From: ãL-HãwãÐåã <ainhawadaa@yahoo.com>
Date: 2009/12/28
Subject: [assunnah-qatar] HAKEKAT TAWAKAL
To:
HAKEKAT TAWAKAL
Disusun oleh Abu Mushlih Al Jukjakarti
Allah ta'ala berfirman yang artinya, "Dan bertawakallah hanya kepada Allah jika engkau beriman" (QS. Al Maa'idah [5}: 23).
Syaikh Ibnu 'Utsaimin menjelaskan bahwa hakekat tawakal adalah bersandar kepada Allah subhaanahu wa ta'ala dalam rangka meraih apa yang diinginkan dan menolak hal-hal yang tidak disukai dengan dilandasi rasa percaya sepenuhnya kepada Allah, serta dengan menempuh cara-cara yang diperbolehkan oleh syari'at.1
Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan menerangkan bahwa kata 'tawakal' memiliki asal makna i'timad atau bersandar. Sehingga apabila ada ungkapan, "Tawakkaltu 'alallaahi tawakkulan" artinya "i'tamadtu 'alaihi" (aku bersandar kepadanya).
Hakekat tawakal adalah apabila seorang hamba menyandarkan diri kepada Allah subhanahu wa ta'ala dengan sepenuh hati dalam berbagai kemaslahatan agama dan dunianya dengan disertai melakukan sebabsebab yang mengantarkan kepada tujuan selama cara itu diperbolehkan oleh syari'at. Dengan demikian tawakal itu meliputi keyakinan hati, penyandaran diri serta melakukan amal perbuatan.
Yang dimaksud dengan i'tiqad di sini adalah meyakini bahwa segala urusan ada di tangan Allah. Segala sesuatu yang dikehendaki Allah pasti terjadi. Dan segala yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak terjadi. Allah semata pemberi manfaat, madharat, pemberi karunia dan yang berhak mencegah pemberiannya. Setelah dia meyakini hal itu maka hendaknya dia menyandarkan hatinya kepada Allah serta percaya sepenuhnya kepada-Nya. Dan kemudian setelah itu dia melaksanakan bagian yang ketiga yaitu melakukan cara-cara yang diperbolehkan agama.2
RUKUN TAWAKAL
Untuk bisa mewujudkan tawakal diperlukan dua hal, yaitu :
1. Bersandar kepada Allah dengan sungguh-sungguh 2. Menempuh cara-cara yang diperbolehkan untuk melaksanakan keinginannya
Barangsiapa yang terlalu bersandar kepada sebab lahir/cara yang ditempuh maka tawakalnya kepada Allah semakin berkurang. Sehingga hal ini membuatnya secara tidak langsung mencela kekuasaan Allah untuk bisa mengatasi segala problema. Yaitu tatkala seorang hamba menjadikan seolah-olah hanya cara itulah yang menjadi inti keberhasilan, agar apa yang diinginkan tercapai dan apa yang tidak disukai hilang.
Dan barangsiapa yang membuat tawakalnya kepada Allah menyebabkan dirinya melalaikan usaha/cara maka sesungguhnya ia telah mencela hikmah Allah. Karena Allah menciptakan segala sesuatu memiliki sebab musabab. Sehingga orang yang semata-mata bersandar kepada Allah tanpa mau menjalani sebab maka tindakan tersebut merupakan bentuk celaan terhadap hikmah yang Allah tetapkan. Padahal Allah itu Maha bijaksana (Al Hakiim) yang mempertautkan antara sebab-sebab dengan akibat-akibatnya. Seperti contohnya orang yang menyandarkan dirinya kepada Allah demi mendapatkan anak tapi tidak mau menikah.
NABI TELADAN DALAM BERTAWAKAL
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling hebat tawakalnya. Meskipun demikian beliau juga tetap menjalani sebab. Beliau membawa perbekalan apabila hendak bepergian. Begitu pula tatkala berangkat ke peperangan Uhud beliau mengenakan dua lapis baju perang (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Demikian juga ketika berangkat untuk berhijrah beliau juga memilih orang sebagai penunjuk jalan (HR. Al Bukhari), beliau tidaklah mengucapkan,"Saya mau berangkat berhijrah dan akan bersandar kepada Allah, tanpa mencari teman untuk menunjukkan jalan bersamaku". Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam juga melindungi tubuhnya dari sengatan panas dan dinginnya cuaca. Dan itu semua sama sekali tidak mengurangi tawakal yang ada pada diri beliau shallallahu 'alaihi wa sallam.
TAWAKAL PALSU
Ada sebuah kisah yang menceritakan bahwa di masa 'Umar radhiyallahu 'anhu pernah ada sekelompok orang Yaman yang berangkat haji tanpa membawa perbekalan. Maka mereka pun dipanggil untuk menghadap 'Umar. Kemudian 'Umar menanyai mereka. Mereka mengatakan, "Kami adalah orang-orang yang bertawakal kepada Allah". Maka 'Umar menimpali, "Kalian bukan termasuk orang yang bertawakal. Tetapi kalian adalah orang yang pura-pura tawakal".
TAWAKAL SEPARUH AGAMA
Tawakal merupakan setengah dari agama Islam. Oleh sebab itulah kita senantiasa mengucapkan do'a di dalam shalat kita, "Iyyaaka na'budu wa iyyaaka nasta'iin". Hanya kepada Engkau lah kami beribadah dan hanya kepada Engkau lah kami meminta pertolongan. Kita meminta pertolongan kepada Allah karena kita bersandar kepada- Nya, karena kita meyakini hanya Allah lah yang mampu membantu kita dalam melaksanakan ibadah kepada- Nya. Allah ta'ala pun memerintahkan (yang artinya),"Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya" (QS. Huud [11] : 123). Allah juga membawakan perkataan salah seorang Nabi3-Nya (yang artinya),"Hanya kepada- Nya lah aku bertawakal dan kembali taat." (QS. Huud [11] : 88). Ibadah tidak akan terwujud tanpa adanya tawakal. Karena apabila seorang manusia dibiarkan untuk mengurusi dirinya sendiri dan ditelantarkan maka sesungguhnya dia telah disandarkan kepada sifat kelemahan dan ketidakmampuan. Sehingga dia tidak akan bisa tegar menjalani ibadah.
DUA MACAM TAWAKAL KEPADA ALLAH
Tawakal kepada Allah ada dua macam4 :
1. Bertawakal kepada-Nya dalam rangka meraih kepentingan hamba yang berupa rezki, kesehatan dan kepentingan dunia yang lainnya
2. Bertawakal kepada-Nya dalam hal urusan-urusan agama demi meraih keridhaan-Nya Tawakal jenis yang pertama memiliki tujuan yang baik meskipun substansi tujuan yang ingin dicapainya bukanlah ibadah karena ia murni terkait dengan kepentingan yang bersifat duniawi pada diri hamba.
Maka bertawakal kepada Allah (bergantungnya hati kepada-Nya) untuk meraih tujuan itu dinilai ibadah, dan itu merupakan sumber berkembangnya kemaslahatan agama dan dunianya. Adapun jenis (tawakal) yang kedua, maka substansi tujuan yang hendak digapai adalah ibadah maka tidak ada cela sedikitpun padanya karena ia merupakan permintaan tolong kepada Allah untuk menggapai sesuatu yang diridhai-Nya. Oleh sebab itu pelaku tawakal jenis kedua ini adalah orang yang benar-benar merealisasikan makna Iyyaaka na'budu wa iyyaaka nasta'iin5.
MINIMNYA TAWAKAL DI DALAM HATI
Apabila seorang hamba beribadah kepada Allah dengan disertai perasaan sedang bersandar dan bertawakal kepada Allah maka sesungguhnya dia akan mendapatkan pahala atas ibadahnya tersebut dan pahala atas tawakalnya. Akan tetapi fenomena yang banyak menimpa kita adalah terlalu lemahnya tawakal. Sehingga apabila beribadah atau menjalani kebiasaan kita tidak merasa sedang bersandar dan bergantung kepada Allah sehingga perbuatan kita itu bisa terlaksana. Bahkan, ironisnya sebagian besar di antara kita biasanya terlalu mengandalkan cara dan sebab lahiriyah, dan lupa terhadap apa yang ada di balik itu semua. Maka hilanglah pahala yang sangat besar dari kita, yaitu pahala bertawakal. Demikian pula halnya tatkala kita tidak mendapatkan taufik untuk bisa meraih keinginan dan menghindar dari sesuatu yang tidak kita inginkan. Baik hal itu terjadi karena adanya penghalang yang membuat keinginan kita itu tidak terwujud sama sekali atau berkurang nilainya. Maka kitapun lupa untuk kembali menyandarkannya kepada Allah ta'ala.
TAWAKAL IBADAH DAN KETUNDUKAN
Tawakal itu ada tiga macam :
1. Tawakal ibadah dan ketundukan 2. Bergantung kepada orang dalam hal rezki dan urusan keduniaan lainnya 3. Menyerahkan urusan kepada seseorang yang dia percayai.
Jenis yang pertama yaitu tawakal ibadah dan ketundukan adalah ketergantungan diri secara penuh kepada sesuatu yang disandari. Sehingga di dalam hatinya terdapat keyakinan bahwasanya di tangan sesuatu itulah kekuasaan untuk mendatangkan kemanfaatan dan menolak madharat. Keyakinan inilah yang mendorongnya untuk bertawakal kepadanya dengan sepenuh hati. Maka tawakal yang seperti ini hanya diperbolehkan ditujukan kepada Allah ta'ala. Barangsiapa yang memalingkan tawakal semacam ini kepada selain Allah maka dia adalah musyrik dengan kategori syirik akbar. Sebagaimana yang terjadi pada orang-orang yang bergantung kepada orang-orang shalih yang sudah mati atau yang tidak hadir (tidak bisa berkomunikasi dengannya)6. Hal semacam ini tidak mungkin terjadi tanpa adanya keyakinan bahwa mereka itu memiliki kemampuan tersembunyi untuk turut campur dalam mengatur perjalanan kejadian di alam semesta, sehingga adanya keyakinan itu membuat mereka bergantung dan bersandar kepada mereka (orang-orang shalih atau wali) demi mencapai manfaat dan menolak bahaya. Kesimpulannya, tawakal jenis pertama ini syirik akbar jika dutujukan kepada selain Allah.
BERGANTUNG KEPADA ORANG LAIN DALAM URUSAN DUNIAWI
Tawakal yang semacam ini tergolong perbuatan syirik ashghar (syirik kecil). Ada pula ulama yang mengatakan bahwa ia termasuk jenis syirik khafi (syirik yang samarsamar).. Seperti contohnya kebanyakan orang yang terlalu menyandarkan hatinya terhadap mata pencaharian yang digelutinya dalam rangka mendapatkan rezki. Sehingga anda akan menemukan keadaan orang semacam ini yang merasa bahwa dirinya sangat bersandar dan begitu membutuhkan bos, direktur, majikan atau juragan yang mempekerjakannya, dan dia meyakini bahwasanya mereka itu bukan sekedar sebagai sebab datangnya rezki saja, akan tetapi lebih dari itu.
Kesimpulannya tawakal jenis kedua ini adalah syirik ashgar. Dan dosa syirik ashghar itu lebih berat jenisnya daripada dosa maksiat. Di dalam ayat terdahulu Allah mewajibkan kita untuk bertawakal hanya kepada-Nya. Yaitu pada tawakal jenis yang pertama dan kedua. Ayat di atas juga menunjukkan bahwasanya tawakal merupakan salah satu konsekuensi atau syarat keimanan. Karena di dalam ayat tersebut Allah berfirman yang artinya,"..bertawakallah kepada Allah jika kalian benar-benar beriman."
Maka orang yang bertawakal (menggantungkan hatinya) kepada selain Allah8 berada dalam salah satu di antara dua keadaan9 :
Pertama : Kehilangan kesempurnaan iman yang hukumnya wajib ada, karena ia terjerumus dalam syirik ashghar.
Kedua : Kehilangan seluruh keimanan, karena ia terjerumus dalam syirik akbar. Wallahul musta'aan10.
KAEDAH PENGAMBILAN SEBAB
Dalam urusan mencari kemanfaatan dan menolak bahaya (untuk urusan agama maupun dunia) berlaku kaedah pengambilan sebab yang digali oleh para ulama dari dalil-dalil syari'at. Kita diperbolehkan menempuh suatu cara atau jalan sebagai jalan keluar dari masalah apabila memenuhi ketiga buah syarat berikut ini :
1. Hanya mencari sebab atau cara yang diizinkan oleh agama, tidak boleh memakai sebab yang haram atau tidak terbukti berdasarkan penelitian ilmiah atau pengalaman yang logis. 2. Hati bergantung sepenuhnya kepada Allah 3. Meyakini bahwa berhasil atau tidaknya hanya Allah yang menentukan11
Kaedah di atas termasuk kaedah yang sangat penting untuk dipahami oleh kaum muslimin, terlebih lagi bagi para penuntut ilmu. Karena dampak hukum yang timbul akibat meninggalkan syarat-syarat yang tercantum dalam kaedah ini memiliki akibat yang beraneka ragam. Ada yang sampai pada derajat keharaman, syirik ashghar, dan bahkan syirik akbar atau kekafiran !!
Wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammadin wa 'ala aalihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillaahi Rabbil 'alamiin. Selesai disusun ulang Jum'at 9/1/1429 Di Yogyakarta Semoga Allah membersihkannya serta wilayah kaum muslimin yang lainnya dari segenap kemusyrikan
Abu Mushlih Al JukjakartiSemoga Allah mengampuninya, Juga kedua orang tuanya dan seluruh umat Islam.
CatatanKaki:
1 Sebagian besar pembahasan tawakal ini kami sadur dari Al-Qaul Al Mufid, 2/28-30 dengan sedikit perubahan dan penambahan dari sumber yang lainnya. 2 Lihat Hushuulul ma'muul, hal. 83-84 3 Yaitu Nabi Syu'aib 'alaihis salam 4 Lihat Hushulul ma'mul, hal. 84 5 Lihat juga Al Fawa'id, hal. 83-84. 6 Sebagaimana yang dilakukan oleh para pemuja kubur di sisi kubur para wali yang berdoa kepada arwah wali yang sudah mati itu untuk menyampaikan hajatnya kepada Allah 7 Ketika itu Nabi berkurban 100 ekor unta, dan 63 ekor beliau sembelih dengan tangan beliau sendiri yang mulia, sisanya diserahkan kepada Ali. 8 Maksudnya tawakal jenis yang kedua dan yang pertama 9 Dan kedua-duanya sama-sama buruknya. Wallahul musta'aan. 10 Sampai di sini pembahasan yang kami ambil dari Al Qaul Al Mufid 11 Lihat Al Qaul As Sadiid, hal. 34-35. Lihat juga Al Fawa'id, hal.84. Muadz bin Jabal radhiallaahu 'anhu, beliau berkata, "Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasalam bersabda, 'Telah berfirman Allah Subhanahu wa ta'ala: 'Telah berhaklah cinta-Ku orang-orang yang saling mencintai karena Aku, saling bermajelis karena Aku, saling menziarahi karena Aku dan saling berkorban karena Aku'." (al-Muwaththa Imam Malik 2/94)1) |
No comments:
Post a Comment