Alwi Alatas, Mahasiswa PhD International Islamic University Malaysia
Kamuflase Umat Kristiani di Indonesia
Monday, 21/12/2009 08:44 WIB
Cetak | Kirim | RSS
Dalam beberapa hari ke depan, umat Kristiani akan merayakan hari raya
mereka, yaitu hari raya Natal. Di Indonesia, agama yang dibawa ke
tanah air oleh kaum kolonialis ini merupakan minoritas. Namun, mereka
merupakan minoritas yang cukup besar pengaruhnya. Selain itu, upaya
mereka yang sangat gigih dalam melakukan aksi misionaris terhadap umat
Islam telah meningkatkan jumlah populasi mereka dari tahun ke tahun.
Tulisan ini ingin membahas salah satu aspek dari strategi umat
Kristiani di Indonesia dalam upaya mereka mempengaruhi umat Islam.
Tapi biarlah kami memulainya dengan sebuah cerita dari negeri
tetangga.
Beberapa waktu yang lalu Malaysia sempat diramaikan oleh perdebatan
tentang penggunaan kata 'Allah' di dalam Alkitab berbahasa Melayu.
Kaum Muslimin, melalui beberapa tokohnya, mengkritik penggunaan kata
ini oleh kalangan Kristiani. Penolakan ini disebabkan beberapa hal,
antara lain karena kata 'Allah' bukan merupakan terjemahan kata 'God'
yang digunakan oleh Bible berbahasa Inggris. Istilah Melayu untuk kata
'God' adalah 'Tuhan.'
Jadi mengapa umat Kristiani begitu ngotot ingin menggunakan kata
'Allah,' dan bukannya kata 'Tuhan' di dalam Alkitab yang mereka
gunakan?
Persoalan ini kembali ditanyakan oleh seorang peserta yang menghadiri
kajian tentang worldview of Islam yang dibawakan oleh Prof. Naquib al-
Attas di Kuala Lumpur hari Ahad malam, 13 Desember 2009. Saat ditanya
pendapatnya tentang penggunaan kata 'Allah' oleh umat Kristiani di
Malaysia, Prof. Naquib dengan tegas mengatakan bahwa ia sudah
menyikapi persoalan ini sejak beberapa tahun yang lalu. Ketika
mendengar keinginan pendeta-pendeta Kristen di Malaysia untuk
menggunakan kata 'Allah' dalam Alkitab, maka beliau mengundang para
pemimpin Kristiani dan petinggi negara untuk berdialog di lembaga yang
beliau pimpin ketika itu, yaitu ISTAC.
Beliau bertanya kepada tokoh-tokoh Kristen tersebut mengapa mereka
ingin menggunakan kata 'Allah.' "Karena kami ingin berdoa dalam bahasa
Melayu," jawab mereka. "Tapi kata Melayu yang tepat untuk istilah God
dalam Alkitab adalah istilah Tuhan," sanggah Prof. Naquib. "Selain
itu," lanjutnya, "kata 'Allah' bukan merupakan bahasa Melayu. It comes
from a tradition that not belongs to you."
Setelah menegaskan bahwa mereka seharusnya menggunakan kata 'Tuhan,'
Prof. Naquib menjelaskan bahwa kata itu pun pada akhirnya akan mengacu
pada Allah. Karena Allah adalah Rabbul 'Alamin, Tuhan alam semesta.
Tidak ada yang bisa menghindar dari-Nya. Tapi kata 'Allah' tidak dapat
dipergunakan oleh umat Kristiani karena mereka tidak menyifati-Nya
sebagaimana mestinya. Allah tidak memiliki anak dan Dia tidak
diperanakkan.
Jadi bagaimana mungkin umat Kristiani hendak menggunakan nama Allah
tapi pada saat yang sama mengatakan bahwa Dia mempunyai anak, atau
mengatakan bahwa Dia merupakan salah satu dari tiga oknum dalam
trinitas? Ini sebabnya mengapa nama Allah tidak semestinya digunakan
di dalam Alkitab.
Prof. Naquib mengkritik sikap pemerintah Malaysia yang sempat
memutuskan untuk membawa persoalan tersebut untuk diputuskan di dalam
Mahkamah. Ini bukan urusan mahkamah, ini merupakan urusan umat Islam,
karena nama Allah berasal dari tradisi mereka. Jadi apa hak mahkamah
untuk membuat keputusan dalam persoalan ini?
Prof. Naquib tidak menjelaskan lebih jauh bagaimana perkembangan
persoalan tersebut lebih jauh di Malaysia, apakah orang-orang Kristen
di sana tetap bersikukuh memaksakan keinginannya atau tidak.
Bagaimanapun, hal ini membuat kami berpikir jauh tentang keadaan di
tanah air. Betapa kaum Muslimin di Indonesia telah berkali-kali
'kecolongan' dalam persoalan ini.
Bukan hanya dalam penggunaan kata 'Allah' di dalam Alkitab, tetapi
juga penggunaan berbagai istilah Islam oleh komunitas Kristiani di
tanah air. Penulis cukup banyak mengetahui persoalan ini karena
penulis sendiri selama lebih dari sepuluh tahun menjalani pendidikan
di sekolah-sekolah Kristen dan banyak anggota keluarga penulis yang
juga mengalami hal yang sama.
Kami menulis ini dengan sedikit rasa penyesalan mengapa tidak menulis
persoalan ini lebih awal. Penyesalan menjadi bertambah besar karena
heran melihat nyaris tidak adanya para ulama di Indonesia yang
memiliki sikap tegas terkait dengan persoalan ini.
Kalangan Kristen di Indonesia sejak lama telah menggunakan kata
'Allah' di dalam Alkitab mereka. Kata ini masuk dan menjadi mapan di
dalam agama Kristen tanpa ada tantangan sama sekali dari kaum
Muslimin. Mereka biasa menyebut 'Tuhan Allah' di dalam doa-doa mereka.
Hanya saja cara penyebutan mereka terhadap kata ini berbeda dengan
kaum Muslimin. Mereka membacanya dengan bunyi 'Alah', bukan
sebagaimana lafadz yang digunakan dalam bahasa Arab.
Namun umat Kristiani di Indonesia tidak berhenti sampai di situ...
Mereka juga menggunakan kata 'syafaat' dalam tradisi mereka. Lima
belas atau dua puluh tahun yang lalu, penulis sempat kaget saat
melewati sebuah gereja di Kwitang menjelang perayaan Natal. Di sana
terbentang sebuah spanduk dengan berisi ajakan merayakan hari Natal
'dalam rangka mendapatkan syafaat ...'. Apa yang mereka maksud dengan
syafaat? Mereka jelas tidak mengambil istilah ini dari bahasa Yunani,
Latin, ataupun bahasa Aramaic. Ini jelas bersumber dari bahasa Arab
dan dari tradisi Islam.
Lalu atas tujuan apa mereka tiba-tiba menggunakan kata ini? Apakah
karena mereka mengetahui bahwa kata ini memiliki posisi yang sangat
penting di kalangan sebagian besar umat Islam Indonesia? Apakah dengan
menggunakan kalimat ini mereka bermaksud mengecoh kaum Muslimin yang
tidak mendalam ilmu agamanya dan hendak mengeksploitasi harapan mereka
yang tinggi untuk mendapatkan syafaat dari Nabi Muhammad shallallahu
'alaihi wasallam dengan mengatakan bahwa Yesus juga memiliki syafaat?
Umat Kristiani di Indonesia juga menggunakan kata syahadat. Di sekolah-
sekolah Kristen, setidaknya sebagiannya, murid-murid diajarkan doa
syahadat. Belakangan ini kami juga mendapat informasi bahwa beberapa
kalangan Kristen meniru kebiasan kaum Muslimin dalam mengucapkan insya
Allah. Tapi bukannya mengucapkan kalimat yang sama, mereka mengubahnya
menjadi insya Yesus. Apa sebenarnya yang diinginkan umat Kristiani
Indonesia dengan semua ini?
Apakah mereka sudah tidak memiliki identitas yang jelas sampai
kemudian tanpa rasa malu mengambil dari tradisi Islam? Apakah mereka
sudah mengalami kebangkrutan sehingga terpaksa comot sana comot sini
dan memakai milik orang lain – tanpa minta izin pula?
Selain hal di atas, ada persoalan lain dari penggunaan bahasa di
Indonesia yang perlu dikaji ulang. Selama bertahun-tahun, ejaan bahasa
Indonesia telah mengalami perubahan yang semakin menjauhkannya dari
bahasa Arab dan Islam. Dulu kita menyebut 'ilmu hayat,' kini kita
menamainya 'ilmu biologi.' Dulu kita menggunakan istilah 'izin,' kini
'ijin'; dulu 'alfabet' kini 'alpabet.'
Semua kata yang berasal dari bahasa Arab atau yang berbunyi ke-arab-
araban dijauhkan dan diberi bunyi yang berbeda. Seorang kawan kami
mengistilahkan ini sebagai 'Krsitenisasi bahasa.' Mungkin ini sebuah
istilah yang berlebihan. Namun sama sekali tidak salah jika ini
disebut sebagai 'de-Islamisasi bahasa.'
Ustadz Rahmad Abdullah, almarhum, dengan sangat jeli mengamati
digunakannya kata-kata tertentu yang bersumber dari Islam ke dalam
bahasa sehari-hari, tapi dengan diberi konotasi negatif. Misalnya saja
kalimat semisal 'gajinya telah disunat.' Kata 'disunat dalam kalimat
tersebut maksudnya jelas, yaitu dipotong secara semena-mena, atau
dengan kata lain dikorupsi. Mengapa sebuah istilah yang mulia dalam
Islam, yaitu sunat atau khitan, bisa digunakan dengan konotasi begitu
buruk dalam bahasa Indonesia?
Kita juga sering mendengar istilah 'nafasnya senin-kamis' yang mengacu
pada kelemahan dan tidak adanya kekuatan. Mengapa menggunakan istilah
senin-kamis? Semua orang tahu kalau hari Senin dan Kamis adalah hari
disunahkannya kaum Muslimin berpuasa. Apa tujuan digunakannya kata-
kata ini di dalam bahasa sehari-hari?
Ada banyak contoh-contoh lain di samping yang telah kami sebutkan di
atas. Penulis memang tidak memiliki bukti untuk mengatakan bahwa
contoh-contoh yang terakhir ini dilakukan oleh pihak Kristen. Yang
jelas, kesalahan ada pada kaum Muslimin Indonesia sendiri karena
mereka telah lalai dari hal ini. Karena itu, kaum Muslimin, khususnya
para wartawan, jurnalis, dan penulis Muslim, perlu meneliti ulang dan
membongkar kembali penggunaan istilah-istilah tertentu yang tidak
pantas. Kaum Muslimin perlu menyusun ulang strategi bahasa mereka.
Kami ingin kembali pada upaya kalangan Kristiani yang dapat dilihat
secara langsung wujudnya. Selain yang telah disebutkan pada bagian
awal tulisan ini, kita masih menemukan berbagai hal yang mereka
lakukan. Kini mereka bukan hanya mengambil istilah 'Allah' dan
beberapa istilah kunci lainnya, mereka juga menggunakan istilah
tilawatil Injil dan membuat kaligrafi bahasa Arab dengan muatan nilai-
nilai Kristen.
Mereka juga dengan bangga menyiarkan komunitas orang-orang Betawi yang
telah masuk Kristen lengkap dengan pakaian tradisional mereka: sarung,
baju koko, dan peci untuk yang pria, dan kebaya serta kerudung untuk
yang wanita. Sebaiknya umat Islam bersiap-siap. Mungkin tidak lama
lagi mereka akan mulai membaca 'tahlil' dan merayakan 'maulid.' Naudzu
billahi min dzalik.
Hal ini membuat kami bertanya, apakah mereka sudah tidak merasa
sungkan lagi melakukan kamuflase secara terang-terangan? Selain itu
kami juga ingin bertanya, apakah umat Kristiani di Indonesia sama
sekali sudah tidak menghargai orisinalitas dalam agama mereka sendiri?
Apakah mereka sudah tidak memiliki harga diri sehingga menempuh cara-
cara semacam ini dalam beragama?
Sebetulnya praktek-praktek semacam ini sama sekali bukan hal yang baru
dalam agama Kristen sejak era Paulus (Saul of Tarsus). Paulus-lah yang
telah mengalihkan ajaran yang dibawa Yesus kepada orang-orang Romawi,
walaupun sesungguhnya Yesus (Nabi Isa) mengkhususkan ajarannya kepada
orang-orang Yahudi saja. Sejak itu agama Kristen mengadopsi berbagai
kebiasaan dan tradisi masyarakat pagan agar agama yang mereka bawa ini
bisa diterima oleh mereka, walaupun konsekuensinya adalah hilangnya
orisinalitas, identitas, dan karakter asal agama mereka.
Sejak itulah penganut Kristiani membolehkan orang tidak bersunat,
padahal Alkitab sendiri menjelaskan betapa Yesus (Nabi Isa) tidak
menyukai orang-orang yang tidak bersunat. Mereka menjadikan hari-hari
suci kaum pagan sebagai hari suci mereka, antara lain tanggal 25
Desember (hari Natal) dan hari Minggu (Sunday atau harinya Matahari).
Mereka juga mengalihkan pemujaan kaum pagan terhadap patung-patung
dewa-dewi menjadi pemujaan terhadap patung-patung salib, Yesus, dan
Bunda Maria. Jadi tidak heran jika hal itu kini juga dilakukan di
Indonesia.
Kami tidak mengangkat persoalan ini dengan maksud supaya para pembaca
dan kaum Muslimin secara umum menjadi marah dan bersikap emosional,
atau mengamuk dan menimpakan sesuatu yang buruk kepada umat Kristiani.
Karena bukan seperti itu tuntunan Islam. Tapi kita, khususnya para
ulama, perlu mengkaji ulang persoalan ini secara mendalam. Kita perlu
mengangkat persoalan ini ke permukaan, menanyakan langsung kepada
tokoh-tokoh Kristiani apa yang menjadi tujuan mereka dengan melakukan
ini semua.
Kita perlu menegaskan kepada mereka bahwa mereka tidak berhak dan
tidak sepatutnya mengambil apa-apa yang berasal dari tradisi Islam.
Barangkali bagi umat Kristiani orisinalitas dan identitas sama sekali
tidak penting, tapi kita mesti menjelaskan bahwa bagi kaum Muslimin
keduanya sangat penting. Kalaupun umat Kristiani telah jatuh miskin
dan bangkrut sehingga kehilangan perbendaharaan dari tradisi mereka
sendiri dan karenanya ingin mengambil dari tradisi lain, maka silahkan
mereka mengambilnya dari tradisi selain Islam. Silahkan mereka
meminjamnya dari Hindu, dari Budha, dari Yahudi, atau dari tradisi
agama lainnya (itupun kalau masing-masing agama itu mengijinkan).
Tapi jangan mengambil dari tradisi Islam. Hal ini bukan karena kaum
Muslimin pelit atau bakhil. Tetapi karena pada setiap perbendaharaan
tradisi itu ada hak dan posisinya sendiri yang telah diatur di dalam
Islam. Ketika istilah-istilah tersebut diambil dan dimasukkan dalam
kerangka ajaran Kristen, maka posisinya telah menjadi jauh berubah dan
hak yang dimilikinya telah tercerabut dari nilai yang sesungguhnya.
Dan ini merupakan suatu kezaliman. Dalam Islam, sesuatu yang tidak
ditempatkan sebagaimana mestinya merupakan suatu kezaliman. Semakin
besar kesenjangannya, maka semakin besar juga kezalimannya.
Biar kami pertegas lagi persoalannya supaya lebih jelas. Umat
Kristiani menggunakan kata 'Allah' di dalam Alkitab. Ini merupakan
kata yang sepenuhnya bersumber dari tradisi Islam dan sama sekali
tidak ada dalam tradisi Kristen. Dalam ajaran Islam, Allah itu Esa.
Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Tapi kata 'Allah' dimasukkan
ke dalam Alkitab dan pada saat yang sama dijelaskan bahwa 'Allah'
mempunyai anak atau 'Allah' merupakan salah satu dari tiga oknum pada
trinitas. Ini merupakan sebuah penistaan dan kezaliman yang besar.
Dalam Islam syahadat merupakan sebuah kesaksian dengan formulasi utama
berupa kesaksian bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah dan
kesaksian bahwa Nabi Muhammad merupakan utusan Allah. Tetapi umat
Kristiani tidak mengakui Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam
sebagai utusan Allah. Jadi bagaimana mereka hendak begitu saja
meminjam istilah syahadat sambil melucuti maknanya. Ini adalah sebuah
kezaliman.
Demikian juga dengan istilah syafaat. Dalam Islam, syafaat diberikan
oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dan bukan oleh nabi-
nabi yang lain, termasuk Nabi Isa 'alaihis salam. Apakah kalangan
Kristen hendak mengambil kata ini sambil menyuruh manusia mengharapkan
syafaat dari Yesus? Ini juga merupakan sebuah kezaliman.
Sekiranya mau menggunakan perbendaharaan kaum Muslimin boleh saja
asalkan siap untuk menerima dengan segala pemaknaan serta keyakinan
yang ada di dalamnya. Kalau tidak demikian maka janganlah mengambil
sama sekali. Kalau umat Kristiani mengatakan bahwa mereka sama sekali
tidak mengetahui persoalan ini, maka kini kita telah
memberitahukannya, dan karenanya mereka harus mengembalikan kepada
umat Islam dan segera kembali pada konsep-konsep dan terminologi
mereka sendiri.
Kalau mereka melakukan dengan sengaja dengan tujuan untuk mengacaukan
identitas kaum Muslimin dan dengan tujuan menciptakan kebingungan di
tengah-tengah mereka, maka ini adalah sebuah kejahatan yang mesti
dihentikan.
Tapi yang terpenting dari itu semua adalah kita mesti mendidik
generasi kaum Muslimin supaya mereka memiliki pemahaman yang baik
terhadap Islam dan supaya mereka memiliki ilmu agama yang memadai.
Sekiranya kaum Muslimin memiliki ilmu yang cukup baik, maka mereka
tidak akan mudah terkecoh dengan taktik dan kamuflase yang dilakukan
oleh orang-orang diluar kelompok mereka.
Para da'i dan ulama Islam perlu memberikan pendidikan lebih luas
kepada kaum Muslimin, khususnya yang berada di pedesaan, serta
mengangkat perekonomian mereka, supaya mereka tidak mudah terpedaya
dengan bujuk rayu pihak lain... Ini merupakan sebuah tugas yang amat
mendesak bagi kita semua. Semoga Allah senantiasa memberi kekuatan
kepada kaum Muslimin dan memberi petunjuk kepada orang-orang yang
belum memahami kebenaran.
Kuala Lumpur, 14 Desember 2009
Alwi Alatas, Mahasiswa PhD International Islamic University Malaysia
(IIUM) dan penulis buku
http://www.eramuslim.com/suara-kita/pemuda-mahasiswa/alwi-alatas-mahasiswa-phd-international-islamic-university-malaysia-kamuflase-umat-kristiani-di-indonesia.htm
No comments:
Post a Comment