Pendekatan dari sisi filsafat sesungguhnya tidak akan membuat topik
diskusi ini menjadi bertele-tele dan melebar kemana-mana sekiranya
anda sedikit merenungkan perumpamaan "Katak di bawah tempurung" yang
saya sampaikan terdahulu. Dengan perumpamaan tersebut, sesungguhnya
filsafat akan mengantarkan manusia untuk mengakui dan tunduk secara
sukarela atau terpaksa, bahwa manusia tidak akan mampu memikirkan
secara benar segala sesuatu yang berada di luar ruang berfikirnya,
sebagaimana katak yg tak akan mampu berfikir segala sesuatu yg berada
diluar tempurung, kecuali ada informasi yg benar masuk dalam wilayah
fikirnya. Ini yg saya maksudkan bahwa bila kita mendiskusikan segala
sesuatu yg berada diluar wilayah fikir kita (a.l. ttg tuhan), kita
butuh informasi yg benar yg datang dari luar wilayah fikir kita.
Diskusi ttg tuhan, tentunya butuh informasi yg benar dari tuhan itu
sendiri. Nah, kita dihadapkan pada banyak pilihan informasi ttg tuhan
yg diakui manusia datang dari tuhan yang yang terdapat dalam berbagai
ajaran agama. Oleh karena itu, kita butuh parameter agar dpt
menentukan bahwa informasi tsb benar dari tuhan.
Saya sependapat bahwa setiap manusia memiliki naluri beragama
sebagaimana anda jelaskan. Dan, saya sependapat juga bahwa memahami
ajaran agama harus bisa diterima secara rasional. Dalam konteks
rasionalisasi inilah yg saya maksudkan kita membutuhkan parameter agar
kita betul2 yakin bahwa pilihan ajaran agama yg kita akui benar dari
tuhan.
Dan, saya sependapat juga bahwa kita tidak dapat memberikan keyakinan
pd orang lain, krn itu adalah urusan masing2 utk meyakini sesuatu
ajaran.
Sekali lagi, sekiranya anda sedikit merenungkan perumpamaan "Katak di
bawah tempurung", saya yakin anda akan mengajukan parameter ttg
kebenaran informasi al qur-an dibanding dg informasi bibel sebagaimana
yg diminta Allah dlm al qur-an: "bahwa bila manusia meragukan
kebenaran informasi dalam al qur-an, dipersilahkan untuk membuat satu
surat semodel surat yg ada dalam al qur-an. Bila tidak mampu, dan
pasti tak akan mampu, maka tundukkan diri pada kebenaran al qur-an".
Coba bandingkan dg bibel, sebagaimana pengalaman buya Hamka yg di
tulisnya dalam buku beliau "Tasauf Modern" tat kala beliau berkunjung
ke Roma yang mana pada saat itu berkumpul para tokoh nasrani sedunia
utk merumuskan perbaikan bibel secara periodik setiap 15 tahun sekali.
Tentunya hal ini menunjukkan bahwa informasi dalam bibel telah ada
campur tangan manusia.
Dan apabila manusia masih tidak mau menundukkan diri pada al qur-an,
maka berlakulah surat al kafiruun. Dan benar kata anda, kita tidak
bertanggungjawab seseorang itu mau meyakini atau menolak.
Rasulullah pun ditegur Allah tat kala beliau meneteskan air mata saat
paman beliau menghadapi ajalnya.
Demikian, semoga Allah senantiasa membukakan hati kita utk menerima
berbagai informasi yg telah disampaikan dalam al qur-an. wass.ww.
On May 4, 12:03 am, Armansyah <armansyah.s...@gmail.com> wrote:
> Jawaban saya ini ditujukan kepada Rizal lingga dan Henry Danil sekaligus.,
>
> Katakanlah bahwa saya tidak sepenuh hati untuk berbicara tentang Tuhan dari
> sisi filsafat karena saya tahu hal tersebut hanya akan membuat topik
> perdiskusian menjadi semakin bertele-tele dan melebar kemana-mana sehingga
> dialog mengenai esensi kebenaran dari Tuhan itu sendiri melalui dua kacamata
> agama yang berbeda tidak akan sampai pada titik temunya. Namun sisi lemah
> saya adalah paling benci untuk mengecewakan orang yang sudah meminta
> pertolongan dengan sangat. Dalam hal ini adalah anda yang begitu inginnya
> pembahasan ketuhanan ini dimulai dari sisi filsafat.
>
> Baiklah, saya akan bikin mudah saja dialog kita ini --sebagaimana banyak
> dari tulisan inipun sebenarnya mungkin sudah sering lalu lalang dimilis ini
> sejak bertahun-tahun yang lalu--. Fakta dilapangan mengatakan kepada kita
> bahwa manusia dari jaman kejamannya selalu memilki Naturaliter Religiosa
> atau instink untuk beragama, (agama dalam tanda petik).
>
> Misalnya dalam kondisi gawat yang mengancam eksistensinya seperti terhempas
> ombak di tengah samudera dan pertolongan hampir mustahil diharapkan, hati
> manusia akan menyuruh untuk mengharapkan suatu keajaiban, demikian juga
> ketika seseorang sedang dihadapkan pada persoalan yang sulit, sementara
> pendapat dari manusia lainnya berbeda-beda, ia akan mengharapkan petunjuk
> yang jelas yang bisa dipegangnya. Percaya atau tidak, naluri atau instink
> ini selalu ada pada setiap diri manusia sekalipun ia seorang yang tidak
> percaya pada eksistensi tuhan sekalipun dan tuhan dalam keyakinan dan agama
> manapun.
>
> Orang-orang yang egonya tidak terkendali berusaha menepis instink tersebut
> dengan menolak semua hal-hal yang bersifat gaib atau tidak kasat mata,
> terlebih lagi fenomena adikodrati yang ada disekitar dirinya. Padahal,
> sekuat apapun ia meniadakan instinknya tersebut, instink itu tetap akan ada
> dan bersemayam didalam hatinya serta akan keluar pada suatu saat melalui
> berbagai caranya. Baik itu secara disadari ataupun tidak oleh ybs. Harapan
> dalam diri manusia akan adanya intervensi kekuatan-kekuatan tertentu [entah
> harapan akan munculnya sebuah keajaiban yang kebetulan atau apapunlah itu]
> intinya yang diharapkan bisa membantu disaat ia berada pada posisi kritis
> diberbagai segmennya dan itu membuat tujuannya tercapai adalah bukti tak
> terbantahkan bahwa jiwa manusia secara fitrah merupakan makhluk yang
> "bertuhan". Terlepas tuhan dalam defenisi dan bentuk apapun adanya itu.
> Seorang atheis yang sedang jatuh cinta, tentu dia berharap bahwa sang cinta
> tidak akan bertepuk sebelah tangan. Harapan itu yang notabene ada pada
> segmennya hati-emosional sebenarnya juga merupakan keinginan atas adanya
> campur tangan dari kekuatan lain diluar dirinya yang menggerakkan cinta sang
> pasangan pada dirinya.
>
> Dimasa lalu, kita melihat orang-orang primitif banyak yang lari pada
> animisme sebagai wujud dari cara mereka menyalurkan instik beragamanya. Baik
> tuhan-tuhan itu berupa dewa laut, dewa petir, jimat, pusaka atau bahkan
> pohon-pohon besar tertentu yang dianggap mampu melindunginya dan dianggap
> memiliki kekuatan tertentu. Ini sekali lagi memberikan gambaran bagi kita
> bahwa sejak dulu, sejak dari tahun waw, manusia sudah mempercayai akan
> keberadaan alam lain yang tidak kasat mata dan dapat memberikan pengaruh
> terhadap dunia manusia yang nyata. Hanya saja cara dan pemahaman mereka
> terhadap alam lain itu berbeda satu dengan yang lain, namun secara umum kita
> bisa menyimpulkan bahwa manusia meyakini akan keberadaan Kekuatan yang lebih
> berkuasa diatas manusia. Pada masa lalu itu, keterbatasan pengetahuan yang
> dimiliki oleh manusia sering membuat mereka cepat lari pada sesembahan yang
> mereka percayai itu sendiri; setiap ada fenomena alam yang tak bisa mereka
> mengerti misalnya saat ada petir, gerhana matahari atau gempa bumi atas yang
> lainnya mereka akan menyebut itulah tuhan mereka, sesembahan mereka sebagai
> tempat berlindung dari semua malapetaka yang diakibatkannya.
>
> Persepsi tentang gambaran "Tuhan" pada imajinasi manusia dimasa lalu
> --bahkan masa sekarang ini-- sering terjebak oleh dominasi subyektif dari
> perasaan atau emosi yang dilatar belakangi situasi dan kondisi. Hal ini
> menjadi latar belakang dari timbulnya *icon *atau perlambangan yang dianggap
> dapat mewakili perwujudan Tuhan dimana sang manusia tersebut dapat
> mencurahkan serta melampiaskan sensasi emosional dirinya secara lahiriah
> (dikenal juga sebagai aspek emotif). Misalnya ketika ia sedang sakit dan
> membutuhkan obyek yang menjadi tempat ia berkeluh kesah, merasa rindu dan
> ingin agar kerinduannya terobati secara fisik, merasa resah dan gelisah
> sehingga ia membutuhkan tempat untuk berbagi cerita dan beragam fenomena
> kehidupan lainnya yang sejenis. Manakala ia memiliki sebuah obyek yang
> dianggapnya bisa menggantungkan diri, harapan atau juga tumpuan dan itu
> berupa sesuatu yang sifatnya nyata, (bisa disentuh, bisa dilihat) maka ia
> akan relatif merasa lebih tenang secara lahiriah manakala menatap atau
> memegang *icon* alias simbol ketuhanan semacam patung, rosario, gambar dan
> lain sebagainya itu. Emosi diri yang meluap-luap dan tidak terkendali bisa
> menjebak orang pada konsep yang keliru dalam pemanfaatan simbol-simbol tadi
> sehingga mengarah pada pemujaan dan pengkultusan terhadap Tuhan yang bisa
> disimbolkan. Dengan bahasa sederhana, manusia telah mengerucutkan akal
> pikirannya tentang Tuhan sebatas apa yang bisa ia indera saja. Ketika "Tuhan
> lahiriahnya" tadi terbantahkan secara ilmiah, patah, hilang, hancur,
> terbakar atau tertinggal serta hal-hal sejenisnya, maka pada saat yang sama
> simanusia akan mengalami fenomena depersonalisasi atau hilang arah dan
> menekan instink keberagamaannya itu tadi sekuat tenaganya.
>
> Pencarian saya atas eksistensi tuhan dan validasi dari tuhan yang saya
> yakini itu sendiri sudah berakhir disuatu saat pada masa yang lalu dan itu
> bukan atas dasar yakin semata. Tuhan dan agama buat saya harus bisa saya
> cerna dengan akal saya, karena saya adalah manusia dan saya punya panca
> indera maka itulah standar baku paling utama yang saya manfaatkan untuk
> mencari Dia. Saya menolak orang yang berkata bahwa agamanya, tuhannya,
> doktrinnya hanya bisa di-"imani" dengan "iman", tidak bisa dirasionalkan,
> tidak dapat dicerna oleh akal. Tapi jika ybs merasa nyaman dengan apa yang
> saya sebut sebagai kesemuan itu, silahkan saja tetapi tidak untuk saya
> pribadi. Tuhan dan agama harus bisa saya mengerti dan Dia-pun harusnya
> mengerti keterbatasan saya untuk mengenal Dia. Jika Dia bertindak seolah
> tukang sulap atau dukun dengan seribu satu macam atraksi akrobatik yang
> membuat saya gila untuk mencernanya, maka saya akan bilang bahwa itu pasti
> bukan tuhan yang sebenarnya. Menyangkut fenomena mukjizat ini dan itu yang
> bersifat adikodrati, seperti yang sempat saya singgung dibeberapa pembahasan
> lalu, pasti ada jalan bagi kita untuk memahaminya sesuai batasan panca
> indera yang ada pada diri kita. Karenanya saya sepakat dengan salah seorang
> tokoh Kristen bernama St. Augustine yang mengatakan "Keajaiban yang
> bertentangan dengan alam tidak akan terjadi, ia melainkan hanya bertentangan
> dengan apa yang kita ketahui secara alami". Manusia mengalami berbagai
> tingkat dalam penguasaan ilmu pengetahuan, saya selalu percaya bila
> rahasia-rahasia mukjizat dapat disingkap seiring dengan perkembangan
> peradaban. Saya bukan penyembah akal tapi saya yakin Tuhan memberi manusia
> akal tidak lain adalah untuk dapat memahami cara Dia bekerja dan sekaligus
> membuktikan validasi eksistensi-Nya yang sesungguhnya.
> Untuk kesekian kalinya saya katakan bahwa Agama yang benar, konsepsi tuhan
> yang mestinya benar adalah ajaran yang manusiawi dan sangat membumi, sebab
> agama tidak mungkin diturunkan untuk menjadi beban atau hanya menyibukkan
> diri manusia pada doktrinal semu dengan dalih tuhan yang serba maha dan
> pandai bermain akrobatik.
>
> Saat Tuhan menurunkan wahyu-Nya, maka saat itu pula kita harus memahami
> wahyu tersebut untuk kita dan bukan untuk Tuhan. Karena memang Tuhan tidak
> punya kepentingan apapun dengan agama-Nya. Wahyu Tuhan ini turun kepada kita
> melalui berbagai proses dan metodenya hingga kemudian sampai kepada kita
> pada hari ini. Sebagai jembatan untuk memahami wahyu tersebut Tuhan telah
> menganugerahi akal kepada manusia. Dan akal itu adalah untuk berpikir,
> sehingga bisa sampai pada derajat keyakinan terhadap wahyu itu tadi.
>
> Keyakinan disini tentu saja pada level manusia, bukan pada level Tuhan.
> Dengan akal dan keyakinan itulah kita paham mana yang benar dan mana yang
> salah, mana rasional dan mana irrasional, mana pendapat yang lemah dan mana
> pendapat yang kuat. Oleh karena itulah buat saya agama itu adalah akal,
> tidak beragama orang yang tidak berakal dan tidak mau mempergunakan akalnya.
> Awal dari paham adalah mengerti, sementara awal dari mengerti adalah mau
> mencoba untuk mengerti, dan mau mencoba untuk mengerti itu baru ada setelah
> ada hal yang perlu dimengerti. Dan hal yang perlu dimengerti ini ada karena
> adanya kesamaan antara obyek yang memerlukan dimengerti tadi dengan
> kemampuan yang ada pada diri kita sebagai pihak yang akan mengartikannya.
>
> Manusia membutuhkan rasionalisasi dalam semua aspek kehidupannya, termasuk
> dalam doktrin-doktrin keimanannya, karena akal dan rasio adalah hakikat dan
> substansi manusia, keduanya mustahil dapat dipisahkan dari wujud manusia,
> bahkan manusia menjadi manusia karena akal dan rasio. Tolak ukur
> kesempurnaan manusia adalah akal dan pemahaman rasional yang ada padanya.
> Akal merupakan hakikat manusia dan karenanya agama diturunkan kepada umat
> manusia untuk menyempurnakan hakikat dirinya. Hal ini diaminkan juga oleh
> Joseph deLoux yang selanjutnya dikembangkan oleh Daniel Goleman dan Robert
> Cooper melalui *teori Suara Hati* mereka.
>
> Anda suka atau tidak dengan pembahasan saya diatas, maka itu adalah urusan
> anda dan bukan posisi saya buat memaksa anda...
>
> read more »
--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
No comments:
Post a Comment