalat 'Id tanpa adzan dan iqamat, dan
tanpa ucapan "ash shalatu jami'ah". Dan merupakan sunnah, tidak
mengerjakan dari hal itu sedikitpun. (Zaadul Ma'ad, 1/442 dan At
Tamhid, 1/243).
E. MENGHIDUPKAN MALAM HARI RAYA
Banyak khatib dan penceramah giat menganjurkan manusia untuk
mendekatkan diri kepada Allah, yaitu dengan menghidupkan malam hari
raya. Padahal, anjuran mereka ini tidak ditemukan sandaran yang shahih.
Mereka tidak cukup hanya dengan menganjurkan manusia untuk menghidupkan
malam ini. Bahkan mereka (berani) menisbatkan (menyandarkan) ucapan
tersebut kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan
menggunakan dalil-dalil:
"Barangsiapa menghidupkan malam 'Idul Fithri dan Adh-ha, hatinya tidak akan mati di hari matinya hati-hati manusia" [7].
Riwayat di atas merupakan hadits palsu, dan tidak boleh dinisbatkan
kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, apalagi beramal
dengannya dan menyerukan manusia untuk melakukannya.
F. PEMBUKAAN KHUTBAH DENGAN TAKBIR SERTA BANYAK MENGUCAPKAN TAKBIR DALAM KHUTBAH
Ibnul Qayyim mengatakan: "Rasulullah n selalu membuka khutbahnya dengan
memuji Allah. Tidak ada riwayat dalam satu hadits pun bahwa Beliau
memulai khutbah dua id dengan takbir. Hanya saja, Ibnu Majah
meriwayatkan dalam Sunan-nya dari Sa'ad Al Qardhi, bahwasanya Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam memperbanyak takbir di tengah-tengah
khutbah, serta memperbanyak takbir dalam khutbah dua hari raya.
Namun riwayat ini tidak menunjukkan bila Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengawali khutbah dengan takbir.
Orang-orang telah berselisih dalam masalah pembukaan dua hari raya
serta istisqa. Ada yang mengatakan "khutbah 'id dan istisqa dimulai
dengan takbir", dan ada pula yang mengatakan "khutbah istisqa diawali
dengan istighfar", dan ada pula yang mengatakan "keduanya diawali
dengan hamdalah".
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: "(Mengawali khutbah dengan hamdalah), itulah yang benar". [Zaadul Ma'ad, 1/447-448].
Syaikh Masyhur, mengatakan: "Hadits terdahulu lemah. Dalam sanadnya,
terdapat seorang yang lemah. Yaitu Abdurrahman bin Sa'ad bin Ammar bin
Sa'ad Al Muadzan. Yang terakhir majhul (tidak dikenal), yaitu Sa'ad bin
Ammar. Sehingga tidak boleh berhujjah akan sunnatnya takbir di
tengah-tengah khutbah dengan hadits tersebut". [Tamamul Minnah, 351]
G. MENJADIKAN 'ID DENGAN DUA KHUTBAH DAN DIPISAH DENGAN DUDUK
Semua riwayat yang ada berkaitan dengan masalah ini lemah, tidak bisa
dijadikan hujjah. Imam Nawawi rahimahullah mengatakan: "Tidak ada
satupun riwayat yang sah dalam masalah pengulangan khutbah". [Lihat
Fiqh Sunnah, 1/223 dan Tamamul Minnah, 348]
Demikian beberapa persoalan berkaitang dengan penyimpangan yang lazim
terjadi pada pelaksanaan hari raya 'Id. Semoga bermanfaat. Wallahu
a'lam.
*) Disadur dan diringkas dari kitab Al Qaulul Mubin Fi Akhtha' Al
Mushallin, karya Syaikh Masyhur Hasan Salman, dengan beberapa tambahan.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun X/1427H/2006.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_________
Footnotes
[1]. Dikeluarkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya, no. 324, 971, 974, 980,
981, 1,652 serta Muslim dalam Shahih-nya, no. 980; Ahmad dalam Musnad
(5/84,85); An Nasa'i dalam Al Mujtaba (3/180); Ibnu Majah dalam Sunan,
no. 1.307 dan Tirmidzi dalam Al Jami', no. 539.
[2]. Dikeluarkan oleh Al Faryabi dalam Ahkam Al 'Idain, no. 150; Abu
Dawud dalam Sunan, no. 1.073; Ibnu Majah dalam Sunan, no. 1.311 dan
yang lainnya. Hadits ini shahih berdasarkan syawahidnya (penyertanya).
[3]. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Musnaf (2/184) dengan
sanad yang shahih. Lihat Risalah Shalat 'Idain Fil Mushalla Hiya
Sunnah, hlm. 12-13.
[4]. Dikeluarkan Al Bukhari dalam Shahih, no. 956 dan Muslim dalam Shahih, no. 889 dan lainnya.
[5]. Dikeluarkan Imam Muslim
[6]. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Musnaf (2/165) dan Al
Faryabi dalam Ahkam 'Idain, no. 59 dan sanad-sanadnya shahih. Meski
mursal namun syahid (penyerta) menyambung, menurut Al Baihaqi dalam
Sunan Al Kubra (3/279). Lihat Silsilah Ahadits Ash Shahihah, no.171.
[7]. Pembahasan mengenai hadits ini bisa dilihat di silsilah al ahadits ad dhaifah no. 520
------------------------------------
From: Abu Abdillah <abdullah_abu@hotmail.com>
To: assunnah assunnah <assunnah@yahoogroups.com>
PENYIMPANGAN SEPUTAR SHALAT 'ID (*)
Oleh
Redaksi Majalah As-Sunnah
http://www.almanhaj.or.id/content/2582/slash/0
Perhelatan melelahkan dalam menyongsong datangnya hari raya terjadi
dimana-mana. Sebagian kaum muslimin larut dengan kesibukan yang banyak
menyita waktu, tenaga dan biaya. Tak segan-segan, uangpun dikeluarkan
tanpa rasa berat. Yang penting -menurut mereka- hari raya dapat dilalui
dengan lebih berarti.
Kebiasaan seperti ini, pada setiap tahun bisa kita saksikan, hampir
selalu mewarnai saat menjelang hari raya. Seakan kesibukan tersebut
merupakan keharusan yang tidak dapat ditinggalkan oleh sebagian umat
Muhammad n . Akan tetapi, disini lain, pada saat menjelang hari raya,
banyak hal lebih penting yang dilalaikan.
Merebaknya kemungkaran banyak diremehkan oleh sebagian umat ini telah
mengharu biru hari mulia ini. Beberapa kemungkaran itu, ada yang sudah
sering terjadi di luar hari raya, dan bertambah parah ketika hari raya
tiba. Misalnya, seperti menghias diri dengan mencukur jenggot,
bersalam-salaman dengan wanita yang bukan mahramnya, tabarruj (pamer
kecantikan), menyerupai orang kafir dalam berpakaian dan menikmati
musik, mengkhususkan waktu untuk ziarah kubur, serta membagikan makanan
dan permen, duduk-duduk di atas kuburan, menghamburkan harta yang tidak
ada faidahnya, dan masih banyak lagi yang lainnya. Semua ini menodai
hari raya yang mulia ini.
Namun, dalam pembahasan kali ini, kami tidak akan mengupas persoalan
tersebut di atas. Akan tetapi, kami akan fokuskan pada beberapa
kesalahan dalam pelaksaan shalat 'Id. Mudah-mudahan hal ini bisa
menggugah kesadaran kita untuk lebih berhati-hati. Mendorong kita agar
lebih bersemangat mendatangi majelis-majelis ilmu, bertanya kepada
'alim, serta membaca kitab-kitab para ulama, sehingga bisa terhindar
dan tidak terjebak dalam kebiasaan-kebiasaan yang salah. Apalagi
kesalahan itu seakan sudah membudaya.
Diantara kesalahan-kesalahan yang sering terjadi dalam pelaksanaan shalat 'Id, ialah sebagai berikut:
A. SEBAGIAN ORANG MEREMEHKAN SHALAT 'ID DAN MENGANGGAPNYA SUNAT, SERTA TIDAK MENUNAIKANNYA DI LAPANGAN
Imam Asy Syaukani mengatakan; "Ketahuilah, Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam selalu mengerjakan shalat ini pada dua hari raya ('Idul Fithri
dan Adh-ha). Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah
meninggalkannya, meskipun hanya sekali. Beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam memerintahkan kepada kaum muslimin untuk keluar shalat,
sampai-sampai memerintahkan kepada para wanita, baik budak, wanita
pingitan dan wanita yang sedang haid agar keluar. Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam memerintahkan kepada yang haid agar menjauhi tempat
shalat, menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslim. Sampai-sampai
diperintahkan kepada wanita yang memiliki jilbab, agar meminjami
saudaranya yang tidak memiliki jilbab. Semua ini menunjukkan, bahwa
shalat 'Id wajib bagi setiap orang (fardhu 'ain, Red), bukan fardlu
kifayah". [As Sailur Jarar, 1/315].
Aku (Syaikh Masyhur Hasan Salman) mengatakan: "(Dalam penjelasan di
atas, Red), Imam Asy Syaukani mengisyaratkan kepada hadits Ummu Athiyah
Radhiyallahu 'anha yang mengatakan:
"Rasulullah memerintahkan kepada kami untuk mengeluarkan para wanita
pada 'Idul Fithri dan 'Idul Adh-ha, yaitu para budak, wanita yang
sedang haid serta wanita pingitan. Adapun wanita yang sedang haid
keluar dari shalat. (dalam riwayat yang lain dari lapangan) dan
menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Aku (Ummu Athiyah)
mengatakan: "Wahai, Rasulullah. Salah seorang diantara kami tidak
memiliki jilbab". Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,"Hendaklah saudaranya memakaikan jilbabnya kepada saudaranya
yang tidak memiliki jilbab."[1]
Perintah Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam agar keluar, berarti
perintah untuk shalat bagi yang tidak memiliki udzur. Ini berdasarkan
maksud dari pembicaraan. Karena keluar ke mushalla (lapangan) merupakan
washilah (sarana) untuk shalat. (Jika) wasilahnya wajib, maka akan
menyebabkan tujuan dari washilah itu juga menjadi wajib. Dan kaum pria
lebih wajib daripada wanita. (Lihat Al Mau'izhah Al Hasanah, 43).
Diantara dalil yang menunjukkan wajibnya shalat dua hari raya, bahwa
shalat 'Id bisa menggugurkan (bisa mengganti, Red) shalat Jum'at
apabila bertepatan pada hari yang sama. Terdapat riwayat yang sah dari
Rasulullah, bahwa Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda ketika
hari raya bertepatan dengan hari Jum'at.
"Pada hari kalian ini, terkumpul dua hari raya. Barangsiapa yang ingin
(tidak shalat Jum'at), maka ia telah mencukupinya dari shalat Jum'at.
Dan kita mengumpulkan shalat hari raya dan Jum'at, dan kami akan tetap
shalat Jum'at."[2]
Sudah kita ketahui, sesuatu yang hukumnya tidak wajib, tidak akan bisa
menggugurkan sesuatu yang wajib. Terdapat riwayat yang sah, sejak
shalat 'Id disyari'atkan, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam selalu
mengerjakan shalat 'Id secara berjama'ah hingga sampai wafatnya.
Perbuatan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang selalu mengerjakan
shalat 'Id digabungkan dengan perintahnya kepada manusia untuk keluar
shalat 'Id. Lihat Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah (24/212, 23/161) serta Ar
Raudah An Nadiyah (1/142), Nailul Authar (3/282-283) dan Tamamul
Minnah, 344. Dan wajibnya shalat 'Id, merupakan pilihan dari Syaikh
Islam Ibnu Taimiyah. Beliau mengatakan: "Kami menganggap rajih
(menguatkan) pendapat yang menyatakan shalat 'Id itu hukumnya wajib
bagi setiap orang, sebagaimana ucapan Abu Hanifah dan lainnya. Begitu
juga salah satu pendapat Imam Asy Syafi'i, dan salah satu diantara dua
pendapat dalam madzhab Imam Ahmad.
Adapun ucapan yang mengatakan, "Shalat 'Id tidak wajib", merupakan
ucapan yang sangat jauh dari kebenaran. Sesungguhnya shalat 'Id
merupakan syi'ar Islam yang sangat besar, dan manusia yang berkumpul
untuk melakukan shalat 'Id lebih besar daripada shalat Jum'at. Pada
hari ini, disyari'atkan takbir. Dan pendapat orang yang mengatakan
"Shalat 'Id fardhu kifayah", perkataan ini tidak memiliki dasar yang
kuat. (Majmu' Fatawa, 23/161).
Disini, sejenak kita merenungi perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam dalam hadits Ummu Athiyah terdahulu. Di dalamnya terdapat
perintah bagi para wanita yang sedang haid dan para wanita budak untuk
menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Dari hadits ini dapat
diambil dua hukum fiqih:
1). Disyari'atkan kepada para wanita untuk keluar menghadiri shalat 'Id.
Kami menganjurkan kepada para wanita untuk menghadiri jama'ah kaum
muslimin, sebagai realisasi perintah Rasulullah n . Tidak lupa kami
ingatkan mereka, dan juga para penanggungjawab mereka mengenai
kewajiban mengenakan hijab syar'i. Terkadang sebagian orang merasa
heran terhadap syari'at keluarnya wanita ke lapangan untuk shalat 'Id.
Ketahuilah, inilah kebenaran yang tidak ada keraguan di dalamnya.
Karena, banyak hadits menerangkan hal ini. Disini, kami cukupkan dengan
hadits Ummu Athiyah di atas. Hadits ini bukan hanya sebagai dalil
disyari'atkannya shalat saja. Bahkan lebih dari itu, yaitu menandakan
wajibnya shalat atas para wanita, karena perintah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan hukum asal dalam perintah adalah
wajib. Ini dikuatkan dengan riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Abu Bakar
Radhiyallahu 'anhu.
"Benar, bagi setiap orang yang memiliki sayak (rok), keluar untuk shalat 'Id"[3]
2). Shalat dua hari raya tempatnya di lapangan, bukan masjid -meskipun boleh di masjid.
Dari sisi lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam amat
menganjurkan kepada para wanita haidh agar menghadiri shalat 'Id,
sementara masjid tidak layak diisi para wanita haid. Apabila masjid
tidak boleh mereka kunjungi ketika haid, maka hanya lapangan yang boleh
mereka hadiri. Hal ini dijelaskan dalam banyak hadits, seperti dari Abu
Said Al Khudri Radhiyalahu 'anhu, dia berkata:
"Dahulu, Rasulullah n keluar ke mushalla (lapangan) pada hari raya
'Idul Fithri dan Adh-ha. Dan hal pertama kali yang Beliau n kerjakan
adalah shalat (ied)".[4]
Ibnu Al Hajj Al Maliki mengatakan: "Sunnah yang telah berjalan dalam
masalah dua shalat ied ini, ialah dikerjakan di lapangan. Karena, Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Shalat di masjidku ini lebih utama seribu kali dari pada shalat di masjid selainnya, kecuali Masjidil Haram" [5]
Meskipun shalat di Masjid Nabawi sangat besar keutamaannya, namun
Beliau n (tetap) keluar menuju lapangan dan meninggalkan masjidnya. (Al
Madkhal, 2/283). Perbuatan berdasarkan sunnah ini berjalan terus pada
masa-masa awal, terkecuali terpaksa, seperti turun hujan dan yang
semisalnya. Demikian pendapat empat imam madzhab (Hanafi, Malik,
Syafi'i dan Ahmad) serta yang lainnya.
Juga, sunnah ini (shalat di lapangan) memiliki hikmah yang besar. Yakni
kaum muslimin memiliki dua hari (istimewa) dalam setahun. Pada hari
ini, penduduk semua negeri (suatu daerah) berkumpul, baik pria, wanita
maupun anak-anak. Mereka menghadap kepada Allah dengan sepenuh hati.
Mereka terhimpun dengan satu kalimat, shalat di belakang satu imam,
bertakbir, bertahlil dan berdo'a kepada Allah Azza wa Jalla dengan
penuh ikhlas. Seakan mereka sehati. Mereka bersuka ria, bergembira
dengan nikmat Allah Azza wa Jalla kepada mereka. Sehingga hari raya
merupakan hari bahagia.
Semoga kaum muslimin memberikan tanggapan positif untuk meniti sunnah
nabi mereka, menghidupkan syi'ar agama yang menjadi syarat kemuliaan
(kewibawaan) dan keberuntungan mereka.
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul
apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada
kamu" [QS Al Anfal:24]
B. TIDAK MENGERASKAN TAKBIR KETIKA MENUJU LAPANGAN
Dari Az Zuhri rahimahullah, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam biasa keluar pada hari raya dan bertakbir hingga sampai ke
lapangan, dan hingga selesai shalat. Apabila telah selesai, Beliau n
menghentikan takbir.[6]
Dalam hadits ini terdapat dalil disyari'atkannya perbuatan yang
dilakukan oleh sebagian kaum muslimin, yaitu takbir dengan keras ketika
berjalan menuju lapangan. Kebanyakan umat mulai meremehkam sunnah ini,
hingga sekarang ini seakan sudah menjadi cerita masa lampau (dan hampir
tidak bisa ditemukan lagi-red). Ini disebabkan karena lemahnya agama
mereka, serta malu untuk mengaku dan menampakkan sunnah ini.
Ironisnya, diantara mereka ada yang bertugas memberi bimbingan serta
mengajarkan kepada manusia. (Namun) seakan bimbingannya dalam pandangan
mereka terbatas pada transfer ilmu guru kepada manusia. Adapun sesuatu
yang sangat dibutuhkan untuk diketahui, ini tidak mendapatkan perhatian
mereka. Bahkan mereka menganggap pembahasan serta pemberian peringatan
dalam masalah ini, baik dengan perkataan maupun perbuatan sebagai
perbuatan sia-sia, yang tidak pantas untuk diperhatikan dalam tindakan
dan pengajaran. Innalillahi wa inna ilaihi raji'un.
Yang perlu mendapatkan perhatian disini, yaitu dalam mengumandangkan
takbir tidak disyari'atkan secara bersama dengan satu suara,
sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang. Demikian halnya dengan
dzikir yang disyari'atkan dengan suara keras ataupun yang tidak
disyari'atkan dengan suara keras. Ini semua tidak disyari'atkan secara
berjama'ah. Dan yang semisalnya dengan ini, ialah adzan berjama'ah
sebagaimana dikenal di Damaskus dengan nama Adzan Al Juuq. Sering kali,
dzikir berjama'ah (dengan satu suara) menjadi sebab pemutusan satu kata
ataupun kalimat, yang semestinya tidak boleh waqaf (berhenti) pada kata
atau kalimat tersebut, seperti "lailaha" dalam tahlil selepas shalat
Subuh dan Maghrib, sebagaimana hal itu berulang kali kita dengar.
Oleh karena itu, hendaknya kita senantiasa waspada dan selalu ingat sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
"Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam".
C. MENGANGKAT TANGAN DALAM SETIAP TAKBIR SHALAT 'ID
Tidak ada riwayat sah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang
menyatakan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat tangan
ketika takbir dalam shalat 'Id. Akan tetapi Ibnul Qayyim mengatakan:
"Dan Ibnu Umar –padahal ia sangat antusias mengikuti Sunnah Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam - mengangkat kedua tangannya bersamaan
dengan setiap takbir". (Zaadul Ma'ad, 1/441). Dan sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , meskipun hadits
ini diriwayatkan Ibnu Umar dan bapaknya Radhiyallahu 'anhuma, namun
tidak akan menjadikannya sebagai sunnah. Terlebih lagi riwayat tersebut
tidak benar.
Syaikh Al Albani mengatakan: "Adapun riwayat dari Umar, ini
diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad yang lemah. Sedangkan riwayat
dari Ibnu Umar, aku belum mendapatkannya. Dan sesungguhnya Imam Malik
mengatakan,' aku belum mendengar satu haditspun tentang hal ini'."
[Tamamul Minnah, hlm. 349].
Demikian pendapat Imam Malik sebagaimana terdapat dalam Al Madunah
(1/169). Dan pendapat ini dinukil oleh Imam Nawawi dalam Majmu' (5/26).
Hanya saja Ibnu Mundzir menceritakan: "Imam Malik mengatakan,'Dalam hal
ini, tidak ada sunnah yang pasti. Barangsiapa ingin, maka ia mengangkat
tangannya setiap kali takbir. Dan yang paling aku sukai, yaitu yang
pertama (tidak mengangkat tangan)'."
D. SHALAT SUNNAH QABLIYAH SEBELUM SHALAT 'ID DAN UCAPAN "AS SHALAT JAAMI'AH" SEBELUM BERDIRI UNTUK SHALAT
Pemandangan mayoritas di negeri muslim, orang-orang yang hadir shalat
'Id di lapangan melakukan shalat dua raka'at sebelum duduk di
tempatnya, untuk menunggu berdirinya imam untuk shalat. Shalat dua
raka'at ini tidak ada asalnya dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
bahkan ada riwayat dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu
"Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dua raka'at pada hari
raya. Beliau tidak shalat dua raka'at sebelum maupun sesudahnya" [HR.
Bukhari dan Muslim]
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: "Kesimpulannya, tidak ada shalat sunat
sebelum dan sesudah shalat 'Id, berbeda dengan orang yang
mengkiaskannya (menyamakan shalat 'Id) dengan shalat Jum'at". [Fath-hul
Bari, 2/476].
Imam Ahmad mengatakan: "Tidak ada shalat sunnat sebelum dan sesudah
'Id". (Masail Al Imam Ahmad, no. 469). Dan ia berkata pula: "Tidak ada
shalat sunnat sebelum dan sesudah 'Id. Nabi keluar shalat 'Id tidak
melakukan shalat sebelum maupun sesudahnya. Sebagian penduduk Bashrah
melakukan shalat sebelumnya, dan sebagian penduduk Kuffah mengerjakan
shalat sunnat setelahnya". [Masail Al Imam Ahmad, no. 479]
Ibnul Qayyim mengatakan: "Beliau n dan para sahabatnya g tidak
melakukan shalat sunat sebelum dan sesudah shalat 'Id ketika telah
sampai di lapangan". (Zaadul Ma'ad, 1/443). Apabila Nabi n telah sampai
di lapangan, Beliau melakukan shalat 'Id tanpa adzan dan iqamat, dan
tanpa ucapan "ash shalatu jami'ah". Dan merupakan sunnah, tidak
mengerjakan dari hal itu sedikitpun. (Zaadul Ma'ad, 1/442 dan At
Tamhid, 1/243).
E. MENGHIDUPKAN MALAM HARI RAYA
Banyak khatib dan penceramah giat menganjurkan manusia untuk
mendekatkan diri kepada Allah, yaitu dengan menghidupkan malam hari
raya. Padahal, anjuran mereka ini tidak ditemukan sandaran yang shahih.
Mereka tidak cukup hanya dengan menganjurkan manusia untuk menghidupkan
malam ini. Bahkan mereka (berani) menisbatkan (menyandarkan) ucapan
tersebut kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan
menggunakan dalil-dalil:
"Barangsiapa menghidupkan malam 'Idul Fithri dan Adh-ha, hatinya tidak akan mati di hari matinya hati-hati manusia" [7].
Riwayat di atas merupakan hadits palsu, dan tidak boleh dinisbatkan
kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, apalagi beramal
dengannya dan menyerukan manusia untuk melakukannya.
F. PEMBUKAAN KHUTBAH DENGAN TAKBIR SERTA BANYAK MENGUCAPKAN TAKBIR DALAM KHUTBAH
Ibnul Qayyim mengatakan: "Rasulullah n selalu membuka khutbahnya dengan
memuji Allah. Tidak ada riwayat dalam satu hadits pun bahwa Beliau
memulai khutbah dua id dengan takbir. Hanya saja, Ibnu Majah
meriwayatkan dalam Sunan-nya dari Sa'ad Al Qardhi, bahwasanya Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam memperbanyak takbir di tengah-tengah
khutbah, serta memperbanyak takbir dalam khutbah dua hari raya.
Namun riwayat ini tidak menunjukkan bila Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengawali khutbah dengan takbir.
Orang-orang telah berselisih dalam masalah pembukaan dua hari raya
serta istisqa. Ada yang mengatakan "khutbah 'id dan istisqa dimulai
dengan takbir", dan ada pula yang mengatakan "khutbah istisqa diawali
dengan istighfar", dan ada pula yang mengatakan "keduanya diawali
dengan hamdalah".
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: "(Mengawali khutbah dengan hamdalah), itulah yang benar". [Zaadul Ma'ad, 1/447-448].
Syaikh Masyhur, mengatakan: "Hadits terdahulu lemah. Dalam sanadnya,
terdapat seorang yang lemah. Yaitu Abdurrahman bin Sa'ad bin Ammar bin
Sa'ad Al Muadzan. Yang terakhir majhul (tidak dikenal), yaitu Sa'ad bin
Ammar. Sehingga tidak boleh berhujjah akan sunnatnya takbir di
tengah-tengah khutbah dengan hadits tersebut". [Tamamul Minnah, 351]
G. MENJADIKAN 'ID DENGAN DUA KHUTBAH DAN DIPISAH DENGAN DUDUK
Semua riwayat yang ada berkaitan dengan masalah ini lemah, tidak bisa
dijadikan hujjah. Imam Nawawi rahimahullah mengatakan: "Tidak ada
satupun riwayat yang sah dalam masalah pengulangan khutbah". [Lihat
Fiqh Sunnah, 1/223 dan Tamamul Minnah, 348]
Demikian beberapa persoalan berkaitang dengan penyimpangan yang lazim
terjadi pada pelaksanaan hari raya 'Id. Semoga bermanfaat. Wallahu
a'lam.
*) Disadur dan diringkas dari kitab Al Qaulul Mubin Fi Akhtha' Al
Mushallin, karya Syaikh Masyhur Hasan Salman, dengan beberapa tambahan.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun X/1427H/2006.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_________
Footnotes
[1]. Dikeluarkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya, no. 324, 971, 974, 980,
981, 1,652 serta Muslim dalam Shahih-nya, no. 980; Ahmad dalam Musnad
(5/84,85); An Nasa'i dalam Al Mujtaba (3/180); Ibnu Majah dalam Sunan,
no. 1.307 dan Tirmidzi dalam Al Jami', no. 539.
[2]. Dikeluarkan oleh Al Faryabi dalam Ahkam Al 'Idain, no. 150; Abu
Dawud dalam Sunan, no. 1.073; Ibnu Majah dalam Sunan, no. 1.311 dan
yang lainnya. Hadits ini shahih berdasarkan syawahidnya (penyertanya).
[3]. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Musnaf (2/184) dengan
sanad yang shahih. Lihat Risalah Shalat 'Idain Fil Mushalla Hiya
Sunnah, hlm. 12-13.
[4]. Dikeluarkan Al Bukhari dalam Shahih, no. 956 dan Muslim dalam Shahih, no. 889 dan lainnya.
[5]. Dikeluarkan Imam Muslim
[6]. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Musnaf (2/165) dan Al
Faryabi dalam Ahkam 'Idain, no. 59 dan sanad-sanadnya shahih. Meski
mursal namun syahid (penyerta) menyambung, menurut Al Baihaqi dalam
Sunan Al Kubra (3/279). Lihat Silsilah Ahadits Ash Shahihah, no.171.
[7]. Pembahasan mengenai hadits ini bisa dilihat di silsilah al ahadits ad dhaifah no. 520
------------------------------------
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---
No comments:
Post a Comment