Friday, February 25, 2011

Re: [Milis_Iqra] Re: MENYIKAPI PERBEDAAN ULAMA DALAM MENGHUKUMI SEBUAH HADITS

(Kang Hendy)
tapi yg saya tangkap memang demikianlah yang sering terjadi di negeri ini, bahkan di milis ini pun demikian.

(Whe-en)
Beneran kang? Di milis ini?
Siapa kira2 :-)

Regards
Whe-en

Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT


From: Ndy Ndy212 <nugraha212@gmail.com>
Sender: milis_iqra@googlegroups.com
Date: Fri, 25 Feb 2011 16:49:35 +0700
To: Milis_Iqra<Milis_Iqra@googlegroups.com>
ReplyTo: milis_iqra@googlegroups.com
Subject: [Milis_Iqra] Re: MENYIKAPI PERBEDAAN ULAMA DALAM MENGHUKUMI SEBUAH HADITS

Mungkin hal inilah yang menjadi perdebatan (sampai sengit) dimana ada 2 orang atau lebih saling berselisih faham mengenai suatu perkara. Fihak ke satu mati-matian menyalahkan fihak ke dua, sementara fihak ke dua mati-matian membela diri berdasarkan keterangan yang di dapatnya.
Kadang2 seseorang suka dijadikan rujukan, dimana fihak lain yang tidak menjadikannya rujukan sering menyalahkannya, bahkan mencelanya.

Mungkin tulisan saya tidak menjawab pertanyaan Mbak Whe-en, tapi yg saya tangkap memang demikianlah yang sering terjadi di negeri ini, bahkan di milis ini pun demikian.


whe - en menulis:
> Ada yang berkenan memberikan penjelasan dengan kalimat yang lebih sederhana?
> thx & rgds//
> whe~en
> ===
>
> *MENYIKAPI PERBEDAAN ULAMA DALAM MENGHUKUMI SEBUAH HADITS*
> Rabu, 23 Februari 11
>
>
>
> Terkadang kita dapati di dalam kitab *at-Tahdzib* seorang perawi hadits yang
> para Ulama berkata tentangnya:*"Tsiqah"*, sedangkan ulama yang lainnya
> mengatakan:*"Dha'if"*, lantas apa yang harus kita lakukan?
>
>
>
> Dan terkadang pula muncul suatu hukum yang berbeda dan kontradiksi dari
> salah satu orang imam ahli hadits, sebagai contoh Ibnu Ma'in (Yahya bin
> Ma'in), kadang kala dia mengatakan:*"Tsiqah"*, dan kadang kala mengatakan:*
> "Dha'if"*, maka bagaimana menghukuminya?
>
>
>
> Maka untuk menjawab hal ini mari kita simak penjelasan Syaikh Sa'd bin
> Abdillah Alu Humaid berikut ini.
>
>
>
> Di hadapan kalian ada dua hal atau dua sikap:
>
> *Pertama*; Anda lihat orang yang men-*jarh* (mencacat) dan yang
> men-*ta'dil*(memberikan rekomendasi). Apakah dia termasuk orang
> (ulama) yang mengetahui
> sebab-sebab pemberian rekomendasi (kepada seorang rawi)? Jika hukum ini
> (tsiqah ataupun dha'if) ini muncul dari seorang imam yang memiliki
> pengetahuan akan hal itu, maka anda akan tenang dengan hukumnya. Lalu jika
> anda melihat kepada orang yang menyelisihinya dan anda dapati bahwa dia juga
> imam yang memiliki pengetahuan juga seperti imam yang pertama, maka di sini
> anda harus melihat hal yang kedua.
>
>
>
> *Kedua*; anggaplah perawi itu *tsiqah* sebelum jelas kedhaifannya, lalu
> lihatlah kepada perkataan yang men-*jarh* (mencacat) nya, apakah dia men-*
> jarh* dengan terperinci (detail) atau tidak?
>
>
>
> Jika dia men-*jarh* secara terperinci, maka jarh yang terperinci didahulukan
> (dikedepankan) daripada rekomendasi (ta'dil) pada kondisi seperti ini. Maka
> kalau salah seorang imam (ahli hadits yang kompeten dalam masalah ini)
> berkata:*"Fulan tsiqah"*, sedangkan yang lainnya berkata:*"Tidak bahkan dia
> tidak tsiqah*, karena aku melihatnya meminum khamr (minuman keras), atau
> karena seseorang mengabarkan kepadaku bahwa dia melihatnya meminum khamr ."
> Maka kita membawa perkataan imam yang memberikan rekomendasi bahwa itulah
> kesimpulan yang nampak tentang perawi tersebut menurut penilaiannya, adapun
> yang men-*jarh* maka dia datang dengan membawa pengetahuan yang lebih
> (tentang perawi tersebut) yang tidak diketahui oleh imam yang pertama, lalu
> kita memberikan udzur kepadanya dan mengambil pendapat imam yang men-*jarh*nya.
>
>
>
>
> *Peringatan penting*
>
> Seandainya seorang yang men-*jarh* berkata:*"Sesungguhnya dia (salah seorang
> perawi hadits) meminum khamr."* Maka kita mengarahkan pandangan kita kepada
> perkara lain yaitu:*"Apa jenis khamr yang diminumnya?"*, karena ahli Kufah
> meminum *nabidz* (air perasan korma) sekalipun ia memabukkan, karena mereka
> berpendapat bahwa hal itu tidak haram, dan mereka berpandangan bahwa yang
> haram adalah khamr yang dibuat dari korma dan anggur. Dan terkadang engkau
> mendapati mereka meminum *nabidz* dengan alasan agama, seolah-olah dia
> mengatakan:*"Aku berpendapat dengan pendapat ini, dan sebagai penguat akan
> hal itu maka aku menegaskannya bahwasanya aku meminumnya."*
>
>
>
> Para ulama *rahimahumullah* berkata:*"Maka apabila engkau melihat seorang
> ahli Kufah meminum nabidz maka jangan engkau jarh dia karena hal itu. Dan
> bila engkau melihat seorang ahli Bashrah meminumnya maka mungkin untuk
> men-jarhnya dengan hal itu."*
>
>
>
> Dan bagi seseorang yang men-*jarh* hendaknya dia tahu dengan apa dia men-*
> jarh* seorang perawi, dan sebagian mereka terkadang *jarh*nya dibangun di
> atas sesuatu yang sebetulnya bukan cacat (alat/alasan untuk menjarh).
>
>
>
> *Contohnya:* Jarir bin 'Abdirrahman men-*jarh* Simak bin Harb, lalu
> dikatakan kepadanya:*"Kenapa engkau men-jarhnya."* Dia (Jarir)
> menjawab:*"Karena
> aku melihatnya kencing sambil berdiri."* –karena Jarir berpendapat dengan
> hadits Ibnu Abbas, dan dia tidak tahu sebab-sebab khilaf (perbedaan
> pendapat), karena di sini ada hadits yang bertentangan dengannya secara
> zhahir yaitu:
>
>
> أن النبي صلى الله عليه وسلم أتى سباطة قوم فبال قائما (رواه البخاري و مسلم)
>
> " "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mendatangi tempat pembuangan
> sampah milik suatu kaum. Lalu beliau shallallahu 'alaihi wa sallam kencing
> sambil berdiri.." (HR. Bukhari dan Muslim)
>
>
>
> Contoh lain:
>
> Syu'bah men-*jarh* al-Minhal bin 'Umar, lalu dia ditanya:*"Kenapa engkau
> men-jarhnya?"* Dia menjawab:*"Karena aku melewati depan pintu rumahnya, lalu
> aku mendengar suara thonbur (alat musik sejenis gitar/rebab)."* Maka
> dikatakan kepadanya (Syu'bah):*"Apakah engkau bertanya kepadanya tentang hal
> itu?"* Dia menjawab:*"Tidak, aku belum menanyakannya."* Al-Mizzi
> mengomentari setelah itu:*"Tidakkah engkau bertanya kepadanya, barangkali
> dia belum tahu (bahwa musik itu haram hukumnya-ed)."*
>
>
>
> Dan kalau kita mendapati ungkapan dari Abu Hatim ar-Razi
> *rahimahullah*dalam men-
> *dha'if*kan (melemahkan-ed) seorang perawi, maka ia mengisyaratkan bahwa hal
> itu dikarenakan buruknya hafalan perawi itu, seperti mengatakan:*"Haditsnya
> ditulis akan tetapi tidak berhujjah dengannya."* Maka makna hal itu adalah
> bahwa dia (Abu Hatim) memandang bahwa perawi tersebut adalah orang yang adil
> akan tetapi dalam hafalannya ada masalah. Kemudian kita mendapati bahwa
> perawi ini dikatakan *tsiqah* (kredibel-ed) oleh al-Hakim dan Ibnu Hibban *
> rahimahumallah*. lalu kita dapatkan pula imam Ahmad berkata:*"Tidak mengapa
> (tidak bermasalah-ed)."* Maka ada 3 tingkatan, lalu apa yang harus kita
> lakukan?
>
>
>
> Kita dapati bahwa Abu Hatim ar-Razi *rahimahullah* termasuk orang yang tegas
> (mudah dalam men-*jarh*) dalam men-*jarh*, dan Ibnu Hibban dan al-Hakim *
> rahimahumallah* termasuk orang yang mudah/menggampangkan dalam memberikan
> rekomendasi kepada perawi, sedangkan imam Ahmad *rahimahullah* termasuk yang
> pertengahan. Oleh karena itu kita mengambil yang pertengahan, dan karena Abu
> Hatim melihat dari sisi kelemahan (dha'if) perawi, dan Ibnu Hibban dan
> al-Hakim melihat dari sisi kebenaran (ketepatan) perawi. maka masing-masing
> dari mereka mengambil dari satu sisi lalu menghukuminya dan tidak menghukumi
> dengan cara umum.
>
>
>
> Lalu datanglah hukum imam Ahmad *rahimahullah* di tengah-tengah dan
> mengatakan:*"Tidak mengapa dengannya"* Maka hadits tidak sampai pada derajat
> dha'if sebagaimana dikatakan oleh Abu Hatim dan tidak pula sampai pada
> derajat shahih sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim, akan
> tetapi haditsnya hasan.
>
>
>
> Dan apabila datang kepada kita rekomendasi dan tidak ada jarh yang
> menyelisihinya kita terima rekomendasi itu. Dan jika datang kepada kita jarh
> dan tidak ada yang rekomendasi menyelisihinya, maka dalam masalah ini ada
> perbedaan; Sebagian mereka berkata:*"Jarhnya tidak diperinci maka hukum
> asalanya adalah perawi tersebut adil, dan bagaimana kita menerima jarh yang
> tidak diperinci?"*
>
>
>
> Dan yang benar adalah bahwa jarh yang mujmal (global/tidak diperinci-ed)
> bisa diterima, karena seorang perawi tidak lepas dari dua
> keadaan:*Pertama:*Menerima jarh yang ditujukan padanya,
> *Kedua:*atau dia adalah seorang perawi yang majhul (tidak dikenal-ed), dan
> haditsnya dha'if. Maka kedha'ifan itu ada pada dua keadaan. *Wallahu A'lam*
>
>
>
> *Sumber: **فتاوى **حديثية*, Syaikh Sa'd bin Abdillah Alu Humaid, jilid 1
> halaman 44-47, Dar 'Uluumis Sunnah. Diposting oleh Abu Yusuf Sujono)
>
> http://www.alsofwah.or.id/?pilih=lihathadits&id=252
>
>
> --
> ~~~~~
> Whe~en
> http://wheen.blogsome.com/
>
> "Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan
> lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku." (QS
> 20 : 25-28)
> "Ya Allah jadikan Aku hamba yang selalu bersyukur dan penyabar"

--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
 
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
 
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-

No comments:

Post a Comment