Posting ini pernah saya kirim pada tanggal 30 Oktober 2006 melalui milis Iqra dan milis MyQuran dengan judul : My Diary 20 : Catatan Tambahan, akan tetapi mengingat kontennya masih aktual dan InsyaAllah bermanfaat buat kita semua maka saya reposting kembali dengan beberapa editing disana-sininya.
---------- Forwarded message ----------
From: Armansyah ( GMAIL ) <armansyah.skom@gmail.com>
Date: 2006/10/30
Subject: My Diary 20 : Catatan Tambahan
To: Milis_Iqra@googlegroups.com
Cc: myquran@googlegroups.com
From: Armansyah ( GMAIL ) <armansyah.skom@gmail.com>
Date: 2006/10/30
Subject: My Diary 20 : Catatan Tambahan
To: Milis_Iqra@googlegroups.com
Cc: myquran@googlegroups.com
Dengan Nama Allah yang Pengasih dan Penyayang.,
Sebenarnya tulisan ini merupakan catatan tambahan dari apa yang pernah saya tulis secara singkat didalam My Diary 18, meski demikian saya tidak ingin merepost My Diary ke-18 itu untuk kedua kalinya hanya untuk sekedar menambahkan apa yang kurang didalamnya. Jadilah My Diary 20 ini sebagai tulisan pelengkapnya, dan memang saat seri ke-20 ini ditulis, saya sengaja melompati satu nomor, yaitu My Diary 19 yang memang sengaja saya peruntukkan satu materi khusus nantinya apabila waktu untuk itu sudah tiba, InsyaAllah.
Pertama yang ingin saya tambahkan adalah menyangkut waktu bertakbir menjelang sholat I'edul Fitri, dimana pada my Diary 18 ada sedikit tulisan yang sebenarnya membatalkan klaim Bid'ah yang dilemparkan oleh beberapa sahabat di milis myquran@googlegroups.com menyangkut takbir sebelum hari I'edul Fitri.; Pada dasarnya, apa yang saya tulis disana sebagai mengembalikan hukumnya pada dasar sebab dan akibat atau sejauhmana kemanfaatan yang bisa ditimbulkannya sejalan dengan apa yang bisa ditemukan dalam buku Bidajatul Mudjtahid Jilid ke-3 karya Ibnu Rusyd yang dialih bahasakan oleh A. Hanafi M.A. penerbit Bulan Bintang Djakarta, Cetakan pertama 1969.
Disini saya akan menulis ulang apa yang ada pada halaman 47 s/d 50 menyangkut masalah ini [ penuh tanpa diringkas ] :
Waktu Takbir.
Jumhur ulama menganggap bahwa takbir pada hari 'id fithri adalah sunnat, karena firman Tuhan :
Agar kamu menyempurnakan bilangan bulan dan agar kamu membesarkan Allah, karena Dia telah memberi petunjuk kepada kamu - Qs. 2 al-Baqarah : 185
Akan tetapi kemudian timbul perbedaan pendapat tentang waktu untuk takbir.
Menurut jumhur fuqaha waktu takbir ialah ketika pergi sholat 'id. Begitulah pendapat Ibnu Umar dan segolongan sahabat dan tabi'in. Pendapat itu juga dikemukakan oleh Imam Malik, Ahmad, Ishaq dan Abu Tsaur.
Menurut sebagian fuqaha, waktu takbir adalah sejak malam hari raya fitri sesudah bulan terlihat, sampai menuju kemushalla dan hingga Imam datang. Malam hari raya Adha bagi mereka juga demikian, kalau orang yang bertakbir itu bukan sedang berhaji.
Dari Ibnu Abbas, diriwayatkan bahwa ia mengingkari takbir sama sekali kecuali jika imam takbir.
Para fuqaha sependapat tentang adanya takbir sehabis sholat pada hari-hari musim haji, tetapi mereka berbeda pendapat tentang batas waktunya.
Menurut sebagian fuqaha, waktu takbir adalah sejak sholat Subuh pada hari 'Arafah sampai sholat Ashar pada hari tasryik terakhir, begitulah pendapat Sofyan, Ahmad dan Abu Tsaur.
Menurut fuqaha lain, waktu tersebut adalah mulai dari sholat dzhuhur pada hari penyembelihan ( idul adha ) sampai sholat Subuh pada hari tasryik terakhir. Begitulah pendapat Imam Malik dan Syafi'i.
Az-Zuhri berkata sebagai beikut : menurut sunnat yang berlaku, imam bertakbir dikota-kota ( negeri-negeri besar ) sehabis sholat Dzhuhur pada hari raya sampai sholat Ashar pada hari tasryik yang terakhir.
Ringkasnya perbedaan pendapat mengenai hal ini banyak sekali, dan menurut Ibnu al-Mundzir ada sepuluh pendapat.
Perbedaan pendapat dalam hal ini disebabkan karena ucapan-ucapan takbir hanya diriwayatkan dengan perbuatan-perbuatan ( amal ), tetapi tidak pernah ada riwayat yang berupa kata-kata yang jelas mengenai soal tersebut. Karena sahabat berbeda-beda pula pendapatnya, maka orang-orang yang sesudah mereka berselisih pula.
Pokok persoalan dalam hal ini adalah firman Tuhan :
Sebutlah Allah pada beberapa hari yang tertentu - Qs. 2 al-Baqarah : 203
Perintah ini meskipun yang dimaksud mula-mula adalah orang-orang yang sedang berhaji, namun jumhur fuqaha menganggap bahwa perintah tersebut meliputi orang-orang yang haji dan orang-orang lainnya juga dan perintah itu bertemu dengan perbuatan yang berlaku, meskipun mereka berbeda-beda pendapatnya tentang waktu takbir. Boleh jadi penentuan waktu mengenai hal ini bisa dipilih, sebab mengenai waktu tersebut terjadi kesepakatan dan perselisihan pendapat pula dikalangan mereka.
Menurut sebagian fuqaha, takbir sehabis sholat pada hari-hari tersebut hanya bagi orang-orang yang melakukan sholat dalam jamaah.
Para fuqaha juga berselisih pendapatnya tentang cara takbir pada hari-hari tersebut. Menurut Imam Malik dan Syafi'i, takbir itu 3 kali, yaitu Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, menurut satu pendapat, sesudah ini kemudian membaca : Laa ilaa ha illallahuwahdahu lasyarikalahu, lahul mulqu walahul hamdu wahuwa 'ala kulli say-ing-qodir.
Dari Ibnu Abbas, diriwayatkan bahwa ia mengucapkan :
Allahu Akbar Kabira, Allahu Akbar Kabira, Allahu Akbar Kabira, Allahu Akbar walilla hilhamd
Menurut segolongan Fuqaha, dalam takbir tidak ada sesuatu bentuk tertentu, perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena tidak adanya penentuan dalam syara' mengenai soal takbir, meskipun kebanyakan mereka memahami adanya waktu takbir.
Inilah yang menjadi sebab perselisihan mereka tentang batas waktu takbir, yaitu memahami adanya waktu sedang nash untuk itu tidak ada.
Pada fuqaha sependapat bahwa pada hari raya disunatkan berbuka sebelum pergi ketempat Sholat, akan tetapi untuk hari raya adha, disunnatkan berbuka sesudah selesai dari Sholat, dan disunnahkan untuk pulang kembali dengan mengambil jalan yang berbeda.
Demikian akhir kutipan, yang mudah-mudahan menambah jelas polemik yang sempat berkembang seputar waktu bertakbir, sehingga dengan demikian, kita tidak terlalu mudah mengatakan ini bid'ah, ini haram, ini tercela dan sebagainya dan seterusnya padahal kita belum mengetahui literatur lain yang bisa saja mengatakan sebaliknya.
Ingatlah firman Allah berikut :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan jangan pula kamu melampaui batas. - Qs. al-Ma'idah 5:87
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak akan beruntung. - Qs. 16 an-Nahl 116
Saya rasa, bagi anda-anda yang berkecimpung dalam bidang keagamaan, nama Ibnu Rusyd dengan karyanya Bidajatul Mudjtahid pasti sudah tidak asing sehingga saya tidak akan mengupas ketokohannya disini, tetapi bisa jadi akan ada dalam kajian Tokoh-tokoh di milis_Iqra pada periode berikutnya.
Mungkin sering orang berpikir, bahwa saya merupakan orang yang relatif kontroversial dalam beragama, khususnya mengenai beragam pendapat yang saya lontarkan sehubungan dengan masalah-masalah yang sebenarnya dianggap sudah mapan oleh sebagian kalangan Islam. Sebut saja bagaimana cara pandang saya terhadap Ahlussunnah, Syiah dan Ahmadiyah. Atau bagaimana dengan metodologi pemahaman al-Qur'an dan as-Sunnah yang saya lakukan.
Tetapi cukup disayangkan bahwa sebagian orang terlalu memandangnya dengan kacamata yang pincang, padahal apa-apa yang saya lontarkan dan saya kemukakan lebih banyak merupakan hasil pengembangan dari apa-apa yang juga sudah pernah ada pada masa sebelumnya. Dengan kata lain, InsyaAllah, saya selalu punya dasar atas semua tulisan-tulisan saya. Hanya saja memang saya bukan orang yang terlalu mudah fanatik terhadap suatu kelompok atau suatu pemahaman, sehingga agak sulit untuk mengukur sejauh mana keberpihakan saya kepada A, kepada B atau kepada yang lain diluarnya dan akan semakin bertambah kompleks pula bila ada yang menanyakan litertur apa saja yang saya pergunakan dalam berpaham.
Bahwa menuntut keluasan paham dan pengertian dalam Dienul Islam, mempelajari hukum-hukumnya, baik yang mengenai hukum publik maupun yang mengenai hukum privasi adalah termasuk kewajiban setiap Muslim yang menjunjung tinggi kalimah Tauhid.
Dalam Panjimas no. 624, terbitan 1 Rabi'ul Awal 1410 H, 21 September - 1 Oktober 1989 melalui tulisan berjudul : Tidak ada yang Qath'iy dalam Qur'an ? ; disebutkan pendapat Quraish Shihab bahwa menyangkut ad dalalah atau kandungan makna redaksi ayat-ayat al-Qur'an tidak tertutup untuk mendapatkan penafsiran maupun pemahaman lebih luas sebagaimana beliau merujuk kepada kitab al-Burhan karya az-Zarkasyi dan al-Itqan karya as-Sayuti dan adanya anggapan bahwa seseorang tidak dinamai ahli tafsir kecuali jika ia mampu memberi interpretasi beragam terhadap ayat-ayat al-Qur'an.
Memang akhirnya pendapat ini bertentangan dengan konsep Qath'iy ad dalalahnya Abdul Wahab Khallaf yang menutup interpretasi dan takwil lain ayat al-Qur'an selain makna yang tersurat dalam redaksi.
Muhammad Arkoun, seorang pemikir kontemporer kelahiran aljazair mengatakan, ayat al-Qur'an tidak menutup kemungkinan arti yang tak terbatas, selalu terbuka untuk interpretasi baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal. Abdullah darraz juga berpendapat begitu. Ulama besar al-Azhar yang menjelaskan dan mengkritik kitab al-Muwafaqatnya Abu Ishaq al-Syatibi ini lebih tegas lagi bahkan menyatakan :
Bila anda membaca al-Qur'an, maknanya akan jelas dihadapan anda.
Bila anda membacanya sekali lagi, akan anda temukan pula makna-makna lain yang berbeda dengan makna terdahulu, demikian selanjutnya sampai anda menemukan kata yang mempunyai arti bermacam-macam.
Semuanya benar, atau mungkin benar.
Ayat al-Qur'an bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lain. Dan tidak mustahil jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya, dia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat.
Ketika seseorang mengucapkan satu nash, itu hanya mengandung satu arti saja, yaitu arti yang dimaksudkan oleh redaksinya secara tertulis atau yangd isebut dalalah hakikiah. Sementara bagi pendengar atau pembaca, dalalah itu bersifat relatif. Mereka tidak dapat memastikan maksud pembicara, pemahaman mereka terhadap nash tersebut dipengaruhi oleh banyak hal terkait. Kecuali untuk hal-hal yang memang sudah secara jelas dicontohkan dan disebutkan didalam redaksional Al-Qur'an yang tidak mengandung kata-kata bersayap.
al-Imam al-Ghazali sendiri dalam bukunya berjudul Ihya Ulumiddin berpendapat bahwa ayat-ayat al-Qur'an terdiri dari tafsir zahir dan tafsir batin, artinya ayat-ayat al-Qur'an bisa saja memiliki lebih dari satu arti, terlepas apakah kemudiannya imam al-Ghazali lebih banyak menitik beratkan penafsiran batinnya kepada dunia tasawuf tetapi yang jelas, pemahaman yang demikian cukup bisa saya sepakati. Sebab saya yakin al-Qur'an merupakan wahyu Allah yang selalu aktual dan bisa dimulti tafsirkan dalam semua sisi keilmuan dan dari semua peradaban.
Olehnya, sayapun harus bisa menerima adanya orang-orang yang menolak kaidah seperti ini dan menganggapnya sekedar mengada-ada atau membuat-buat hal yang baru, ya dengan tanpa mengurangi rasa hormat dan takzim atas mereka, maka saya hanya berpikiran bahwa memang sampai disitulah pemahaman dan penalaran dari yang bersangkutan akan sifat universalisme al-Qur'an.
Dahulu, ketika awal-awal tulisan saya ada dimilis myquran@yahoogroups.com ; seorang sahabat bernama Leo Imanov [ leo_imanov@yahoo.co.uk ] pernah melemparkan kritiknya kepada saya atas pemahaman-pemahaman saya yang dianggapnya menyimpang dari standar, begitupula halnya di Milis_Iqra, seorang sahabat bernama Zulkarnain Nurhasan [ zulkarnain.nh@gmail.com ] juga acapkali melemparkan pemikiran kritisnya atas tulisan-tulisan saya termasuk yang paling akhir adalah menyangkut penafsiran alternatip saya akan kalimah Rawasiya sebagaimana ada pada My Diary ke-7 saya.; Begitupun dengan milis myquran@googlegroups.com, sebut saja sahabat saya, Fatchur Berlianto [ fatchurberlianto@gmail.com ] juga pernah menyampaikan hal yang serupa.
Saya bangga sekaligus bahagia bahwa saya punya sahabat-sahabat terbaik yang mampu mengingatkan dan berbagi ilmu yang ada pada mereka termasuk paradigmanya kepada saya, terimakasih.
Tetapi, bagaimanapun, masing-masing dari kita, tidak akan pernah bisa saling memaksakan agar apa yang kita pahami dari al-Qur'an dan as-Sunnah bisa disatukan sebab memang cara pandang kita dalam memahaminya sudah berbeda.
Demikianlah, akhirnya.
--
Salamun 'ala manittaba al Huda
ARMANSYAH
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---
No comments:
Post a Comment