SUMBAWA: Dengan luas 8 hektare dihuni lebih dari 2.800 penduduk,
Bungin bisa jadi pulau terpadat di dunia. Sejarah penghuni, etos kerja
penduduknya yang nelayan, dan cerita kambing maka kertas melengkapi
keunikan di pulau karang tersebut.
"Anda pasti tertarik ke sana karena cerita Kambing makan kertas?.
Hanya di Bungin anda bisa melihatnya langsung, dan percaya," begitu
kata Indra, seorang warga Desa Alas, Kecamatan Sumbawa.
Pertanyaan itu hampir selalu dilontarkan warga di sana, kepada orang
luar yang menanyakan letak Pulau Bungin, dan hendak menuju ke Pulau
itu.
Pulau Bungin terletak di perairan laut Kabupaten Sumbawa, Nusa
Tenggara Barat. Tepatnya di sebelah utara Pulau Sumbawa. Secara
administratif Bungin termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Alas.
Tak sulit menemukannya. Dari Sumbawa Besar, ibukota Kabupaten Sumbawa,
hanya berjarak sekitar 70 KM ke arah barat. Sedangkan dari Mataram,
menghabiskan waktu berkendara sekitar 6 sampai 8 jam perjalanan ke
arah timur, sudah termasuk perjalanan laut menggunakan kapal
penyeberangan Lombok-Sumbawa.
Sedikit bertanya pada warga di Desa Alas, pasti langsung ditunjukkan
letak Pulau Bungin. Dari daratan sepanjang jalan di Alas, pulau Bungin
bisa terlihat karena jaraknya hanya sekitar 4 KM arah utara dari Alas.
Kini, menuju pulau Bungin tak harus menyeberang dengan sampan, pakai
sepeda motor atau mobil juga bisa karena sudah tanggul terbuat dari
susunan karang yang menghubungkan Bungin dengan daratan.
Cerita tentang Kambing makan kertas, memang sangat melekat bagi citra
Pulau Bungin. Kedengarannya memang aneh. Tetapi pemandangan itu
menjadi sesuatu yang lazim bagi penduduk Bungin.
Di Bungin kambing memang tak punya pilihan makanan lain, selain sampah
kertas dan kain bekas. Tekstur pulau batu karang tak memungkinkan bagi
tanaman untuk tumbuh, meski hanya rumput.
Setiap ada pengunjung yang datang untuk melihat kambing makan kertas,
belasan anak usia SD dengan senang hati akan menunjukannya. Mereka
beramai-ramai mencari kertas atau dos bekas untuk diberikan pada
kawanan kambing.
Meski bertahan hidup hanya dengan makan sampah kertas dan kain bekas,
populasi kambing di Bungin cukup banyak.
Sejak tahun 2002 lalu, Pulau Bungin sudah menjadi desa definitif
dengan tiga Dusun, di wilayah Kecamatan Alas. Jumlah penduduk dan luas
areal pulau sudah memungkinkan.
Catatan resmi di Kantor Desa Pulau Bungin menyebutkan, jumlah
penduduknya saat ini mencapai 609 Kepala Keluarga (KK) terdiri dari
2.826 Jiwa.
"Pulau ini mungkin satu-satunya pulau terpadat, dan satu-satunya pulau
yang luasnya terus bertambah," kata Sopian, Kepala Desa Pulau Bungin.
Menurutnya, saat diukur pada tahun 2002 silam, luas pulau sekitar 6
Hektare, namun kini luas pulau itu menjadi sekitar 8 Hektare.
Pulau Bungin memang sangat padat penduduk. Rumah penduduk tersusun
sangat rapat, dengan jarak antara rumah hanya sekitar 1,5 meter.
Konstruksi rumah adalah rumah panggung khas Bungin, terlihat merata
menutupi luas pulau. Karena rapatnya, ada beberapa rumah yang atapnya
bertemu.
Hukum adat tentang perkawinan warga Bungin, menjadi alasan yang
membuat Pulau Bungin tetap mampu menampung pertambahan jumlah
penduduknya. Karena dalam hukum adat itu, diatur pasangan muda-mudi
yang hendak menikah wajib membangun lokasi sendiri untuk mendirikan
rumah mereka.
Caranya, pasangan itu harus mengumpulkan batu karang untuk ditumpuk
pada sisi luar pulau yang ditentukan. Ukuran lokasinya bisa mencapai 6
x 12 meter persegi. Setelah lokasi terbentuk, baru mereka boleh
menikah dan mendirikan rumah. Itu sebabnya, luas pulau Bungin terus
bertambah dari tahun ke tahun.
"Biasanya bisa makan waktu 3 sampai 7 bulan untuk satu lokasi. Tetapi
itu sudah aturannya turun temurun, kalau mereka tidak bikin lokasi ya
belum boleh kawin," kata Sopian.
Tapi, bagi warga Bungin aturan itu tidak mempersulit, sebab
pengumpulan batu karang biasanya dilakukan dengan bergotong royong.
Bisa dibilang, pulau Bungin adalah pulau karang bentukan. Meski pihak
Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumbawa, selalu mengukur luas pulau
itu setiap lima tahun, namun tak satu penduduk pun memiliki sertifikat
tanah.
"Karena ini kan bukan tanah daratan, ini karang bentukan warga. Maka
di pulau ini warganya tidak membuat sertifikat, hanya ada keterangan
hak milik yang dikeluarkan Kantor Desa," kata Sopian.
Legenda Panglima Mayo
Penduduk pulau Bungin bermata pencaharian nelayan. Mereka adalah
keturunan suku Bajo dan Bugis, Sulawesi Selatan.
Dari cerita turun temurun yang mereka percayai, dulunya luas pulau
Bungin hanya sekitar 3 Hektare, teksturnya karang utuh. Penduduk
pertamanya ialah nenek moyang mereka yang dibawa dalam armada laut
Panglima Mayo, seorang pejuang Sulawesi Selatan, ketika terdesak
penjajah Belanda pada tahun 1818.
"Makanya bahasa daerah sehari-hari penduduk di sini pakai bahasa Bajo,
bukan bahasa asli daerah Sumbawa," katanya.
Walau seluruh penduduknya bermata pencaharian nelayan, kehidupan warga
pulau itu cukup mapan. Jauh dari kesan kemiskinan yang biasa terlihat
di kampung-kampung nelayan lainnya di Nusa Tenggara Barat.
Hampir semua keluarga punya barang elektronik. Paling rendah punya
pesawat televisi, lengkap dengan reciever parabola digital.
Malah, anak-anak Bungin sudah tidak asing dengan Play Station. Ada
sejumlah rental menyewakan Play Station di sana.
Kebutuhan belanja sehari-hari penduduk di sana, juga lumayan tinggi.
Soalnya, kecuali produk laut, semua kebutuhan lainnya harus dibeli.
Mulai sembako, hingga air bersih.
Ini yang unik. Untuk kebutuhan sehari-hari itu, para wanitalah yang
memenuhinya.
"Suami kita melaut, kadang sampai 3 bulan di laut. Kita yang cari uang
untuk belanja," kata Hasnah, istri nelayan Bungin.
Untuk kebutuhan itu, Hasnah dan para wanita lainnya mencari ikan,
kerang, dan tripang di sekitar Pulau Bungin. Hasilnya lumayan, mereka
bisa mengantungi Rp15 ribu sampai Rp30 ribu perhari.
Nelayan di Pulau Bungin sudah menggunakan teknik modern mencari ikan.
Dengan kapal-kapal berukuran besar, menggunakan mesin tempel dan
layar, mereka bisa melaut sampai ke perairan Pulau Flores, NTT, dan
peraian Maluku. Selain memburu ikan dengan jala, mereka juga terkenal
piawai memburu Lobster.
Nah, hasil melaut para nelayan inilah yang kemudian digunakan untuk
keperluan tambahan keluarganya. Mulai dari keperluan membangun rumah,
menyekolahkan anak, membeli perhiasan, hingga naik haji.
Penduduk Bungin sangat mencintai pulaunya. Meski mapan secara ekonomi,
mereka tidak pernah berpikir untuk membeli tanah dan pindah rumah ke
darat.
Peti kalamndan isian kepeh bubungin, pdi dendamku malenan tana bungin.
Syair adat turun temurun itu menjadi pengikatnya. Dalam bahasa Bajo
syair itu berarti, banyak peti sudah kuisi dengan uang dari Bungin,
sakit hatiku jika meninggalkan tanah Bungin.
"Di darat biasanya banyak godaan, dan juga banyak rasa tidak aman.
Misalnya ada pencuri. Maka itu, walau bisa melaut sampai berbulan-
bulan, masyarakat Bungin pasti kembali," kata Sopian.
Di Pulau Bungin mereka tidak merasa khawatir soal keamanan dan
kenyamanan, karena pertalian persaudara membuat mereka saling menjaga.
Hanya satu yang ditakuti mereka, yakni kebakaran. Bayangkan dengan
posisi rumah yang sangat rapat, pasti kebakaran bisa merembet sangat
cepat.
"Makanya kalau ada gejala kebakaran, maka semua masyarakat di sini
menjadi petugas pemadamnya. Tapi mudah-mudahan itu tidak pernah
terjadi," kata Sopian.
Berkat kemampuan ekonomi mereka, infrastruktur di pulau Bungin pun
terus terbenahi dari tahun ke tahun. Listrik PLN dan Air PDAM sudah
masuk ke sana.
Sudah ada dua buah Sekolah Dasar di Pulau itu, dan sebuah Puskesmas
pembantu.
Secara swadaya pula, mereka membangun tanggul sepanjang 750 Meter
dengan lebar 2 Meter. Tanggul itu menghubungakan Bungin dengan
daratan, sehingga selain menyeberang perahu, kini menuju Bungin bisa
lewat darat.
Selain memudahkan akses masyarakat ke darat, tanggul itu juga untuk
mempermudah jika ada warga Bungin yang meninggal dunia. Sebab mereka
dimakamkan di sebuah tanjung yang diberi nama Tanjung Kuburan, di
darat.
"Dari tanjung darat itu, pemerintah yang membantu membuka jalan
sepanjang 3 KM ke jalan raya utama," kata Kades Bungin, Sopian.
Masyarakat Pulau Bungin masih mengharapkan bantuan pemerintah untuk
dunia pendidikan di sana. Berharap ada SMP dan SMA di pulau itu,
walaupun lokasinya harus dikerjakan gotong royong.
Kini, Bungin sudah menjadi salah satu objek wisata di Kabupaten
Sumbawa. Banyak wisatawan domestik dan mancanegara ingin melihat dari
dekat.
Ada satu yang tak pernah berubah di pulau itu. Walau semua rumah
memiliki kamar mandi, namun tak satu rumah pun punya WC. Buang air
tetap dilakukan di laut.
Selain keramahan penduduknya, ada hal yang pasti berkesan ketika
berkunjung ke Pulau Bungin. Kita bisa menikmati indahnya Sunrise dan
Sunset di pulau yang sama.(JL-001)
Explore posts in the same categories: Jurnal News, Sosial Budaya
--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
No comments:
Post a Comment