Wednesday, October 13, 2010

Re: [Milis_Iqra] Bau Busuk Syiah Akhirnya Tercium Juga


2010/10/14 Dani Permana <adanipermana@gmail.com>

[Arman]

Beberapa waktu lalu saya telah menampilkan artikel lengkap dengan linknya yang dengan tegas membuka mata semua mulut pemfitnah bahwa al-Qur'annya Syiah berbeda dengan al-Qur'annya ahlussunnah,

 

[Dani] Mungkin Mas arman orang yang mengeneralisir bahwa "al-Qur'annya Syiah berbeda dengan al-Qur'annya ahlussunnah" belum tau… jadi pokonya Syi'ah maka al Qur'annya beda…. Tidak mau check and recheck …. J

 

Mas Arman siapa sih "Syiah Akhbariyah" itu ? supaya kita tidak salah tunjuk  



[Arman]: Setahu saya, kalau tidak salah ingat, kelompok Syiah Akhbariyah ini adalah kelompok syiah yang menyebutkan bila al-Qur'annya umat Islam madzhab Syiah berbeda dengan umat Islam yang lain.

Berikut kebetulan saya bertemu dengan tulisan Dr. Hj. Umi sumbulah, M.Ag
Sumber tulisannya adalah link ini : http://syariah.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=190:institusi-marja-al-taqlid-dalam-tradisi-syiah-konfrontasi-ushuli-akhbari-dalam-hirarki-pemegang-otoritas-kegamaan&catid=49:artikel&Itemid=179


INSTITUSI MARJA' AL-TAQLID DALAM TRADISI SYI'AH
Konfrontasi Ushuli-Akhbari dalam Hirarki Pemegang Otoritas Kegamaan

Dalam tradisi komunitas syiah, terdapat dua kubu yang berlawanan, yakni kubu ushuliyah dan akbariyah. Kubu ushuliyah adalah kelompok ulama yang memiliki kecenderungan bersandar pada serangkaian proses rasional. Kelompok ini hadir, diterima dan berkembang lebih awal dalam komunitas Syiah dan bahkan mendominasi struktur pemikiran hukum Syiah selama berabad-abad. Kelompok yang dimotori antara lain oleh Syaikh al-Mufid (w. 1022) ini menolak pandangan lawan-lawan tradisionalisnya, akhbariyah yakni kelompok yang memiliki kecenderungan tradisionalis dalam yurisprudensi Syiah yang mengkristal pertama kali menjadi madzhab tersendiri pada abad 12 dan menemukan posisinya yang mapan setelah dirumuskan secara sistematis oleh Mullah Muhammad Amin Astarabadi (w.1624).[7]

Kelompok ushuliyah mengakui prinsip ijtihad (penalaran sungguh-sungguh berdasarkan syariat) bagi yang memiliki kecakapan serta memenuhi berbagai persyaratan dan kualifikasi untuk itu. Namun bagi mereka yang tidak memilikinya diwajibkan untuk mengikuti para mujtahid. Proses inilah yang disebut sebagai taqlid (pengikutan) dan ulama yang mempraktikkan  ijtihad yang dipilih untuk diikuti disebut sebagai marja'al-taqlid. Dengan demikian struktur hirarki masyarakat Syiah sangat meninggikan status fuqaha dan berpengaruh mendalam  bagi perjalanan sejarah dan masyarakat Syiah. Kondisi inilah yang agaknya kemudian layak dipandang sebagai ajang  dan  membuka jalan bagi aktivisme politik ulama Syiah di sepanjang abad 19 dan 20, dan juga dipandang sebagai embrio revolusi Islam Iran tahun 1978-1979, sebuah revolusi yang dipimpin oleh seorang marja' al-taqlid yang terkenal dan populis, yakni ayatullah Ruhullah al-Khomaeni. Karena dengan sikap taqlid-nya, muqallid (sebutan lain dari mukallaf yang bukan mujtahid atau 'awam) mereka memiliki kewajiban mentaati ulama/pemimpinnya, dan karena mereka sebelumnya terlatih hidup dalam marginalisasai politik mulai dari era al-khalifah al-rasyidah, Umayyah dan bahkan Abbasiyah, maka mereka  memiliki militansi yang tinggi dan karenanya mereka cukup kuat untuk dijadikan aset demi kepentingan politik pemimpinnya.

Berbeda dengan kelompok ushuliyah, kubu akbariyah berpandangan bahwa akhbar (dalam Islam sunni lazim dikenal dalam tradisi ahl- al-hadits namun eksklusif pada periwayatan jalur imam hingga ahl al-bait) merupakan sumber terpenting hukum tunggal, yang harus lebih didahulukan  daripada makna lahiriah al-Qur'an dan hadis nabi. Posisi ini didasarkan pada keyakinan syiah bahwa imam adalah penafsir al-Qur'an dan sunnah nabi yang ma'sum. Dibolehkannya tindakan tertentu tidak didasarkan karena tidak adanya larangan secara tegas sebagaimana diyakini kelompok ushuliyah (diadopsi dari ketentuan yurispudensi sunni), namun didasarkan pada riwayat dari imam yang membolehkannya. Dalam konteks ini pula, Imam Ja'far Shadiq menyatakan bahwa: "hadisku adalah hadis ayahku, hadis ayahku adalah hadis kakekku…hadis Ali adalah hadis nabiyullah dan hadis nabiyullah adalah firman Allah".[8] Tesis Imam Ja'far tersebut, lagi-lagi membuktikan demikian legitimate-nya akhbar sebagai sumber hukum terpenting dalam yurisprudensi Syiah akhbariyah yang posisinya tidak tergantikan oleh rasionalitas manusia, sebuah keyakinan berbanding terbalik sebagaimana dipegangi secara kuat oleh kelompok ushuliyah.

Sayyid Murtadha sebagai eksponen akhbariyah, menolak qiyas, ijtihad dan khabar wahid sebagaimana disepakati kelompok ushuliyah dengan eksponennya antara lain Syaikh al-Mufid, al-Thusi, dan al-Hilli, dan terakhir juga dikembangkan lebih jauh oleh Ahsai. Ijtihad, bagi Murtadha dengan mengcounter tesis Abdul Jabbar (seorang teolog Mu'tazilah yang sangat rasionalis) tidak memiliki tempat pada area syariah karena menentukan hukum tidak bisa dengan mendasarkan pada sesuatu yang bersifat dzann. Mengenai ditolaknya khabar wahid oleh Murtadha, merupakan efek langsung dari keterpengaruhannya oleh Mu'tazilah. Oleh karena itu, dalam konteks ini, slogan menarik dalam tradisi syiah akhbariyah "NO KHABAR WAHID"[9] menemukan signifikansinya.  Slogan ini didasarkan pada QS. 2:169 dan 17:36 serta konsensus dari al-firqah al-muhiqqah (the True Sect).

Polemik kelompok ushuliyah dan akhbariyah di atas, selanjutnya mengilhami karya al-Hilli yang memadupadankannya lewat teori Ijtihad. Bagi al-Hilli Ijtihad merupakan penjelasan terhadap perselisihan, membolehkan penafsiran kreatif di dalam tradisi, serta menjustifikasi otoritas faqih. Kontroversi kedua kubu di atas, mencerminkan  ketegangan antara hukum  literalis (yang diwakili kubu akhbariyah) dan hukum rasionalis (yang diwakili kubu ushuliyah) pada periode awal, yang diartikulasikan  hanya dalam kaitannya dengan teori ijtihad. Hal ini mendominasi wajah hukum dalam tradisi syiah di abad 17-18, sebelum akhirnya digeser oleh kelompok ushuliyah yang di abad 19-20 masih tetap eksis dan bahkan dominatif.  Namun demikian, adanya institusi marja' al-tqlid, sesungguhnya disebabkan oleh pola kepatuhan dan kewajiban mentaati fuqaha, terutama yang tergabung dalam kelompok fuqaha ushuliyah yang berpengaruh  pada komunitas Syiah.

Mengeksplorasi lebih jauh pertentangan antara kelompok ushuliyah dengan kelompok akhbariyah dapat disimak dalam pemikiran Ahsai, yang mencoba mengelaborasi kekauan-kekauan dalam tradisi Syiah berikut:

Syaikhism merupakan gerakan Syiah terakhir yang bertujuan untukmenghasilkan alternatif kuat bagi pemegang otoritas di era pra modern. Hirarki legitimasi kegamaan ini membolehkan / memberikan sedikit ruang bagi mujtahid. Tantangan syaikhi dikontribusikan untuk  proses marja'iyat, agen sentral dari seluruh lingkaran struktur pemegang otoritas keagamaan yang dalam dunia Syi'isme, kategori pertama marjaiyat  dipegang oleh Syaikh Muhammad Hasan Najafi (1226/1849).

Pemikiran syaikhi telah dibangun oleh syaikh Ahmad ibn Zayn al-Din al-Ahsai, yang lahir di wilayah Arab pinggiran di Ahsai (Bahrain)  tahun 1166/1753). Belajar di bawah bimbingan ulama ushuliyah di Karbala yang telah mencapai kualifikasi dan derajat mujtahid tahun 1794. Bagaimanapun, sumber pemikiran Ahsai, sebagaimana diklaim dalam autobiografi dan Syarh al-Fawaid, merupakan pengalaman  pemikiran para imam yang benar menurut agama. Pada bentuk reportasi tradisi atas penglaman inderawi, merupakan satu landasan  bagi pemikiran syaikhi yang kemudian dikenal dengan sebutan integral imamisme atau teosofi imam oleh Henry Corbin, seorang sarjana Perancis. Pandangan ini adalah merupakan pengarang terbaik di era modern, yang mempengaruhi secara umum pemikiran syaikhi cabang Kirmani, di mana pandangan syaikhism diyakini sebagai bukti demonstrasi keberlangsungan  tradisi teosofi Syiah.[10]

Ahsai mencoba memberikan interpretasi teosofi tentang kepatuhan komunitas Syiah kepada para imam. Ia menganggap imam sebagai pilar dan pelindung di bumi karena mereka merupakan representasi atribut ketuhanan dan mediator antara  manusia dengan Tuhan. Ahsai membuat perbandingan para  imam mustatir bagaikan matahari yang terbalut mendung, yang diartikan bahwa manusia dan ulama masih bisa saling memberi manfaat. Bagi Ahsai, kategori ulama secara umum berbeda dengan imam. Argumennya bahwa ulama adalah mediator antara  rakyat dengan penguasa. Dan karenanya tidak membutuhkan  kemaksuman serta tidak memperhatikan makna aturan Tuhan sebagaimana kualifikasi imam yang maksum.[11]

Berlawanan dengan paradigma tradisional teosofik Mulla Sadra, Ahsai menyatakan adalah mungkin bagi seseorang memiliki pengalaman personal tentang Tuhan. Dalam karyanya, Syarh al-Ziyarah al-Jami al-Kabirah, Ahsai menyerang Mulla Muhsin Faydh. Sebagaimana dipahami Ahsai,  ia menyamakan manusia dengan  Tuhan yang termaktub dalam Kitab al-Wafi bahwa manusia merupakan emanasi Tuhan. Serangan senada juga dialamatkan kepada Ibnu Arabi. Menurut Ahsai,  berbicara dengan Tuhan berarti identik  berbicara dengan ciptaannya. Ahsai merujuk kepada manusia dan relasinya dengan Tuhan, : "Tidak ada orang Islam yang dapat merubah relasi sejak tidak adanya hamba sahaya yang menguasai tetapi dengan aturan Tuhan". Dalam koteks ini, Ahsai tampaknya merespon sekaligus mengkritik pemikiran Wahdat al-Wujud (Ibnu Arabi) serta Mulla Sadra yang dinilainya demikian mengagungkan manusia dengan atribut ketuhanan yang dimilikinya.[12]

Dengan mengelaborasi pemikiran Wahdat al-Wujud dan teosofi Mulla Sadra di atas, tampaknya Ahsai mencoba menjembatani gap antara Tuhan dan manusia. Tujuan Ahsai yang belakangan disebut "Imams gate" sebagaimana dijelaskan Rafati adalah bahwa para  imam merupakan jembatan antara Tuhan dan mahluk-Nya atau sebagai kunci bagi mahluknya. Mereka adalah manifestasi iradat dan qudrat-Nya, serta merupakan pengejawantahan atribut-atribut-Nya.[13]

Bagi Ahsai --demikian komentarnya dalam Syarh al-Ziyarah al-Jamiah al-Kabirah-- hanya kemahiran intelektualitas para sarjana agama saja yang (berkesempatan) mengakses para imam. Ahsai mempertanyakan institusi ulil amri, yang dijawab Rafati bahwa hal itu diwahyukan, kesucian dan kekuasaan Tuhan. Ahsai tidak mengelaborasi struktur relasi antara para  imam dan   masyarakat. Pendukung Ahsai, Sayyid Kazim Rasti (d. 1259/1843) mempertimbangakn pendekatan  teologis sebagai upaya purifikasi inovasi filsafat dan teosofi Islam. Rasti menemukan tujuan penting Ahsai sebagai upaya purifikasi pemikiran Islam dari inovasi intelektual para sarjana muslim yang dilupakan dalam ajaran-ajaran para imam".[14]

Penolakan Ahsai atas doktrin  teologi madzhab Isfahan, menjadikannya menghadapi elemem-elemen pemikiran eskatologis. Hal ini jelas merupakan komentar Ahsai terhadap Mulla Sadra dalam Kitab al-'Arshiya. Di sini, Ahsai  mengkritik  pemikiran Mulla Sadra dengan bahasa  ahl al-bayt;  sebelum akhirnya juga mengambil  beberapa elemen eskatologis Sadra. Dalam bagian ontologi kitab Sharh al-Arshiya tersebut, Ahsai mencela teologi Sadra dan menuduhnya hipokrit; karena gaya bicaranya seolah merupakan bahasa   ahl al-bayt padahal sesungguhnya adalah pemikiran al-Farabi, Ibnu Shina dan Ibn Arabi. Meskipun demikian, Ahsai mengaplikasikan dugaan Sadra tentang survavilitas spiritual perasaan manusia dengan interpretasi baru. Ahsai mendasarkan pemikirannya pada tradisi Imam Shadiq yang direkam dalam al-Kafi :" Hanya substansi/roh manusia yang akan bangkit setelah kematiannya, sebagai berikut :…"Jasad manusia tidak akan dibangkitkan kembali ke dunia. Semangat ini akan memberhentikan dunia ini sebab mereka percaya maupun tidak percaya. Itulah yang dinamakan barzakh (jeda antara kematian dan kebangkitan). Substansi (roh) itulah yang akan dibangkitkan dari kubur, dan dinamakan kebangkitan/kehidupan  kedua.

Kesan Ahsai terhadap pemikiran Mulla Sadra terlihat bersisi ganda,  teologi yang tidak konsisten, karena Ahsai mereproduksi eskatologi yang tampak kompleks. Ahsai yang memiliki kemapanan dan popularitas karena kesalehan, pengetahuan dan  kedekatan personalnya terhadap para imam, telah mengakhiri penolakan ulama usuli karena ketidakortodokan idenya dalam menolak kehidupan kembali (secara fisik).

Demonstrasi otoritas ulama akhbari, terutama dalam menghadapi pemberontakan syaikhi adalah pertemuan Ahsai dengan Muhammad Ja'far Astarabadi --mujtahid akhbariyah di Karbala. Menurut tulisan putera Astarabadi dalam Mazahir al-Athar, Astarabadi  melakukan perjalanan haji ke Makkah ketika Ahsai  ditolak oleh pimpinan mujtahid atabat, sayyid Muhammad bin sayyid Ali Thabathabai (d.1242/1826) di Karbala. Sekembalinya dari haji, Thabathabai mengirimkan buku Ahsai kepada Astarabadi untuk dikritisi. Setelah menguji buku itu, Astarabadi menemukan ambiguitas dan kontoversi, dengan melengkapi fatwa Thabathabai. Oleh karena itu, Astarabadi berupaya men-share-kan hal ini dengan Ahsai secara personal, dan karenanya, Ahsai merasa berhutang budi kepada Astarabadi karena tidak mencemoohnya di depan publik. Meskipun demikian, penjelasan Ahsai dalam tulisanya tetap tidak memuaskan Astarabadi, sehingga karenanya Astarabadi mengkalim Ahsai sebagai bid'ah.

Insiden di atas tidak hanya menunjukkan  pertumbuhan rasa solidaritas di antara ulama  tetapi juga (menunjukkan) adanya perkembangan  formula baru dalam pola konfirmasi dan perdebatan fatwa di kalangan para mujtahid. Elaborasi formulasi tersebut sejak periode ini telah direfleksikan dalam komunikasi antara Mulla Ali Nuri dan Mirzayi Qumi (d.1243/1827). Pada tahun 1241/1825, Ahsai memutuskan meninggalkan perdebatan dan "permusuhan" intelektual dalam dunia Syiah, dan migrasi ke Madinah hingga wafat di usia 75 tahun.

Sayyid Kazim Rashti (d.1259/1843),  seorang pengagum Ahsai juga mengakhiri kebersamaan dengan Ahsai dan pendukungnya di Karbala. Rashti, yang lahir tahun 1212/1789 di Rasht di Propinsi Gilan, Iran utara, anak seorang pedagang sutera ini  tidak mendapat ijazah dari fuqaha selain Ahsai. Oleh karena itu, para ulama ortodoks (akhbariyah) menganjurkan Rashti agar bergabung dengan kelompok mereka. Namun, ketekunan dan kesetiaan Rashti dalam  mengembangkan dan bahkan mengelaborasi pemikiran Ahsai, memberinya karakter baru bagi kontroversi syaikhi. Bahkan elaborasi Rashti terhadap interpretasi Ahsai tentang tradisi dan propagandanya, mendorong ulama ushuli terlibat konflik  secara intensif dengan kubu akhbariyah.

Kecuali dalam relasi hirarki masyarakat dengan sumber-sumber pengetahuan (urutan Imam), Rashti menawarkan sedikit kontribusi original bagi pemikiran Ahsai. Bagaimanapun juga, elaborasi  dan interpretasinya  terhadap prinsip fundamental Ahsai seperti pembedaan stuktur bidang ketuhanan dari kenabian dan imamah di satu sisi, dan ciptaan termasuk manusia di sisi lain, yang diperpegangi teologi Ahsai dalam Ushul al-Aqaid, Rashti meringkas prinsip-prinsp syaikhi menurut apa yang dipelajarinya dari Ahsai. Rasti mengkonfirmasi ulang bahwa adalah tidak mungkin manusia memiliki pengetahuan Tuhan sebab masing-masing merupakan entitas dan berada dalam bidang dan eksistensi yang berbeda.[15]

Rasti menamakan nabi (sebagai) aqal awwal atau aqal muhammadi dengan catatan lengkap  tentang 'uqul yang dijelaskan dalam Kitab al-Kabir. Adalah mungkin, demikian lanjut Rasti, seseorang menjangkau stratifikasi kenabian setelah melengkapi empat perjalanan. Dalam point ini, Rasti jauh meninggalkan posisi pemikiran Ahsai, yang hal ini menunjukkan keluasan pemikiran Mulla Sadra yang membuatnya terkesan.

Bagaimanapun juga, Rasti menggeser kuatnya pemikiran syaikhi dari teologi kepada stuktur hirarkhi pemegang otoritas keagamaan. Rasti, dalam suratnya kepada  Muhammad Karim Khan Kirmani, menggambarkan konsepsinya tentang struktur hirarkhi pemegang otoritas keagamaan. Rasti menunjukkan fakta bahwa orang sekarang  tidak mengisi diri mereka dengan lafadz; mereka ingin seseorang mempersonifikasikan dan menghubungkan dengan Ghauth al-A'zam, dan  segera menambahkan "mungkin Tuhan mengorbankan saya untuknya dan pendahulunya" secara nyata menghubungkan kepada 12 imam. Rasti, mendasarkan pendapatnya pada al-Qur'an 34:18, yang berdsarkan ayat ini, terdapat dua macam hirarkhi: al-qura al-mubarakah yang menunjukkan kemaksuman imam, dan al-qurra al-dzahirah yang berlaku bagi manusia dan termasuk di dalamnya:[16] ashab al-syariah yang concern pada kedangkalan argumentasi, nujaba yang merupakan pembawa rahasia para imam, nuqaba'yakni yang merupakan simbol nama dan af'al Tuhan,hamin nuqaba' wa dar maqam al-kulliyyat, khassah (special), pillars of the universe (arkan)

Dalam essay menariknya yang ditulis dalam gaya esoteris, Rasti menyatakan kualifikasi mujtahid/ orang yang memiliki kapabilitas ijtihad yang sempurna, adalah orang yang diberkahi kecakapan  intelektualitas khusus, kekuatan suci yang dimiliki sejak lahir, wakil imam yang merupakan representasi Tuhan  di bumi, pengganti nabi dan para imam, pengetahuan yang  bersumber pada realitas, ketuhanan, dan tidak didasarkan pada taqlid. Para mujtahid yang tidak memiliki kualifikasi demikian, bagi Rasti dianggap sebagai penipu yang korup".

Rasti bertujuan pada akar otoritas ulama, di mana jalan mereka melekat pada pengetahuan dan kepercayaan yang benar. Dengan pengantar ketuhanan sebagai sumber pengetahuan bagi ijtihad yang benar, Rasti  tidak hanya tampak meninggalkan posisi Ahsai, tetapi juga mengadopsi evolusi perasaan ketuhanan melalui usaha individual yang dinamakan ijtihad yang sempurna.

Terdapat tendensi dan bahkan kontroversi di antara para sarjana modern untuk mempertimbangkan Rasti sebagai pendukung kewahyuan progresif. Menurut A..L.M Nicolas, secara eksplisit Rasti menguraikan bahwa ketuhanan yang benar adalah ajaran yang dibawa oleh nabi, para imam, dan oleh orang yang memiliki pengetahuan yang benar.    Rasti menjalin networking dan mengembangkan komunikasi yang luas dengan syaikhi yang simpati kepadanya di Iran. Dengan menterjemahkan  dan mengelaborasi  pemikiran Ahsai, Rasti membuat ide-idenya diterima oleh kalangan syaikhi. Aktivitas  propaganda  Rasti kemudian menimbulkan kemarahan ulama ortodok (akhbari) karena menurut mereka ajaran Rasti dapat  merusak dan menggerogoti akar-akar otoritas mereka. Oleh karena itu, Rasti dipanggil oleh pimpinan ahli hukum atabat, sayyid Mahdi b. Sayyid Ali Thabatabai (d.1260/1844), saudara muda sayyid Muhammad dan cucu laki-laki Muhammad Baqir Bihbihani (1704-1772) yang merupakan keluarga jaringan ulama ushuli di Iran. Perdebatan berakhir dalam 3 hari yang pada akhirnya Rasti mengakui beberapa bagian dari Syarh al-Ziyara Ahsai yang (di dalamnya terdapat) ambiguitas, kontroversial dan menimbulkan bid'ah. Dalam pengakuannya, dengan disaksikan oleh syariful ulama dan Astarabadi, sayyid Muhammad Thabathabai mengeluarkan fatwa bahwa Rasti adalah kafir.

Fatwa tersebut disebarluaskan kepada para figur terkemuka lainnya di atabat seperti Syaikh Muhammad Hasan Najafi, Mulla Aqa Darbandi, Syaikh Muhammad Husain bin Muhammad Rahim, pengarang Fushul al-Garawiya fi Ushul al-Fiqhiyah. Meskipun demikian, Mujtahid besar di Isfahan, Hujjat al-Islam Shafti tidak menunjukkan  simpatinya mes``kipun posisinya dalam syaikhism jelas  tidak respect terhadap Ahsai. Kompetisi antara atabat dan Isfahan, terus berlangsung hingga diterimanya  tawaran sayyid Mahdi Thabatabai untuk dibawa kepada kelompok minoritas Yahudi di Teheran.

Reaksi Rasti atas dikeluarkan dirinya dari komunitas pemikiran syaikhi oleh para ulama  ini, menjadikannya melenggang maju untuk tetap memperkenalkan pemikiran Ahsai sebagai  inovasi  teosofi yang membela prioritas studi filsafat atas fiqh. Rasti memuji ulama ortodoks sebagai marja' dan huffadz agama yang mendapatkan justifikasi dari masyarkat. Pada saat yang sama, Rasti juga mengkritik metode pemikiran ulama  yang merepetisi hukum legal dan menyiakan prinsip dasar teologi.

Rashti meninggal pada tahun 1259/1843 yang diikuti krisis dari pengikutnya yang berakibat kepada keretakan kepemimpinan Syaikhi. Di atabat, Mulla Hasan Qarachdaghi, seorang murid pro-ortodoksi dari Rashti, mengembangkan cabang moderat yang disebut dengan gawhariya. Dua cabang yang agak kecil berkembang di Azerbayjan yang dipimpin oleh Mirza Shafi Tabrizi dan kedua oleh Mulla Muhammad Hujjatul Islam Mamaqani secara berturut-turut. Mirza Shafi yang pernah belajar baik kepada Sayyid Kazim Rasti dan Syeikh Muhammad Hasan Najafi, menganjurkan  para pengikutnya agar mencari seorang mujtahid yang dapat memecahkan permasalahan yang berkenaan dengan urusan mereka sehari-hari. Namun demikian, dengan mengikat Syaikhisme kepada prinsip-prinsp teologinya, Mirza Shafi telah menunjukkan kecenderungannya kepada Ortodoksi Syi'i.

Dalam kondisi krisis pemikiran dan mujtahid karena kontroversi tersebut, Sayyid Ali Muhammmad Shirazi menyebut (kelompok) Babi (1235/1819 – 1266/1850) sebagai tempat harapan messianis dari lingkungan Shaykhi yang akhirnya membentuk gerakan Babi di Iran. Sebuah tema penting dari perhatian Babi tersebut, termuat dalam  karya pertamanya yang terkenal "Tafsir surat al-Baqarah, seperti dipertanyakan Todd Lawson, tampak menjadi wilaya atau : Penguasa kharismatik, disebut dengan keluarga Tuhan (ai-Allah) yaitu Nabi (Muhammad-pen), Fatimah dan dua belas Imam (Itsna Asyari) Syiah.[17]

Tidak cukup hanya dengan mengandalkan kharisma, gerakan Babi mengikuti bangunan teologi syaikhi, menggali cabang-cabang ontologi dan eskatologi imamah. Meskipun pada kenyataannya reaksi ulama ushuli untuk beberapa tulisan dapat diprediksi, Mulla Ali Bushtami, seorang pendatang baru dari kelompok shaykhi, menjelaskan pesan Babi kepada Syekh Muhammad Najafi dan megingatkannya  tentang munculnya bukti-bukti. Namun demikian, Najafi mencela Mulla Ali Bushtami sebagai seorang ahli bid'ah dan mengeluarkan dari majlisnya.[18]

Perlu dicatat, bahwa pemikiran Ahsai, meskipun sesuai dengan kategori tradisonalitas akhbariyah, tidak terlalu penting menolak ijtihad atau prinsip-prinsip uhsuli. Ahsai dan Rashti telah menulis beberapa sikap atas fiqh dan validitas ijma dan akal. Bagaimanapun juga, mereka tidak membatasi metode memperoleh pengetahuan untuk ijtihad seperti yang dikerjakan oleh Ushuli. Bahkan, seperti digambarkan dalam hirarkhi pengetahuan, mereka mempertimbangkan  ijtihad sebagai awal dari upaya pencarian rahasia Tuhan. Di dalam Dalil al-Mutakhyyirin-nya, Rashti mengungkapkan bahwa komentarnya atas Tutunjia (sebutan yang dialamatkan kepada Ali) berisi rahasia Tuhan yang hanya seorang yang benar-benar tercerahkan yang akan dapat mengerti.

Kontribusi Shaykhi bagi teori hukum Shi'i tampak tidak maksimal sejak perhatian utama Shaykhi adalah bidang teologi pemikiran Syi'i, seperti pengetahuan tentang Tuhan, Nabi, Imam-Imam dan para dai mereka. Disebabkan minimnya perhatian mereka kepada aspek-aspek hukum Islam inilah, Shaykhi menjelma seperti teosofi  madhab Mulla Sadra. Untuk itu, mereka memerlukan  para hakim yang dapat  menangani persoalan mereka sehari-hari. Hal ini mengindikasikan bahwa peran hukum positif dalam pengembangan kekuasaan kehakiman diabaikan  oleh sufis dan syaikhis yang belakangan, tidak sebagaimana dikembangkan para sufis awal, seperti telah kita lihat, yang demikian memperhatikan dan mengembangkan kode etik (fatwa-fatwa) yang sesuai dengan syari'ah.

Cabang pokok pemikiran Shayikhism tumbuh di Kirman dengan eksponen utamanya Muhammad Karim Khan Kirmani (1288/1871) --seorang raja Qajar yang belajar kepada Rashti selama 15 bulan.  Kirmani, bukan raja pertama yang belajar disiplin keagamaan, karena sebelumnya, Muhammad Syah dan Fath Ali Shah juga telah mempelajari beberapa unsur fiqh. Namun Kirmani adalah penguasa politik pertama, yang menentukan kembali sebuah aliran teologi khusus yang menuntun dan memberi arah kepemimpinan keagamaannya.

Doktrin dan  praktik Kirmani dikelompokkan sebagai sosialisasi pemikiran Shi'i oleh Mangol Bayat yang mempertentangkannya dengan Ahsai dan Rashti, kelompok radikal dari pendapat tradisional di antara Shi'i. Bayat lebih jauh mengelaborasi sosialisasi ajaran Kirmani, berikut : "…untuk mensosialisasikan ide mistik tentang struktur hirarkhi manusia sempurna. Pada keyataannya konsep tentang manusia sempurna, atau Shiah yang sempurna atau empat pilar, memainkan sebuah peranan pokok dalam sistem sosio-religius. Semua diskusinya tentang Tuhan, Nabi, Imam, wahyu ketuhanan dan kosmologi, mencapai tujuan yang satu, yakni untuk mendefinisikan dan mengidentifikasi legitimasi  pemimpin masyarakat beragama.[19]

Kirmani memperpegangi kerangka pikir teologi Ahsai. Sebagaimana Rashti, Kirmani membagi hirarkhi strukturnya  menurut tingkatan pengetahuan mereka, yakni yang paling dasar, dengan menempatkan kategori nujaba (orang mulia) yang memenuhi kewajiban  memimpin manusia  ke jalan yang benar  melalui ajaran, dan  kelompok nuqaba' (kepala)  yang merupakan pengemban pengetahuan Imam.

Masing-masing dari kategori di atas, di bagi kedalam  dua group seperti kita lihat dalam hirarkhi religius Rashti. Kirmani menempatkan empat pilar (rukn aI-rabi') yang mereprentasikan keseluruhan hirarkhi secara umum, dimana empat pilar tersebut, mewakili rahasia Imam. Namun Kirmani, tidak memasukkan kategori mujtahid  dalam hirarkhinya. Oleh karena itu, kepengikutan masyarakat/komunitas syiah yang tidak memiliki kapasitas ijtihad dan tidak diberi kesempatan ijtihad harus menjadi sebuah keharusan dan kewajiban. Dengan demikian institusi marja' al-taqlid semakin mendapatkan otoritas dan posisinya dalam komunitas Syiah pasca Kirmani ini.


i bawah ini penulis majukan 15 dari 40 perbedaan prinsip pemikiran hukum Syiah Ushuliyah dengan Akhbariyah: [20]

NO

Ushuliyah

Akhbariyah

1.

Ijtihad merupakan kewajiban bagi ulama yang memiliki kualifikasi

Ijtihad haram dilakukan oleh siapapun

2.

Sumber hokum ada empat: al-Qur'an, Sunnah, Ijma' dan rasionalitas manusia

Sumber hokum hanya dua, yakni al-Qur'an dan al-Sunnah

 

 

3.

Mendasarkan hokum syariat bias pada dalil yang dzanny

Hukum Syariat harus didasarkan pada dalil yang qath'iy

4.

Hadis terklasifikasi pada empat kategori: shahih, hasan, tsiqat dan dhaif

Hadis terklasifikasi pada 2 kategori: shahih dan dhaif

5.

Hadis shahih adalah hadis yang diriwayatkan oleh imam yang adil

Hadis shahih adalah hadis yang diakui validitasnya oleh para imam yang ma'shum

6.

Manusia terbagai dalam dua kategori: mujtahid dan muqallid

Tidak ada pengklasifikasian manusia, karena semuanya adalah muqallid (pengikut akhbar)

7.

Proses pencarian dan penemuan ilmu di masa lalu adalah dengan ijtihad sedangkan sekarang melalui para ulama

Di waktu kapanpun (dulu, sekarang, mendatang) adalah melalui akhbar

8.

Fatwa hukum hanya dimiliki oleh para ulama-mujtahid

Fatwa hukum didasarkan pada akhbar

9.

Mujtahid terklasifikasi pada mujtahid mutlak dan mutajazi'

Tidak ada kategori mujtahid

10.

Kualifikasi mujtahid meliputi penguasaan ilmu-ilmu bahasa seperti nahw, sharf, dan bahkan  teologi

Tidak ada persyaratan apapun karena tidak ada mujtahid/orang yang berhak menafsirkan akhbar.

11.

Bila ada kontradiksi antara mujtahid dengan akhbar, maka pendapat mujtahid yang harus didahulukan

Akhbar harus didahulukan dari rasionalitas manusia

 

 

12.

Pengambilan diktum hukum tidak hanya didasrkan pada riwayat tetapi harus merefer pendapat mujtahid

Hukum harus merefer kepada riwayat/akhbar

13.

Mujtahid bisa berbeda dengan al-Qur'an dan al-hadits dalam menetapkan permasalahan syariah

Al-Qur'an dan hadits harus menjadi rujukan sentral dalam semua penetapan hokum syariah

14.

Mujtahid bias menetapkan hukum mubah dan makruh berdasarkan hadis dhaif atau berdasarkan fatwa mujtahid menskipun tanpa dalil

Ahkamul khamsah (wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram) harus didasrkan pada dalil yang shahih

15.

Matinya mujtahid berarti berakhirnya kepengikutan muqallid kepadanya

Kebenaran tidak akan berubah karena hidup/matinya seseorang

Dari beberapa perbedaan pemikiran hokum antara kelompok ushuliyah dan akhbariyah di atas, agaknya dapat dipahami bahwa kelompok ushuliyah terlihat lebih maju dan bias diklaim sebagai kelompok rasionalis sementara kelompok akhbariyah bias diklaim sebagai penjaga gawang ortodoksi Syiah (tradisioalis-ortodoks).

[6] John L. Esposito (Editor in Chief). Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern (Bandung: Mizan, 2001), Jilid 3, 342.

[7] Ibid, Jilid 1: 85.

[8] Normann Calder. "Doubt and Prerogative: The Emergence of an Imami Shi'i Theory of Ijtihad", dalam Stvdia Islamica(Paris: GP Maisonneuve-Larose), tt., 58.

[9] Ibid., 62.

[10] Ahmad Kazemi Moussavi. The Struggle for Authority in the Nineteenth Century Shi'ite Community: The Emergence of the Institution of Marja-i Taqlid. (Montreal: Institue of Islamic Studies McGill University), 1991, 81-82.

[11] Ibid., 82.

[12] Ibid., 83.

[13] Ibid., 84.

[14] Ibid., 85.

[15] Ibid., 90.

[16] Ibid., 91.

[17] Ibid., 96.

[18] Ibid., 96.

[19] Ibid., 98.

[20] Disarikan dari Andrew J. Newman. "The Akhbari-Ushuli Dispute: in Late Safawid Iran" dalam Bulletin of the School of Oriental and African Studies. London: University of London, tth.,38-51.


--
Salamun 'ala manittaba al Huda



ARMANSYAH

--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
 
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
 
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-

No comments:

Post a Comment