Perlindungan TKW
Said Aqiel Siradj
Gemuruh revolusi rakyat di negara-negara Timur Tengah menyisakan kisah
tentang nasib tenaga kerja kita. Mereka ikut terkena getah karena harus
dipulangkan ke Indonesia. Ini berarti hilang mata pencaharian mereka.
Pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI), khususnya tenaga kerja wanita
(TKW), ke luar negeri telah menjadi fakta selama ini. Diperkirakan 70
persen lebih dari 2,5 juta lebih buruh Indonesia yang mengais rezeki di
negeri orang adalah perempuan. Sebagian besar dari mereka bekerja di
sektor domestik sebagai pekerja rumah tangga.
Fakta lanjut adalah kerap terjadinya perlakuan tak manusiawi, seperti
penyiksaan hingga pembunuhan terhadap TKW. Pengiriman TKW ke luar negeri
kemudian dipandang rawan. Banyak kalangan prihatin karena masih minimnya
perhatian pemerintah.
Ketentuan fikih
Perdebatan mengenai pengiriman TKW ke luar negeri bukanlah hal baru. Isu
ini selalu muncul ketika terjadi masalah menyangkut nasib mereka di
tempat kerjanya. Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan pernah
mengeluarkan fatwa haram terkait perempuan menjadi TKW. Ketentuan itu
berlaku kalau kepergian perempuan itu tidak disertai mahram
(pendamping).
Dalam fikih memang ada ketentuan bahwa seorang perempuan yang bepergian
harus disertai mahram. Misalnya, dalam kitab Amal Al-Mar`ah fi Mizan
Al-Syari'ah Al-Islamiyah (1978) karya Imad Hasan Abul Ainain disebutkan,
haram hukumnya seorang perempuan Muslimah melakukan perjalanan sehari
semalam tanpa disertai mahram atau suami meski untuk menunaikan ibadah
haji yang wajib.
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni bahkan menyatakan, siapa saja perempuan
yang tidak punya mahram dalam perjalanan haji tidak wajib naik haji. Ada
hadis, "Tidak halal perempuan yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir
melakukan perjalanan selama sehari semalam kecuali disertai mahramnya."
Fatwa yang melarang perempuan bekerja sebagai TKW juga berangkat dari
hukum asal bahwa perempuan tak boleh bekerja ke luar rumah.
Pandangan yang mengharamkan ini juga berdasarkan pertimbangan bahwa
keberadaan TKW telah menjadi perantaraan munculnya berbagai hal yang
diharamkan syara'. Misalnya, terjadinya pelecehan seksual, perkosaan,
kekerasan, pembunuhan, pemotongan upah atau pungutan liar. Ada kaidah
fikih, al-Wasilah ila al-Haram Muharramah, segala perantaraan yang
mengakibatkan terjadinya keharaman hukumnya haram.
Berdasarkan status keharaman ini, pengiriman TKW ke luar negeri pun
wajib dihentikan. Ini juga sesuai kaidah fikih al-Dharar yuzaal, segala
macam bahaya wajib dihilangkan.
Di altar lain, pandangan keharaman TKW untuk bekerja ke luar negeri
dengan sebab hukum ('illat) tanpa mahram ini oleh berbagai kalangan
dianggap membalik logika. Pasalnya, kalau negara tak mampu memberikan
perlindungan kepada buruh migran, khususnya perempuan, dan tidak mampu
menyediakan lapangan kerja yang memadai di dalam negeri, mengapa
perempuan yang dilarang bekerja di luar negeri? Masalah TKW perlu
dilihat sebagai masalah ekonomi-politik daripada soal agama.
Fatwa mengenai mahram lalu dipandang tidak operasional karena
bertentangan dengan realitas sosial. Jutaan perempuan terpaksa harus
bekerja ke luar rumah atau ke luar negeri karena kebutuhan perut yang
tidak bisa dipenuhi oleh suami dan orangtua mereka. Pelarangan itu
melanggar HAM karena setiap orang berhak mencari penghidupan yang layak.
Sudah sepatutnya digunakan hukum asal bahwa perempuan dan laki-laki
boleh sama-sama bekerja di luar rumah. Dalam hukum agama disebutkan,
bila ada yang membahayakan, baik terhadap perempuan dan laki-laki,
kegiatan tersebut harus dihentikan sementara sampai bahaya itu bisa
diatasi. Gangguan itu bisa bersifat personal atau berasal dari sistem.
Gangguan yang berasal dari sistem adalah tanggung jawab pemerintah.
Setakat itu, lalu lahirlah apa yang disebut fikih sulthoni. Dalam fikih
itu pemerintah diserahi tugas untuk menetapkan kebijakan. Misalnya, TKW
tidak bisa dihentikan untuk bekerja karena kebutuhan ekonomi mereka.
Dalam hal ini, pemerintah harus melindungi keselamatan mereka, bukan
mengharamkan mereka pergi bekerja.
Hadis mengenai mahram berhubungan dengan keselamatan perempuan.
Pandangan ini merupakan upaya reinterpretasi mengenai mahram. Maka,
mahram dalam hal ini ditafsirkan mengacu kepada pemerintah dengan segala
elemen dan kebijakannya yang memberi perlindungan kepada warga negara
yang bekerja di luar negeri.
Acuan hukum negara
Ada kaidah fikih, hukum al-hakim yarfa'u al-khilafa, hukum pemerintah
akan menghilangkan perbedaan. Dari kaidah fikih ini kita bisa meninjau
bagaimana perundang-undangan negara kita dalam melindungi TKI/TKW.
Perundang-undangan yang terkait dengan TKI/TKW sebenarnya sudah
termaktub dalam UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia di Luar Negeri. Pasal 6 menyebutkan bahwa pemerintah
bertanggung jawab meningkatkan upaya perlindungan TKI di luar negeri. Di
Pasal 7 disebutkan, "dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab
tersebut pemerintah berkewajiban: (a) menjamin terpenuhinya hak-hak
calon TKW/TKI, baik yang bersangkutan berangkat melalui pelaksana
penempatan TKI maupun yang berangkat secara mandiri; (b) mengawasi
pelaksanaan penempatan calon TKI; (c) membentuk dan mengembangkan sistem
informasi penempatan calon TKI di luar negeri; (d) melakukan upaya
diplomatik untuk menjamin pemenuhan hak dan perlindungan TKI secara
optimal di negara tujuan; (e) memberikan perlindungan kepada TKI selama
masa sebelum pemberangkatan, masa penempatan, dan masa purna
penempatan."
Dalam Pasal 77 hingga Pasal 84 bahkan telah diatur mengenai kewajiban
pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap TKW/TKI selama
penempatannya di luar negeri melalui perwakilannya di luar negeri dan
perwakilan perusahaan swasta yang melaksanakan penempatan TKW/TKI di
luar negeri.
Secara konstitusi, negara sudah menetapkan undang-undang dalam
melindungi para TKW, yang mencakup hak hidup, hak memperoleh pekerjaan
dan penghidupan yang layak, serta hak atas perlakuan sama di hadapan
hukum dan dianggap sebagai subyek hukum dan bukan obyek hukum. Dengan
kata lain, pengiriman TKW ke negara-negara tertentu yang tidak dapat
menjamin ada perlindungan hukum atas HAM serta perlakuan yang wajar dan
manusiawi bagi TKW bisa dihentikan untuk sementara waktu sampai keadaan
kondusif.
Walhasil, konstitusi soal TKW sebenarnya hanya soal implementasi.
Persoalan TKW bukan tidak ada solusinya, dan kita melihat pemerintah
sudah punya kebijakan politik untuk menanggulangi nasib para TKW di
mancanegara. Pemerintah sebagai pelindung TKW memang bisa dan harus
bertindak cekatan dan tegas demi mengatasi masalah- masalah yang sering
dialami TKW di mancanegara.
Legal Disclaimer:
The information contained in this message may be privileged and confidential. It is intended to be read only by the individual or entity to whom it is addressed or by their designee. If the reader of this message is not the intended recipient, you are on notice that any distribution of this message, in any form, is strictly prohibited. If you have received this message in error, please immediately notify the sender and delete or destroy any copy of this message
--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
No comments:
Post a Comment