From: Bayu Gautama
Sent: Wednesday, March 24, 2010 7:34 PM
Kenali Tanda Alam, Kurangi Resiko Bencana
Selasa sore, 23 Maret 2010, seluruh warga Kampung Legok Hayam berkumpul di
salah satu rumah warga, mereka kedatangan tim ACT – Aksi Cepat Tanggap
wilayah Jawa Barat yang dikomandani Cucum Salman. Sebelumnya tim ACT
mendapat laporan tentang tanah yang retak di dua kampung di Desa Giri Mekar,
yakni Kampung Legok Hayam dan Kampung Batununggal, Kecamatan Cilengkrang,
Kabupaten Bandung. Warga yang tidak mengerti betul bahaya yang mengancam
wilayahnya, mendapat penjelasan dari tim ACT.
Kepada warga, Cucum dan beberapa relawan lainnya meminta keterangan tentang
tanda-tanda alam yang tak biasa terjadi dalam rentang waktu satu pekan
terakhir. Warga menjelaskan, bahwa sepekan sebelumnya banyak bermunculan
sumber air baru di wilayahnya, dan selang dua-tiga hari, sumber air baru dan
sumber air yang lama tiba-tiba keruh. Selain itu, beberapa pohon seperti
pohon bambu dan lainnya terlihat tidak stabil atau bahkan sedikit miring.
Mendengar penjelasan warga tersebut, ditambah melihat langsung beberapa
retakan di tanah, tim ACT bekerjasama dengan aparat setempat meminta warga
segera mengosongkan rumah dan mengungsi ke tempat yang aman. Sore itu juga
sekitar 150 KK mengungsi ke tempat yang telah ditentukan yang dianggap aman.
Terdapat tidak kurang dari 600 jiwa dari dua kampung itu pun mengungsi,
sebagian besarnya wanita dan anak-anak. Mereka ditempatkan di beberapa tenda
yang sudah segera didirikan tim ACT.
Malam harinya, suara gemuruh terdengar dari arah bukit tempat rumah-rumah
warga dua kampung itu berdiri. Ternyata, sekitar lima belas rumah roboh
seketika dan ratusan rumah lainnya retak. Beruntung seluruh warga sudah
meninggalkan rumahnya dan sama sekali tidak ada korban jiwa. Bisa
dipastikan, dalam waktu dekat, rumah-rumah lainnya pun akan ikut roboh jika
hujan terus mengguyur wilayah tersebut karena kontur tanah yang tidak
stabil. Warga sangat bersyukur mereka selamat dari musibah yang mengancam.
Sosialisasi dan Edukasi
Dari pengalaman diatas mengajarkan kepada kita tentang pentingnya mengenal
dan sekaligus menganalisa tanda-tanda alam berkenaan dengan bencana. Orang
tua dahulu, dengan segala kearifannya sangat mengerti tanda-tanda alam
sebelum terjadinya bencana. Contoh kejadian diatas misalnya, munculnya
sumber air baru di beberapa titik adalah pertanda akan terjadinya longsor,
atau bila di daerah gunung berapi, bila hewan-hewan gunung sudah mulai turun
bisa juga jadi pertanda gunung akan meletus.
Banyak sekali tanda-tanda atau fenomena alam yang sebenarnya mengisaratkan
kepada penduduk bumi untuk senantiasa waspada terhadap ancaman bencana.
Allah menciptakan bencana tak semata karena murka, melainkan juga sebagai
mekanisme alam untuk memerbaiki sistem alam itu sendiri. Bencana juga bisa
dipandang sebagai sebuah cara makhluk bumi belajar menjalani hidup, teramat
banyak hikmah dari sebuah bencana. Jadi bila bencana datang terus menerus,
bukan berarti Allah tengah murka berkepanjangan kepada sebuah wilayah yang
tertimpa musibah itu, boleh jadi sebaliknya, Allah tengah menyayangi wilayah
itu beserta penghuninya. Hanya saja kadang nalar kita tak sanggup menangkap
sinyal sayang Allah itu, sehingga yang terasa dan terlihat hanyalah bentuk
amarah Allah saja.
Bencana sebagai sarana belajar, telah turun temurun dihayati oleh nenek
moyang kita. Entah karena pengaruh perkembangan jaman yang serba modern dan
mengandalkan teknologi mutakhir, sehingga hal-hal yang semestinya
dipertahankan dalam berkehidupan kita justru kini semakin hilang. Padahal
bentuk-bentuk kearifan lokal (local wisdom) takkan pernah bisa tergantikan
oleh teknologi secanggih apapun. orang-orang di masa kini yang cenderung
mengagungkan teknologi tinggi perlu juga belajar tentang bagaimana
orang-orang di masa lalu menghadapi bencana. Bencana sudah ada sejak manusia
pertama hadir di muka bumi, artinya yang pernah menghadapi bencana bukan
hanya kita yang hidup saat ini. Melainkan juga mereka yang hidup di masa
lalu. Bagaimana mereka bisa bertahan? Bagaimana cara mereka berlindung dan
menghadapi bencana? Ini yang perlu kita pelajari bersama.
Bukan orang tua dahulu yang tak mau mengajarkan berbagai hal tentang
kearifan lokal, melainkan orang muda yang kerap menganggap segala yang
berasal dari masa lalu adalah hal usang yang sudah selayaknya ditinggalkan.
Kita menganggap "kolot" petuah-petuah, wejangan dan nasihat orang tua, dan
menganggap kita lebih tahu cara menghadapi kehidupan di masa kini. "Masanya
kakek itu puluhan tahun lalu, belum tentu bisa diterapkan saat ini. Kuno,
ketinggalan jaman…." Dan lain sebagainya.
Padahal terbukti, kearifan lokal yang masih dipertahankan lah yang membuat
kita selamat dari bencana, dan sebaliknya ketika pelanggaran demi
pelanggaran terjadi, kemudian bencana pun menyusul. Contoh sederhana,
tentang aturan penebangan pohon dengan diameter yang telah ditentukan untuk
boleh ditebang. Ketika penebangan liar sudah membabi-buta dan menghantam
tanaman yang belum layak ditebang, tidak ada lagi penahan air yang
mengakibatkan tanah longsor dan banjir bandang. Di laut pun demikian, orang
tua kita mengajarkan cara menangkap ikan dengan jala, lubang jala pun dibuat
dengan ukuran khusus yang bila mengenai ikan-ikan yang masih kecil bisa
lepas kembali. Artinya, hanya ikan yang sudah cukup besarlah yang akan
tertanggap jala. Coba lihat, banyak yang menggunakan alat peledak untuk
menangkap ikan? Di masa datang, anak cucu kita akan kekurangan gizi karena
kekurangan ikan di laut.
Ini yang bersifat pencegahan, pelajaran tentang bencana sangat diperlukan
untuk mengurangi dampak resiko bencana. Pentingnya generasi sekarang
memahami bencana, bukan hanya proses kejadian bencana itu sendiri dan
bagaimana menghadapinya. Anak-anak kita perlu juga diajarkan penyebab
bencana terjadi dan bagaimana mengurangi dampak resikonya. Setidaknya, kalau
pun bencana itu harus menghancurkan rumah, namun tidak sampai menelan korban
jiwa. Bila hanya sedikit korban jiwa yang bisa ditimbulkan akibat bencana,
kenapa harus menjadi banyak? Pertanyaan ini hanya akan mampu kita jawab
bersama dengan terus menerus mempelajari serta mensosialisasikan segala hal
tentang kebencanaan kepada anak cucu kita.
Generasi sekarang perlu diberi pemahaman bahwa penanganan bencana bukan
sekadar mendatangkan relawan, tim medis dan aksi evakuasi begitu bencana
terjadi. Apalagi sekadar memberi bantuan sembako dan pakaian layak pakai.
Jauh lebih penting dari itu semua adalah bentuk-bentuk edukasi, bisa berupa
training, penyuluhan dan sosialisasi yang tak henti kepada seluruh lapisan
dan elemen masyarakat tentang bahaya dan potensi bencana, dan bagaimana
mengantisipasinya, sekali lagi bukan sekadar bagaimana menghadapinya. Ini
yang disebut mitigasi, atau pengurangan dampak resiko bencana.
Mitigasi merupakan bagian penting dari rangkaian manajemen bencana.
Indonesia termasuk wilayah dengan potensi bencana yang besar dan beragam,
mulai dari gempa, banjir, banjir bandang, angin puting beliung, kebakaran
hutan, gunung meletus, dan termasuk bencana-bencana yang disebabkan oleh
faktor kesalahan manusia (human error), seperti kebakaran rumah, peledakan,
atau bencana teknologi seperti kebocoran gas, semburan lumpur dan masih
banyak lagi. Termasuk dalam kategori bencana adalah wabah penyakit seperti
kasus flu burung dan flu babi beberapa waktu lalu.
Apakah kita akan menyalahkan orang lain atas musibah ini? Atau bahkan
menuding Allah sebagai penyebab segala bencana? Tidak juga, karena sekali
lagi bencana bisa merupakan mekanisme alam untuk memerbaiki sistem atau
boleh juga dipandang sebagai cara Allah untuk tetap membuat manusia belajar
dan ingat kepada-Nya,bahwa Allah lah penguasa alam semesta dan Maha
Berkehendak atas apa-apa yang diciptakan dan dikuasai-Nya. Mencari siapa
yang salah dalam setiap bencana tentu tak membuat kita semakin cerdas
menghadapi bencana berikutnya. Bencana mengandung unsur pembelajaran, maka
sepatutnya setiap makhluk memelajari gejala dan potensi bahaya suatu
bencana.
Kalaulah seekor hewan di pegunungan bisa memahami bahwa gunung akan segera
meletus, seharusnya manusia yang dianugerahi akal dan kecerdasan jauh lebih
mampu memahami fenomena alam sebelum terjadinya bencana. Sampai hari kiamat
nanti bencana akan terus terjadi, dan kita tidak perlu menghindar dari
wilayah-wilayah dengan potensi bencana besar. Sebab, semua wilayah sudah
ditentukan pula potensi bencananya, seperti halnya Allah menentukan potensi
rejeki dan kebaikan satu wilayah tertentu. Allah Maha Adil bukan?
Lari dan menghindari bencana bukan ciri orang yang bersyukur, ia mau
menikmati rejeki dan kebaikan alam, namun tak mau menghadapi resiko alam
yang dianggap merugikan. Belajar dari setiap bencana yang sudah pernah
dialami orang-orang terdahulu adalah cara yang bijaksana mengantisipasi dan
menghadapi bencana. Alam memiliki potensi kebaikan dan juga potensi bahaya,
kita mau dengan senang hati mengambil dan memanfaatkan semua kebaikan alam,
pada saat yang sama kita pun harus rela mengenal , mengantisipasi dan bahkan
menghadapi potensi bahaya dari alam ini. Justru dengan mengenal alam inilah,
kita akan semakin cerdas memahami, menganalisa bagaimana mengurangi dalam
resiko bencana alam ini.
Kuncinya adalah terus menerus belajar, dengan belajar kita tidak perlu takut
dan menghindar dari bencana. Setelah kita mengerti jangan berhenti sampai di
diri sendiri. Ajarkan segala pengetahuan tentang bencana ini kepada
orang-orang terdekat kita, lingkungan kita, bahkan orang-orang yang bisa
kita temui sebanyak-banyaknya. Mari bersama mengurangi dampak resiko bencana
dengan serius memelajari fenomena alam, tanda-tanda alam, dan kearifan lokal
dari orang tua terdahulu. Sebarkan pemahaman yang kita miliki, sekecil
apapun, agar semakin banyak orang mengerti. Memberikan pemahaman kepada satu
orang, berarti Anda telah menyelamatkan orang tersebut. Bila semakin banyak
orang dan komunitas yang kita berikan pemahaman, semakin banyak pula yang
mengerti mengantisipasi dan menghadapi bencana.
Bencana bukan untuk ditakuti, hanya yang tak mampu mengenali tanda-tanda dan
potensinya lah yang benar-benar takut menghadapinya. Sudah teramat banyak
bencana terjadi di negeri ini, sudah jutaan pula korban jiwa akibat
kelalaian kita belajar dari bencana yang seolah tak henti menyapa kita.
Mulai sekarang kita bisa mengurangi dampak resiko bencana, dengan memelajari
potensi bencana dan mengajarkannya kepada orang-orang di lingkungan kita.
Semakin banyak orang yang memahami, akan semakin sedikit resiko bencana yang
ditanggung. Jangan ulangi kesalahan yang lalu, jika kita menyayangi dan
mencintai orang-orang terdekat, ajarilah mereka cara mengenal potensi
bencana dan cara menghadapinya. Jangan tunggu kesadaran seperti ini muncul
saat kita menangis di hadapan tubuh tergeletak orang-orang tercinta. (Gaw)
Bayu Gawtama
Direktur Program
ACT – Aksi Cepat Tanggap
http://actforhumanity.or.id
Bayu Gawtama
Life-Sharer
0852 190 68581
--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
To unsubscribe from this group, send email to milis_iqra+unsubscribegooglegroups.com or reply to this email with the words "REMOVE ME" as the subject.
No comments:
Post a Comment