Sunday, June 20, 2010

Re: [Milis_Iqra] Diskusi tentang Tuhan [Untuk Rizal Lingga]

Armansyah, sudah ketemu kok, dan inilah balasannya:

 

Armansyah:

Jawaban saya ini ditujukan kepada Rizal lingga dan Henry Danil sekaligus.,

Katakanlah bahwa saya tidak sepenuh hati untuk berbicara tentang Tuhan dari sisi filsafat karena saya tahu hal tersebut hanya akan membuat topik perdiskusian menjadi semakin bertele-tele dan melebar kemana-mana sehingga dialog mengenai esensi kebenaran dari Tuhan itu sendiri melalui dua kacamata agama yang berbeda tidak akan sampai pada titik temunya. Namun sisi lemah saya adalah paling benci untuk mengecewakan orang yang sudah meminta pertolongan dengan sangat. Dalam hal ini adalah anda yang begitu inginnya pembahasan ketuhanan ini dimulai dari sisi filsafat.

 

Anda mencurigai demikian karena apa topik yang mau dibicarakan tentang Tuhan itu sendiri belum jelas. Untuk memperjelasnya, saya berusaha membuat delapan point yang saya kirim dalam thread terpisah. Menyadari bahwa bagaimanapun juga Armansyah takkan mungkin terlepas dari alam pikiran islaminya, saya akan mengakomodasi dan memaklumi jawaban2 anda, karena nampaknya anda barangkali tidak mengenal disiplin berpikir secara filsafat..

 

Baiklah, saya akan bikin mudah saja dialog kita ini --sebagaimana  banyak dari tulisan inipun sebenarnya mungkin sudah sering lalu lalang dimilis ini sejak bertahun-tahun yang lalu--. Fakta dilapangan mengatakan kepada kita bahwa manusia dari jaman kejamannya selalu memilki Naturaliter Religiosa atau instink untuk beragama, (agama dalam tanda petik).

 

Saya setuju, sampai akhinya masuk zaman abad ke 18 terjadinya Renaisans yang memunculkan Rasionalisme, yang mulai mengedepankan skeptisisme dan akhirnya ateisme. Dengan asumsi bahwa apapun yang tak bisa diamati dan diukur  secara empiris, tidak layak untuk dibicarakan.

 

Misalnya dalam kondisi gawat yang mengancam eksistensinya seperti terhempas ombak di tengah samudera dan pertolongan hampir mustahil diharapkan, hati manusia akan menyuruh untuk mengharapkan suatu keajaiban, demikian juga ketika seseorang sedang dihadapkan pada persoalan yang sulit, sementara pendapat dari manusia lainnya berbeda-beda, ia akan mengharapkan petunjuk yang jelas yang bisa dipegangnya.  Percaya atau tidak, naluri atau instink ini selalu ada pada setiap diri manusia sekalipun ia seorang yang tidak percaya pada eksistensi tuhan sekalipun dan tuhan dalam keyakinan dan agama manapun. 

 

Tidak sepenuhnya. Orang yang rasionil tetap saja akan berusaha memecahkan masalahnya sekuat tenaga dengan kekuatan dan pikirannya sendiri, apalagi jika dia percaya bahwa jika  tuhan itu ada, maka itu adalah dirinya sendiri. Bagaimana dia mau berharap dan percaya kepada tuhan yang lain yang dia yakini tidak ada? Yang ada hanyalah kenyataan dan dirinya sendiri? Pada zaman ini, dimulai dari abad ke 20 dengan nama New Age Movement, berkembang suatu keyakinan bahwa tuhan itu adalah diri kita sendiri.

 

 

Orang-orang yang egonya tidak terkendali berusaha menepis instink tersebut dengan menolak semua hal-hal yang bersifat gaib atau tidak kasat mata, terlebih lagi fenomena adikodrati yang ada disekitar dirinya. Padahal, sekuat apapun ia meniadakan instinknya tersebut, instink itu tetap akan ada dan bersemayam didalam hatinya serta akan keluar pada suatu saat melalui berbagai caranya. Baik itu secara disadari ataupun tidak oleh ybs. Harapan dalam diri manusia akan adanya  intervensi kekuatan-kekuatan tertentu [entan harapan akan munculnya sebuan keajaiban yang kebetulan atau apapunlah itu] intinya yang diharapkan bisa membantu disaat ia berada pada posisi kritis diberbagai segmennya dan itu membuat tujuannya tercapai adalah bukti tak terbantahkan bahwa jiwa manusia secara fitrah merupakan makhluk yang "bertuhan". Terlepas tuhan dalam defenisi dan bentuk apapun adanya itu. Seorang atheis yang sedang jatuh cinta, tentu dia berharap bahwa sang cinta tidak akan bertepuk sebelah tangan. Harapan itu yang notabene ada pada segmennya hati-emosional sebenarnya juga merupakan keinginan atas adanya campur tangan dari kekuatan lain diluar dirinya yang menggerakkan cinta sang pasangan pada dirinya.

 

Apa yang diyakini manusia itu tak pernah terlepas dan diluar dari pendidikan dan pengalaman hidupnya. Apa yang berulang kali dialaminya, dipikirkannya, mengkristal didalam dirinya, itulah yang diyakininya. Saya malah percaya bahwa sebagian besar manusia yang katanya beragama ini sebenarnya tak percaya akan adanya tuhan. Sebab saya melihat dan mengamati kalau orang itu percaya Tuhan, dia takkan korupsi, menipu, berbohong, dan berlaku kejam terhadap sesama manusia. Dia melakukan berbagai kejahatan itu karena didalam hatinya sebenarnya dia tak percaya bahwa tuhan itu ada. Sebab kalau dia percaya Tuhan ada, maka dia takkan berani berbuat kejahatan.

Berbicara soal jatuh cinta bagi seorang ateis, itu tak lebih dari reaksi kimiawi rumit pada diri manusia terhadap lawan jenisnya, yang tujuan akhirnya tak lain dari pada seks dan mendapat keturunan.Tak lebih dari itu.

 

Dimasa lalu, kita melihat orang-orang primitif banyak yang lari pada animisme sebagai wujud dari cara mereka menyalurkan instik beragamanya. Baik tuhan-tuhan itu berupa dewa laut, dewa petir, jimat, pusaka atau bahkan pohon-pohon besar tertentu yang dianggap mampu melindunginya dan dianggap memiliki kekuatan tertentu.  Ini sekali lagi memberikan gambaran bagi kita bahwa sejak dulu, sejak dari tahun waw, manusia sudah mempercayai akan keberadaan alam lain yang tidak kasat mata dan dapat memberikan pengaruh terhadap dunia manusia yang nyata. Hanya saja cara dan pemahaman mereka terhadap alam lain itu berbeda satu dengan yang lain, namun secara umum kita bisa menyimpulkan bahwa manusia meyakini akan keberadaan Kekuatan yang lebih berkuasa diatas manusia. Pada masa lalu itu, keterbatasan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia sering membuat mereka cepat lari pada sesembahan yang mereka percayai itu sendiri; setiap ada fenomena alam yang tak bisa mereka mengerti misalnya saat ada petir, gerhana matahari atau gempa bumi atas yang lainnya mereka akan menyebut itulah tuhan mereka, sesembahan mereka sebagai tempat berlindung dari semua malapetaka yang diakibatkannya.

 

Itu adalah manusia ketika masih zaman animisme dan dinamisme. Dimana kekuatan2 alam yang berbeda-beda dipersonifikasinya kepada suatu pribadi seperti manusia tapi jauh lebih unggul dan berkuasa. Itulah awal mulanya timbul dewa-dewa. Yang kemudian disembah dan ditakutinya. Mereka berusaha menyenangkan hati dewa-dewanya dengan berbagai bentuk persembahan dengan tujuan agar dewanya itu tidak marah dan menyusahkan mereka, tapi malah akan menolong dan memberkati mereka.

 

Persepsi tentang gambaran "Tuhan" pada imajinasi manusia dimasa lalu --bahkan masa sekarang ini-- sering terjebak  oleh dominasi subyektif dari perasaan atau emosi yang dilatar belakangi situasi dan kondisi. Hal ini menjadi latar belakang dari timbulnya icon atau perlambangan yang dianggap dapat mewakili perwujudan Tuhan dimana sang manusia tersebut dapat mencurahkan serta melampiaskan sensasi emosional dirinya secara lahiriah (dikenal juga sebagai aspek emotif). Misalnya ketika ia sedang sakit dan membutuhkan obyek yang menjadi tempat ia berkelun kesah, merasa rindu dan ingin agar kerinduannya terobati secara fisik, merasa resah dan gelisah sehingga ia membutuhkan tempat untuk berbagi cerita dan beragam fenomena kehidupan lainnya yang sejenis. Manakala ia memiliki sebuah obyek yang dianggapnya bisa menggantungkan diri, harapan atau juga tumpuan dan itu berupa sesuatu yang sifatnya nyata, (bisa disentuh, bisa dilihat) maka ia akan relatif merasa lebih tenang secara lahiriah manakala menatap atau memegang icon alias simbol ketuhanan semacam patung, rosario, gambar dan lain sebagainya itu. Emosi diri yang meluap-luap dan tidak terkendali bisa menjebak orang pada konsep yang keliru dalam pemanfaatan simbol-simbol tadi sehingga mengarah pada pemujaan dan pengkultusan terhadap Tuhan yang bisa disimbolkan. Dengan bahasa sederhana, manusia telah mengerucutkan akal pikirannya tentang Tuhan sebatas apa yang bisa ia indera saja. Ketika "Tuhan lahiriahnya" tadi terbantahkan secara ilmiah, patah, hilang, hancur, terbakar atau tertinggal serta hal-hal sejenisnya, maka pada saat yang sama simanusia akan mengalami fenomena depersonalisasi atau hilang arah dan menekan instink keberagamaannya itu tadi sekuat tenaganya.

 

Benar, saya setuju sepenuhnya dengan apa yang anda katakana disini. Dimana tuhan itu hanya sekadar proyeksi emosional dari manusia itu yang memerlukan obyek yang lebih besar dan lebih berkuasa dan sekaligus bisa melindunginya. Artinya, manusia itu sendiri yang menciptakan tuhan menurut gambarannya sendiri.

Namun perlu anda sadari bahwa kebutuhan akan tuhan yang diciptakan tadi, sepenuhnya bersifat emosional psikologis, dan tak memerlukan penjelasan ilmiah, rasional dan logika. Karena kebutuhan psikologis manusia tak selalu bisa diukur secara empiris rasional, tapi nyata ada dan dibutuhkannya. Bagi orang-orang ateis, agama itu merupakan kesia-siaan dan kebodohan. Tapi bagi orang beragama, yang disembah itu merupakan obyek emosional spiritual yang dibutuhkannya. 

 

 

Pencarian saya atas eksistensi tuhan dan validasi dari tuhan yang saya yakini itu sendiri sudah berakhir disuatu saat pada masa yang lalu dan itu bukan atas dasar yakin semata. Tuhan dan agama buat saya harus bisa saya cerna dengan akal saya, karena saya adalah manusia dan saya punya panca indera maka itulah standar baku paling utama yang saya manfaatkan untuk mencari Dia.

Berarti Armansyah dengan jelas mengatakan bahwa konsep ketuhanan itu harus bisa masuk diakal dan rasionil. Dengan lain perkataan, apapun konsep ketuhanan itu, harus bisa masuk kedalam pemikiran Armansyah. Benarkah demikian?

Saya menolak orang yang berkata bahwa agamanya, tuhannya, doktrinnya hanya bisa di-"imani" dengan "iman", tidak bisa dirasionalkan, tidak dapat dicerna oleh akal. Tapi jika ybs merasa nyaman dengan apa yang saya sebut sebagai kesemuan itu, silahkan saja tetapi tidak untuk saya pribadi. Tuhan dan agama harus bisa saya mengerti dan Dia-pun harusnya mengerti keterbatasan saya untuk mengenal Dia. Jika Dia bertindak seolan tukang sulap atau dukun dengan seribu satu macam atraksi akrobatik yang membuat saya gila untuk mencernanya, maka saya akan bilang bahwa itu pasti bukan tuhan yang sebenarnya.

Jadi, demikianlah ketuhanan menurut konsep Armansyah. Harus bisa dimengerti, dimana tuhan yang dipahami Armansyah pun harus bisa memahami Armansyah sebagaimana yang anda inginkan, baru bisa terterima olehmu. Dengan lain perkataan, Armansyah sudah menentukan lebih dahulu tuhan bagaimana yang bisa diterimanya. Tuhan yang tak terterima oleh akal Armansyah, harus ditolak. Betul?

Konsep demikian sangat berbeda sekali dengan konsep saya. Sebagaimana saya harus bisa memahami istri saya sebagaimana dia adanya, supaya saya bisa hidup bersama dengannya, demikian juga saya harus bisa menerima Tuhan sebagaimana apa adanya Dia, supaya saya bisa akrab dan dekat denganNya. Sayalah yang harus menyesuaikan diri saya denganNya, bukan Dia yang harus menyesuaikan diri agar bisa saya terima. Sebab saya sadar betul siapa saya ini dan siapa Dia itu.   

 Menyangkut fenomena mukjizat ini dan itu yang bersifat adikodrati, seperti yang sempat saya singgung dibeberapa pembahasan lalu, pasti ada jalan bagi kita untuk memahaminya sesuai batasan panca indera yang ada pada diri kita. Karenanya saya sepakat dengan salan seorang tokoh Kristen bernama St. Augustine yang mengatakan "Keajaiban yang bertentangan dengan alam tidak akan terjadi, ia melainkan hanya bertentangan dengan apa yang kita ketahui secara alami". Manusia mengalami berbagai tingkat dalam penguasaan ilmu pengetahuan, saya selalu percaya bila rahasia-rahasia mukjizat dapat disingkap seiring dengan perkembangan peradaban. Saya bukan penyembah akal tapi saya yakin Tuhan memberi manusia akal tidak lain adalan untuk dapat memahami cara Dia bekerja dan sekaligus membuktikan validasi eksistensi-Nya yang sesungguhnya.
Untuk kesekian kalinya saya katakan bahwa Agama yang benar, konsepsi tuhan yang mestinya benar adalah ajaran yang manusiawi dan sangat membumi, sebab agama tidak mungkin diturunkan untuk menjadi beban atau hanya menyibukkan diri manusia pada doktrinal semu dengan dalih tuhan yang serba maha dan pandai bermain akrobatik.

Demikianlah Armansyah memahami Tuhan, mujizat dan keajaiban. Bahwa apa yang namanya adikodarti itu suatu saat nanti dengan berkembangnya ilmu pengetahuan bisa dimengerti secara keilmuan.

Mengenai soal agama, demikian jugalah agama menurut konsep Armansyah. Dimana Armansyah tidak menyukai Tuhan yang bertindak sebagai tukang sulap dan akrobatik. Bikin bengong dan takut manusia, diperumit lagi dengan doktrin2 yang ruwet. Konsepsi tuhan dan agama yang benar menurut Armansyah, haruslah membumi dan manusiawi.

Nah. Lihatlah Arman, apakah saya sudah mengartikulasikan yang kamu katakan dengan benar? Artinya, saya tidak harus setuju dengan semua yang kamu katakan disini, tapi saya berusaha menangkap pikiranmu dan merumuskannya. Apakah saya berhasil disini. Arman?


Saat Tuhan menurunkan wahyu-Nya, maka saat itu pula kita harus memahami wahyu tersebut untuk kita dan bukan untuk Tuhan. Karena memang Tuhan tidak punya kepentingan apapun dengan agama-Nya. Wahyu Tuhan ini turun kepada kita melalui berbagai proses dan metodenya hingga kemudian sampai kepada kita pada hari ini. Sebagai jembatan untuk memahami wahyu tersebut Tuhan telah menganugerahi akal kepada manusia. Dan akal itu adalan untuk berpikir, sehingga bisa sampai pada derajat keyakinan terhadap wahyu itu tadi.

Disini dengan jelas kamu sepenuhnya berpikir menurut alam pikiran Islami, dan sudah tidak lagi secara umum yang bisa secara netral dipahami. Tapi okelah, tidak apa-apa. Asal kamu sadar bahwa disini kamu tidak lagi berpikir secara umum, tapi sudah sebagai seorang Muslim. Dengan demikian kamu melangkahi proses animisme dan dinamisme, langsung masuk ke islamisme. Padahal sebelum Islam ada sudah ada Hindu, Buddha, Yahudi, dan Kristen. Dengan demikian kamu menganggap keempat agama besar yang sudah ada sebelum islam itu sebagai tidak perlu diperhatikan dan dikaji lagi bagaimana tuhan berkomunikasi kepada manusia melalui agama-agama besar tersebut. Kamu enggan atau kamu tidak tahu, Arman?

 
Keyakinan disini tentu saja pada level manusia, bukan pada level Tuhan. Dengan akal dan keyakinan itulan kita paham mana yang benar dan mana yang salah, mana rasional dan mana irrasional, mana pendapat yang lemah dan mana pendapat yang kuat. Oleh karena itulah buat saya agama itu adalan akal, tidak beragama orang yang tidak berakal dan tidak mau mempergunakan akalnya.
Awal dari paham adalan mengerti, sementara awal dari mengerti adalan mau mencoba untuk mengerti, dan mau mencoba untuk mengerti itu baru ada setelah ada hal yang perlu dimengerti. Dan hal yang perlu dimengerti ini ada karena adanya kesamaan antara obyek yang memerlukan dimengerti tadi dengan kemampuan yang ada pada diri kita sebagai pihak yang akan mengartikannya.

Demikianlah agama itu menurut apa yang Armansyah pahami. Asal anda sadar bahwa banyak orang lain memahami agama dengan cara yang berbeda. Bukan hanya saya saja, tapi juga sesama Muslim juga bisa saja pemahamannya akan agama tidak seperti anda. Karena itu anda harus mengerti bahwa di dunia yang luas ini, pendapat Armansyah hanyalah salah satu dari sekian banyak pendapat2 lainnya yang berbeda. Jangankan dengan saya, dengan sesama Muslim pun pasti ada yang berbeda pemahamannya akan agama dari anda.


 Manusia membutuhkan rasionalisasi dalam semua aspek kehidupannya, termasuk dalam doktrin-doktrin keimanannya, karena akal dan rasio adalan hakikat dan substansi manusia, keduanya mustahil dapat dipisahkan dari wujud manusia, bahkan manusia menjadi manusia karena akal dan rasio. Tolak ukur kesempurnaan manusia adalan akal dan pemahaman rasional yang ada padanya. Akal merupakan hakikat manusia dan karenanya agama diturunkan kepada umat manusia untuk menyempurnakan hakikat dirinya. Hal ini diaminkan juga oleh Joseph deLoux yang selanjutnya dikembangkan oleh Daniel Goleman dan Robert Cooper melalui teori Suara Hati mereka.

Anda menyebutkan rasionalisasi dalam semua aspek kehidupannya, padahal jelas manusia beragama itu tidak sepenuhnya rasionil, untuk SEMUA agama-agama. Karena semua agama pasti memiliki unsur-unsur yang tak rasionil tapi dipercaya didalamnya. Percaya kepada Tuhan utamanya, adalah sangat tidak rasionil. Bagaimana manusia bisa percaya kepada tuhan yang tidak nampak, tidak bisa diukur, tidak tahu ujudnya seperti apa? Sungguh sangat tidak rasionil, tapi toh Armansyah percaya.


Anda suka atau tidak dengan pembahasan saya diatas, maka itu adalan urusan anda dan bukan posisi saya buat memaksa anda meyakini apa yang saya yakini. Tetapi selama anda terus berdakwah dimilis ini tentang tuhan yang malih rupa kedalam wadag manusia, maka selama itu juga konsepsi ini akan saya pertanyakan dari semua sisi-sisi yang mestinya bisa anda jawab dengan gamblang dan dapat saya cerna dengan keterbatasan saya.

Saya tidak berada dalam posisi suka atau tidak suka. Saya berada dalam posisi kritis disini menilai tulisan anda, dan memberikan pendapat sebagaimana yang saya ketahui. Itu saja.


Sudah basi jika anda berkata bahwa saya tidak bisa lari dari konsep pemahaman mainstream Islam yang ada, bukti eksistensi milis ini dan keberadaan anda sejak lama tanpa diganggu, saya anggap cukup untuk memperlihatkan bahwa saya tidak seperti yang anda pikirkan. Berapa banyak perbedaan pemahaman saya dengan jemaah dimilis ini harusnya anda baca sendiri melalui perdebatan-perdebatan panjang saya dengan Dani Permana, Hendy, Whe-En, Sahmudin dan seterusnya dan sebagainya sejak milis ini berdiri ditahun 2006 lalu. Sekarang kita lihat siapa yang sesungguhnya memang berbeda dan konsisten dalam memegang independensinya dalam memahami agama .... saya ataukan anda, Lingga ?

Saya salut dalam kemampuan anda menerima perbedaan pendapat sementara anda sendiri sudah mempunyai pendapat yang baku. Jadi demikianlah komentar saya kali ini. Ditunggu balasan anda, dan tanggapan anda akan usul saya akan penjelasan yang sistedmatis akan Tuhan. Syalloom.



--- On Sat, 6/19/10, rizal lingga <nyomet123@yahoo.com> wrote:

From: rizal lingga <nyomet123@yahoo.com>
Subject: Re: [Milis_Iqra] Diskusi tentang Tuhan [Untuk Rizal Lingga]
To: milis_iqra@googlegroups.com
Date: Saturday, June 19, 2010, 6:25 PM

Lihat jawaban dibawah.

--- On Tue, 4/20/10, Armansyah <armansyah.skom@gmail.com> wrote:

From: Armansyah <armansyah.skom@gmail.com>
Subject: Re: [Milis_Iqra] Diskusi tentang Tuhan [Untuk Rizal Lingga]
To: milis_iqra@googlegroups.com
Date: Tuesday, April 20, 2010, 10:38 AM

Rizal, maaf, anda belum menjawab pertanyaan dari saya ... ditunggu.,

Sembari menunggu jawaban anda buat saya dengan topik ini ... saya akan menyelingi dengan satu komentar ringan untuk satu tanggapan anda pada Sdr. Nurwasis berikut, semoga tidak keberatan.


2010/4/18 rizal lingga <nyomet123@yahoo.com>
Lihat tanggapan saya dibawah.

--- On Wed, 4/7/10, nurwasis <nurwasis@sanyo-sei.co.id> wrote:

From: nurwasis <nurwasis@sanyo-sei.co.id>
Subject: Re: [Milis_Iqra] Diskusi tentang Tuhan [Untuk Rizal Lingga] Date: Wednesday, April 7, 2010, 2:02 PM

Saya juga akan menambahkan komentar mengenai pemahaman Sdr Rizal :
 
 
2010/4/1 rizal lingga <nyomet123@yahoo.com>


 
 
3. Jika saat menjelma menjadi Yesus, Tuhan berada di tubus Yesus dan di Tempat yg KUDUS, maka apakah Tuhan ada 2 ini juga janggal, makanya kalau di Islam Alloh itu bersifat Ahad,  Esa ini bukan berarti Monosel (hanya punya satu sel) tetapi Alloh Esa Dzatnya, Esa Kehendaknya dan Alloh mengatur semua mahluk ciptaannya. di bumi, di dasar laut di planet yg belum ada manusianya dsb.
 
Tuhan bisa berada dimanapun yang Dia kehendaki, disitulah letak kemahakuasaanNya yang tidak bisa dimengerti oleh Islam. Dia tetap berada di surga, tapi Dia juga berada di bumi dalam tubuh Yesus Kristus.
 



[Arman] : Rizal, okelah sementara ini saya anggap bahwa saya bisa menerima argumentasi anda diatas, tetapi bisakah anda menjelaskan argumentasi tersebut dengan mengambil korelasi langsung pada peristiwa pembaptisan yesus disungai yordan pada Matius 3 ayat 16-17 ?


 "Sesudah dibaptis, Yesus segera keluar dari air dan pada waktu itu juga langit terbuka dan ia melihat Roh Allah seperti burung merpati turun ke atasnya, lalu terdengarlah suara dari sorga yang mengatakan: `Inilah anakku yang kukasihi, kepadanyalah aku berkenan'" (Mat 3:16-17).

Konsekwensi logis dari ayat Matius diatas yang bisa diterima oleh siapapun dengan akal sehatnya bahwa ayat dalam injil matius tersebut bertentangan dengan argumentasi anda itu, karena sekali lagi, siapapun secara obyektif bisa membaca dan memahami, bila matius 3 ayat 16 dan 17 justru mengisahkan adanya 3 perwujudan dari tuhan dalam waktu yang bersamaan.

1. Roh Allah yang berbentuk seperti burung merpati yang selanjutnya dianggap sebagai Tuhan Roh Kudus
2. Suara dari sorga (langit ?) yang dianggap sebagai suara Allah alias Tuhan Bapa
3. Yesus yang baru dibaptis oleh Yohanes yang dianggap sebagai Tuhan anak

Ini jelas dan sangat jelas untuk bisa diterima secara logis oleh manusia waras manapun bahwa tuhan didalam kristen ada 3 dan bukan 1 yang kemudian bisa berada dimana-mana seperti argumentasi anda sebelumnya.,

Silahkan dijawab.,


Ini jawabnya:
Memang tidak bisa diterima menurut akal pikiran Islam. Di sungai Yordan itulah nampak dengan jelas  ada 3 perwujudan Tuhan. Yang dilangit : Bapa. Yang di bumi di sungai Yordan: Yesus. Yang Roh Kudus : Dalam wujud Merpati.
Kalau bagi anda itu berarti ada 3 Tuhan, terserah. Tapi bagi kami 3 perwujudan itu tetap SATU adanya. Memang tidak masuk akal, tapi demikianlah yang kami percaya.


--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
 
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
 
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-

No comments:

Post a Comment