Tuesday, April 12, 2011

[Milis_Iqra] "?"

?

assalaamu'alaikum wr. wb.

Tidak mudah untuk memberikan ulasan terhadap film terbaru yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo yang diberi judul "?" ini.  Gaya berceritanya sendiri cenderung melebar, tidak terfokus pada salah satu tokoh, melainkan pada suatu pemikiran yang dijelaskan secara deskriptif.

Film "?" adalah proyek ambisius Hanung yang sudah mengundang sikap skeptis dari kalangan cendekiawan Muslim bahkan sebelum film ini dirilis.  Pasalnya, Hanung memiliki track record yang semakin lama semakin cenderung pada pemikiran-pemikiran liberal.  Kontroversi Hanung ini pertama kali mencuat ketika menyutradarai film "Perempuan Berkalung Sorban" yang mendapat kritik keras dari Taufik Ismail dan kalangan pesantren karena ditengarai telah memberikan citra yang salah terhadap pesantren dan terhadap syariat Islam itu sendiri.  Film "Sang Pencerah" yang muncul kemudian, meskipun sempat disambut hangat oleh mereka yang menanti-nanti kehadiran film tentang KH. Ahmad Dahlan itu, juga tidak sepi dari kritik karena lagi-lagi kental dengan pemikiran pluralis, gagal menunjukkan warisan pemikiran KH. Ahmad Dahlan yang sebenarnya, ditambah lagi isu-isu tak sedap 'di balik layar' yang menimpa para pemerannya.

Barangkali cara terbaik untuk memulai ulasan tentang film ini adalah dengan menguraikan satu persatu tokoh dan konflik yang dihadapinya dalam cerita.  Dengan cara demikian, kita dapat menemukan benang merah pemikiran yang menjadi fokus dalam film ini, yang memang tidak mudah untuk dirumuskan.  Tentu saja, munculnya spoiler tidak dapat dihindari, dan memang tulisan ini tidak berusaha menutup-nutupinya.

Karakter-karakter dalam Film
Surya adalah seorang lelaki Muslim yang punya pekerjaan sebagai aktor, namun tidak bisa dibilang sebagai karir.  Sudah sepuluh tahun lamanya ia menggeluti dunia akting, namun peran yang didapatnya hanyalah peran-peran kecil antagonis atau figuran.  Karena terjepit masalah ekonomi, Surya diusir dari kosannya dan pindah menginap di Masjid.

Rika adalah seorang perempuan Kristiani; seorang single parent yang membesarkan anak semata wayangnya, Abi.  Tadinya, Rika adalah seorang Muslimah, dan mantan suaminya pun seorang Muslim.  Setelah bercerai, Rika mencari nafkah dengan mengelola sebuah toko buku kecil.  Meski Rika sudah memutuskan untuk murtad dari agama Islam, namun ia tetap membiarkan Abi tetap menjadi Muslim, bahkan mendukungnya untuk tetap rajin belajar mengaji di Masjid.

Kehidupan Surya yang luntang-lantung mulai menemukan titik terang ketika Rika menawarinya sebuah pekerjaan yang bayarannya cukup bagus.  Hanya saja, pekerjaan yang dimaksud adalah memerankan tokoh Yesus dalam sebuah pementasan drama di Gereja dalam rangkaian acara perayaan Paskah.  Kebetulan, wajah Surya yang brewokan memang pas untuk memerankan tokoh Yesus yang seringkali digambarkan demikian.  Pada awalnya, Surya merasa kurang sreg menerima pekerjaan itu.  Namun ketika ia berkonsultasi dengan seorang ustadz yang biasa menjadi imam di Masjid tempatnya menginap, sang ustadz justru mengembalikan pertanyaan itu kepadanya.  "Tanyalah pada dirimu sendiri", demikian dalil sang ustadz.  Pada akhirnya, Surya menerima peran tersebut, bahkan kemudian ia diminta lagi untuk memerankan Yesus pada perayaan Natal.

Konflik dalam hidup Rika yang paling utama adalah seputar keyakinannya sendiri, hubungannya dengan Abi dan dengan kedua orang tuanya.  Rika nampak seperti orang yang tidak secara total mengimani agama barunya.  Ketika diminta menuliskan arti Tuhan bagi dirinya, Rika justru menuliskan beberapa asmaul husna yang masih diingatnya, seperti Ar-Rahmaan, Ar-Rahiim, Al-Muhaimin, dan sebagainya.  Di sisi lain, tidak pernah dijelaskan mengapa Rika sampai meninggalkan Islam.  Sebuah adegan flashback memperlihatkan bagaimana suaminya dulu menolak untuk meninggalkan pacarnya dan tetap berniat untuk berpoligami.  Masalah ini lazim dijadikan alasan untuk bercerai, namun skenario tidak secara tegas menjelaskan apakah masalah yang sama juga dijadikan alasan di balik murtadnya Rika.  Di samping pergulatan batinnya sendiri, Rika pun masih harus meyakinkan Abi bahwa dirinya tidak berubah meskipun sudah berpindah agama, dan yang lebih pelik lagi adalah meyakinkan hal yang sama kepada kedua orang tuanya.  Sebuah statement Rika yang perlu dicatat di sini adalah (kurang lebihnya), "Aku murtad bukan berarti mengkhianati Tuhan!"  Kata-kata ini diucapkannya ketika Rika marah mendengar Surya yang mengatakan bahwa bisa jadi Abi marah padanya karena menganggapnya telah mengkhianati dua hal yang sangat sakral: pernikahan dan agama.

Tokoh lain yang juga menjadi fokus cerita dalam film adalah Menuk, seorang perempuan salehah (berjilbab) yang sehari-harinya bekerja sebagai pelayan di restoran masakan Cina.  Meski bekerja di restoran yang menjual masakan daging babi, Menuk digambarkan selalu mampu menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya dengan baik.  Ini tidak lepas dari peran Engkoh, sang pemilik restoran, dan istrinya, yang digambarkan sebagai karakter-karakter yang sangat toleran.  Saking tolerannya, Engkoh sering menyuruh pegawainya beristirahat agar bisa shalat tepat waktu.  Karena alasan toleran pula, restoran itu menyediakan juga makanan halal, bahkan memisahkan peralatan masak dan peralatan makan yang digunakan untuk masakan daging babi agar tidak dipakai oleh mereka yang ingin makan makanan halal.

Di restoran, ada tokoh lain yang seringkali menyusahkan hati Menuk, yaitu Hendra, anak sang pemilik restoran sendiri.  Awalnya, Hendra nampak tidak tertarik untuk mewarisi bisnis restoran ayahnya, namun belakangan sikapnya berubah.  Ternyata, antara Hendra dan Menuk sendiri ada hubungan khusus di masa lalu, karena keduanya sempat berpacaran.  Hal itulah yang membuat Hendra selalu bersikap tidak suka pada Menuk dan suaminya.  Secara formal, Hendra memeluk agama orang tuanya, yaitu Konghucu, namun ia sendiri jauh dari taat.

Suami Menuk, yaitu Soleh, barangkali adalah tokoh yang paling antagonis, namun juga yang paling 'saleh'.  Barangkali inilah ironi yang hendak ditunjukkan oleh Hanung.  Soleh adalah karakter yang rajin datang ke Masjid dan tak pernah absen shalat lima waktu berjamaah, dalam kondisi apa pun.  Akan tetapi Soleh malah lebih parah daripada Surya, karena Surya masih memiliki penghasilan, meski tidak teratur, sedangkan Soleh sudah lama menganggur dan tak bisa memberi nafkah untuk istri, adik dan keluarganya.  Masalah ekonomi membuat Soleh menjadi pribadi yang sering marah-marah.  Solusi atas permasalahannya baru ditemukan ketika ia mendapat tawaran kerja sebagai anggota Banser NU.

Dalam acara pementasan drama Paskah di Gereja, semua tokoh ini bertemu di satu tempat.  Rika duduk di barisan jemaat, Surya sibuk dengan perannya sebagai Yesus, Menuk mengurus katering para pemain drama, Hendra ikut mengawasi para pegawai restorannya, dan Soleh bersama rekan-rekannya di Banser NU mengamankan Gereja bersama Kepolisian.  Pada saat itu terjadi insiden perkelahian antara Hendra dan Soleh setelah keduanya saling sindir.  Kedua belah pihak mengalami luka-luka ringan.  Ketika sedang diobati ibunya, Hendra mencela Menuk karena telah memilih Soleh daripada dirinya, hanya karena taat pada agama.  Sang ibu kemudian justru balik memarahi dirinya dengan kata-kata yang kurang lebihnya, "Paling tidak Menuk dan Soleh sudah membuat pilihan.  Lha kamu?  Apa kamu sudah membuat pilihan dalam hidupmu?"

Konflik terbesar dalam hidup Hendra adalah ketika ia memutuskan untuk secara total mengurus restoran milik ayahnya, karena kebetulan sang ayah sudah sering terbaring sakit.  Dengan tangan besi, Hendra merombak semua kebijakan ayahnya.  Di bulan Ramadhan, Hendra menolak pemakaian tirai, agar restorannya bisa laku seperti di bulan-bulan lainnya.  Berlawanan dengan kebiasaan yang memberikan libur hingga lima hari setelah Lebaran, Hendra mewajibkan semua pegawai untuk membuka toko pada hari kedua Lebaran.  Kekeraskepalaan Hendra ini kemudian diketahui oleh ayahnya yang langsung memarahi putranya itu.  Pada saat yang sama, warga datang beramai-ramai melakukan penyerangan ke restoran yang sudah terlanjur dianggap tidak toleran tersebut.  Soleh ikut bergabung dalam penyerangan itu, bahkan tanpa sengaja ia memukul Engkoh pemilik restoran dengan sebatang kayu.  Kejadian ini memperparah kondisi Engkoh hingga akhirnya ia menghembuskan napas terakhirnya.

Pengalaman terakhir tersebut membuat Hendra mengubah pendiriannya.  Ia membangun kembali restorannya yang rusak berat karena diserang massa, dan Menuk membantu dengan mengajak pegawai-pegawai lama untuk kembali bekerja.  Hendra mengikuti ajaran ayahnya dan tidak lagi memerintah dengan tangan besi.  Ia juga berusaha memperbaiki hubungan dengan Menuk dan Soleh.  Pada saat yang bersamaan, hubungan Menuk dengan Soleh semakin renggang karena Menuk masih belum bisa memaafkan Soleh yang bergabung dalam aksi penyerangan tempo hari.

Di akhir cerita, semuanya berakhir 'bahagia', meskipun harus didahului oleh sebuah tragedi.  Pada malam Natal, Surya kembali memerankan Yesus dalam drama, dan Rika kembali duduk di barisan jemaat.  Katering kembali diurus oleh restoran Hendra dan Menuk pun larut dalam kesibukannya.  Soleh kembali mendapat tugas untuk menjaga Gereja.  Kali ini, Soleh menemukan bom yang ditaruh di barisan paling belakang jemaat.  Penemuannya ini menimbulkan konflik batin; apakah ia hendak lari saja, atau menjadikan dirinya pahlawan?  Hubungannya dengan Menuk belum lagi pulih, padahal Soleh hanya ingin menjadi laki-laki yang dibanggakan oleh istri dan keluarganya.  Akhirnya Soleh membuat keputusan.  Ia berlari keluar sambil memeluk bom yang ditemukannya, dan akhirnya ia pun meledak bersama bom tersebut di lapangan parkir.  Agaknya Hanung gagal menjelaskan mengapa Soleh harus memeluk bom itu terus dan tidak melemparkannya saja agar tidak ikut meledak, padahal masih ada waktu.

Setelah itu, keadaan berkembang 'baik' untuk semuanya.  Surya menjadi aktor yang cukup diakui kemampuannya dan mendapat kesempatan main di sinetron dan dikenal orang, Rika menjalani hidup bahagia dengan anaknya dan (untuk alasan yang tidak diketahui jelas) berhasil merebut kembali hati kedua orang tuanya, Hendra memutuskan untuk memeluk agama Islam (yang lagi-lagi gagal dijelaskan latar belakangnya dengan baik dalam skenarionya) dan membuka restoran masakan cina Muslim, dan daerah Pasar Baru yang menjadi tempat kediaman seluruh tokoh itu diganti namanya dengan Pasar Soleh, untuk mengenang jasa-jasa Soleh.  Tentu saja, Menuk pun berbahagia dengan kenangan terakhir dari Soleh yang sangat heroik itu.

Gambaran Umat Muslim
Yang terasa amat mencolok dalam film "?" adalah penggambaran yang sangat negatif yang diberikan kepada umat Muslim.  Mulai dari adegan pertama yang memperlihatkan seorang pendeta yang menyalami jemaat yang berdatangan ke Gerejanya kemudian ditusuk oleh seseorang yang tak dikenal hingga berbagai aksi kekerasan lainnya.  Paling tidak ada dua kali aksi kekerasan yang dilakukan oleh umat Muslim.  Pertama, ketika Hendra diserang di awal film oleh beberapa orang yang bersarung, berbaju koko dan berpeci.  Rombongan penyerang ini mengatai Hendra dengan sebutan "Cino", sehingga Hendra pun terpancing untuk balik memaki.  Mereka dilerai oleh sang ustadz (yang kemudian merekomendasikan Surya untuk 'bertanya pada dirinya sendiri'), dan kemudian tak mau ikut shalat berjamaah yang diimami olehnya.  Peristiwa kedua adalah penyerangan ke restoran tempat Menuk bekerja di bagian akhir film.  Dalam penyerangan itu, lagi-lagi penyerangnya banyak yang memakai sarung, baju koko, peci, lengkap dengan teriakan takbirnya yang mengingatkan kita pada adegan serupa yang diperlihatkan dalam film "Sang Pencerah".

Dalam film "?", umat Muslim digambarkan begitu kekanak-kanakan, reaktif dan mudah tersulut emosinya, bahkan juga seringkali menebar provokasi duluan.  Penyerangan terhadap Hendra di awal film dan perkelahiannya dengan Soleh diawali dengan penghinaan yang dilakukan menyangkut darah Tionghoa-nya.  Demikian juga penyerangan di bagian akhir cerita yang menunjukkan betapa umat Muslim mudah marah hanya karena ada restoran yang buka dan 'tidak menghormati' Lebaran yang baru berlalu sehari.

Selain itu, penokohan yang diberikan juga memperparah stereotipe yang muncul.  Mulai dari Surya yang hidup luntang-lantung tanpa tujuan yang jelas, Soleh yang rajin beribadah, bahkan tidak pernah melepas topi santrinya (kecuali ketika sedang mengenakan baret Banser NU), namun memiliki temperamen yang sangat buruk, mantan ibu kos Surya yang usil dan sombong; nyaris tak ada karakter Muslim yang punya sifat baik.  Bahkan tokoh seperti Menuk dan sang ustadz pun layak untuk dikritisi, sebagaimana yang akan dijelaskan di bawah ini.

Sebaliknya, umat lain digambarkan begitu tertib, rukun dan mudah diajak berpikir jernih.  Engkoh dan istrinya adalah contoh majikan yang sangat baik yang sangat menghormati agama yang dipeluk oleh para pegawainya.  Demikian juga jemaat Gereja yang menerima Surya dengan baik, meskipun ia adalah seorang Muslim.  Hanya ada satu protes dari seorang anggota jemaat yang diperankan oleh Glenn Fredly, namun tuntutan pembatalan pentas drama Paskah dapat diselesaikan dengan sebuah petuah sakti dari sang Pendeta, "Kamu pernah melihat kehancuran iman karena sebuah pementasan drama?"  Maka semua pun bisa menerima kehadiran Surya yang memerankan Yesus, meskipun ia seorang Muslim.

Meskipun film tidak senantiasa sejalan dengan kenyataan yang berlaku umum, namun ia dapat menjadi media yang sangat baik untuk menanamkan stereotipe pada publik.  Para ahli sudah banyak yang secara jujur mengakui bahwa Hollywood telah berperan aktif dalam menebar kebencian masyarakat Barat terhadap Islam dan Arab secara umum dengan penggambaran-penggambaran antagonis dan tidak intelek dalam film-filmnya.  Akibat stereotipe yang diberikan semacam itu, masyarakat Barat umumnya mengidentikkan Islam dengan penindasan terhadap perempuan, kekerasan, ketidaktertiban, kebodohan, kemiskinan dan seterusnya.

Pluralisme dalam Cerita
Walaupun Hanung sendiri tidak menyebut filmnya ini sebagai media untuk mengasong nilai-nilai pluralisme, namun hal tersebut nampak jelas dalam cerita, bahkan hampir semua karakter dalam film ini mengusung pemikiran pluralis.  Contoh yang paling jelas dapat terlihat pada sikap Rika yang menganggap kemurtadannya itu bukan suatu sikap pengkhianatan terhadap Tuhan.  Memang dalam pemikiran pluralis, semua agama dianggap sebagai jalan-jalan kebenaran yang sama validnya, meski dengan berbagai varian pemikiran.  Oleh karena itu, memeluk agama Islam atau Kristen dianggap sama saja.  Meski demikian, agaknya promosi pluralisme dalam film ini juga tidak lepas dari blunder.  Kalangan pluralis kerap kali ditantang untuk pindah agama karena mereka mengatakan bahwa semua agama itu sama-sama benar.  Akan tetapi, mereka biasanya berkelit dengan mengatakan, "Kalau semua agama itu sama, kenapa harus pindah agama?"  Rika adalah bukti kesimpangsiuran paham pluralisme, karena ia menganggap semua agama itu sama, namun akhirnya ia murtad juga.

Surya dan Menuk menunjukkan sikap yang ambigu karena tekanan ekonomi, meskipun hal itu tidak nampak secara eksplisit dalam kasus Menuk.  Surya menerima peran Yesus karena memang sudah kehabisan uang dan kemudian mencari-cari pembenaran dalam dirinya sendiri, karena semua orang yang dimintai pendapat tidak ada yang mencegahnya.  Adapun Menuk sejak awal sudah mengundang pertanyaan: apa iya Menuk tidak bisa menemukan pekerjaan lain selain di restoran yang menjual makanan haram?  Dengan demikian, penonton pun bisa menyimpulkan bahwa Menuk – yang memang bukan termasuk orang berpunya – bekerja di sana karena tidak ada pilihan.  Hal lain yang juga membantu keduanya dalam memilih jalan hidup mencari nafkah dengan cara demikian adalah karena keduanya tidak berpikir panjang.  Memang benar, memerankan Yesus tidak sama dengan mengimaninya, dan menyajikan masakan daging babi tidak sama dengan menyantapnya.  Umat Muslim pun tidak diajarkan untuk mencegah orang mengimani Yesus dan menyantap daging babi, namun juga tidak diperbolehkan untuk membantu mereka dalam hal-hal itu.  Toleransi yang diajarkan oleh Islam hanyalah sebatas memperbolehkan dan menjaga suasana agar umat beragama lainnya dapat menjalankan ajaran agamanya dengan tenang, namun tidak sampai pada tahap partisipasi aktif di dalam hal-hal yang diharamkan oleh agama.  Seorang Muslim dimotivasi untuk menjadi jalan bagi sampainya hidayah ke hati orang lain, bukannya malah mempertebal keimanan umat lain dengan memerankan tokoh sentral dalam agamanya.  Bagaimana dengan kesucian Menuk yang bekerja di restoran tersebut?  Memang alat makan dan alat masaknya dipisah, namun siapa yang bisa menjamin semua barang yang disentuhnya suci dari unsur-unsur babi, padahal Islam tidak hanya melarang menyantap babi, namun juga melanggar perniagaannya.  Jika demikian, maka restoran itu pun menjadi tempat perniagaan yang tidak halal, dan karenanya, seorang Muslim tidak halal bekerja di sana.

Peranan sang ustadz, meski hanya tampil sebentar, juga perlu digarisbawahi.  Sebagai seorang pemuka di kampungnya, semestinya ia bisa memberikan nasihat yang lebih baik kepada Surya.  Sayangnya, ia hanya menyuruh Surya untuk bertanya pada dirinya sendiri.  Anjuran ini sangat berbahaya, karena membuka pintu bagi berbagai penyimpangan agama.  Sangat sulit menentukan mana suara hati yang sejalan dengan fitrah manusia dan mana yang dikendalikan oleh hawa nafsunya.  Justru karena adanya kesulitan itulah maka Allah SWT menurunkan ajaran agama kepada manusia, agar manusia tahu bagaimana harus menempatkan segala sesuatunya secara tepat, dan dengan demikian ia dianggap sebagai makhluk yang beradab.  Menurut sebagian penganjur pluralisme, agama adalah masalah privat dari masing-masing orang, bahkan tidak jarang "agama" direduksi menjadi "pengalaman keberagamaan".  Singkatnya, pluralisme bukan hanya membebaskan orang untuk memeluk agama apa saja, namun juga membebaskan orang untuk berbuat sekehendak hatinya dengan agamanya sendiri.  Ini adalah konsekuensi logis karena pluralisme sesungguhnya memang setali tiga uang dengan sekularisme dan liberalisme.

Seluruh uraian di atas menunjukkan bahwa film "?" memang sangat berbahaya bagi generasi muda Islam, karena berpotensi menyebarkan pemikiran-pemikiran pluralis, menghilangkan 'izzah dan ghirah terhadap agama sendiri dan mengecilkan arti kemurtadan.  Berbagai kritik sudah disampaikan, antara lain oleh Dr. Adian Husaini.  Adapun untuk Hanung sendiri, film ini seolah menghilangkan semua keraguan terhadap pemikirannya yang liberalis-pluralis.  Sebenarnya, jati diri pemikirannya ini sudah dapat dilihat ketika ia mengatakan "Agama hanyalah medium," dalam sebuah wawancaranya di situs Jaringan Islam Liberal (JIL), tidak lama setelah film "Sang Pencerah" beredar.

wassalaamu'alaikum wr. wb.
 
Akmal

--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
 
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
 
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-

No comments:

Post a Comment