Kalo puasa arafah harus menyamai pelaksanaan wukuf, apakah berarti di negara yg kebetulan letak geografisnya mendapat waktu malam harus puasa di malam hari?
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT
From: najla abu <najla.abu@gmail.com>
Sender: milis_iqra@googlegroups.com
Date: Tue, 16 Nov 2010 21:30:29 +0700
To: <milis_iqra@googlegroups.com>
ReplyTo: milis_iqra@googlegroups.com
Subject: Re: [Milis_Iqra] Idul Adha ikut Saudi, Atau ?
Kalo setiap negara menentukan sholat iedul adha...ibaratnya juga bisa menentukan wukuf dan berbagai hari wukuf dimana-mana.....
karena dalilnya wukuf di arafah itu adalah rukun haji bagi yang menunaikan haji....maka Rasullullah menyunnahkan untuk orang islam yang tidak bisa ber haji untuk berpuasa yang bisa menghapus dosa satu tahun sebelum dan satu tahun sesudahnya dan besoknya baru lebaran iedul adha (berkurban(....Dengan dalil jeals tersebut berarti idul adha itu ada...setelah adanya wukuf di arafah.
jika kita beranggapan wukuf itu yang benar...maka di indonesia (dalam hal ini depag ri), mengadakan shaolat iedul adha di hari Tasriq yang sangat jauh dari sunnah Rasulullah bisa di ibaratkan Bid'ah.
Thanks.
2010/11/16 <whe.en9999@gmail.com>
Artikelnya bagus bener dari ust. Sarwat
Favorit saya kalimat yang ini mas Dani :
1. Lebaran : 100% Otoritas Pemerintah
2. tetap saja tindakan mengeluarkan fatwa yang
bertentangan dengan apa yang sudah ditetapkan oleh otoritas penguasaKalau membangkang menurut saya perlu ditindak tegas, bukankah ini termasuk memecah belah umat?
dianggap sebagai bughat, atau pembangkangan dan penentangan.
Menurut mas Dani bagaimana?
Btw ada yang lebih ngenes lagi, sudah membangkang, merasa paling bener, eh saya yang ikut pemerintah disalahin, hehheheh
Btw lagi, jadi alasan lengkapnya mas Dani memilih ikut pemerintah apa donk?
Kan kemarin alasannya karena mathla' saja kalau tidak salah.
Jangan balik tanya loch,soalnya whe-en kan sudah bilang selain dalil mengikuti pemerintah dalam berhari raya, juga dalil dari siti aisyah, dllnya juga perbedaan mathla' tiap negara.
Saya tunggu jawabannya ya mas Dani? :-)
Terimakasih
Whe-en
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT
-----Original Message-----
From: "Dani Permana" <adanipermana@gmail.com>
Sender: milis_iqra@googlegroups.com
Date: Tue, 16 Nov 2010 12:42:59
To: <milis_iqra@googlegroups.com>
Reply-To: milis_iqra@googlegroups.com
Subject: [Milis_Iqra] Idul Adha ikut Saudi, Atau ?
Idul Adha ikut Saudi, Atau ?
Senin, 08 November 2010 15:26
http://warnaislam.com/syariah/kontemporer/2010/11/8/55560/Idul_Adha_ikut_Sau
di_Atau_.htm
Pertanyaan
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ust, meski pemerintah telah memutuskan Idul Adha tahun ini 17 Nov 2010, akan
tetapi Saudi memutuskan 16 November 2010, yang mana Idul Adha adalah
berdasarkan kapan wukuf jamaah haji dilaksanakan kita melakukan shaum arafah
dan keesokan harinya sholat Idul Adha.
Meski kejadian ini sudah kesekian kalinya di Indonesia, bgmn kesimpulan
Ustad Sarwat, apakah mengikuti jamaah haji yg wukuf 15 Nov atau ijtihad
pemerintah kita dengan alasan hilal blm terlihat krn posisi hilal harus 2
derajat..? Bgmn Ust..? Syukron.
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Tyo
Jawaban
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh
Saya mafhum dengan semua pertanyaan itu, meski pertanyaan model ini sudah
berulang-ulang tiap tahun, khususnya bila keputusan pemerintah RI,
Kementerian Agama berbeda keputusan pemerintah Saudi Arabia. Saya jawab
insya Allah, nanti saya tulis penjelasan yang agak lebih panjang.
Namun sebelum menjawab semua pertanyaan di atas, ada baiknya saya tulis dulu
dasar-dasar ketentuan syariah yang perlu kita pahami, sebagai basic
knowledge dalam memahami masalah ini.
Lebaran : 100% Otoritas Pemerintah
Banyak orang kurang mengerti bahwa sebenarnya dalam syariah Islam, penetapan
tanggal dalam syariah 100 persen adalah keputusan politik, dimana peran
penguasa menjadi sangat mutlak. Dan rakyat yang ada di wilayah negeri itu
terikat secara syariah dan hukum atas ketetapan pemerintahnya.
Dasarnya adalah apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para shahabat
serta perilaku umat Islam sepanjang 14 abad ini. Sehingga hal itu sudah
menjadi ijma` di kalangan ulama.
1. Masa Rasulullah SAW
Di masa Rasulullah SAW, meski ada banyak laporan tentang penampakan hilal
(bulan sabit) yang masuk dan berbeda-beda, namun yang berwenang menetapkan
jatuhnya tanggal 1 awal bulan Ramadhan, 1 Syawwal atau 1 Dzulhijjah adalah
Rasulullah SAW, bukan sebagai Nabi melainkan dalam kapasitasnya sebagai
kepala negara.
Boleh dibilang beliau adalah satu-satunya otoritas tunggal yang berwenang
untuk menetapkan kata akhir dari sekian banyak hujjah, ijtihad dan pendapat
dalam penetapan tanggal. Tidak boleh ada pihak yang memutuskan jatuhnya
pergantian bulan sebelum kepala negara menetapkannya. Dan kalau ketetapan
itu sudah dijatuhkan, seluruh rakyat harus ikut.
2. Masa Abu Bakar
Sepeninggal Rasulullah SAW, Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahuanhu menjadi
khalifah (pengganti) beliau dalam kapasitas sebagai kepala negara. Maka
semua laporan hasil rukyat hilal disampaikan kepada beliau, untuk beliau
putuskan mana dari berbagai ijtihad itu yang dipilih dan ditetapkan. Sekali
seorang kepala negara menetapkan, maka keputusan itu mengikat mutlak kepada
rakyatnya.
3. Masa Umar
Ketika Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu menjadi Amirul Mukminin, tiap
menjelang bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah selalu masuk berbagai
laporan hasil rukyat hilal. Dan tentunya isinya berbeda-beda. Namun kata
akhir ada di lidah Umar. Beliau adalah satu-satunya pihak yang berwenang
untuk menetapkannya.
4. Praktek Semua Khilafah Islam Selama 14 Abad
Dan begitulah, sepanjang 14 abad di seluruh dunia Islam, penetapan tanggal
itu tidak menjadi domain rakyat, baik sebagai individu atau pun kelompok,
melainkan menjadi domain penguasa. Intinya, penguasa adalah otoritas tunggal
dalam penetapan tanggal.
Dalam kenyataannya, di masa Nabi dan para khalifah penggantinya itu, kalau
seandainya ada seseorang yang dengan mata kepalanya sendiri telah melihat
hilal, maka dia wajib berpegang teguh dengan apa yang dilihatnya, meski
berbeda dengan ketentuan penguasa.
Dasarnya adalah firman Allah SWT :
Bila kamu melihat bulan itu maka puasalah (QS. Al-Baqarah : 185)
Tetapi kalau dirinya tidak melihat hilal secara langsung, hanya katanya dan
katanya, sebenarnya itu sudah termasuk taqlid. Dan karena hanya taqlid dari
orang yang mengaku melihat hilal, dirinya tidak wajib menerimanya.
Sebaliknya dalam hal ini, justru dia wajib untuk ikut ketetapan khalifah
sebagai pemerintah yang sah, ketimbang mengikuti kata satu atau dua orang
lain.
Dasarnya adalah firman Allah :
Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul , dan ulil
amri di antara kamu. (QS. Am-Nisa`: 59)
Sampai sekarang, meski negeri-negeri Islam telah terpecah menjadi
kecil-kecil dengan wilayah-wilayah yang sempit, tetapi di dalam negeri
masing-masing, penetapan tanggal itu tetap menjadi domain pemerintahnya.
Kalau pemerintah itu sudah ketuk palu, maka siapa pun tidak boleh
mengeluarkan fatwa sendiri. Tindakan nekat seperti itu dianggap menyalahi
aturan syariat, karena itu wajib diperangi.
Meski barangkali ijtihad pihak itu benar, tetapi karena penetapan tanggal
itu domain pemerintah, tetap saja tindakan mengeluarkan fatwa yang
bertentangan dengan apa yang sudah ditetapkan oleh otoritas penguasa
dianggap sebagai bughat, atau pembangkangan dan penentangan.
Keanehan Indonesia
Pemandangan seperti di negeri kita, dimana ketika Pemerintah telah
menetapkan tanggal, lalu ada saja pihak-pihak yang menetapkan sendiri,
adalah pemandangan yang aneh kalau kita bandingkan di dunia arab saat ini.
Aneh, karena sedemikian lemahnya kedudukan pemerintah dan sedemikian
nekatnya ormas-ormas itu telah menerobos keluar dari batas wilayah yang
menjadi kewenangannya.
Pemandangan ini amat kontras kalau kita perhatikan dengan apa yang terjadi
di berbagai negeri Islam yang lain. Jangan coba-coba rakyat membuat
keputusan sendiri tentang penanggalan.
Di Mesir memang ada ribuan kelompok umat Islam yang sering bertikai dan
sering saling melecehkan satu sama lain. Tetapi ketika mufti Mesir sebagai
representasi dari pemerintah yang sah telah menetapkan kapan lebaran, semua
pihak bersatu, kompak, dan tunduk serta taat kepada ketetapan itu.
Di Saudi Arabia demikian juga, meski ada banyak ulama dengan masing-masing
alirannya, kadang mereka pun berbeda pendapat dalam penetapan awal bulan,
tetapi ketika pihak mufti kerajaan sudah ketuk palu, semua ikut dan patuh
pada ketetapan resmi itu.
Wukuf di Arafah itu asalnya mungkin saja bukan cuma satu kata, dan ada
banyak ijtihad yang menetapkan wukuf itu hari Ahad, Senin atau Selasa.
Tetapi ketika mufti menetapkan hari Senin, ya sudah. Semua tunduk dan patuh.
Hal yang sama kita saksikan juga di berbagai negeri Islam, bahwa ketetapan
kapan jatuhnya awal Ramadhan, awal Syawwal, awal Dzulhijjah, sepenuhnya
menjadi wewenang pemerintah yang sah. Yang bukan pemerintah, dilarang
mengeluarkan fatwa sendiri, apalagi bila bertentangan. Karena tindakan itu
dianggap makar yang ingin mengacaukan bangsa.
Beda Pemerintahan Beda Otoritas
Dalam perkembangannya, ketika Islam sudah meluaskan wilayah ke berbagai
penjuru dunia, maka wilayah yang luas itu mengalami perbedaan waktu terbit
bulan dan matahari. Siang di suatu wilayah akan menjadi pagi atau sore di
wilayah yang lain.
Sehingga perbedaan itu pun ikut berpengaruh pada wewenang dalam penetapan
tanggal juga, selama di tiap wilayah itu ada otoritas pemerintahan juga.
Bahkan meski pemerintahan itu masih bagian dari pemerintahan induk, namun
dimungkinkan terjadinya perbedaan dalam penetapan tanggal.
Hal itu terjadi di masa para shahabat, ketika Muawiyah bin Abu Sufyan yang
tinggal di Syam, dimana beliau berstatus sebagai khalifah, telah menetapkan
awal Ramadhan yang jatuh pada hari Jumat, namun otoritas pemerintah di
Madinah menetapkan bahwa 1 Ramadhan jatuh pada hari Sabtu.
Dari Kuraib : Sesungguhnya Ummu Fadl binti Al-Haarits telah mengutusnya
menemui Mu`awiyah di Syam. Berkata Kuraib : Lalu aku datang ke Syam, terus
aku selesaikan semua keperluannya. Dan tampaklah olehku (bulan) Ramadlan,
sedang aku masih di Syam, dan aku melihat hilal (Ramadlan) pada malam
Jum`at. Kemudian aku datang ke Madinah pada akhir bulan (Ramadlan), lalu
Abdullah bin Abbas bertanya ke padaku (tentang beberapa hal), kemudian ia
menyebutkan tentang hilal, lalu ia bertanya ; "Kapan kamu melihat hilal
(Ramadlan) ? Jawabku : "Kami melihatnya pada malam Jum`at". Ia bertanya lagi
: "Engkau melihatnya (sendiri) ?" Jawabku : "Ya ! Dan orang banyak juga
melihatnya, lalu mereka puasa dan Mu`awiyah Puasa". Ia berkata : "Tetapi
kami melihatnya pada malam Sabtu, maka senantiasa kami berpuasa sampai kami
sempurnakan tiga puluh hari, atau sampai kami melihat hilal (bulan Syawwal)
". Aku bertanya : "Apakah tidak cukup bagimu rukyah (penglihatan) dan
puasanya Mu`awiyah ? Jawabnya : "Tidak ! Begitulah Rasulullah SAW telah
memerintahkan kepada kami". (HR. Muslim)
Jadi ada perbedaan penetapan tanggal 1 Ramadhan antara Syam sebagai pusat
pemerintahan dengan Madinah Al-Munawwarah sebagai wilayah. Padahal secara de
facto dan de jure, Madinah merupakan wilayah sah dan bagian dari Khilafah
Bani Umayyah yang beribukota di Damaskus.
Satu hal yang menarik, kalau kita tarik garis lurus antara Damaskus dengan
Madinah di Google Earth, jaraknya hanya sekitar 1000-an Km saja. Artinya
jarak itu kalau di Indonesia hanya seperti Jakarta Bali. Artinya, jarak
antara keduanya tidak terlalu jauh, tidak dipisahkan dengan siang atau
malam.
Perbedaan atau pemisahan otoritas ini dimungkinkan dengan dua syarat.
Pertama, wilayah itu terpisah jauh. Al-Imam Asy-Syafi`i menetapkan minimal
24 farsakh. Dengan hitungan meter, 1 farsakh adalah 5.544 meter. Jadi 24
farsakh sama dengan 5.544 x 24 = 133,057 km.
Kedua, di kedua wilayah itu memang ada otoritas pemerintahan yang sah,
dimana ketetapan itu ditetapkan oleh pemerintahan masing-masing.
Karena hadits di atas itulah maka kita saksikan di zaman sekarang ini,
masing-masing pemerintah negeri Islam kadang berbeda dalam menetapkan kapan
jatuhnya awal Ramadhan, awal Syawaal atau awal Dzulhijjah. Pemerintah Mesir
sering berbeda dengan pemerintah Saudi. Pemerintah Sudan sering berbeda
dengan Libiya, Tunis, Turki, Syria, Jordan, Libanon, Iran atau Iraq.
Secara syar`i, perbedaan itu dimungkinkan, lantaran masing-masing
pemerintahan itu berjauhan secara geografis, dan juga independen secara
hukum. Pemerintah yang satu tidak mengikat pemerintahan yang lain. Semua
berdiri sendiri-sendiri dengan otoritas penuh atas rakyat yang tinggal di
masing-masing negeri.
Puasa Arafah Saat Wukuf?
Yang sekarang menjadi pertanyaan adalah bila kebetulan satu pemerintahan
menetapkan tanggal yang berbeda dengan ketetapan pemerintah Saudi Arabia
dalam masalah wukuf di Arafah, lalu apakah rakyat yang tinggal di negeri itu
ikut puasa dengan tanggal yang ditetapkan pemerintah Saudi, ataukah tetap
dengan tanggal yang telah ditetapkan oleh pemerintah negerinya sendiri?
Pertanyaan ini menjadi amat penting, mengingat banyak orang yang mengaitkan
puasa tanggal 9 Arafah dengan hari wukuf di Arafah.
Contohnya saat ini, Pemerintah Saudi menetapkan wukuf pada hari Senin,
karena tanggal 10 Dzhulhijjah ditetapkan jatuh pada hari Selasa, 16 Nopember
2010. Sementara pemerintah Indonesia menetapkan bahwa 10 Dzulhijjah jatuh
pada hari Rabu, 17 Nopember 2010. Berarti tanggal 9 Dzhuhijjah menurut
penanggalan Indonesia, jatuh pada hari Selasa.
Lalu yang bikin bingung, umat Islam Indonesia puasa sunnah 9 Dzulhijjah
kapan? Hari Senin-kah atau hari Selasa? Ikut Saudi kan atau ikut Indonesia?
Saya sendiri kebanjiran pertanyaan seperti ini dan agak kewalahan
menjelaskannya. Karena itu saya serahan kepada mufti Saudi Arabia sendiri
yang barangkali lebih punya otoritas untuk menjelaskannya. Beliau adalah
ulama besar yang bernama Syeikh Al-Utsaimin. Dalam hal ini beliau punya
jawaban yang semoga bisa menjadi jalan tengah atas perbedaan ini. Berikut
kutipannya :
Syeikh Al-Utsaimin : Puasa Arafah Tidak Perlu Ikut Wukuf Arafah
Pandangan yang rajih adalah berbeda berdasar perbedaan mathla' (dimana hilal
itu dilihat di berbagai tempat). Misalnya, jika hilal sudah dapat terlihat
di Mekah, dan hari ini adalah hari kesembilan. Kemudian di negeri lain hilal
dapat dilihat sehari sebelum nampak di Mekah, maka hari arafah di Mekah
adalah hari kesepuluh bagi mereka, maka ini tidak diperbolehkan bagi mereka
untuk berpuasa di hari ini, karena hari tersebut adalah hari idul adha bagi
mereka.
Atau sebaliknya jika hal ini terjadi dimana mereka melihat bulan sehari
setelah Mekah, maka hari kesembilan (Dzulhijah) adalah tanggal 8 Djulhijjah
bagi mereka, maka mereka harus berpuasa di tanggal 9 menurut mereka
(walaupun bertepatan tanggal 10 bagi Mekah).I nilah pandangan yang rajih
karena Nabi shalallahu alaihi wassalam mengatakan :
Apabila kamu melihat (hilal) berpuasalah, dan (juga) jika kamu melihatnya
maka berbukalah.
Maka mereka yang tidak melihat hilal di negerinya maka dia belum melihatnya
(sebagaimana hadist diatas). Sebagaimana manusia telah sepakat (ijma)
menganggap terbitnya fajar atau terbenamnya matahari itu sesuai daerahnya.
Dengan demikian penentuan waktu masuknya bulan sebagaimana penentuan waktu
harian (yang berbeda tiap daerah). Ini adalah ijma' para ulama.
Oleh karenanya, penduduk Asia Timur memulai puasa sebelum penduduk bagian
barat. Dan berbuka sebelum mereka. Demikian juga matahari yang terbit dan
tenggelam saling berbeda. Untuk yang seperti puasa harian ini berbeda maka
begitu juga untuk puasa bulanan maka tentu sama.
Akan tetapi jika dua wilayah dalam satu pemerintahan, maka keputusan
penguasa untuk berbuka dan berpuasa harus diikuti. Karena ini masalah
khilafiyah sedangkan keputusan hakim itu mengankat khilaf. (Hukmul hakim
yarfa'ul khilaf).
Berdasar ini maka berpuasa dan berbukalah bersama penduduk dimana kalian
sekarang tinggal, entah sama dengan negeri asal kalian atau tidak. Demikian
juga shaum Arafah, ikuti di negeri dimana kalian tinggal. (Majmu' fatawa 20)
Ibnu Taimiyah : Puasa Arafah Ikut Tanggal Negeri Masing-masing
Selain pendapat Syeikh Al-Utsaimin di atas, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pun
memandang masalah lebaran dan wukuf yang berbeda ini sesuai dengan tanggal
yang ditetapkan oleh pemerintah masing-masing negeri.
Secara jelas dan tegas Ibnu Taimiyah mensahkan ru'yah penduduk Madinah dan
tidak sedikitpun menyarankan untuk menunggu keputusan penduduk Mekkah.
Hal ini berarti Ibnu Taimiyah memandang bahwa Iedul Adha itu sesuai dengan
terlihatnya hilal dinegeri masing-masing.
Nabi Puasa Arafah Tidak Ikut Wukuf
Dalam kenyataannya, ini yang kurang disadari oleh banyak orang, ternyata
Rasulullah SAW tiap tahun berpuasa Arafah, tetapi di Arafah tidak ada orang
yang wukuf.
Lho, kok bisa?
Ya, memang bisa. Sebab sebagaimana kita ketahui puasa Arafah itu
disyariatkan jauh sebelum Rasulullah SAW melaksanakan ibadah haji. Ibadah
puasa Arafah telah disyariatkan sejak awal beliau hijrah ke Madinah.
Sedangkan ibadah haji baru dikerjakan di tahun kesepuluh dari hijrah beliau
ke Madinah. Artinya, selama bertahun-tahun beliau berpuasa Arafah, di Arafah
tidak ada orang yang wukuf.
Kita tahu bahwa wukuf di Arafah itu tidak ada dalam manasik haji orang-orang
jahiliyah, mereka hanya mengenal manasik berbentuk tawaf saja, itu pun arah
putarannya keliru. Mereka mengerjakannya searah dengan jaruh jam kalau
dilihat dari atas. Padahal manasik haji Rasulullah SAW menetapkan bahwa
tawaf di seputar ka`bah itu berlawanan dengan arah jarum jam kalau di lihat
dari atas.
So, Nabi SAW berpuasa Arafah di Madinah selama bertahun-tahun tanpa mengacu
kepada ada atau tidak adanya wukuf di Arafah. Pokoknya, kalau di Madinah
sudah masuk tanggal 9 Dzulhijjah menurut hitungan mereka, maka beliau SAW
dan para shahabat berpuasa. Urusan Mekkah ya urusan Mekkah, tapi urusan
Madinah ya diurus oleh Madinah sendiri. Masing-masing mengatur urusan
sendiri-sendiri.
Keanehan Berikutnya
Ada keanehan lagi mengikuti keanehan yang sudah ada, yaitu meski banyak yang
puasa Arafah ikut ketetapan Pemerintah Saudi Arabia, yaitu hari Senin,
ternyata ketika shalat Idul Adha tidak ikut. Sebaliknya, giliran shalat Idul
Adha malah ikut ketetapan Pemerintah Indonesia, yaitu hari Rabu. Hehe,
ternyata ada ketidak-konsistenan dalam bertaqlid.
Padahal seharusnya kalau taqlidnya ikut Pemerintah Saudi Arabia, yaitu puasa
Arafah hari Senin, maka shalat Idul Adha-nya harus hari Selasa, sesuai
taqlidnya. Sebab kalau shalatnya hari Rabu, sama saja shalat tanggal 11
Dzulhijjah.
Dan kalau mau jujur, sebenarnya dengan cara begitu justru merupakan bid`ah
yang nyata, karena sepanjang sejarah Rasulullah SAW tidak pernah shalat Idul
Adha tanggal 11 Dzulhijjah.
Kalau pun beliau pernah mengqadha` shalat Ied, karena memang beliau baru
tahu setelah waktu shalat Ied terlewat. Sedangkan yang satu ini, sejak awal
sudah niat mau puasa Arafah hari Senin ikut Saudi, tapi mau shalat Ied hari
Rabu.
Padahal kan harusnya kalau mau shalat Ied hari Rabu, harus yakin bahwa hari
Rabu adalah tanggal 10 Dzulhijjah, berarti puasa sunnahnya hari Selasa
tanggal 9 Dzulhijjah.
Tapi ya inilah keanehan bangsa kita, kelakuannya sering bertaqlid
separo-separo. Orang Jawa bilang,"Ngono yo ngono ming ojo ngono".
Tapi menghadapi teman-teman yang model begini, saya sering jawab sambil
nge-joke, prinsipnya seperti hafalan si zaman SD dulu, Men Sana In Corpore
Sano. Lu mau kesana gue mau kesono :-)
Maksudnya? Ya, terserah lah. Namanya juga taqlid. Sesama tukang taqlid
dilarang saling mendahului. Toh puasa Arafah cuma sunnah, bukan wajib. Nggak
puasa pun ngga berdosa.
Wallahu a`lam bishshsawab,
wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.
Ahmad Sarwat, Lc
--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
No comments:
Post a Comment