From: riki rokhman azis
To: warnaislam@yahoogroups.com ; tarbawi_community@yahoogroups.com
Sent: Monday, January 11, 2010 11:37 AM
Subject: [warnaislam] Dinar-Dirham yang Mulai Populer sebagai Alat
Pembayaran
[ Sabtu, 09 Januari 2010 ]
Dinar-Dirham yang Mulai Populer sebagai Alat Pembayaran
Dapat Nasi Goreng Plus Kembali Rp 20 Ribu
Mengumpulkan keping emas (dinar) dan perak (dirham) sebagai koleksi dan
sarana investasi sudah biasa. Namun, sekelompok wirausahawan kini getol
memasyarakatkan keping logam mulia itu sebagai alat transaksi layaknya mata
uang rupiah.
SOFYAN HENDRA, Jakarta
---
DENYUT kehidupan di Jalan Sungai Landak, kawasan Cilincing, Jakarta Utara,
malam itu sepintas sama saja dengan kawasan pinggiran ibu kota lainnya.
Bangunan, deretan toko, dan pedagang kaki lima saling berimpitan di
sepanjang jalan menuju kawasan industri yang dikelola Kawasan Berikat
Nusantara.
Jauh dari ingar-bingar pusat Kota Jakarta, masyarakat di dekat kawasan
Pantai Marunda, kampung tempat asal si Pitung, pahlawan Betawi, tersebut
kini mengembangkan cara transaksi yang tak biasa. Yakni, menjadikan dirham
sebagai alternatif alat pembayaran. Saat ini, sudah sepuluh toko dan warung
yang menerima transaksi dengan uang logam dari perak itu.
Layaknya uang rupiah, keping perak tersebut laku untuk membeli nasi goreng,
nasi uduk, isi ulang pulsa handphone, martabak, hingga obat-obatan. ''Ada
sekitar 30 warga di sini yang biasa menggunakan dirham,'' kata Abdul Haris,
46, seorang pemilik toko obat, kepada Jawa Pos.
Dia merasa senang menerima uang dirham. Alasannya, nilai tukar uang itu
lebih stabil. ''Dan mudah ditukarkan lagi,'' ujarnya.
Lain lagi dengan Samil. Penjual nasi goreng berusia 41 tahun tersebut
menyatakan bisa menerima jika pelanggannya membayar dengan keping perak. Dia
tak punya motivasi muluk-muluk. ''Kalau saya sih yang penting uang, ya saya
terima. Yang penting saya tak rugi,'' ungkapnya.
Setelah menyelesaikan order sebungkus nasi goreng itu, Jawa Pos membayar
Samil dengan sekeping uang dirham. Dia lalu memberikan kembalian Rp 20 ribu.
Nilai tukar satu dirham saat ini setara dengan sekitar Rp 29 ribu.
Lalu, dari mana warga di sana bisa mendapat dirham? Lewat jaringan Wakala
(Pusat Dinar Dirham) yang berfungsi sebagai pusat distribusi dinar dan
dirham yang kini tersebar di berbagai kota.
Sofyan Aljawi, pemilik Wakala Al-Faqi, penyedia dinar dan dirham di
Cilincing, mengungkapkan, dirham mudah diterima di masyarakat setempat. ''Di
sini banyak orang Betawi. Mata uang mereka dulu ya perak. Bahkan, hingga
sekarang mereka menyebut rupiah dengan uang perak,'' katanya berkelakar.
Sofyan menuturkan, sosialisasi penggunaan mata uang dirham tersebut memang
baru dimulai dari kampung si Pitung itu. ''Saya yakin akan semakin banyak
yang mau menggunakan dirham. Sebab, dirham sekaligus menjadi sarana
menabung,'' ujarnya.
Upaya menggunakan dinar dan dirham sebagai alat pembayaran tidak hanya
terbatas di Cilincing. Adalah Jaringan Wirausahawan Pengguna Dinar dan
Dirham Nusantara (Jawara) yang kini getol memasyarakatkan penggunaan keping
emas dan perak itu layaknya mata uang.
Jaringan tersebut ditopang oleh penyedia penukaran dinar-dirham bernama
Wakala Induk Nusantara yang saat ini memiliki 60 cabang yang tersebar di DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jogjakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Cabang
lainnya juga ada di Kalimantan, Sumatera, serta Sulawesi.
Namun, Wakala tidak hanya dimaksudkan sebagai tempat penukaran dinar dan
dirham (nilai tukar keping logam buatan anak perusahaan PT Aneka Tambang itu
bisa diikuti secara online). Mereka juga menyosialisasikan bahwa keping emas
dan perak bukan sekadar sarana investasi.
''Itulah yang membedakan kami dengan penyedia dinar dan dirham yang lain. Di
sini benar-benar menyediakan aktivitas transaksi dengan dinar maupun
dirham,'' jelas Zaim Saidi, direktur Wakala, yang juga pendiri Jawara, saat
ditemui di kantonya di Depok, Jawa Barat.
Saat ini, konsumen memang bisa mudah mendapatkan keping dinar dan dirham.
Termasuk di sejumlah toko emas. Namun, umumnya hanya digunakan untuk sarana
investasi, bukan transaksi. ''Hanya ditimbun. Padahal, prinsip dasar mata
uang itu untuk transaksi. Banyak yang mengatasnamakan syariah saat menjual
dinar dan dirham. Padahal, itu hanya untuk investasi,'' kata Zaim.
Satu dinar adalah keping emas seberat 4,25 gram atau jika dirupiahkan setara
sekitar Rp 1,447 juta. Satu dirham adalah keping perak seberat 2,975 gram
atau setara Rp 29.000.
Tekad menjadikan dinar dan dirham sebagai alat bertransaksi membuat Zaim dan
sejumlah rekannya menggagas jaringan bisnis terbuka yang menampung para
wirausahawan yang mau menerima dinar dan dirham sebagai alat bertransaksi.
''Kini, sudah ada sekitar 200 wirausaha yang bergabung,'' ungkap lulusan IPB
dan peraih master public affairs di Department of Government and Public
Administration, University of Sydney, Australia, tersebut.
Pebisnis yang bergabung berasal dari beragam bidang. Mulai toko pakaian,
jasa katering, biro perjalanan, penyedia peranti lunak, hingga desain
grafis. Zaim mengaku tidak bisa memantau nilai transaksi perdagangan di
antara anggota jaringan itu. ''Yang jelas, transaksi itu terus berjalan.
Sebab, prinsip dasarnya sukarela menggunakan dinar dan dirham,'' ujar ayah
lima anak tersebut.
Dia menuturkan, banyak keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan dinar
dan dirham sebagai alat transaksi. Sebab, mata uang itu terkenal paling
stabil dan bisa melawan ganasnya inflasi. ''Kita ini dipaksa menggunakan
rupiah di Indonesia. Lalu, ketika ke Singapura dipaksa menggunakan dolar
Singapura,'' ucap Zaim yang juga ketua PIRAC (Public Interest Research and
Advocacy Center) itu.
Padahal, kata dia, nilai setiap rupiah yang kita pegang akan terus jatuh.
''Tidak dirampok pun, nilai uang yang kita simpan di bank terus berkurang,''
tegas Zaim yang sudah menulis lebih dari sembilan buku tersebut.
Saat ini, kata dia, banyak yang memegang dinar dan dirham karena percaya
harga emas akan terus naik. Karena itu, mereka berpotensi memperoleh gain
(keuntungan). Konsep itulah yang menjadikan dinar sebagai alat investasi dan
komoditas murni.
Menurut Zaim, harga emas terus melambung karena uang kertas tergerus inflasi
cukup tinggi. Dia mengilustrasikan, pada 2000, ongkos naik haji hanya Rp 21
juta atau dengan kurs saat itu setara 71 dinar. Saat ini, ongkos menunaikan
ibadah haji malah turun jika menggunakan dinar, yakni 24 dinar atau Rp 35
juta. ''Jadi, kalau memegang dinar, justru ongkos berhaji turun. Tapi, kalau
dengan rupiah, naiknya sangat tinggi,'' jelasnya.
Dia menegaskan, usahanya memopulerkan penggunaan dinar dan dirham sebagai
alat pembayaran bukan ditujukan untuk melawan pemerintah. ''Kami tidak
melawan siapa pun. Ini prinsip dasarnya sukarela,'' tegas pria kelahiran 22
November 1962 tersebut.
Dia mengakui, penggunaan dinar dan dirham tidak cocok dengan sistem
perbankan. Bahkan dengan bank syariah sekalipun. Sebab, mata uang kertas
selalu termakan inflasi, sehingga menuntut adanya suku bunga. Hal itu
berbanding terbalik dengan dinar dan dirham yang nilainya justru naik.
Menurut Zaim, tak masalah jika selama ini dinar dan dirham tidak terhubung
dengan sistem perbankan. ''Lagi pula, berapa persen sih di antara seluruh
penduduk di Indonesia yang mengguankan sistem perbankan?'' ungkapnya.
Dalam sejarah, penggunaan uang kertas memang baru berusia 300 tahun. Bahkan,
lebih dari separo umur uang kertas itu dulu masih menggunakan deposit emas
sebagai jaminan. Emas itu secara riil disimpan bank sentral. Namun, sejak
sistem Bretton Woods yang ditandai lahirnya Dana Moneter Internasional (IMF)
dan Bank Dunia pada 1944, jaminan riil emas di bank sentral dihapus. Dengan
lahirnya sistem baru tersebut, bank sentral bisa mencetak uang tanpa
dikaitkan dengan cadangan emas di brankasnya.
Secara ekstrem, Zaim menyebut penggunaan uang kertas sebagai penipuan.
''Kita dipaksa mengakui bahwa selembar kertas bergambar Soekarno-Hatta itu
adalah uang seratus ribu rupiah,'' ujarnya.
Penggunaan dinar dan dirham sebagai transaksi, kata dia, juga sama sekali
tidak melanggar hukum positif. Sebab, tidak ada maksud untuk melawan
pemerintah atau otoritas moneter. Namun, dia dan teman-temannya di Jawara
berharap adanya pengakuan dari pemerintah. ''Seperti akupunktur. Dulu tidak
diakui oleh ilmu kedokteran, sekarang diakui dan bisa berpraktik di
Indonesia,'' ungkapnya. (el)
http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=110301
http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=27997
http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=50703
http://www.hariansumutpos.com/2010/01/dapat-nasi-goreng-plus-kembalian-rp20-
ribu.html
__._,_.___
Reply to sender | Reply to group
Messages in this topic (1)
Recent Activity:
Visit Your Group Start a New Topic
MARKETPLACE
Going Green: Your Yahoo! Groups resource for green living Switch to:
Text-Only, Daily Digest . Unsubscribe . Terms of Use.
__,_._,___
No comments:
Post a Comment