Oleh Erwyn Kurniawan, S.IP. (Editor Maghfiroh Pustaka)
Selasa, 12/01/2010 08:00 WIB
Jakarta, 1950-an. Sepasang suami istri terlibat perbincangan tak biasa di
sebuah rumah. Sang istri kecewa kepada suaminya. "Lho, kok dari kemarin
tidak bilang kalau ada sanering." Dengan entengnya, sang suami menjawab,
"Itu rahasia negara, jadi tidak boleh diberitahu."
Sang istri pantas kecewa sebab mimpinya untuk membeli mesin jahit hampir
buyar. Hanya untuk membeli mesin jahit, ia harus menyisihkan uang gaji
suaminya, selama bertahun-tahun. Sedikit demi sedikit ia menabung dengan
harapan suatu saat nanti bisa menghadirkan mesin jahit impiannya di rumah.
Namun, kebijakan sanering (pemotongan uang yakni nilai uang Rp 100 menjadi
Rp 1) membuat nilai tabungannya menurun, tak mencukupi untuk membeli mesin
jahit.
Tahukah Anda jika perempuan yang kecewa itu adalah Rahmi Hatta, istri
wakil presiden Mohammad Hatta? Sulit membayangkan, istri yang bersuamikan
orang nomor dua di Indonesia, harus menyisihkan uang pemberian suaminya,
hanya untuk membeli mesin jahit. Tapi itulah yang terjadi.
Seperti istrinya, Mohammad Hatta juga memiliki mimpi nyang tak terbeli:
sebuah sepatu Bally, merek sepatu terkenal dan mahal. Pada tahun 1950-an,
Bung Hatta berminat pada sepatu itu. Ia menyimpan guntingan iklan yang
memuat alamat penjualnya. Ia menabung dari waktu ke waktu untuk dapat
membelinya. Namun, uang tabungan tampaknya tidak pernah mencukupi.
Tabungannya selalu terambil untuk keperluan rumah tangga dan membantu
saudaranya. Hingga akhir hayatnya sepatu itu tidak pernah terbeli karena
tabungannya tidak pernah mencukupi. Sementara guntingan iklan sepatu Bally
masih tersimpan saat ia wafat.
Jakarta, 28 Desember 2009. Wajah-wajah sumringah terpancar dari pejabat
tinggi negeri ini. Hari itu, mereka mendapat mobil dinas baru: Toyota
Royal Saloon 3.000 cc. Harganya Rp 1,3 miliar per buah, menurut pihak
Toyota. Namun, Mensesneg Sudi Silalahi membantahnya. "Di bawah Rp 1
miliar," katanya.
"Sunyi senyap," ujar Menteri Negara Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta
saat ditanya kesannya menaiki mobil dinas baru. "Terima kasih kepada Bapak
Presiden atas mobilnya," ungkap Gusti (www.detik.com).
"Itu kan bukan punyaku, anggap saja dari rakyat. Numpang pakai punya
rakyat masa tidak boleh?" ujar Ketua MPR Tauifik Kiemas, Senin
(28/12/2009) yang menganggap mobil tersebut pemberian rakyat.
Ketua DPD RI Irman Gusman menganggap mobil dinas barunya mobil biasa.
"Kalau 'wow' itu (dapat) Ferrari atau Mercedes," ujarnya. (www.detik.com)
Menurut Sudi Silalahi, alasan pemerintah mengganti mobil pejabat dari
jenis Camry menjadi Toyota Crown Royal Saloon 3.000 cc tidak berlebihan.
Sebab, mobil Camry yang dibeli lima tahun lalu sering masuk bengkel.
"Usia pakai kendaraan selama lima tahun sudah menunjukkan ketidakefektifan
lagi. Digunakan Camry, kita sering kali masuk bengkel," katanya.
Indonesian Budget Center (IBC) menganalisis, pengadaan mobil mewah pejabat
menyedot APBN sekitar Rp 106 miliar. Harga 1 unit dikabarkan sekitar Rp
1,3 miliar. Sumber lain menyebutkan, mobil mewah yang diadakan melalui
APBN-P 2009 itu, untuk 80 unit, beban pajak (PPnBM) yang harus ditanggung
negara sekitar Rp 785 juta per mobil atau totalnya sebesar Rp 62,8 miliar
(www.depkeu.go.id). Uang tersebut cukup untuk menggratiskan biaya
pendidikan sekitar 2.300 siswa setingkat SMP dalam setahun. (Republika)
Kesederhanaan tak lagi dimiliki oleh kebanyakan pemimpin di negeri ini.
Berkebalikan dengan Hatta, para pemimpin sekarang justru berlomba-lomba
menjadi orang mewah. Dulu, Hatta hanya bisa bermimpi memakai sepatu Bally
agar kakinya terasa nyaman saat berjalan. Kini, para petinggi negeri ini
tak lagi bermimpi meraih kenyamanan hidup. Kursi empuk Royal Saloon,
dengan AC yang sejuk, dan kedap suara, menemani perjalanan mereka,
diiringi lagu-lagu favorit dari compact disc dan tayangan tv.
Islam mengajarkan kita untuk menjadi orang kaya agar bisa memberikan zakat
dan infak kepada kaum dhuafa. Agar ekonomi umat maju dan kaum muslimin
memimpin dunia. Tapi, kaya dan mewah adalah dua hal yang sangat berbeda.
Menjadi kaya adalah keharusan; hasil kerja keras yang tak kenal lelah.
Namun, mewah adalah sebuah gaya hidup yang menunjukkan karakter seseorang.
Kita harus kaya, tapi tak boleh bermewah-mewahan.
"Bermegah-megahan telah melalaikan kamu" (At-Takaatsur: 1)
Dalam buku Tafsir Qur'an Per-Kata yang ditulis DR Ahmad Hatta, MA, yang
dimaksud dengan "bermegah-megahan" adalah "kesibukan memperbanyak harta
dan anak." Dan yang dimaksud "telah melalaikan kamu" adalah "lalai dari
ketaatan kepada Allah."
Jelas sekali, kemewahan hidup yang kita lakukan hanyalah akan membuat kita
lalai kepada Allah. Kita akan terus tergoda untuk bermegah-megahan. Kita
akan terus terlena, bahkan, kata Allah, "Sampai kamu masuk ke dalam
kubur." (At-Takaatsur:2)
Itulah mengapa Rasulullah saw tak hidup dalam gelimang kemewahan, meski ia
sosok yang kaya raya. Ya, Nabi Akhir Zaman itu bukan orang miskin. Ketika
beliau menikahi Khadidjah, mahar yang diberikan olehnya adalah 70 ekor
unta. Bahkan ada yang mengatakan 100 unta. Hanya orang yang kaya raya yang
mampu memberikan mas kawin sebanyak itu.
Tahukah kita apa alas tidur Nabi saw? Hanya tikar dan berbantal pelepah
daun kurma yang bekas-bekasnya akan terlihat jelas di punggung dan wajah
beliau ketika bangun tidur. Di rumahnya pun sering kali tak memiliki
makanan sehingga Nabi saw berpuasa.
Kita pernah memiliki konglomerat generasi pertama pada sosok Abdurrahman
bin 'Auf. Ketika ia berkumpul dengan para pembantunya, sulit membedakan
mana Abdurrahman bin 'Auf dan pembantunya. Mengapa? Karena pakaiannya yang
sangat sederhana. Ia sadar dunia hanya tempat singgah sebentar saja.
Itulah kehidupan generasi pertama Islam: dunia dalam gengamannya tapi
mereka tidak mau diperbudak oleh dunia.
Jika kita percaya bahwa kemewahan akan meninggikan harga diri kita,
yakinlah itu sama sekali tidak benar. Justru kesederhanaanlah yang membuat
orang lain menghargai kita. Ingatkah dengan Mahatma Ghandi ? Ia memimpin
perjuangan dengan memakai tenunan bangsa sendiri dan terompah lokal yang
tak bermerk. Tapi, setiap ia menoleh ke kanan, sebanyak 300 juta rakyat
India ikut menoleh ke kanan. Bila ia membaringkan tubuhnya di rel kereta
api, mereka pun akan ikut berbaring disana.
Apakah dengan Toyota Royal Saloon para pemimpin negeri ini bermimpi mampu
menggerakkan 250 juta rakyatnya? Tak akan bisa. Alih-alih mengikuti,
rakyat justru muak dengan parade mobil mewah. Mengutip kata almarhum
Rahmat Abdullah dalam bukunya Pilar-Pilar Asasi, rakyat akan berkata "
Engkau adalah penyanyi bayaranku dengan uang yang kukumpulkan susah payah.
Bila aku bosan aku bisa panggil penyanyi lain yang kicaunya lebih memenuhi
seleraku."
Erwyn Kurniawan, S.IP, Editor Maghfiroh Pustaka, Alumni Universitas
Nasional
Sumber: Eramuslim
No comments:
Post a Comment