Thursday, August 19, 2010

[Milis_Iqra] Milik Siapa?

Milik Siapa?
 
Sriwijaya Post - Jumat, 20 Agustus 2010 10:01 WIB

Sumber : http://www.sripoku.com/view/44365/milik_siapa

KATA "milik" dugaan saya berasal dari bahasa Arab. Ada juga kata "malik" yang artinya penguasa atau raja. Dalam surah al Fatihah disebutkan "maliki yaumiddin", yang menguasai atau merajai hari kemudian nanti.

 Jadi, pemilikan artinya penguasaan. Kalau kita memiliki sesuatu, artinya kita menguasai sesuatu itu sehingga bisa berbuat apa saja dengan apa yang kita miliki itu sesuai dengan sifatnya.

Kalau seseorang memiliki mobil, dia memiliki kekuasaan untuk menggunakan mobil itu untuk keperluan yang dia kehendaki, umumnya untuk mengantarkan orang atau barang. Kalau seseorang memiliki makanan, dia mempunyai kekuasaan dan kewenangan untuk mengkonsumsinya agar kenyang dan sehat.

 Demikianlah, dalam kata "memiliki" terkandung makna seseorang menjadi "malik" atau raja, dan barang atau orang yang dimiliki merupakan "budak" atau "pesuruh" atau "obyek" yang bisa dimanfaatkan dan diperintah sesuai kehendak majikannya.

 Tanpa disadari kita memiliki klaim terhadap anak, harta, ilmu, teman, jabatan dan entah apa lagi. Kesemuanya itu milik kita. Kita menguasai kesemuanya. Padahal, benarkah kita mampu mengendalikan, memerintah dan menguasai terhadap klaim-klaim tadi?  Kita menyimpan uang di bank, maka sesungguhnya kita tidak lagi memiliki sepenuhnya uang itu. Boleh saja mengaku memilikinya, tetapi sesungguhnya kendali posisi uang tak lagi berada di tangan kita. Dan inilah yang tengah terjadi di AS dan berulangkali terjadi di Indonesia. Masyarakat menyetorkan uang ke bank lalu ditukar dengan sertifikat bukti penyetoran namun ujungnya uang itu malah lenyap pergi tidak karuan. Jadi, benarkah kita masih memiliki uang yang sudah berada di tangan orang lain?  Bagaimana dengan anak-anak? Semakin anak tumbuh besar, maka pengetahuan dan penguasaan orangtua terhadap mereka semakin mengecil. Terlebih ketika tingkat pendidikan dan kekayaan anak melebihi orangtuanya, maka orangtua tak lagi mampu mengontrol.

 Memiliki jabatan? Itu lebih pendek lagi durasinya. Ibarat baju, jabatan bukannya milik yang melekat selamanya, tetapi sekadar dipakai sepanjang berlakunya SK. Itupun hanya valid selama jam-jam kantor. Dalam relasi sosial, sesungguhnya setiap orang memiliki multi jabatan dan multi peran yang berubah-ubah.

 Jadi berbagai jabatan, label dan identitas tadi ada yang sifatnya kontraktual, sosial dan psikologis. Bahkan nama pun bisa berganti-ganti kalau mau. Lalu kalau ditanya "Siapa aku?", "Who am I ?", jawaban yang dimunculkan pasti akan beragam dan semua itu pasti tidak mampu menjelaskan "keakuan" secara utuh dan tuntas.

 Yang namanya ilmu dan ketrampilan pun tidak selamanya melekat dan bisa dikuasai serta diperintahkan kapan saja dimana saja untuk menolong pemiliknya. Adakalanya kita lupa terhadap ilmu yang pernah kita ketahui. Sewaktu sakit gigi atau perut, misalnya, nalar sulit berpikir jernih. Ketika badan sakit berbagai ketrampilan fisik juga ikut terganggu. Pikiran, emosi dan ketrampilan fisik tidak ada yang berjalan konstan. Semuanya fluktuatif.

 Yang konstan dan tak pernah berjalan surut adalah bertambahnya usia. Entah seseorang itu kaya atau miskin, pintar atau bodoh, sadar ataukah tidak sadar, penguasa ataukah rakyat jelata, orang baik ataukah jahat, usia seseorang terus berjalan sampai batas akhir habisnya jatah umur seseorang lalu dipangkas kematian. Jadi, sesungguhnya apa yang permanen dan abadi dimiliki seseorang? Lalu, siapa subyek yang memiliki itu?  Bahkan ruh sumber kehidupan pun suatu saat akan meninggalkan badan. Lagi-lagi, "who am I ?". Kita biasa mengatakan "aku" ketika berbicara pada orang lain. Suatu saat kita semua tidak lagi bisa mengatakan "aku" lagi dan teman kita tidak juga bisa menyebut "engkau" karena "aku" dan "engkau" juga akan hilang dari peredaran. Sebutan "dia" juga hilang. Dalam keyakinan agama, semuanya akan lenyap dan menyatu pada "Aku", "Engkau" dan "Dia" yang Maha Absolut.

 Kalau demikian halnya, kepemilikan itu memiliki hirarki, memiliki tingkatan-tingkatan makna. Tak ada kepemilikan abadi. Dalam konteks agama, hanya Tuhan Sang Pemilik sejati. Manusia hanya dipinjami sesaat saja. Diberi hak guna selama hidupnya. Apapun yang ada ini, bukanlah milik manusia.

 Umumnya kita semua bertingkah persis anak kecil. Ketika anak kecil dipinjami mainan, dia akan menangis ketika diminta kembali. Dia merasa mainan itu miliknya.

 Begitulah, kita semua meski dari segi usia sudah dewasa bahkan lanjut usia, dalam banyak hal tak ubahnya seperti anak kecil. Senang "meng-aku-aku" sebagai miliknya, padahal bukan. Harta, jabatan, anak, umur dan semua yang dirasakan melekat tidak siap jika suatu saat lepas atau dilepas dari diri kita.

 Berbahagialah mereka yang selalu sadar bahwa semua ini pinjaman, anugerah dan amanah untuk disyukuri dan difungsikan untuk memperbanyak amal kebajikan. Ketika suatu saat diambil kembali oleh Sang Pemiliknya, mereka merasa lega dan bersyukur karena telah memanfaatkan dengan sebaik mungkin dan beban amanahnya sudah dikurangi atau ditarik kembali oleh Yang Empunya.

 Untuk melatih kesiapan mental, maka ketika memiliki jabatan mesti sadar bahwa itu amanah dan durasinya sesaat. Gunakanlah sebaik mungkin untuk menyumbangkan kebaikan dan kesejahteraan bagi sesamanya. (*)


--
Salamun 'ala manittaba al Huda



ARMANSYAH

--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
 
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
 
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-

No comments:

Post a Comment