Allah Maha Suci dari bertempat : اللّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاء وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ "Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar." Ahli tafsir terkemuka di kalangan Ahlussunnah, al-Imâm al-Mufassir Muhammad ibn Ahmad al-Anshari al-Qurthubi ( W: 671 H )dalam kitab tafsirnya yang sangat terkenal; al-Jami' Li Ahkam al-Qur'an, menuliskan sebagai berikut: "Nama Allah "al-'Aliyy" adalah dalam pengertian ketinggian derajat dan kedudukan bukan dalam pengertian ketinggian tempat, karena Allah maha suci dari bertempat" [1] Pada bagian lain dalam kitab yang sama al-Imâm al-Qurthubi menuliskan: وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ (QS. al-An'am: 18) "Makna Firman-Nya: "Fawqa 'Ibadih...", adalah dalam pengertian fawqiyyah al-Istila' bi al-Qahr wa al-ghalabah; artinya bahwa para hamba berada dalam kekuasaan-Nya, bukan dalam pengertian fawqiyyah al-makan, (bukan dalam makna bertempat di atas)" [2] Masih dalam kitabnya yang sama al-Imâm al-Qurthubi juga menuliskan sebagai berikut: وهو الله في السماوات وفي الأرض يعلم سركم وجهركم ويعلم ما تكسبون "Kaedah (yang harus kita pegang teguh): Allah maha suci dari gerak, berpindah-pindah( tiba tiba di langit atau tiba tiba di bumi), dan maha suci dari berada pada tempat" [3] Kemudian dalam menafsirkan firman Allah: أَوْ يَأْتِيَ رَبُّكَ أَوْ يَأْتِي بَعْضُ ءَايَاتِ رَبِّكَ (الأنعام: 158) Al-Imâm al-Qurthubi menuliskan: "Yang dimaksud dengan al-Maji' pada hak Allah adalah adalah bukan dalam pengertian gerak, bukan pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, bukan pula dalam pengertian condong. Karena sifat-sifat seperti demikian itu hanya terjadi pada sesuatu yang merupakan Jism (tubuh) atau Jauhar (benda)" [4] Pada bagian lain firman Allah tentang Nabi Yunus: وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لآإِلَهَ إِلآ أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ (الأنبياء: 87) al-Imâm al-Qurthubi menuliskan: "Abu al-Ma'ali berkata: Sabda Rasulullah berbunyi: لاَ تُفَضِّلُوْنِي عَلَى يُوْنُس بْنِ مَتّى "Memberikan pemahaman bahwa saya (Nabi Muhammad) yang diangkat hingga ke Sidrah al-Muntaha tidak boleh dikatakan lebih dekat kepada Allah dibanding Nabi Yunus yang berada di dalam perut ikan besar yang kemudian dibawa hingga ke kedalaman lautan. Ini menunjukan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah" [5] Kemudian dalam menafsirkan firman Allah (Al Fajr-22) : وجاء ربك والملك صفا صفا "dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris." Al-Imâm al-Qurthubi menuliskan: "Allah yang maha agung tidak boleh disifati dengan perubahan atau berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dan mustahil Dia disifati dengan sifat berubah atau berpindah. Karena Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah, dan tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman. Karena sesuatu yang terikat oleh waktu itu adalah sesuatu yang lemah dan makhluk" [6] Kemudian dalam menafsirkan firman Allah Al-Mulk,16 : أأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الأرض فإذا هي تمور "Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang?" al-Imâm al-Qurthubi menuliskan: "Yang dimaksud oleh ayat ini adalah keagungan Allah dan kesucian-Nya dari arah bawah. Dan makna dari sifat Allah al-'Uluww adalah dalam pengertian ketinggian derajat dan keagungan bukan dalam pengertian tempat-tempat, atau arah-arah, juga bukan dalam pengertian batasan-batasan. Karena sifat-sifat seperti demikian itu adalah sifat-sifat benda (al-ajsam). Adapun bahwa kita mengangkat tangan ke arah langit dalam berdoa karena langit adalah tempat turunnya wahyu, tempat turunnya hujuan, tempat yang dimuliakan, juga tempat para Malaikat yang suci, serta ke sanalah segala kebaikan para hamba diangkat, hingga ke arah arsy dan ke arah surga, hal ini sebagaimana Allah menjadikan ka'bah sebagai kiblat dalam doa dan shalat kita. Karena sesungguhnya Allah yang menciptakan segala tempat, maka Dia tidak membutuhkan kepada ciptaannya tersebut. Sebelum menciptakan tempat dan zaman, Allah ada tanpa permulaan (Azali), tanpa tempat, dan tanpa zaman. Dan Dia sekarang setelah menciptakan tempat dan zaman tetap ada -sebagaimana sifat Azali-Nya- tanpa tempat dan tanpa zaman" [7] Dalam al-Fiqh al-Akbar, Al-Imam Abu Hanifah juga menuliskan sebagai berikut: وَاللهُ تَعَالى يُرَى فِي الآخِرَة، وَيَرَاهُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَهُمْ فِي الْجَنّةِ بِأعْيُنِ رُؤُوسِهِمْ بلاَ تَشْبِيْهٍ وَلاَ كَمِّيَّةٍ وَلاَ يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ خَلْقِهِ مَسَافَة. "Dan kelak orang-orang mukmin di surga nanti akan melihat Allah dengan mata kepala mereka sendiri. Mereka melihat-Nya tanpa adanya keserupaan (tasybih), tanpa sifat-sifat benda (Kayfiyyah), tanpa bentuk (kammiyyah), serta tanpa adanya jarak antara Allah dan orang-orang mukmin tersebut (artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga, tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan atau-pun samping kiri)" [8] Pada bagian lain dalam kitab al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan: "Allah ada tanpa permulaan (Azali, Qadim) dan tanpa tempat. Dia ada sebelum menciptakan apapun dari makhluk-Nya. Dia ada sebelum ada tempat, Dia ada sebelum ada makhluk, Dia ada sebelum ada segala sesuatu, dan Dialah pencipta segala sesuatu. Maka barangsiapa berkata saya tidak tahu Tuhanku (Allah) apakah Ia di langit atau di bumi?, maka orang ini telah menjadi kafir. Demikian pula menjadi kafir seorang yang berkata: Allah bertempat di arsy, tapi saya tidak tahu apakah arsy itu di bumi atau di langit" (al-Fiqh al-Absath, h. 57). PENUTUP Cukup bagi orang yang dibukakan pintu hidayah baginya oleh Allah dengan hanya mengambil perkataan al-Imam al-Qurthubi dan Imam Abu Hanifahini ia akan kuat berkeyakinan bahwa ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH. Kitab tafsir al-Qurthubi ini diakui sebagai kitab tafsir mu'tabar; baik oleh Ahlussunnah maupun oleh mereka yang tidak sepaham dengan Ahlussunnah... Bila kemudian ada orang berkeyakinan Allah bertempat di atas arsy atau berada di langit, maka cukuplah ia disebut sebagai orang-orang kaum Musyabihah dan Mu'aththilah [9] Foot Note : [1] Al-Jami' Li Ahkam al-Qur'an, j. 3, h. 278, dalam QS. al-Baqarah: 255 [2] Al-Jami' Li Ahkam al-Qur'an, j. 6, h. 399, dalam QS. al-An'am: 18. [3] Al-Jami' Li Ahkam al-Qur'an, j. 6, h. 390, dalam QS. al-An'am: 3 [4] Al-Jami' Li Ahkam al-Qur'an, j. 7, h. 148, dalam QS. al-An'am: 158. [5] Al-Jami' Li Ahkam al-Qur'an, j. 11, h. 333-334, dalam QS. al-Anbiya': 87 [6] Al-Jami' Li Ahkam al-Qur'an, j. 20, h. 55, dalam QS. al-Fajr: 22 [7] Al-Jami' Li Ahkam al-Qur'an, j. 18, h. 216, dalam QS. al-Mulk: 16 [8] Al-Fiqh al-Akbar dengan syarah Syekh Mulla Ali al-Qari, h. 136-137 [9] Musyabbihah adalah golongan yang menyamakan antara sifat-sifat Allah ta'ala dengan sifatsifat makhluk-Nya atau orang-orang yang menyamakan kedudukan makhluk dengan kedudukan Khaliq (Allah ta'ala). Musyabbihah berasal dari bahasa arab yang asal katanya adalah "syabbaha" yang artinya menyerupai. Misalnya adalah bahwa Allah ta'ala mempunyai tangan ( Maha Suci Allah dari sifat yg serupa dgn mahkluk ) Wallahu a'lam Bishowab. Source : 1.Al Qur'anul Karim 2.as-salafiyyah.blogspot.com 3.berbagai sumber. |
No comments:
Post a Comment