Monday, April 12, 2010

[Milis_Iqra] Fw: Merangkai Disiplin

----- Original Message -----
From: masjid annahl

Sent: Tuesday, April 13, 2010 10:46 AM

Seri : Akhlak

SEUSAI ustadz menjelaskan rakaat-rakaat shalat, seorang anak bertanya:
"Mengapa tidak sekalian saja tujuh belas rakaat?" Anak yang baru duduk di
kelas dua Madrasah Ibtidaiyah ini penasaran. Dari seluruh rakaat shalat yang
berjumlah tujuh belas dalam tempo sehari semalam, dia berpikir mengapa tidak
sekaligus dilaksanakan dalam satu waktu. Bahkan anak itu juga sempat memberi
alasan. "Laksanakan saja seluruhnya pada waktu shubuh atau waktu maghrib,
biar tenang dan tidak mengganggu waktu belajar dan bermain di siang hari,"
paparnya singkat.
Ustadz tidak kalah pintar. Anak itu tidak langsung disalahkan. Ustadz
menjelaskan dengan memberi contoh yang lain. "Nah, kalau shalatnya
disekaliguskan," sela ustadz sambil mengajak anak berpikir, "Bagaimana kalau
makan juga disekaliguskan, jangan tiga kali dalam tempo sehari?" Ustadz
nampak berusaha menemukan argumentasi untuk memberikan penjelasan atas
pertanyaan kritis anak tadi.
Penjelasan singkat itu ternyata belum membuahkan hasil. Anak masih
bertanya-tanya, dan bahkan penjelasan itu telah memicu terjadinya diskusi
kecil yang melibatkan anak-anak lainnya.
"Gak bisa ustadz, nanti perutnya tidak bisa menampung makanan untuk satu
hari", sanggah seorang anak lagi.
"Kata dokter juga kalau makan jangan disekaliguskan," timpal yang lainnya.
"Tapi kalau bulan puasa kan bisa," sanggah yang lainnya lagi. "Waktu buka
puasa kita makan sekaligus, sampai perut penuh, sehingga siang bisa bertahan
tidak makan apa-apa," lanjutnya meyakinkan.
Ustadz yang pernah menghabiskan waktu hampir sepuluh tahun di pesantren itu
tentu bukan tidak punya alasan. Tapi yang tidak mudah baginya adalah
merumuskan alasan yang mudah diterima anak. Ustadz sebetulnya ingin
menjelaskan dalam kaitannya dengan tema disiplin hidup. Sebab, menurut
pemahamannya, pembagian waktu shalat itu, salah satunya, mengandung makna
disiplin. "Hidup itu harus disiplin," gumamnya sambil menatap satu persatu
wajah cerdas anak-anaknya.
Dia mulai mengingat-ingat isyarat Alquran (4: 103) yang menjadi dasar
pembagian waktu dalam shalat (kitâban mauqûta). Dia juga mulai tergoda untuk
membuka-buka kembali pikiran tentang landasan dibolehkannya menggabungkan
dua waktu shalat (shalat jamak), atau meringkas jumlah rakaatnya (shalat
qashar), dan bahkan kedua-duanya sekaligus (jamak dan qashar). Jadi, dengan
begitu, argumentasi dengan mengambil tamsil makan yang tidak bisa
digabungkan itu, sesungguhnya tidak akan menjawab pertanyaan anak. Toh,
karena alasan-alasan tertentu, kita dapat menggabungkan pelaksanaan dua
waktu shalat, seperti Dzuhur dengan Ashar atau Maghrib dengan Isya.
Untuk sementara, ustadz hanya bisa menjelaskan bahwa dengan tidak
menggabungkan seluruh waktu shalat, kita bisa melakukan lebih banyak wudlu
agar badan tetap bersih; melakukan lebih sering gerakan badan agar tubuh
tetap sehat; dan dengan cara berjamaah kita akan lebih sering bertemu untuk
memelihara tali silaturahmi. Di tengah kelelahan kerja yang biasa dilalui
sejak pagi hingga sore hari, dengan shalat kita juga diingatkan untuk
sejenak beristirahat di waktu Dzuhur, sehingga kita dapat memperoleh kembali
kondisi segar.
Dalam alur seperti itu, terdapat harmonisasi gerak tubuh yang bukan saja
dapat mengistirahatkan saraf-saraf otot yang mungkin lelah dengan kesibukan
atau pekerjaan, tapi juga menenangkan suasana psikologis yang sering tegang
menghadapi persoalan. Beberapa bagian tubuh kita dibasuh, menyegarkan
kembali pori-pori yang telah mengering atau terbalut keringat. Semuanya
mengalir mengikuti irama waktu yang telah ditentukan. Sejak Shubuh hingga
Dhuhur, dari Dhuhur sampai Ashar, dan demikian seterusnya. Seolah ada
gerakan mekanik yang menghidupkan kembali fungsi-fungsi organ tubuh sesuai
beban pekerjaan yang berbeda-beda.
Shalat tidak bisa dilaksanakan pada sembarang waktu. Alquran sendiri telah
mengisyaratkan adanya pembagian waktu itu, baik di kala siang maupun malam.
Nabi bahkan mencontohkannya dengan memelihara pelaksanaan shalat di awal
waktu. Dengan tidak menunda-nunda pelaksanaan shalat berarti kita telah
memelihara ritme gerakan tubuh sesuai fungsi yang dibutuhkan. Sebab tubuh
manusia memiliki cara kerja sendiri, baik berkaitan dengan bentuk gerakannya
maupun frekuensi serta ritme pelaksanannya. Secara biologis, penyimpangan
terhadap proses mekanis seperti itu biasanya dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan pada fungsi-fungsi tubuh.
Mungkin, di sinilah arti penting shalat dalam memelihara kesehatan tubuh.
Jika sejak awal shalat telah diwajibkan sebanyak lima kali sehari semalam,
maka hitungan itu telah disesuaikan dengan kebutuhan recharging
fungsi-fungsi fisiologis ataupun psikologis. Pengurangan frekuensi waktu
dari lima menjadi tiga atau empat hanya boleh dilakukan jika keadaan
darurat. Sebab keringanan untuk menggabungkan (menjamak) dan meringkas
(mengqashar) shalat hanya dapat dilakukan dengan alasan tertentu. Seseorang
tidak bisa sembarangan melakukannya. Ia terikat pada ketentuan-ketentuan
yang, meskipun sangat interpretatif, secara umum disepakati. Kondisi darurat
ataupun sedang dalam perjalanan (musafir) menjadi salah satu alasan untuk
melakukannya, meskipun pada praktiknya kedua alasan itu juga masih membuka
silang pendapat.
Inilah di antara hikmah mengapa shalat tidak dilakukan sekaligus tujuh belas
rakaat untuk jangka waktu sehari semalam. Shalat sejatinya dapat memelihara
kontinuitas kebajikan. Sebab kebajikan merupakan senyawa antara perilaku dan
motivasi yang dapat menenangkan pikiran. Kebajikan tidak pernah menjadi
beban pikiran, perasaan, ataupun tindakan. Karena itu, untuk memelihara
harmonisasi fungsi-fungsi fisik dan psikis yang ada di sekitar tubuh
manusia, diperlukan alat kontrol yang dapat membimbing perilaku.
Shalat juga dapat memelihara diri dari berbagai penyimpangan. Seperti
diisyaratkan Alquran (29: 45), jika dilaksanakan secara benar, shalat dapat
mencegah perilaku buruk dan munkar. Pencegahan perilaku buruk ini menjadi
pesan sosial yang melekat pada ajaran shalat. Kesetaraan, ketulusan,
kesucian, ketaatan, dan sikap saling menghargai adalah di antara pesan-pesan
sosial yang menjadi misi penting ibadah shalat. Sikap-sikap itulah yang
kemudian menjadi fasilitas proses pembiasaan yang pada gilirannya akan
membentuk perilaku disiplin.
Dalam konteks seperti inilah, saya kira, shalat menjadi alat kontrol efektif
untuk mendisiplinkan perilaku. Sementara disiplin merupakan bagian yang
sangat berarti bagi kehidupan. Tidak sedikit gangguan kesehatan timbul
karena problem disiplin. Gara-gara tidak disiplin makan, misalnya, muncul
gangguan pencernaan yang secara medis bukan sesuatu yang sederhana. Kurang
disiplin tidur, baik karena terlalu banyak, terlalu sedikit, atau karena
waktu yang tidak menentu, dapat mengakibatkan gangguan pada fungsi-fungsi
saraf. Terapinya, seperti disarankan banyak ahli, sangat sederhana:
disiplin!

sumber : www.alhikmahonline.com


--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125

Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63

Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-

To unsubscribe, reply using "remove me" as the subject.

No comments:

Post a Comment