(Mohon maaf judul di Milis saya ganti dengan Prestasi SBY dan saya
tidak dapat menemukan kata lain yang lebih tepat untuk judul Milis)
Benarkah bahwa Presiden SBY adalah public enemy (musuh publik) ?
Hugo Chavez keluar dari Istananya untuk menampung korban banjir di
dalamnya
Setelah mengikuti banyak berita-berita pers dan berbagai siaran
televisi akhir-akhir ini, kita bisa bertanya-tanya apakah presiden SBY
masih mendapat kepercayaan rakyat untuk menangani berbagai persoalan
besar dan berat yang dihadapi bangsa dan negara dewasa ini. Sebab,
terdengar makin banyak suara dari berbagai kalangan, yang
mengindikasikan bahwa kepercayaan publik terhadap kepemimpinan
presiden SBY sudah anjlog. Bukan itu saja, ketidakpercayaan terhadap
SBY ini sudah meningkat menjadi kemarahan dari bermacam-macam
kalang an di banyak tempat di seluruh Indonesia.
Bahkan, dalam salah satu tayangan di televisi Metro TV baru-baru ini
ada orang yang mengatakan bahwa presiden SBY sekarang sudah menjadi
public enemy (musuh publik). Mungkin saja, kata-kata public enemy bisa
dianggap keterlaluan kasarnya atau kebablasan, tetapi ini mencerminkan
kemarahan publik yang sudah makin memuncak terhadap SBY akhir-akhir
ini.
Sebagian dari ketidakpuasan banyak kalangan, bahkan kemarahan rakyat,
telah dimanifestasikan oleh banyaknya aksi-aksi atau demo yang
dilakukan oleh organisasi pemuda dan mahasiswa di banyak kota di
Indonesia dalam rangka Hari Anti Korupsi Sedunia dan hari HAM sedunia.
Dalam dua peringatan ini telah diangkat kembali masalah korupsi dan
pelanggaran HAM yang masih tetap menjadi persoalan besar yang tidak
bisa diselesaikan bangsa kita.
Korupsi sumber ketidakpercayaan kepada SBY
Terutama masalah korupsi merupakan sumber besar ketidak-percayaan dan
kemarahan rakyat terhadap presiden SBY. Kasus Bank Century yang
menyangkut uang negara lebih dari RP 6 triliun yang tidak jelas
juntrungnya, ditambah dengan kasus Gayus Tambunan yang menghebohkan
seluruh negeri, menunjukkan bahwa presiden SBY tidak menunjukkan
kepemimpinan yang diinginkan oleh rakyat banyak. Singkatnya, sangat
sangat mengecewakan !!!
Baik dalam kasus Bank Century maupun kasus Gayus Tambunan dirasakan
adanya hal-hal yang menimbulkan dugaan bahwa presiden SBY tidak mau,
atau tidak berani, atau tidak bisa, bertindak tegas sebagai pemimpin
negara dan pemimpn pemerintahan, dengan alasan « tidak mau memasuki
ranah hukum », « tidak mau intervensi ».
Kalau dalam kasus Bank Century ada kecurigaan-kecurigaan adanya hal-
hal yang « tidak lurus « yang dilakukan oleh pendukung-pendukung
Partai Demokrat yang dipimpin oleh SBY, maka dalam kasus Gayus
Tambunan banyak orang mempertanyakan mengapa SBY berusaha supaya kasus
Gayus ini ditangani oleh polri saja, yang sudah mengindikasikan bahwa
Gayus akan dikenakan perkara gratifikasi saja, dan bukan perkara
penyuapan.
Kelihatannya ada kalangan-kalangan yang menduga-duga bahwa keputusan
SBY tentang penanganan masalah Gayus ini supaya dilakukan terutama
oleh tangan-tangan polri, dan bukannya oleh KPK, adalah karena polri
adalah langsung di bawah presiden SBY, seperti halnya kejaksaan agung.
Dengan begitu presiden SBY bisa ikut « mengarahkan » penanganan kasus
Gayus, dan dengan cara demikian SBY beserta pendukung-pendukungnya
dapat menyelamatkan penunggak pajak raksasa yang jumlahnya sekitar 150
perusahaan besar.
Dengan dalih bahwa Gayus hanya akan dikenakan perkara gratifikasi,
maka meskipun ia sudah menerima uang suapan sebanyak sekitar Rp 100
miliar, ia akan dijatuhi hukuman yang ringan sekali, kalau tidak
dibebaskan sama sekali. Yang paling aneh atau keterlaluan tidak masuk
nalar yang waras adalah bahwa dengan dipakainya rumus « gratifikasi »
maka perusahaan-perusahaan yang pernah menyuap Gayus (termasuk 3
perusahaan besar grup Aburizal Bakrie) akan bebas dari tuntutan
hukum.
Kelemahan, keragu-raguan, ketidak-beranian kepemimpinan SBY
Dengan munculnya kasus Gayus Tambunan, maka tidak saja kelihatan masih
merajalelanya korupsi yang berkelas kakap di Indonesia, melainkan juga
tetap terus bobroknya atau busuknya aparat-aparat hukum negeri kita.
Dalam sejarah Republik Indonesia, tidak ada kebobrokan atau kerusakan
di kalangan kepolisian, kejaksaan dan kehakiman (pengadilan) seluas
dan separah seperti yang terjadi di masa pemerintahan SBY sekarang
ini. Hanya pemerintahan Orde Baru di bawah Suhartolah yang bisa
mengalahkan atau menyamai kebobrokan pemerintahan SBY.
Banyak orang mengkaitkan kebusukan atau kebobrokan di kalangan
pimpinan Polri dan Kejaksaan Agung (dan juga kehakiman atau
pengadilan) dengan kelemahan, atau kelambatan, atau keragu-raguan,
atau kehati-hatian, atau ketidak-beranian kepemimpinan SBY. Ada juga
yang menghubungkan ketidak-tegasan SBY ini dengan kekuatirannya bahwa
hal-hal yang termasuk « suram » yang berkaitan dengan kemenangannya
sebagai capres dalam pemilu bisa dibongkar atau dikutik-kutik.
Di samping adanya kenyataan bahwa politik pemerintahan di bawah SBY
memang menjalankan politik yang pro neo-liberal dan tidak
menguntungkan rakyat, SBY juga diikat oleh koalisi yang terdiri dari
partai-partai yang juga sama-sama reaksionernya. Karena itu, koalisi
partai-partai reaksioner yang duduk dalam DPR ini menjadi ajang
kongkalikong dalam berbagai bentuk dan cara, dan melakukan berbagai
macam kejahatan berjemaah terhadap kepentingan rakyat. Sebagian dari
partai-partai ini sudah menjadi pengkianat rakyat, dan karenanya --
pada hakekatnya ! -- juga sudah menjadi musuh rakyat..
Dengan pandangan semacam itu, maka sebenarnya, atau pada intinya,
bukan hanya SBY saja yang menjadi public enemy, melainkan juga partai-
partai yang mendukungnya. Oleh karena itu, berbagai fenomena di negeri
kita menunjukkan bahwa SBY sudah makin jauh dari rakyat. Terasa
sekali bahwa tidak ada hubungan hati dan fikiran yang hangat dan erat
antara presiden SBY dan rakyat banyak.
Sekarang makin kelihatan bahwa berbagai kalangan di masyarakat tidak
hanya kehilangan kepercayaan kepada aparat kepolisian, kejaksaan, dan
kehakiman atau pengadilan, melainkan juga kepada pribadi presiden SBY.
Ketidak-percayaan rakyat terhadap kepemimpinan SBY ini, yang sudah
turun sejak lama, akhir-akhir ini bertambah parah dengan munculnya «
blunder » (kesalahan besar) mengenai hiruk-pikuk kasus keistimewaan
daerah Jogyakarta. Rakyat Jogyakarta sudah memasang spanduk besar-
besaran yang bertuliskan SBY= Sumber Bencana Yogya
Begitu hebatnya kemerosotan kepercayaan terhadap pemerintahan yang
dipimpin SBY sehingga dalam aksi-aksi yang dilakukan baru-baru ini di
berbagai kota dikibarkan bendera Merah Putih setengah tiang, sebagai
tanda keprihatinan dan kemarahan. Puncak kemarahan ini terjadi pada
tanggal 13 Desember ketika warga seluruh kota Jogya mengibarkan
bendera setengah tiang, dan puluhan ribu penduduk secara beramai-ramai
menyaksikan sidang terbuka DPRD Jogya yang membicarakan soal
keistimewaan daerah ini. Peristiwa ini merupakan « pemberontakan damai
» atau tantangan penduduk Jogya terhadap pemerintahan SBY, atau
setidak-tidaknya merupakan pukulan yang serius terhadap muka presiden
SBY.
Perkembangan fikiran atau opini publik terhadap kepemimpinan presiden
SBY ini sangat gawat dan bahkan bisa menimbulkan berbagai gejolak
masyarakat yang makin lama bisa makin membesar, karena SBY beserta
partai-partai koalisinya tidak akan bisa mengadakan perubahan-
perubahan besar guna memperbaiki situasi politik, ekonomi dan sosial
yang makin ruwet nantinya. Terutama sekali pemerintahan SBY tidak akan
mungkin dapat segera menyelesaikan masalah korupsi yang sudah merusak
moral janjangan yang paling atas sampai paling bawah.
Banyak orang melihat dengan lebih terang ketokohan SBY
Kekecewaan dan kemarahan banyak kalangan terhadap SBY (dan pendukung-
pendukungnya) mengindikasikan bahwa opini publik kita sudah bisa
melihat lebih terang lagi kepada « ketokohan » SBY sebagai pemimpin
rakyat dan negara. Walaupun SBY telah dipilih sebagai presiden secara
langsung dengan perolehan suara sekitar 62% dalam pemilu yang lalu,
namun sekarang ternyata bahwa banyak orang sudah tidak lagi menyukai
tindakan-tindakan atau sikapnya, terutama tentang korupsi. Dewasa ini
Indonesia merupakan negara yang ter-korup di daerah Asia-Pasifik.
Ketika dalam pemilu yang lalu banyak sekali orang yang mengharapkan
(atau mengira) bahwa SBY akan bisa merupakan presiden yang betul-
betul bertindak sebagai pemimpin rakyat, maka mereka kemudian merasa
sebagai tertipu mentah-mentah. Ada yang berpendapat bahwa SBY ternyata
bukan tokoh yang bisa menjadi contoh sebagai pemimpin rakyat. Di bawah
pemerintahannya situasi negara dan bangsa tambah ruwet, atau penuh
gejolak. Perdebatan panas mengenai keistimewaan daerah Jogya hanyalah
salah satu bagian saja dari banyaknya persoalan parah yang harus
dihadapi SBY.
Perbedaan besar kepemimpinan SBY dengan Bung Karno
Dari berbagai tindakannya, atau sikapnya, mengenai macam-macam soal
yang berkaitan dengan negara dan bangsa, nampak sekali perbedaannya
dengan kepemimpinan Bung Karno. Kalau kebesaran sosok dan keagungan
ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno sampai sekarang masih bersemayam
di hati banyak sekali orang, --walaupun ia sudah wafat 40 tahun yang
lalu, akibat siksaan Suharto selama dalam tahanan – maka kelihatannya
nama SBY tidak mendapat tempat yang terhormat dalam hati rakyat.
Sesudah pengkhianatan besar-besaran oleh Suharto terhadap pemimpin
rakyat dan bangsa, Bung Karno, maka negara kita belum mempunyai lagi
pemimpin lainnya yang bisa dikategorikan sebagai pemimpin rakyat yang
sebenarnya, yang seagung dan seluhur Bung Karno. Kita bisa melihat
bahwa semua (atau sebagian terbesar sekali) tokoh Indonesia yang
pernah mengaku dirinya sebagai pemimpin rakyat adalah sebenarnya tidak
pantas dinamakan pemimpin rakyat. Karena mereka tidak memiliki sifat
yang bisa dijadikan contoh, atau tindakan-tindakannya tidak bisa
menimbulkan hormat bagi banyak orang.
Contoh dari Venezuela : presiden Hugo Chavez
Dalam kaitan ini, kiranya bisa diambil contoh dari presiden Venezuela,
Hugo Chavez, seorang mantan perwira militer yang berpandangan
revolusioner kerakyatan, yang terpilih secara demokratis sebagai
presiden. Sejak terpilih menjadi presiden Venezuela, ia telah
melakukan perubahan-perubahan besar-besaran di bidang politik,
ekonomi, sosial, kebudayaan, militer, dan hubungan luar negeri, yang
pada pokoknya selalu mementingkan rakyat dan anti-imperialisme
(terutama AS). Karena kedekatannya dengan rakyat, maka rakyat
Venezuela selalu menyokongnya dalam melawan musuh-musuh dalam negeri
maupun luar negeri.
Menurut TEMPO Interaktif, (11 Des O3), Presiden Venezuela Hugo Chavez
berencana untuk memerintah (berkantor) sementara dari sebuah tenda
pemberian pemimpin Libya Muammar Gaddafi setelah mengundang para
keluarga yang kehilangan tempat tinggal akibat hujan deras untuk
tinggal di istananya.
Hujan terburuk dalam satu dekade ini telah menimbulkan malapetaka di
negara eksportir minyak utama Amerika Selatan itu dengan menewaskan
lebih dari 30 orang dan menyebabkan kehilangan tempat tinggal lebih
dari 100 ribu orang di desa-desa pesisir dan daerah kumuh kota.
Dari Istana kepresidenan pindah berkantor ke tenda
"Siapkan hadiah Gaddafi. Anda dapat memasangnya di taman Miraflores,
menaruhnya di sana karena aku akan pindah ke tenda," kata Chavez saat
mengunjungi pengungsian di lingkungan miskin di belakang istana
presiden Miraflores. Gaddafi dikenal karena telah memimpin sidang di
sebuah tenda Badui besar ketika melakukan kunjungan luar negeri dan
menggunakannya saat dalam perjalanan ke Venezuela, tahun lalu.
Presiden Hugo Chavez memindahkan 25 keluarga ke istana pada bulan
November dan mengatakan kepada pembantunya untuk mempercepat
persiapan untuk menerima lagi 80 keluarga. "Kita bisa menaruh
beberapa tempat tidur di kantor utama saya," katanya. Chavez telah
turun langsung ke seluruh negeri untuk mengawasi bantuan kemanusiaan.
Demikian berita Tempo Interaktif.
Sudah tentu, tindakan Hugo Chavez, seorang mantan militer yang berjiwa
sosialis revolusioner, untuk menampung di Istananya sebagian penduduk
Venezuela yang terkena banjir dan menyediakan juga tempat-tempat tidur
bagi mereka di kantor utamanya adalah sesuatu yang sama sekali « aneh
» atau luar biasa bagi para penguasa di Indonesia.
Ketika membaca berita tentang tindakan-tindakan Hugo Chavez, mungkin
ada di antara kita yang ingat kepada banyaknya penduduk lereng Merapi,
Mentawai, Wasior dan lain-lain, yang sangat menderita karena ketimpa
bencana. Kalau seandainya para penguasa di Indonesia semuanya
mempunyai sikap pro rakyat dan karakter politik seperti Hugo Chavez
maka nasib rakyat kita akan jadi lain, tidak seperti sekarang ini.
Mengingat itu semua, maka kita bisa menarik pelajaran -- dan juga
mengambil kesimpulan -- bahwa dengan pemimpin-pemimpin sejenis dan
sekaliber SBY, maka negara dan bangsa kita tidak akan mungkin
mengadakan perubahan-perubahan besar dan fundamental yang
menguntungkan kepentingan rakyat. Artinya, dengan tokoh-tokoh
pendukung SBY yang dewasa ini mengangkangi kedudukan-kedudukan kunci
di badan-badan eksekutif, legislatif,dan judikatif (dan dunia
usaha !!!) , maka situasi bangsa dan negara tidak akan mungkin meraih
perbaikan, dan bahkan sebaliknya, akan menjadi makin memburuk.
Indonesia akan bisa mengadakan perubahan-perubahan besar, hanya
melalui jalan reformasi yang menyeluruh dan restorasi yang luas
sekali, yang bisa berbentuk revolusi rakyat, seperti yang ditunjukkan
oleh Bung Karno, atau oleh praktek revolusioner presiden Hugo Chavez.
Jalan lainnya, seperti pekerjaan tambal sulam yang dilakukan oleh SBY
beserta pendukung-pendukungnya dewasa ini, adalah jalan buntu.
Paris, 14 Desember 2010
A. Umar Said
--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
No comments:
Post a Comment