Thursday, December 23, 2010

[Milis_Iqra] Koruptor Jadi Elite Menakutkan

http://www.jambiekspres.co.id/index.php/opini/17205-koruptor-jadi-elite-menakutkan.html

Jumat, 10 Desember 2010 10:59


Koruptor Jadi Elite Menakutkan
Refleksi Hari Antikorupsi Dunia, 9 Desember 2010
Oleh: ABDUL WAHID


SAAT berbagai negara sedang memproklamasikan berbagai bentuk kampanye
dan jurus masing-masing negaranya untuk melawan korupsi dalam acara
peringatan Hari Antikorupsi Dunia yang jatuh pada hari ini, kita
justru digugat oleh pertanyaan benarkah Indonesia memang terbilang
negara antikorupsi? Tidakkah selama ini korupsi telah diperlakukan
elemen negara sebagai penyakit yang menyenangkan (memuaskan) untuk
diajak bersahabat? Keberadaan ''pandawa lima'' KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi) yang terdiri atas Chandra M. Hamzah, Antasari
Azhar (sebelum diganti Busyro Muqoddas), Bibit Samad Rianto, Haryono,
dan Mochammad

Jasin sering digugat banyak orang atau diragukan bisa melawan
koruptor, apalagi setelah Antasari terlibat kasus kriminalitas
(pembunuhan) dan Bibit-Candra disibukkan melawan perkara hukum yang
ditembakkan kepada mereka.

Meski sekarang KPK mendapatkan nakhoda baru bernama Busyro Muqoddas,
publik masih jauh dari meyakini bahwa Busyro mampu dan mau menunjukkan
kapabilitasnya dalam berperang melawan koruptor. Sebab, Busyro belum
tentu bersedia (mau) menggelar ''perang bubat" me lawan koruptor.

Bukan tidak mungkin Busyro menjatuhkan opsi sikap diam atau tak banyak
memasuki kawasan hitam koruptor dengan pertimbangan kenyamanan dan
keselamatan atau meng-uzlah-kan diri dari ranah peperangan terhadap
kawasan dan kawanan koruptor kelas macan.

Keniscayaan ini berangkat dari kinerja KPK belakangan ini (sebelum
Busryo menakhodai KPK) yang lebih cenderung mendiamkan koruptor kakap,
sementara koruptor kelas teri diburu. Kasus Century dan skandal pajak
yang melibatkan oknum Polri merupakan sampel kasus yang menempatkan
KPK layaknya macan ompong yang kehilangan agresivitas.

Politik hukum berpola diskriminasi lebih dimenangkan dibandingkan
dengan implementasi sistem penjeratan koruptor berbasis egalitarian.

Kimiawan kenamaan Albert Enstein pernah bilang bahwa dunia ini semakin
tidak aman dan damai untuk dihuni bukan karena ulah penjahat,
melainkan akibat sikap kita yang membiarkan kejahatan terjadi.

Pernyataan itu sejatinya mengajarkan kepada KPK supaya tak menjatuhkan
sikap diskriminatif, diam, atau membisu terhadap kejahatan istimewa
(extraordinary crime) yang terjadi di masyarakat.

''Pandawa lima'' KPK idealnya ''melek'', cepat tanggap, gampang
merespons, atau cerdas terhadap berbagai bentuk perilaku kejahatan
korupsi. Sebab, membiarkan kejahatan itu unjuk gigi, berdaya, dan
bersindikasi sistemis identik dengan membuka keran mengakselerasi,
membudaya, dan mengabsolutnya berbagai model penyimpangan kekuasaan di
bumipertiwi.

***

Akar penyebab utama memberdaya dan membudayanya korupsi, selain
kehebatan dan kepiawaian koruptornya dalam menjalankan aksi-aksi
kriminalisasi sistemisnya, juga sikap masyarakat, khususnya aparat
penegak hukum, yang menoleransi, cuek, kurang kritis, jauh dari

sikap berani, virus diskriminasi, tidak mempunyai independensi, dan
tidak benar-benar memelekkan mata untuk mengawasi sepak terjang
koruptor.

Koruptor tidak akan berani melebarkan sayap-sayap kekuatan dan ''keper
kasaannya'' bila sikap dan geraknya te rus berada dalam pengawasan
KPK. Potret negara-negara lain yang terkenal sebagai

negara bersih dan berwibawa adalah berkat partisipasi publik dalam
mengawasi dan menilai tingkat akun tabilitas kinerja pemerintah,
khususnya pengawasan yang dilakukan lembaga yang sudah ditunjuk
menjadi pengadilnya.

Sayang, akibat sikap diam dan budaya ''bisu'' aparat penegak hukum
terhadap akselerasi koruptor, konstruksi keberlanjutan kehidupan
bermasyarakat dan bernegara ini terus-menerus terganggu. Koruptor
tetap menjadi kekuatan elite yang ditakuti.

Koruptor terus saja menjalankan aksi canggihnya untuk menggerogoti dan
mengeroposkan keberdayaan negara akibat elemen penegak hukum yang
menjadikan Indonesia sebagai state without law.

Barangkali generasi mendatang hanya akan menikmati tuyang-tuyang nama
besar Indonesia akibat sudah lebih dahulu dan terus- menerus
dikempeskan serta dilumpuhkan koruptor.

Tidak bisa dimungkiri, dalam beberapa kasus, KPK memang sudah memulai
unjuk gigi dengan cara membongkar berbagai dugaan penyalahgunaan
kekuasaan. Tetapi, KPK dinilai (dituduh) masih tebang pilih dalam
menangkap, menahan, dan menjerat koruptor sehingga KPK pun berada
dalam posisi sebagai institusi penjerat koruptor yang tidak steril
dari intervensi struktural atau kelompok strategis tertentu.

Peter Williams, komisioner Independent Commission Against Corruption
(ICAC), lembaga semacam KPK di Hongkong yang dijadikan percontohan
pembe rantasan korupsi, berujar bahwa ''terha dap penduduk dewasa,
kami sering menggunakan pendekatan rasa takut. Artinya, kami
memanfaatkan rasa takut dihukum. Namun, dalam jangka panjang, anak-
anak dan para pemuda harus dididik dengan sikap mental yang tepat
terhadap korupsi.'' (Klitgaard, Membasmi Korupsi, 2001).

KPK dianggap masih belum bisa me nyentuh kasus-kasus yang berindikasi
korupsi macan, terutama yang bersen tuhan dengan ''orang-orang
bermasalah'' yang berdekatan secara privilitas dengan sang rezim.

Secara hukum, yang dila kukan (KPK) sebatas difokuskan kepada kasus
korupsi yang tidak membahayakan diri mereka. Pertimbangan subjektif
dan diskriminatif dalam menangani koruptor telah membuat KPK layak di
praduga belum menjadi institusi hukum yang independen.

Jiwa independensi profetis dan militansi moral tinggi ''pandawa lima''
KPK sangatlah dibutuhkan untuk mem bongkar atau mendekonstruksi
''kepro fesionalan'' komunitas elite koruptor, terutama yang berelasi
kepada eksekutif, yudikatif, maupun legislatif. Bisa jadi, kolaborasi
dewan, yudikatif, dan eksekutif bermasalah hanya menginginkan
kehadiran peran elite penegak hukum atau elemen KPK yang bisa diatur
atau menguntungkan mereka, bukannya peran judicial yang membahayakan.
Sebab, kalau elemen penegak hukum itu berjiwa militan dan egalitarian,
mi salnya, akan banyak orang penting yang meringkuk di penjara.

Dalam ranah politik kriminal, dapat dipahami bahwa keprofesionalan
koruptor umumnya bukan ditentukan oleh kemampuannya dalam melakukan
korupsi,

tetapi juga kepiawaiannya dalam berkelit dan meloloskan diri dari
jeratan hukum, teristimewa dalam membuat aparat penegak hukum layaknya
zombi. Tidak ada koruptor yang mau dijerat KPK sehingga mereka tentu
ingin mengemas diri mereka sebagai macan yang bisa menerkam dan
memangsa setiap elemen KPK, khususnya siapa saja yang hendak
menunjukkan militansinya dalam ranah penegakan hukum.

Segerombolan koruptor tentulah menyiapkan berbagai model jurus yang
dipandang bisa diandalkan dalam memandulkan atau mengimpotensikan
kinerja KPK. (*)

*) Abdul Wahid, dekan Fakultas Hukum dan pengajar Program Pascasarjana
Ilmu Hukum Unisma, Malang

--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125

Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63

Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-

No comments:

Post a Comment