Wednesday, February 16, 2011

Re: [Milis_Iqra] coca-cola-mengandung-alkohol

Saya fikir perlu klarifikasi kebenaran berita tsb terlebih dahulu. Jika memang benar dan instansi terkait seperti BPOM belum mengeluarkan statement apapun tentang fakta tsb barangkali kita perlu menyuarakannya melalui YLKI, surat pembaca dll.

Masalah ini menyangkut makanan yang halalan thoyiban. Kalau kategori halal mungkin artikel yang disampaikan om Nandang dan om Dani sudah sangat detil mengupasnya, tetapi untuk "thoyib" dibutuhkan data2 yang akurat sehingga masing2 bisa menilai apakah itu bagus bagi dirinya, keluarganya, atau tidak.

Salam,

2011/2/16 Dani Permana <adanipermana@gmail.com>

Secara Ilmiah, ada sedikit makalah tentang pembahasana Al kohol…

 

ALKOHOL

DALAM MAKANAN, OBAT, DAN KOSMETIK :

TINJAUAN FIQIH ISLAM*


Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi**



1. Pendahuluan

Merupakan prinsip dasar Islam, bahwa seorang muslim wajib
mengikatkan perbuatannya dengan hukum syara?, sebagai konsekuensi keimanannya
pada Islam. Sabda Rasulullah SAW,?Tidak sempurna iman salah seorang dari kamu,
hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (Islam).? (HR. Al-Baghawi)
(Haqqi, 2003:40).

Maka dari itu, sudah seharusnya dan sewajarnya seorang muslim
mengetahui halal-haramnya perbuatan yang dilakukannya, dan benda-benda yang
digunakannya untuk memenuhi kebutuhannya. Termasuk dalam hal ini,
halal-haramnya makanan, obat, dan kosmetik.

Akan tetapi, penentuan status halal haramnya suatu makanan,
obat, atau kosmetik kadang bukan perkara mudah. Di satu sisi, para ulama
mungkin belum seluruhnya menyadari betapa kompleksnya produk pangan, obat, dan
kosmetik dewasa ini. Asal usul bahan bisa melalui jalur yang berliku-liku,
banyak jalur. Bahkan dalam beberapa kasus, sulit ditentukan asal bahannya. Di
sisi lain, pemahaman para ilmuwan terhadap syariah Islam, ushul fiqih dan
metodologi penentuan halam haramnya suatu bahan pangan dari sisi syariah,
relatif minimal. Dengan demikian seharusnya para ulama mencoba memahami
kompleksnya produk pangan, obat, dan kosmetik. Sedangkan ilmuwan muslim, sudah
seharusnya menggali kembali pengetahuan syariahnya, di samping membantu ulama
memahami kompleksitas masalah yang ada. (Apriyantono, Penentuan Kehalalan
Produk Pangan Hasil Bioteknologi: Suatu Tantangan, www.indohalal.com).

Berkait dengan itu, penting sekali dikemukakan metode penentuan
status hukum, baik penentuan hukum untuk masalah baru (ijtihad) maupun sekedar
penerapan hukum yang sudah ada pada masalah baru (tathbiq al-hukm ?ala mas`alah
al-jadidah). Berdasarkan metode Taqiyuddin An-Nabhani (1994:201; 2001:74),
terdapat 3 (tiga) langkah yang harus ditempuh dalam menetapkan satus hukum :

Pertama, memahami fakta/problem secara apa adanya (fahmul musykilah
al-qa`imah). Fakta ini dalam ilmu ushul fiqih dikenal dengan istilah manath
(Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, III/24) . Di sinilah para ulama wajib memahami
masalah yang ada, dibantu oleh para ilmuwan muslim.

Kedua, memahami nash-nash syara? (fahmun nushush asy-syar?iyah) yang berkaitan
dengan fakta tersebut (jika belum ada hukumnya), atau memahami hukum-hukum
syara? (fahmul ahkam asy-syar?iyah) yang telah ada yang berkaitan dengan fakta
tersebut (jika sudah ada hukumnya),

Ketiga, mengistinbath hukum dari nash dan menerapkannya pada fakta; atau
menerapkan hukum yang telah ada pada fakta.

Makalah ini bertujuan terutama menjelaskan hukum alkohol dalam
makanan, obat, dan kosmetik. Sebelum itu, akan dijelaskan lebih dulu beberapa
prinsip dasar dalam fiqih Islam dalam penentuan status hukum. Prinsip ini pula
yang secara spesifik digunakan dalam makalah ini untuk meninjau hukum alkohol
dalam makanan, obat, dan kosmetik.





2. Beberapa Prinsip Dasar

Prinsip-prinsip dasar berikut ini ada yang berupa suatu hukum
syara? (al-hukm al-syar?i), dan ada pula yang berupa kaidah syara? (al-qa?idah
asy-syar?iyah) yaitu kaidah umum yang dapat diterapkan untuk berbagai kasus.
Berikut penjelasan sekilas prinsip-prinsip tersebut.



2.1. Hukum Asal Benda Adalah Mubah

Prinsip ini dalam rumusannya yang lengkap berbunyi Al-Ashlu fi
al-asy-yaa` al-ibahah maa lam yarid dalil at-tahrim (hukum asal benda adalah
mubah selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya). (?Atha Ibnu Khalil,
Taysir Wushul Ila Al-Ushul, hal. 16; Abdul Hamid Hakim, Mabadi` Awwaliyah, hal.
48; Al-Qaradhawi, Halam dan Haram dalam Islam, hal. 14-15). Yang dimaksud
asy-ya` (sesuatu) dalam kaidah itu adalah materi-materi yang digunakan manusia
dalam memenuhi kebutuhannya. Perbuatan atau aktivitas manusia tidak termasuk di
dalamnya (Atha Ibnu Khalil, Taysir Wushul Ila Al-Ushul, hal. 15). Kaidah ini
disimpulkan dari berbagai ayat yang menyatakan bahwa segala apa yang diciptakan
Allah di langit dan bumi adalah diperuntukkan bagi manusia, yaitu telah
dihalalkan oleh Allah (misalnya QS Al-Baqarah [2] : 29, QS Al-Jatsiyah [45] :
13, QS Luqman [31] : 20).

Penerapan kaidah itu misalnya bagaimana status hukum hewan yang
tidak ada keterangannya, apakah halal atau haram. Dalam hal ini, ditetapkan
hukum asalnya, yaitu mubah. As-Subki mencontohkan, jerapah hukumnya halal,
berdasarkan prinsip ini (Abdul Hamid Hakim, Mabadi` Awwaliyah, hal. 48).



2.2. Hukum Asal Benda Yang Berbahaya Adalah Haram

Prinsip ini berbunyi : Al-Ashlu fi al-madhaar at-tahrim (hukum
asal benda yang berbahaya [mudharat] adalah haram) (Taqiyuddin An-Nabhani,
Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, III/451). Prinsip ini berarti bahwa segala
sesuatu materi (benda) yang berbahaya, sementara tidak terdapat nash syar?i
tertentu yang melarang, memerintah, atau membolehkan, maka hukumnya haram.
Sebab, syariat telah mengharamkan terjadinya bahaya. Misalnya, ecstasy dan
segala macam narkoba lainnya hukumnya haram karena menimbulkan bahaya bagi
penggunanya.

Dasar dari kaidah tersebut adalah hadits Nabi SAW, di antaranya
sabda Nabi SAW, ?Laa dharara wa laa dhirara.? (Tidak boleh menimpakan bahaya
bagi diri sendiri dan bahaya bagi orang lain) (HR Ibnu Majah, Ad-Daruquthni,
dan lain-lain) (An-Nawawi, 2001:214).



2.3. Setiap Kasus dari Perbuatan/Benda Yang Mubah, Jika Berbahaya atau Membawa
pada Bahaya, Maka Kasus Itu Saja Yang Haram, Sedang Hukum Asalnya Tetap Mubah

Prinsip ini dalam teks Arabnya berbunyi : Kullu fardin min
afrad al-amr al-mubah idzaa kaana dhaaran aw mu`addiyan ila dharar hurrima
dzalika al-fardu wa zhalla al-amru mubahan (Taqiyuddin An-Nabhani,
Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, III/451). Kaidah ini berarti, suatu masalah
(berupa perbuatan atau benda) yang hukum asalnya mubah, jika ada kasus tertentu
darinya yang berbahaya atau menimbulkan bahaya, maka kasus itu saja yang
diharamkan. Sementara hukum asalnya tetap mubah. Misalkan mandi, hukum asalnya
boleh. Tapi bagi orang yang mempunyai luka luar yang parah, mandi bisa
berbahaya baginya. Maka mandi bagi orang itu secara khusus adalah haram,
sedangkan mandi itu sendiri tetap mubah hukumnya. Contoh lain, daging kambing,
hukum asalnya mubah. Tapi bagi orang tertentu yang menderita hipertensi, daging
kambing bisa berbahaya. Maka, khusus bagi orang tersebut, daging kambing
hukumnya haram. Sedangkan daging kambingnya itu sendiri, hukumnya tetap mubah.

Kaidah itu didasarkan pada hadits-hadits (Abdullah, 1996:141).
Antara lain, Rasul SAW pernah melarang para sahabat untuk meminum air dari
sumber air di perkampungan kaum Tsamud (kaum Nabi Salih AS), karena air
tersebut berbahaya. Padahal air hukum asalnya mubah (Lihat Sirah Ibnu Hisyam,
IV/164).



2.4. Segala Perantaraan Yang Membawa Kepada Yang Haram, Hukumnya Haram

Prinsip di atas dirumuskan dalam kaidah fiqih yang berbunyi
al-wasilah ila al-haraam haraam (segala perantaraan [berupa perbuatan atau
benda] yang membawa kepada yang haram, hukumnya haram). Jadi, meskipun hukum
asal perantara itu adalah mubah, tapi akan menjadi haram jika membawa kepada
yang haram. Syarat penerapan kaidah ini ada dua; Pertama, bahwa perantara itu
diduga kuat (ghalabatuzh zhann) akan membawa pada yang haram. Kedua, bahwa
akibat akhir dari adanya perantara tersebut, telah diharamkan oleh suatu dalil
syar?i (An-Nabhani, 2001:92).

Kaidah tersebut berasal dari firman Allah SWT (artinya) :



?Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah,
karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa ilmu
pengetahuan.? (QS Al-An?aam [6] : 108)



Memaki tuhan-tuhan sembahan orang kafir, hukum asalnya mubah. Tapi kalau itu
akan menimbulkan makian kepada Allah SWT, maka hukumnya menjadi haram. Dari
sinilah muncul kaidah al-wasilah ila al-haraam haraam.

Contoh penerapannya, adalah haramnya menjual anggur atau
perasan (jus) anggur --dan yang semacamnya-- yang diketahui akan dijadikan
khamr. Padahal jual beli itu hukum asalnya mubah. Tapi kalau jual beli ini akan
mengakibatkan keharaman, yaitu produksi khamr, maka jual beli itu menjadi haram
hukumnya, berdasarkan kaidah di atas.

Apalagi, dalam masalah ini (menjual perasan anggur yang diketahui akan dibuat
khamr) ada dalil khusus yang menjelaskan keharamannya. Diriwayatkan oleh
Muhammad bin Ahmad RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda,??Barang siapa menahan
(menutup) anggur pada hari-hari pemetikan, hingga ia menjualnya kepada orang
Yahudi, Nasrani, atau orang yang akan membuatnya menjadi khamr, maka sungguh ia
akan masuk neraka? (HR Ath-Thabrani dalam Al-Ausath, dan dipandang shahih oleh
Al Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalaniy).

Berdasarkan hadits ini, Asy-Syaukani menyatakan haramnya menjual perasan anggur
kepada orang yang akan membuatnya menjadi khamr (Nailul Authar, V/234).
Asy-Syaukani tidak hanya membatasi jual beli anggur yang akan dijadikan sebagai
khamr, tetapi juga mengharamkan setiap jual-beli yang akan menimbulkan
keharaman, dikiaskan dengan hadits tersebut.



2.5.Hukum Makanan/Minuman Tidak Didasarkan Pada Illat (Motif Penetapan Hukum)

Prinsip ini lengkapnya berbunyi Inna al-?ibadat wa al-math?umat
wa al-malbusat wa al-masyrubat wa al-akhlaq laa tu?allalu wa yaltazimu fiihaa
bi al-nash. (Sesungguhnya [hukum] ibadah, makanan, pakaian, minuman, dan
akhlaq, tidaklah didasarkan pada illat [motif/alasan penetapan hukum],
melainkan didasarkan pada nash semata) (Abdul Qadim Zallum, 1985 : 51).

Kaidah tersebut diperoleh dari penelaahan induktif (istiqra`)
terhadap hukum-hukum syara? dalam masalah ibadah, makanan, pakaian, minuman,
dan akhlaq. Kesimpulannya, hukum-hukum tersebut tidak mempunyai illat tertentu.
Misalkan, puasa disyariatkan karena ada nash yang memerintahkannya, bukan
karena alasan supaya orang yang berpuasa menjadi sehat. Khamr diharamkan karena
ada nash yang mengharamkannya, bukan didasarkan pada alasan bahwa khamr itu
memabukkan bagi yang meminumnya.

Kesimpulan tentang khamr ini lebih dipertegas oleh penjelasan
Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA bahwa Nabi SAW
bersabda,?Diharamkannya khamr itu karena bendanya, banyak maupun sedikit. Juga
(diharamkan) yang memabukkan dari setiap minuman? (HR An-Nasa'i dengan sanad
hasan, Sunan An-Nasa'i VIII/320-321). Ibnu Umar RA juga meriwayatkan, ketika
surat An-Nisaa' ayat 43 turun (larangan mabuk pada waktu shalat), Rasulullah
SAW berkata,?Diharamkan khamr karena zatnya.? (HR Abu Dawud).

Dua hadits ini menunjukkan secara jelas bahwa khamr itu diharamkan karena
zatnya itu sendiri, bukan karena ada illat tertentu. Hal ini sama dengan
memakan daging babi atau bangkai, hukumnya haram bukan karena ada illat
tertentu, tapi karena kedua benda itu diharamkan karena zatnya (berdasarkan
nash).



2.6. Maslahat Bukan Dalil Syar?i (Sumber Hukum)

Maslahat artinya identik dengan manfaat (utility), yaitu suatu
kemampuan yang terdapat pada benda (barang) atau perbuatan (jasa) untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Maslahat bukan dalil syar?i atau sumber hukum.
Posisi maslahat jika dikaitkan dengan suatu ketetapan hukum syara?, dirumuskan
dalam kaidah : haitsuma yakunu asy-syar?u takunu al-maslahah (di mana ada
penerapan syariah, maka di sana akan ada maslahat). Itulah yang benar, bukan
aynama wujidat al-maslahah fa tsamma syar?ullah (dimana ada maslahat maka di
sana ada hukum Allah). (M. Muhammad Ismail, Al-Fikr Al-Islami, 1958).

Karena itulah, kita akan dapat memahami, mengapa khamr itu
tetap diharamkan walaupun khamr itu mempunyai beberapa maslahat (manfaat)
(lihat QS Al-Baqarah [2] : 219). Manfaat khamr misalnya menghasilkan kalori.
Setiap 1 gram etanol diketahui menghasilkan energi sebesar 7 kalori (Mustaha
KS, 1983:24). Belum lagi manfaat-manfaat khamr dari segi ekonomi. Namun khamr
tetap haram. Mengapa? Karena maslahat itu memang bukanlah dalil syar?i yang
menjadi dasar untuk menetapkan halalnya sesuatu. Maslahat hanyalah dampak atau
efek yang muncul setelah adanya penerapan hukum syara?, bukan dasar atau alasan
penetapan hukum.



2.7. Perkara Syubhat Sebaiknya Ditinggalkan

Syubhat artinya ketidakjelasan atau kesamaran, sehingga tidak
bisa diketahui halal haramnya sesuatu secara jelas. Syubhat terhadap sesuatu
bisa muncul baik karena ketidakjelasan status hukumnya, atau ketidakjelasan
sifat atau faktanya (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Ijtima?i fil Islam,
hal. 100)

Ketidakjelasan status hukum, misalkan tentang hukum kura-kura atau penyu.
Masalah ini belum bisa difatwakan oleh MUI karena faktanya masih kabur. Dalam
situs www.halalmui.or.id, MUI menyatakan, ?Masalah kura-kura di-pending.
Memanggil pakar tentang kura-kura (penyu).?

Selain itu, syubhat bisa juga muncul karena ketidakjelasan
fakta sesuatu itu sendiri. Meskipun status hukumnya sudah jelas. Mie goreng
misalnya jelas status hukumnya mubah. Tapi terkadang di restoran tertentu
ditambahkan arak (khamr) untuk untuk menambah selera pada mie goreng yang
dimasak. Ini bisa terdapat pada mie goreng ayam, mie goreng sea food, mie
goreng udang dan seterusnya. Khamr yang digunakan dalam masakan ini biasanya
adalah khamr putih, arak merah, atau mirin (www.halal.mui.or.id). Jadi, meski
status mie goreng itu mubah, tapi penambahan zat yang haram ini lalu
menimbulkan syubhat, apakah mie goreng di restoran tertentu itu halal atau
haram?

Maka, sikap yang terbaik adalah meninggalkan perkara yang
syubhat, sebagai suatu sikap wara? yang sudah selayaknya dimiliki setiap
muslim. Ini berdasarkan hadits Nabi SAW : ??barangsiapa meninggalkan yang
syubhat, berarti ia telah menjaga kebersihan agama dan kehormatan dirinya??
(Muttafaqun ?alaihi, Lihat Subulus Salam, IV/171). Rasulullah SAW berkata
pula,??Tinggalkan apa yang meragukanmu [menuju] kepada apa yang tidak
meragukanmu.? (HR At-Tirmidzi).



2.8. Keadaan Darurat Membolehkan Yang Haram

Darurat (adh-dharurat) menurut Imam As-Suyuthi dalam Al-Asybah
wa an-Nazha`ir hal. 61 adalah sampainya seseorang pada batas ketika ia tidak
memakan yang dilarang, ia akan binasa (mati) atau mendekati binasa. Semakna
dengan ini, darurat menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam Asy-Syakhshiyah
Al-Islamiyah III/477 adalah keterpaksaan yang sangat mendesak yang
dikhawatirkan akan menimbulkan kebinasaan/kematian (al-idhthirar al-mulji`
alladzi yukhsya minhu al-halak).

Itulah definisi darurat yang membolehkan hal yang haram,
sebagaimana termaktub dalam kaidah fiqih termasyhur : adh-dharuratu tubiihu
al-mahzhuuraat (keadaan darurat membolehkan apa yang diharamkan) (Abdul Hamid
Hakim, As?Sulam, hal. 59). Kaidah itu berasal dari ayat-ayat yang membolehkan
memakan yang haram seperti bangkai dan daging babi dalam kondisi terpaksa.
Misalnya QS Al-Baqarah [2] : 173 dan QS Al-Maidah [5] : 3.

Contoh penerapannya, misalnya ada orang kelaparan yang tidak
memperoleh makanan kecuali daging babi, atau tidak mendapat minuman kecuali
khamr, maka boleh baginya memakan atau meminumnya, karena darurat.



2.9.Memanfaatkan Benda Najis Hukumnya Haram

Memanfaatkan (intifa?/isti?mal) benda-benda najis (an-najasat)
adalah masalah khilafiyah. Ada yang membolehkan dan ada yang melarang. Namun
pendapat yang rajih (kuat) adalah yang mengharamkan. Dalilnya antara lain
firman Allah SWT :



?"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, berjudi, (berkorban untuk)
berhala, dan mengundi dengan anak panah itu adalah rijsun (najis) termasuk
perbuatan syetan, maka jauhilah najis itu agar kamu mendapatkan keberuntungan??
(QS Al-Maaidah [5] : 90)



Dalam firman Allah ?fajtanibuuhu? (jauhilah najis/rijsun itu) terkandung
perintah untuk menjauhi rijsun yang berarti kotoran atau najis. Maka,
memanfaatkan benda najis adalah haram, sebab Allah SWT telah memerintahkan kita
untuk menjauhi najis itu.

Maka, haram hukumnya memanfaatkan khamr, memanfaatkan kotoran binatang untuk
pupuk, memanfaatkan alkohol, dan semua benda najis lainnya, sebab itu semua
adalah najis yang wajib dijauhi, bukan didekati atau dimanfaatkan.

Memang, dalil QS al-Maidah : 90 ini dibantah oleh sebagian fuqaha yang
mengatakan bahwa kata rijsun pada ayat tersebut adalah najis secara maknawi
(atau najis hukmi, yakni najis secara hukum), bukan najis dzati (atau najis
aini, yakni najis secara materi/zat). Karena kata rijsun tidak hanya khabar
(keterangan) bagi khamr, tetapi juga keterangan bagi perbuatan berjudi,
berkorban untuk berhala, dan mengundi nasib, yang semuanya jelas tidak bisa
disifati dengan najis dzati. Mereka berdalil dengan firman Allah SWT (artinya)
: ?Maka jauhilah berhala-berhala yang najis itu? (QS Al Hajj [22] : 30).
Berhala yang disebut najis pada ayat tersebut adalah najis maknawi, bukan najis
dzatii. Contoh lain najis maknawi terdapat pada surat At Taubah ayat 28
(artinya) :?Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis? (QS At Taubah [9] :
28). Yang dimaksud dengan najis pada ayat ini bukanlah najis dzati (tubuh)
mereka, tetapi najis maknawi, yaitu aqidah yang mereka peluk adalah aqidah
syirik yang harus
dijauhi, sebagaimana yang dipahami oleh jumhurul fuqaha'.

Dengan demikian, menurut mereka, kata rijsun dalam surat Al Maidah 90
tersebut, adalah najis secara maknawi, bukan najis dzati. Implikasinya, khamr
itu suci, bukan najis. Alkohol pun lalu adalah suci dan bukan najis. Pandangan
tersebut --menurut mereka-- diperkuat oleh bunyi ayat selanjutnya min ?amal
asy-syaithan (dari perbuatan syetan).. Itu berarti, yang dimaksud dengan najis
(rijsun) dalam QS Al-Maidah ayat 90 adalah najis secara maknawi, bukan najis
dzati (Sayyid Sabiq, Fiqhu Sunnah, I/28; Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual,
2003:205-206).

Hanya saja, pendapat jumhur itu (yang memandang bahwa kata rijsun dalam ayat
tersebut juga mencakup najis dzati) dikuatkan oleh dalil hadits Nabi SAW :
"Sesungguhnya kami (para sahabat) berada di negeri para Ahli Kitab, mereka
makan babi dan minum khamr, apakah yang harus kami lakukan terhadap
bejana-bejana dan periuk-periuk mereka? Rasulullah SAW menjawab,"Apabila kamu
tidak menemukan lainnya, maka cucilah dengan dengan air, lalu memasaklah di
dalamnya, dan minumlah." (HR Ahmad dan Abu Dawud). Perintah untuk mencuci
bejana wadah khamr dan periuk wadah daging babi itu, menunjukkan bahwa kedua
benda tersebut tidak suci. Sebab, apabila suci dan tidak najis, tentu Nabi SAW
tidak akan memerintahkan mencucinya dengan air.

Dalil lain, Abu Hurairah RA menceritakan bahwa ada seorang pria akan memberikan
hadiah Rasulullah SAW sebuah minuman khamr, maka Rasulullah SAW berkata:



?Sesungguhnya khamr itu telah diharamkan. Laki-laki itu bertanya,"Apakah aku
harus menjualnya?", Rasulullah SAW menjawab,"Sesungguhnya sesuatu yang
diharamkan meminumnya, diharamkan pula menjualnya". Laki-laki itu bertanya
lagi,"Apakah aku harus memberikan kepada orang Yahudi?" Rasulullah
menjawab,"Sesungguhnya sesuatu yang diharamkan, diharamkan pula diberikan
kepada orang Yahudi". Laki-laki itu kembali bertanya,"Lalu apa yang harus saya
lakukan dengannya?" Beliau menjawab,"Tumpahkanlah ke dalam selokan." (HR Al
Khumaidi dalam Musnad-nya). (Ahmad Labib al-Mustanier, Hukum Seputar Khamr,
www.islamuda.com)

Perintah untuk menumpahkan khamr ke selokan ini, menunjukkan
bahwa khamr adalah najis dan tidak suci, yakni najis secara dzati.

Kesimpulannya, ketika Allah berfirman dalam QS Al-Maidah : 90
yang berbunyi ?fajtanibuuhu? (jauhilah najis/rijsun itu), maka itu adalah
perintah untuk menjauhi rijsun (najis) yang mencakup najis dzati. Maka,
memanfaatkan benda najis adalah haram, sebab Allah SWT telah memerintahkan kita
untuk menjauhi najis itu (Al-Baghdadi, Radd ?Ala Kitab Ad-Da?wah Al-Islamiyyah,
1986:228).



2.10. Memanfaatkan Benda Najis dan Haram dalam Pengobatan Hukumnya Makruh

Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat (khilafiyah). Ada
pendapat yang mengharamkan, seperti Ibnu Qayyim Al-Jauyziyyah. Ada yang
membolehkan seperti ulama Hanafiyah. Ada yang membolehkan dalam keadaan
darurat, seperti Yusuf Al-Qaradhawi. Dan ada pula yang memakruhkannya. Di sini
dicukupkan dengan menjelaskan pendapat yang rajih (kuat), yakni yang menyatakan
bahwa berobat (at-tadaawi/al-mudaawah) dengan memanfaatkan benda najis dan
haram hukumnya makruh, bukan haram.

Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Asy-Syakhshiyah
Al-Islamiyah III/109-110 telah menjelaskan kemakruhannya, dengan jalan
mengkompromikan dua kelompok hadits yang nampak bertentangan/kontradiktif
(ta?arudh) dalam masalah ini. Di satu sisi, ada hadits-hadits yang melarang
berobat dengan yang haram dan najis, misalnya hadits Rasulullah SAW
bersabda,?Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagimu pada apa-apa yang
diharamkan." (HR Bukhari dan Baihaqi, dan dishahihkan Ibnu Hibban). Rasulullah
SAW bersabda pula,"Sesungguhnya Allah SWT menurunkan penyakit dan obat, dan
menjadikan setiap penyakit ada obatnya. Hendaklah kalian berobat, dan janganlah
kalian berobat dengan sesuatu yang haram.?(HR Abu Dawud).

Di sisi lain, ada hadits-hadits yang membolehkan berobat dengan benda najis dan
haram. Misalnya hadits bahwa Nabi SAW membolehkan berobat dengan meminum air
kencing unta. Diriwayatkan oleh Qatadah dari Anas RA, ada satu rombongan dari
dari suku ?Ukl dan ?Uraynah yang mendatangi Nabi SAW dan berbincang seputar
agama Islam. Lalu mereka terkena penyakit perut Madinah. Kemudian Nabi SAW
memerintahkan mereka untuk mencari gerombolan unta dan meminum air susu dan air
kencingnya? (HR Muslim) (Lihat Al-Wahidi, Asbabun Nuzul, hamisy [catatan
pinggir] kitab Tafsir wa Bayan Kalimat Al-Qur`an, karya Syaikh Hasanain M.
Makhluf, hal 168). Hadits ini membolehkan berobat dengan najis, sebab air
kencing unta itu najis.

Dalam hadits lain dari Anas RA, bahwa Rasulullah SAW memberi keringanan
(rukhsah) kepada Zubair dan Abdurrahman bin Auf untuk memakai kain sutera
karena menderita penyakit gatal-gatal. (HR Bukhari dan Muslim) (Lihat Imam
Nawawi, Terjemah Riyadhus Shalihin, I/623). Hadits membolehkan berobat dengan
benda yang haram (dipakai), sebab sutera haram dipakai oleh laki-laki,
sebagaimana diriwayatkan dalam hadits lain dalam riwayat Bukhari, Muslim, Abu
Dawud, dan At-Tirmidzi.

Bagaimana menghadapi dua kelompok hadits yang seolah bertentangan tersebut? Di
sinilah lalu Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani mengkompromikan (men-jama?) keduanya.
Menurut An-Nabhani, sabda Nabi SAW untuk tidak berobat dengan yang haram
(?janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram?) tidak otomatis
menunjukkan keharaman, tapi sekedar menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan
perbuatan (thalab tarki fi?lin). Dalam hal ini, tuntutan yang ada adalah agar
tidak berobat dengan yang haram. Lalu, tuntutan ini apakah akan bersifat tegas
(jazim) ---sehingga hukumnya haram-- atau tidak tegas (ghairu jazim) ?sehingga
hukumnya makruh--, masih membutuhkan dalil lain (qarinah) yang menunjukkan
sifat tuntutan tersebut. Nah, dua hadits di atas yang membolehkan berobat
dengan benda najis dan haram, oleh An-Nabhani dijadikan qarinah (petunjuk) yang
memperjelas sifat tuntutan tersebut. Kesimpulannya, tuntutan tersebut adalah
tuntutan yang tidak tegas, sehingga hukum syara? yang dihasilkan adalah makruh,
bukan haram (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, III/110).

Dengan demikian, berobat dengan suatu materi yang zatnya najis, atau zat yang
haram untuk dimanfaatkan (tapi tidak najis), hukumnya adalah makruh. Dengan
kata lain, memanfaatkan benda yang najis dan haram dalam rangka pengobatan,
hukumnya makruh. (Patut dicatat, benda yang haram (dimanfaatkan) belum tentu
najis, seperti sutera. Sedang benda najis, pasti haram dimanfaatkan).



2.11. Menjualbelikan Benda Najis dan Haram Hukumnya Haram

Prinsip tersebut dirumuskan dalam kaidah fiqih ?Kullu maa
hurrima ?ala al-ibaad fabay?uhu haram.? (Segala sesuatu yang diharamkan Allah
atas hamba-Nya, maka memperjualbelikannya adalah haram juga) (Taqiyuddin
An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/248). Karena itu,
memperjualbelikan babi, darah, khamr, dan patung adalah haram. Karena syariah
telah mengharamkan memakan daging babi, memakan darah, meminum khamr, dan
membuat patung.

Dasar dari kaidah/prinsip itu adalah hadits-hadits. Di antaranya sabda Nabi
SAW, ?Dan sesungguhnya Allah, apabila mengharamkan suatu kaum untuk memakan
sesuatu, maka haram pula bagi mereka harga hasil penjualannya." (HR Imam Ahmad
dan Abu Dawud).

Imam Asy-Syaukani menjelaskan hadits di atas dengan mengatakan,"Sesungguhnya
setiap yang diharamkan Allah kepada hamba, maka menjuabelikannya pun haram,
disebabkan karena haramnya hasil penjualannya. Tidak keluar dari (kaidah)
kuliyyah/menyeluruh tersebut, kecuali yang telah dikhususkan oleh dalil."
(Asy-Syaukani, Nailul Authar, V/221)

Berdasarkan hal ini, memperjualbelikan benda yang najis dan
haram untuk kepentingan pengobatan, tidaklah haram. Sebab berobat dengan benda
najis dan haram hukumnya makruh, tidak haram.



3. Hukum Syara? Seputar Alkohol



3.1. Pengertian Khamr

Khamr dalam pengertian bahasa Arab (makna lughawi) berarti ?menutupi?. Disebut
sebagai khamr, karena sifatnya bisa menutupi akal. Sedangkan menurut pengertian
?urfi (menurut adat kebiasaan) pada masa Nabi SAW, khamr adalah apa yang bisa
menutupi akal yang terbuat dari perasan anggur (Asy-Syaukani, Nailul Authar,
IV/57).

Sedangkan dalam pengertian syara', khamr adalah setiap minuman yang memabukkan
(kullu syaraabin muskirin). Jadi khamr tidak terbatas dari bahan anggur saja,
tetapi semua minuman yang memabukkan, baik dari bahan anggur maupun lainnya.
Pengertian ini diambil berdasarkan beberapa hadits Nabi SAW. Di antaranya
adalah hadits dari Nu'man bin Basyir RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:

?Sesungguhnya dari biji gandum itu terbuat khamr, dari jewawut itu terbuat
khamr, dari kismis terbuat khamr, dari kurma terbuat khamr, dan dari madu
terbuat khamr? (HR Jama'ah, kecuali An-Nasa'i).

Dari Jabir RA, bahwa ada seorang dari negeri Yaman yang bertanya kepada
Rasulullah SAW tentang sejenis minuman yang biasa diminum orang-orang di Yaman.
Minuman tersebut terbuat dari jagung yang dinamakan mizr. Rasulullah bertanya
kepadanya, "Apakah minuman itu memabukkan?? "Ya" jawabnya. Kemudian Rasulullah
SAW menjawab :

?Setiap yang memabukkan itu adalah haram. Allah berjanji kepada orang-orang
yang meminum minuman memabukkan, bahwa dia akan memberi mereka minuman dari
thinah al-khabal. Mereka bertanya, apakah thinah al-khabal itu? Jawab
Rasulullah,"Keringat ahli neraka atau perasan tubuh ahli neraka." (HR Muslim,
An Nasa'i, dan Ahmad).

Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad meriwayatkan dari Abu Musa RA bahwa ia berkata,
?Saya mengusulkan kepada Rasulullah SAW agar beliau memberikan fatwanya tentang
dua jenis minuman yang dibuat di Yaman, yaitu al bit'i dan al murir. Yang
pertama terbuat dari madu yang kemudian dibuat minuman hingga keras (bisa
memabukkan). Yang kedua terbuat dari bijii-bijian dan gandum dibuat minuman
hingga keras. Wahyu yang turun kepada Rasulullah SAW telah lengkap dan
sempurna, kemudian Rasulullah SAW bersabda,??Setiap yang memabukkan itu haram.?
(HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad). Dari Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW juga
bersabda,??Setiap yang memabukkan itu khamr, dan setiap khamr itu haram.? (HR
Muslim dan Daruquthni).

Hadits-hadits itu menunjukkan bahwa khamr itu tidak terbatas terbuat dari
perasan anggur saja, sebagaimana makna urfi, tetapi mencakup semua yang bisa
menutupi akal dan memabukkan. Setiap minuman yang memabukkan dan menutupi akal
disebut khamr, baik terbuat dari anggur, gandum, jagung, kurma, maupun lainnya.
Berarti itu merupakan pengertian syar'i tentang khamr yang disampaikan Rasul
SAW dalam hadits-haditsnya (Abdurrahman Al-Maliki, Nizhamul Uqubaat, hal.
49-50). Dalam keadaan demikian, yakni setalah adanya makna syar'i --makna baru
yang dipindahkan dari makna aslinya oleh syara'-- yang berbeda dengan makna
lughawi dan makna ?urfi, maka makna syar'i tersebut harus didahulukan daripada
makna lughawi dan makna urfi.

Jika khamr diharamkan karena zatnya, sementara pada hadits di atas dinyatakan
bahwa ?setiap yang memabukkan itu khamr?, berarti itu menunjukkan kepada kita
bahwa sifat yang melekat pada zat khamr adalah memabukkan. Karena sifat utama
khamr itu memabukkan, maka untuk mengetahui keberadaan zat khamr itu atau untuk
mengenali zatnya adalah dengan meneliti zat-zat apa saja yang memiliki sifat
memabukkan.

Kini, setelah dilakukan tahqiiq al manath (penelitian fakta), oleh para
kimiawan, dapat diperoleh kesimpulan bahwa zat yang memilki sifat memabukkan
dalam khamr adalah etil alkohol atau etanol. Zat inilah yang memiliki khasiat
memabukkan. Minuman yang mengandung alkohol ini, dikenal dengan terminologi
?minuman beralkohol?. Walaupun bermacam-macam namanya dan kadar alkoholnya,
semuanya termasuk kategori khamr yang haram hukumnya (Lihat Tabel 1).






3.2. Sekilas Fakta Alkohol

Alkohol yang dimaksud dalam pembahasan di sini ialah etil
alkohol atau etanol, suatu senyawa kimia dengan rumus C2H5OH (Hukum Alkohol
dalam Minuman, www.mui.or.id).

Penggunaan etanol sebagai minuman atau untuk penyalahgunaan
sudah dikenal luas. Karena jumlah pemakaian etanol dalam minuman amat banyak,
maka tidak mengherankan keracunan akut maupun kronis akibat etanol sering
terjadi (Mutschler, 1991:750).

Alkohol di Dunia Barat sudah menjadi lazim dan diterima dalam pergaulan sosial.
Namun seringkali digunakan berlebihan sehingga menjadi penyebab utama
kecelakaan lalu lintas yang fatal (Tjay & Rahardja, 1986:711). Pada konsentrasi
1,0 ? 1,5 mg/ml darah, alkohol menimbulkan gejala euforia dan tidak ada rasa
segan, sehingga sering menyebabkan kecelakaan lalu lintas (Mutschler, 1991:751).

Alkohol jelas banyak digunakan dalam industri minuman beralkohol, yaitu minuman
yang mengandung alkohol ( etanol ) yang dibuat secara fermentasi dari jenis
bahan baku nabati yang mengandung karbohidrat, misalnya: biji-bijian,
buah-buahan, nira dan sebagainya, atau yang dibuat dengan cara distilasi hasil
fermentasi. Termasuk di dalamnya adalah minuman keras klasifikasi A, B, dan C
(Per. Menkes No. 86/ 1977).

Menurut Per. Menkes No. 86/ 1977 itu, minuman beralkohol dibedakan menjadi 3
(tiga) golongan. Golongan A dengan kadar alkohol 1 ? 5 %, misalnya bir.
Golongan B dengan kadar alkohol 5- 20 %, misalnya anggur. Golongan C dengan
kadar 20 ? 55 %, misalnya wiski dan brendi (www.halalmui.or.id)

Kadar alkohol dalam minuman beralkohol berbeda-beda, sebagaimana dapat dilihat
dalam tabel berikut :



No Nama Minuman Kadar Alkohol

1 Bir Putih 1 - 5 %

2 Bir Hitam 15 %

3 Samsu 20 %

4 Macam-Macam Anggur 15 %

5 Ryn & Moezelwijn 10 %

6 Anggur Malaga 15 - 17 %

7 Tokayer 15 %

8 Sherry 20 %

9 Likeuren 30 ? 50 %

10 Anggur Perancis 9 ? 11 %

11 Champagne 10- 12 %

12 Anggur Spanyol 15 ? 20 %

13 Anggur Hongaria 15 ? 20 %

14 Rhum dan Brandy 40 ? 70 %

15 Jenever 40 %

16 Bols 40 %

17 Hulskamp 40 %

18 Whiskey 30 ? 40 %

19 Cognac 30 ? 40 %

20 Tuak & Saguer 11 ? 15 %

21 Macam-Macam Anggur Obat 15 ? 20 %

22 Shake 10 %



Tabel 1. Nama Minuman dan Kadar Alkoholnya. (Sumber : Mustafa KS, Alkohol
Dalam Pandangan Islam dan Ahli-Ahli Kesehatan, Bandung : PT Alma?arif, 1983 :
23)



Minuman beralkohol dibuat dari proses fermentasi karbohidrat (pati) melalui 3
(tiga) tahapan, yaitu : (1) pembuatan larutan nutrien, (2) fermentasi, (3)
destilasi etanol. Adapun bahan-bahan yang mengandung gula tinggi, tidak
memerlukan perlakuan pendahuluan yang berbeda dengan bahan yang yang berasal
dari bahan pati dan selulosa, yang memerlukan penambahan asam (perlakuan kimia)
dan penambahan enzim untuk menghidrolisisnya menjadi senyawa yang lebih
sederhana. Jika bahan untuk fermentasi berasal dari biji-bijian seperti jagung
dan sereal lainnya, maka bahan tersebut harus direndam dalam air (soaking)
hingga berkecambah, lalu direbus dan diprose menjadi mash dan dipanaskan. Di
samping penggunaan mikroorganisme pada proses fermentasi, kondisi optimal
fermentasi harus dijaga, seperti aerasi, pH, suhu, dan lain-lain (Tabloid
Dialog Jumat, Jumat 18 Pebruari 2005, hal. 6).

Dalam dunia kimia, farmasi dan kedokteran, etanol banyak digunakan. Di
antaranya :

1. Sebagai pelarut. Sesudah air, alkohol merupakan pelarut yang paling
bermanfaat dalam farmasi. Digunakan sebagai pelarut utama untuk banyak senyawa
organik (Ansel, 1989:313,606).

2. Sebagai bakterisida (pembasmi bakteri). Etanol 60-80 % berkhasiat
sebagai bakterisida yang kuat dan cepat terhadap bakteri-bakteri. Penggunaannya
adalah digosokkan pada kulit lebih kurang 2 menit untuk mendapat efek maksimal.
Tapi alkohol tidak bisa memusnahkan spora (Tjay & Rahardja, 1986:170;
Mutschler, 1991:612).

3. Sebagai alkohol penggosok. Alkohol penggosok ini mengandung sekitar 70
% v/v, dan sisanya air dan bahan lainnya. Digunakan sebagai rubefacient pada
pemakaian luar dan gosokan untuk menghilangkan rasa sakit pada pasien yang
terbaring lama (Ansel,1989:537).

4. Sebagai germisida alat-alat (Ansel, 1987:537).

5. Sebagai pembersih kulit sebelum injeksi (Ansel, 1987:537; IONI
2000:423).

6. Sebagai substrat, senyawa intermediat, solven, dan pengendap
(Apriantono, www.indohalal.com)



3.3. Alkohol Itu Najis

Telah disinggung sebelumnya bahwa khamr adalah najis (meski ada
perbedaan pendapat dalam hal ini). Sebagai implikasinya, alkohol (etanol)
sebagai zat yang memabukkan dalam khamr, hukumnya najis juga. Hal ini sesuai
kaidah fiqih : At-Taabi? Taabi? (Hukum bagi yang mengikuti, adalah mengikuti
(sama dengan) hukum yang diikuti). (Abdul Hamid Hakim, As-Sulam, hal. 64).

Dengan menerapkan kaidah itu, kita tahu bahwa khamr hukumnya najis. Maka,
etanol sebagai bagian dari khamr, hukumnya mengikuti khamr dari segi
kenajisannya. Jadi, etanol hukumnya mengikuti hukum khamr.

Jika sudah jelas alkohol itu najis, maka bagaimana hukum
menggunakannya? Jawabannya, pemanfaatan benda najis pada asalnya adalah haram
(lihat prinsip dasar 2.9.). Adapun bila digunakan untuk kepentingan pengobatan
atau produksi obat, seperti digunakan sebagai desinfektan alat dan tangan
sebelum operasi, pembersih kulit sebelum injeksi, atau sebagai campuran obat,
hukumnya makruh, tidak haram (lihat prinsip dasar 2.10).

Menjualbelikan alkohol pada asalnya adalah haram, kecuali untuk kepentingan
pengobatan, hukumnya boleh (lihat prinsip dasar 2.11).



3.4. Alkohol dalam Makanan/Minuman

Alkohol dalam bentuk khamr (minuman beralkohol) banyak dijumpai sebagai
campuran dalam makanan atau minuman. Hukum menggunakan alkohol sebagai campuran
makanan dan minuman ini adalah haram, karena termasuk dalam pemanfaatan benda
najis yang telah diharamkan dalam Islam (lihat prinsip dasar 2.9.). Kecuali
dalam kondisi darurat, yaitu jika tidak memakan makanan tersebut akan mengancam
keselamatan jiwa, maka diperbolehkan (lihat prinsip 2.8.). Juga dikecualikan,
makanan seperti itu jika digunakan sebagai obat, maka hukumnya boleh, dalam
arti makruh (lihat prinsip 2.10).

Berikut ini paparan fakta mengenai keberadaan alkohol (khamr) dalam berbagai
makanan dan minuman (sumber www.halalmui.or.id) :



a. Khamr Sebagai Penyedap Masakan

Dikenal ada beberapa khamr (arak) sebagai penyedap masakan Cina, Jepang, Korea,
dan masakan lokal yang berorientasi khamr. Khamr-khamr itu misalnya : (1) Ang
Chiu, sebagai penyedap masakan, berguna untuk mempersedap masakan daging, tim
ayam, sea food dan sayur mayur, (2) Lo Wong Chiu, digunakan sebagai saus
penyedap masakan, dan digunakan juga sebagai penyedap masakan daging, tim ayam,
sea food dan sayur mayur; (3) Anggur Beras Putih, sebagai rendaman obat
Thionghoa dan berbagai masakan.

b. Khamr dalam Kue Ultah

Dalam sebuah resep kue ulang tahun yang terdapat di majalah ternama terdapat
deretan bahan yang harus disiapkan. Salah satunya adalah ?rhum?. Masyarakat
ternyata acuh tak acuh terhadap keberadaan bahan tersebut. Mereka perlu tahu
bahwa rhum adalah nama dari sebuah minuman keras dengan kadar alkohol sampai 30
persen.

c. Khamr dalam Makanan Bakaran

Dalam masakan ikan bakar, daging panggang atau barbeque, khamr sering digunakan
untuk melunakkan daging dan menciptakan aroma khas khamr. Khamr yang sering
digunakan adalah dari jenis arak putih atau anggur beras ketan. Memang tidak
semua ikan bakar atau daging bakar menggunakan bahan ini. Tetapi dari beberapa
kasus yang terjadi di restoran Jepang dan Cina, penggunaan khamr ini
kadang-kadang ditemukan. Ciri masakan bakar yang menggunakan khamr agak susah
dideteksi. Secara umum khamr dalam masakan bakar agak susah dideteksi. Secara
umum daging atau ikan yang direndam khamr biasanya lebih lunak, lebih empuk dan
memiliki aroma khas khamr. Tetapi tanda-tanda tersebut pada kenyataannya sulit
dikenali, karena daging yang lunak dan empuk juga bisa disebabkan oleh enzim
papain dari daun atau getah pepaya. Sedangkan aroma khamr sangat sulit
dikenali, khususnya bagi orang awam yang tidak terbiasa dengan aroma tersebut.

d. Khamr dalam Tumisan

Masakan yang menggunakan cara pemasakan tumis juga sering menggunakan khamr
sebagai bahan yang ditambahkan. Aroma khamr akan muncul pada saat tumisan
dipanaskan dengan api dan khamr dimasukkan ke dalam wajan.

e. Khamr dalam Mie

Mie goreng dengan berbagai rasa kadang-kadang ditambahkan khamr untuk
mencitarasakan khamr guna menambah selera. Seperti mie goreng ayam, mie goreng
sea food, mie goreng udang dan seterusnya. Khamr yang digunakan dalam masakan
ini biasanya adalah arak putih, arak merah atau mirin.

f. Khamr dalam Sea food

Jangan dikira setiap sea food pasti aman. Meskipun semua isi laut halal,
tetapi cara memasaknya sangat beraneka ragam. Nah, pemasakan sea food itulah
yang kadang-kadang menggunakan saus dan khamr untuk menghasilkan rasa dan aroma
khas yang konon mengundang selera.

g. Khamr dalam Campuran Minuman

Di restoran-restoran atau café sering ditawarkan beraneka ragam minuman dengan
nama keren dan penampilan yang eksentrik. Kadang-kadang kita terjebak dengan
nama minuman itu yang kelihatannya aman. Misalnya avacado fload, lemon squash,
oranges dan beberapa minuman yang berkonotasi buah-buahan. Tetapi tidak ada
salahnya jika kita bertanya kepada pramusaji, apa saja isinya. Sebab tidak
jarang di dalam minuman buah itupun ditambahkan rhum atau minuman keras yang
lain. Katanya untuk menimbulkan sensasi khusus ketika kita meneguknya. Dari
semua jenis makanan yang berpeluang ditambahkan khamr atau minuman keras itu
memang sulit dideteksi secara visual. Apalagi bagi kita yang tidak pernah
mengenal minuman keras.



3.5.Alkohol dalam Obat-Obatan

Seperti telah dijelaskan di atas dalam prinsip 2.9. di atas,
berobat dengan benda najis dan haram hukumnya adalah makruh, bukan haram.
Dengan demikian, jelaslah bahwa penggunaan alkohol ?meskipun najis? dalam
rangka pengobatan tidaklah berdosa, sebab hukumnya makruh. (Namun, perlu sekali
dicatat, makruh itu sebaiknya ditinggalkan. Orang yang meninggalkan yang
makruh, mendapat pahala dari Allah SWT. Tapi jika ia mengerjakannya, tidak
mengapa dan tidak berdosa).

Atas dasar itu, maka penggunaan berbagai bahan yang najis dan
haram, tidaklah mengapa. Hukumnya makruh. Misalnya, menggunakan alkohol
sebagai desinfektan klinis, sebagai pembersih kulit sebelum diinjeksi, sebagai
pelarut bahan obat, dan sebagainya. Termasuk juga dalam hal ini, segala macam
benda najis lainnya di luar alkohol. Misalnya penggunaan selongsong kapsul dari
bahan babi, penggunaan urine sebagai sarana terapi, dan sebagainya.

Namun karena ada pendapat lain dari umat Islam yang
mengharamkan penggunaan benda najis untuk berobat, sebaiknya sebisa mungkin
kita hanya menggunakan bahan yang suci dan halal dalam dunia obat-obatan.
Kalaupun kita mengikuti pendapat yang memakruhkan, kita disunnahkan menggunakan
bahan yang bukan najis, sebagai upaya untuk menghindarkan diri dari
perselisihan. Kaidah fiqih menyatakan : Al-Khuruj minal Khilaaf mustahab
(Menghindarkan diri dari perselisihan pendapat, adalah disunnahkan). (Abdul
Hamid Hakim, As-Sulam , hal. 68)



3.6.Alkohol dalam Kosmetik

Fungsi alkohol dalam sediaan kosmetika (terutama parfum) pada umumnya adalah
sebagai pelarut dan digunakan di luar badan. Bagaimanakah hukumnya menurut
fiqih Islam?

Hukumnya haram, sebab alkohol itu najis sebagaimana telah dibahas sebelumnya,
dan memanfaatkan najis adalah haram (lihat prinsip dasar 2.9).

Memang benar, bahwa alkohol itu mudah menguap. Beberapa saat setelah sediaan
kosmetika (juga parfum) diaplikasikan, maka alkohol akan segera menguap dan
tidak terdeteksi lagi (undetectable). Adanya bau dari parfum yang diaplikasikan
di pakaian, adalah zat wanginya, bukan alkoholnya (Mursyidi, Kehalalan Bahan
dalam Sediaan Kosmetika, makalah, tidak dipublikasikan). Pertanyaannya, apakah
jika pada hasil akhir alkohol tidak terdeteksi, berarti kita boleh menggunakan
alkohol dalam proses tersebut?

Hukumnya haram, sebab ada tidaknya alkohol pada hasil akhir, bukanlah
satu-satunya pertimbangan hukum. Yang (juga) menjadi pertimbangan, adalah
tindakan pemanfaatan alkohol itu sendiri. Bukan hanya dilihat apakah pada hasil
akhirnya alkohol itu masih dapat dideteksi atau tidak.

Padahal pemanfaatan alkohol adalah haram, karena alkohol termasuk ke dalam
kategori benda najis yang tidak boleh dimanfaatkan (lihat prinsip dasar
2.9.).Jadi pemanfaatan alkohol dalam sediaan parfum adalah haram, meskipun pada
hasil akhirnya alkohol itu sudah tidak dapat terdeteksi lagi.


Jawaban ini juga berlaku untuk penggunaan bahan najis lainnya
dalam bidang kosmetika. Misalnya, penggunaan lemak babi sebagai bahan pembuatan
sabun. Sabun yang dihasilkan, secara sifat fisik dan kimiawi sudah sangat
berbeda dari bahan dasar/asalnya yang najis. Pertanyaannya, apakah boleh
menggunakan lemak babi sebagai bahan dasar sabun? Jawabannya adalah tidak boleh
(haram), sebab ada tidaknya lemak babi pada hasil akhir, bukanlah satu-satunya
pertimbangan hukum. Yang (juga) menjadi pertimbangan, adalah tindakan
pemanfaatan lemak babi itu itu sendiri. Bukan hanya dilihat apakah pada hasil
akhirnya lemak babi itu masih dapat dideteksi atau tidak. Pemanfaatan lemak
babi adalah haram, berdasarkan nash Al Qur`an yang telah mengharamkan babi
(Al-Baghdadi, 1994:43-44), di samping lemak babi termasuk benda najis yang
tidak boleh dimanfaatkan (lihat prinsip dasar 2.9.)

Dapat ditambahkan, bahwa akhir-akhir ini telah diketahui, heparin (sodium
heparin) yang sudah diproduksi secara komersial, ternyata berasal dari
jaringan mukosa usus babi. Dalam dunia kosmetika, heparin merupakan salah satu
bahan yang digunakan dalam pembuatan cream untuk nutrisi kulit, cream untuk
sekitar mata, produk-produk anti acne dan juga hair tonic. Produk ini
diproduksi di China serta diekspor terutama untuk negara Amerika dan Eropa.
Maka, umat Islam sudah seharusnya menghindari produk kosmetika yang mengandung
unsur heparin (sodium heparin) yang berasal dari Amerika, Eropa apalagi
China (www.halalmui.or.id).



4. Penutup

Sebagai penutup, kiranya patut kita renungkan, bahwa masalah
keberadaan alkohol dalam makanan, obat, dan kosmetik telah menjadi salah satu
persoalan kaum muslimin setelah mereka dikungkung oleh sistem sekuler yang
kufur ini. Sistem tersebut sama sekali tidak memperdulikan halal dan haram,
karena berdiri di atas asas manfaat (pragmatisme/utilitarianisme). Akibatnya,
kaum muslimin merasa kesulitan dalam memenuhi hajat hidupnya, karena hampir
semua segi kehidupan dipenuhi dengan kemaksiatan dan keharaman. Termasuk
membajirnya produk-produk yang dilarang oleh syara? baik makanan, obat, maupun
kosmetik.

Berbeda halnya jika kaum muslimin hidup dalam naungan negara
Khilafah Islam. Sebuah sistem yang melindungi kaum muslimin dari berbagai jenis
pelanggaran terhadap syara?at Islam. Termasuk akan menjaga kaum muslimin dari
berbagai produksi makanan, minuman, dan obat-obatan yang haram. Karena itu,
persoalan ini baru akan tuntas secara total apabila Negara Khilafah Islam
berdiri. Kita bermohon kepada Allah, agar kita senantiasa diberi kekuatan untuk
tetap berjuang secara ikhlas dalam menegakkannya. Semoga Allah SWT memberikan
pertolongan kepada kaum muslimin di seluruh dunia. Wallahu a?lam.



- - - - - - -



*Makalah disampaikan dalam Seminar Farmasi bertema Halal Haramnya Bahan
Tambahan dalam Makanan, Obat, dan Kosmetik, diselenggarakan oleh Islamic Study
Club of Pharmacy Himpunan Mahasiswa Farmasi, Fakultas MIPA, UII, hari Ahad, 27
Pebruari 2005, di Ruang Auditorium FTSP, UII, Yogyakarta.



**Aktivis Hizbut Tahrir. Alumnus Fakultas MIPA IPB dan Pesantren Al-Azhhar
Bogor, staf pengajar STEI Hamfara Yogyakarta, sedang menyelesaikan program
pasca sarjana di Magister Studi Islam UII, Yogyakarta.



DAFTAR PUSTAKA



Abdullah, Muhammad Husain. 1996. Mafahim Islamiyah. Juz II. Beirut : Darul
Bayariq.



Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1986. Radd ?Ala Kitab Ad-Da?wah Al-Islamiyyah. Sidney
: Tanpa Penerbit.



----------. 1994. Babi Halal Babi Haram. Jakarta : Gema Insani Press.



Al-Maliki, Abdurrahman. 1990. Nizham Al-?Uqubat. Beirut : Darul Ummah.



Al-Mustanier, Ahmad Labib. Tanpa Tahun. Hukum Seputar Khamr. www.islamuda.com.



Al-Qaradhawi, Yusuf. 1990. Halal dan Haram Dalam Islam (Al-Halal wa Al-Haram fi
Al-Islam).

Terjemahan oleh Muammal Hamidy. Surabaya : PT Bina Ilmu



An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III (Ushul
Al-Fiqh). Al-Quds :

Mansyurat Hizb Al-Tahrir.



----------. 1990. An-Nizham Al-Ijtima?i fil Islam. Beirut : Darul Ummah.



----------.1994. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz I. Beirut : Darul Ummah.



----------. 2001. Nizhamul Islam. Tanpa Tempat Penerbit : Mansyurat Hizb
Al-Tahrir.



An-Nawawi, Imam. 2001. Syarh Matn Al-Arba?in An-Nawawiyah (Syarah Hadits
Arba?in).

Terjemahan oleh H. Murtadho dan Salafuddin. Solo : Al-Qowam.



Ansel, Howard C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. EdisiIV. Jakarta : UI
Press.



Apriyantono, Anton. Tanpa Tahun. Penentuan Kehalalan Produk Pangan Hasil
Bioteknologi: Suatu

Tantangan, http://www.indohalal.com/doc_halal3.html



Ash-Shan?ani. Tanpa Tahun. Subulus Salam. Juz I. Bandung : Maktabah Dahlan.



Asy-Syatibi, Abu Ishaq. Tanpa Tahun. Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Ahkam. Juz III.
Beirut : Darul

Fikr.



Hakim, Abdul Hamid. Tanpa Tahun. Mabadi` Awwliyah. Jakarta : Sa?adiyah Putra.



----------. Tanpa Tahun. As-Sulam. Jakarta : Sa?adiyah Putra.



Haqqi, Ahmad Muadz. 2003. Al-Arba?una Haditsan fi Al-Akhlaq ma?a Syarhiha
(Syarah 40 Hadits

Tentang Akhklak). Terjemahan oleh Abu Azka. Jakarta : Pustaka Azzam.



Departemen Kesehatan Dirjen POM. 2000. Informatorium Obat Nasional Indonesia.
Jakarta :

Depkes.



MUI. Hukum Alkohol dalam Minuman. www.mui.or.id



Makhluf, Hasanain Muhammad. 1994.Tafsir wa Bayan Kalimat Al-Qur`an.
Damaskus-Beirut :

Darul Fajr Al-Islami.



Mursyidi, Ahmad. Tanpa Tahun. Kehalalan Bahan dalam Sediaan Kosmetika. Makalah.
Tidak

Dipublikasikan.



Musthafa K.S. 1983. Alkohol dalam Pandangan Islam dan Ahli-Ahli Kesehatan.
Bandung : PT

Alma?arif.



Mutscher, Ernst. 1991. Dinamika Obat. Bandung : Penerbit ITB.



Tjay, Tan Hoan & Kirana Rahardja. 1986. Obat-Obat Penting : Khasiat,
Penggunaan, dan Efek-

Efek Sampingnya. Edisi IV.



Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fikih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer.
Jakarta : Gema

Insani Press.

 

Regards,
Dani Permana

" Always desire to learn something useful."

 

From: milis_iqra@googlegroups.com [mailto:milis_iqra@googlegroups.com] On Behalf Of Nandang Sudrajat
Sent: Wednesday, February 16, 2011 5:30 PM
To: milis_iqra@googlegroups.com
Subject: Re: [Milis_Iqra] coca-cola-mengandung-alkohol

 

 Mari kita lihat apa kata Syekh Yusuf al Qardhawi tentang minuman beralkohol http://www.muhsinlabib.com/agama/wow-qardhawi-halalkan-alkohol


--- Pada Rab, 16/2/11, astikirna murtiningsih <astikirna@gmail.com> menulis:


Dari: astikirna murtiningsih <astikirna@gmail.com>
Judul: Re: [Milis_Iqra] coca-cola-mengandung-alkohol
Kepada: milis_iqra@googlegroups.com
Tanggal: Rabu, 16 Februari, 2011, 4:26 PM

wah sepertinya isi dari artikel nya sama :) sama2 mendapatkan sumber berita yang sama di "dalam artikel Atlanta Journal-Constitution edisi 8 Februari 1979" cuma beda penulisnya :D

2011/2/16 astikirna murtiningsih <astikirna@gmail.com>

coba ke link di bawah pak awung... td saya juga baca disitu ada dalam racikannya alkohol 8 oz :)
tp tetap butuh klarifikasi juga dari artikel tsb..

http://wisata.kompasiana.com/kuliner/2011/02/16/resep-rahasia-coca-cola-ditemukan-ayo-racik-sendiri/

2011/2/16 awung <awungs@gmail.com>

 

Barangkali dari milister ada yang bisa mengklarifikasi berita ini?

http://gayahidup.inilah.com/read/detail/1240922/coca-cola-mengandung-alkohol


Salam,

--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
 
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
 
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-




--




--

--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
 
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
 
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-

 

--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
 
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
 
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-

--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
 
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
 
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-

--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
 
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
 
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-

No comments:

Post a Comment