Thursday, August 19, 2010

[Milis_Iqra] Reposting : Imam Ali : Sebuah Muqaddimah



---------- Forwarded message ----------
From: ARMAN (GMAIL) <armansyah.skom@gmail.com>
Date: 2007/10/8
Subject: Imam Ali : Sebuah Muqaddimah
To: milis_iqra@googlegroups.com


Mengenang wafatnya Sayyidina Ali bin Abu Tholib (21 Ramadan 40 H)
 
Usaha menyingkat sejarah kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib r.a. dalam lembaran-lembaran buku, bukanlah pekerjaan yang mudah. Sejak semula telah terbayang kesukaran-kesukaran yang bakal dihadapi. Betapa tidak!
 
Kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib r.a., terutama pada tahap-tahap terakhir, sejak terbai'atnya sebagai Khalifah sampai wafatnya sebagai pahlawan syahid, bukankah satu kehidupan biasa. Ia merupakan satu proses kehidupan yang lain daripada yang lain. Ia menuntut penalaran luar biasa, menuntut kekuatan syaraf istimewa pula.
 
Kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib r.a. penuh dengan ledakan-ledakan luar biasa, keagungan dan hal-hal mempesonakan. Tetapi bersamaan dengan itu juga penuh dengan gelombang kekecewaan dan kengerian.
 
Oleh karena itu penulisan tentang semua segi kehidupannya menjadi benar-benar tidak mudah. Ditambah pula dengan adanya pihak-pihak yang menilai beliau secara berlebih-lebihan. Baik dalam memujinya maupun dalam mencacinya.
 
Imam Ali bin Abi Thalib r.a. sendiri tidak senang pada orang-orang yang menilai diri beliau secara berlebih-lebihan. Hal itu tercermin dengan jelas dari kata-kata beliau: "Ada dua fihak yang celaka karena berlebih-lebihan menilai sesuatu yang sebenarnya tidak kumiliki. Sedangkan pihak yang lain ialah yang demikian bencinya kepadaku sehingga mereka melontarkan segala kebohongan tentang diriku."
 
Dari sini pulalah maka Imam Ali r.a. mengatakan: "Ada segolongan orang yang demi cintanya kepadaku mereka bersedia masuk neraka. Tetapi ada segolongan lain yang demi kebenciannya kepadaku sampai-sampai mereka itu bersedia masuk neraka."
 
Ada dua faktor yang menyebabkan timbulnya pertentangan penilaian mengenai menantu dan sekaligus saudara misan Rasul Allah s.a.w. itu. Dua faktor itu ialah sifat atau watak pribadi Imam Ali r.a. sendiri dan situasi serta kondisi kehidupan Islam pada zaman hidupnya tokoh penting Islam itu.
 
Faktor mana yang lebih dominan, sehigga pribadi Imam Ali r.a. mempunyai kedudukan yang unik dalam sejarah Islam sulit dikatakan. Yang jelas kedua faktor itu memegang peran penting dan memberi arti khusus yang pengaruhnya hingga kini masih terasa. Bahkan sejak meninggalnya pada tahun 40 Hijriyah pendapat yang kontroversial mengenai dirinya itu tidak mereda, malahan makin berkembang sehingga sangat mewarnai sejarah Islam sampai abad ke-15 Hijriyah sekarang ini.
 
Periode kehidupan Imam Ali r.a. ditandai dengan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh ummat Islam, terutama setelah wafatnya Rasul Allah s.a.w. Belum lagi jenazah Rasul Allah s.a.w. dimakamkan telah muncul krisis. Dan krisis itu disusul pula oleh krisis-krisis lain. Ancaman dari dalam dan dari luar sangat membahayakan kedudukan Islam yang masih muda itu.
 
Pertentangan pribadi, qabilah, suku, golongan, bangsa dan antar-negara bermunculan hampir secara simultan. Keseimbangan kehidupan rohani dan jasmani, masalah keagamaan dan kenegaraan yang serasi dan seimbang di bawah satu pimpinan, yaitu di tangan Rasul Allah s.a.w. semasa hidupnya, tiba-tiba saja mengalami kegoncangan, ketidak-seimbangan dan ketidak-serasian.
 
Proses kristalisasi dan disintegrasi yang menyusul wafatnya Rasul Allah s.a.w. dihadapkan pada tokoh-tokoh terkemuka ummat Islam, yang selama itu merupakan pembantu-pembantu terdekat Rasul Allah s.a.w. Diantaranya Imam Ali r.a. sebagai salah satu tokoh yang menonjol dan dekat sekali dengan Rasul Allah s.a.w. Dan dialah salah seorang yang paling merasa berkepentingan terhadap kemaslahatan Islam dan ummatnya. Sebab dialah yang paling dini melibatkan diri sebagai pengikut setia Nabi Muhammad s.a.w.
 
Awal tahun Hijriyah ditandai oleh peranan Imam Ali r.a. Malam sebelum Rasul Allah s.a.w. melakukan hijrah ke Madinah, yang sangat bersejarah itu, rumah kediaman beliau dikepung rapat oleh para pemuda Qureiys: Mereka bertekad hendak membunuh nabi Muhammad s.a.w. Pada saat itulah Rasul Allah s.a.w. memerintahkan Imam Ali r.a. supaya mengenakan mantel hijau buatan Hadramaut dan agar saudara misannya itu berbaring di tempat tidur beliau. Imam Ali r.a. dengan kebanggaan dan keberaniannya melaksanakan tugas tersebut.
 
Ketika para pemuda Qureisy yang berniat jahat itu mengintip, mereka mengira Rasul Allah s.a.w. berada di dalam. Padahal sebenarnya saat itu Rasul Allah s.a.w. telah berhasil menyelinap keluar menuju ke rumah Abu Bakar r.a.
 
Ketaatannya kepada Rasul Allah s.a.w. dan keberaniannya pada malam hijrah itu bukan merupakan kasus tersendiri. Pada masa-masa hidupnya lebih lanjut, faktor keberanian ini sangat mewarnai kehidupan Imam Ali r.a. Dasar-dasar keberanian ini tambah diperkuat oleh keyakinannya yang makin teguh pada kebenaran ajaran Rasul Allah s.a.w. dan ketaqwaannya pada Allah s.w.t.
 
Ketaatannya pada Rasul Allah s.a.w. dan keberaniannya dalam membela serta menegakkan kebenaran-kebenaran agama Allah merupakan pendorong utama, sehingga kemudian ia diagungkan oleh pengikut-pengikutnya sebagai pahlawan besar ummat Islam.
 
Hal itulah yang antara lain telah menimbulkan perbedaan penilaian yang hasilnya melahirkan perselisihan pendapat. Yang menilai positif melambangkan Imam Ali r.a. sebagai contoh tokoh yang paling ideal, pelanjut cita-cita dan perjuangan Rasul Allah. Kemudian eksesnya menjadi berlebih-lebihan, sehingga sama sekali tidak disukai oleh yang bersangkutan sendiri.
 
Sebaliknya mereka yang menilai negatif, Imam Ali r.a. mereka anggap sebagai tokoh yang amat berambisi untuk mendapat kedudukan memimpin ummat Islam. Penilaian terakhir ini mengundang sifat-sifat kebencian dan menjurus ke permusuhan, dan akhirnya memuncak dalam bentuk peperangan melawan Imam Ali r.a.
 
Kepribadian dan watak Imam Ali r.a. yang unik itulah yang mengembangkan pendapat ekstrim tentang dirinya. Yang mengaguminya, kemudian memitoskan dan mendewakannya. Tidak jarang, karena ekses penyanjungan kepada Imam Ali r.a. akhirnya secara sadar atau tidak sadar golongan ini mengaburkan peran agung Rasul Allah s.a.w. Sebaliknya yang membenci Imam Ali r.a. melahirkan ekses mengkafirkannya.
 
Dua fihak yang sangat bertentangan penilaian terhadap Imam Ali r.a. tercermin pada dua kelompok yang terkenal dalam sejarah Islam.
 
Kaum Rawafidh bukan saja pengagum Imam Ali r.a., malahan boleh dibilang sebagai "kaum penyembah Imam Ali r.a." Semasa hidupnya, Imam Ali r.a. sendiri sudah berulang kali melarang tindak dan sikap mereka yang sangat keliru itu, tetapi sikap Imam Ali r.a. yang tidak mau disanjung dan disembah itu bahkan mereka nilai sebagai sikap yang agung. Imam Ali r.a. sampai-sampai mengingatkan mereka bahwa apa yang mereka lakukan itu syirik. Peringatan itu sama sekali tidak menyurutkan pendirian mereka.
 
Begitu fanatiknya mereka kepada Imam Ali r.a. sehingga mereka bersedia mengorbankan segala-galanya demi tegaknya pendirian itu. Bahkan ketika mereka dijatuhi hukuman dengan dibakar hidup-hidup, hukuman itu mereka terima dengan penuh ketaatan. Di tengah kobaran api unggun yang membakar diri mereka di depan umum, dengan penuh gairah mereka berseru: "Dia (Imam Ali) adalah tuhan. (Sebab) dialah yang menetapkan adzab neraka ini". Mereka rela mati dibakar dengan penuh keikhlasan. Mereka memandang layak hukuman demikian dijatuhkan oleh "tuhan" mereka sendiri.
 
Sangat berlawanan dengan kaum Rawafidh ini, adalah pendirian golongan Nawasib dan Khawarij yang sangat benci kepada Imam Ali r.a. Ironisnya, kaum Khawarij ini sebelumnya justru merupakan pengikut Imam Ali r.a. yang paling setia dan taat. Mulamula mereka sangat cinta, kagum, taat dan setia. Lalu berbalik 180 derajat menjadi muak, benci, mengutuk, bahkan mengkafirkan Imam Ali r.a. Itu terjadi ketika tokoh yang mereka kagumi itu bersedia menerima "perdamaian" dengan Muawiyah. Peristiwa yang dalam sejarah terkenal sebagai "Tahkim bi Kitabillah".
 
Kaum Khawarij itu menuntut kepada Imam Ali r.a. agar ia bertaubat kepada Allah atas perbuatan salah yang dilakukannya (mengadakan perdamaian dengan Muawiyah). Begitu mendalamnya kebencian mereka sehingga pada kesempatan apa, kapan dan di mana saja mereka melancarkan kecaman pedas dan memaki habis. Bahkan sejarah mencatat, Imam Ali r.a. wafat akibat pembunuhan yang dilakukan golongan Khawarij.
 
Sulit untuk dicari bahan bandingan bagi seorang tokoh yang begitu hebat menimbulkan pertentangan pendapat seperti yang ada pada diri Imam Ali r.a. Lebih sulit lagi untuk menarik kesimpulan dari kenyataan ini. Apakah karena ia orang besar, maka timbul pertentangan pendapat yang begitu hebat? Ataukah karena adanya pertentangan pendapat itu hingga ia menjadi mitos. Kenyataan adanya pertentangan pendapat itu sendiri sudah mengungkapkan, bahwa Imam Ali r.a. adalah tokoh potensial sekali, khususnya bagi ummat Islam.
 
Juga merupakan ironi sejarah, salah seorang yang pertama-tama berperan vital dalam membela Islam, akhirnya dijatuhkan oleh seorang yang ayahnya justru paling memusuhi Islam ketika Rasul Allah s.a.w. mulai dengan da'wahnya. Orang yang sejak masa anak-anak sudah mempertaruhkan segala-galanya demi tegak dan berkembangnya Islam, kepemimpinannya direbut oleh orang-orang yang pada awal Islam paling gigih menentang.
 
Lebih menyedihkan lagi karena orang yang melawan Imam Ali r.a. menempuh segala usaha dan tipu-daya "dengan mengatas-namakan Islam". Lebih parah lagi karena dengan "mengatas-namakan Islam" selama 136 tahun, kekuasaan Bani Umayyah, nama Imam Ali ditabukan, direndahkan dan dihina. Pada setiap khutbah, pada setiap doa sehabis shalat tidak pernah ditinggalkan cacian dan kutukan terhadap Imam Ali agar ia disiksa Allah.
 
Bahkan nama Imam Ali digunakan oleh dinasti Bani Umayyah untuk menegakkan kekuasaan otoriter. Tiap orang atau kelompok yang berani menentang, atau tidak sependapat dengan kebijaksanaan penguasa Bani Umayyah dapat ditindak dengan menggunakan dalih "pengikut Imam Ali" (Pecinta Ahlulbait).
 
Siapa yang mempelajari sejarah Imam Ali r.a. dengan jujur, pasti akan menemukan pada dirinya salah satu segi yang khas ada pada kehidupan tokoh legendaris itu. Nama Imam Ali r.a. identik dengan sifat-sifat manusiawi yang mendalam. Baik sejarah sendiri, maupun sejarawan tidak cukup mampu mengungkapkannya. Kaitan yang seperti itu biasanya oleh seorang penulis terpaksa dikesampingkan saja dengan penuh kesadaran dan kebijaksanaan.
 
Makin berkurangnya faktor-faktor kejiwaan yang menyulitkan pembahasan dan makin dibatasinya segi-segi sejarah yang hendak ditulis, bisa jadi lebih mendekati objektivitas. Tetapi apakah begitu jadinya?
 
Para sejarawan mengungkapkan bahwa pada ghalibnya makin lama seorang telah meninggal akan lebih mudah ditemukan objektivitas untuk pengungkapan riwayat orang yang bersangkutan. Akan tetapi kalau menyangkut Imam Ali r.a. hal itu masih dipertanyakan.



--
Salamun 'ala manittaba al Huda



ARMANSYAH

--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
 
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
 
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-

No comments:

Post a Comment