Wednesday, April 29, 2009

[Milis_Iqra] Re: Jilbab Buka-tutup

Ahen :-) :-)
namanya juga orang nanya, jangankan nanya siap ke neraka ga, apa saja boleh ditanyakan as long as tidak masuk sara :-D :-)  jadi soal kenapa ditanya begitu, nanya saja ke penanyanya ya? :-) 
 
Kelihatannya ada yang dilupakan oleh Ahen soal dalil, karena saking banyaknya :-)
 

QS Muhammad (47) : 33

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan  amal-amalmu.

 

QS Al Hasyr (59) : 7

Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah

 

Rasulullah bersabda dari Imran bin Hushain radhiyallahu 'anhuma, bahwa dia mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرَ أُمَّتِـي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
"Sebaik-baik umatku adalah pada masaku. Kemudian orang-orang yang setelah mereka (generasi berikutnya), lalu orang-orang yang setelah mereka." (Shahih Al-Bukhari, no. 3650)

 

Seperti yang Ahen sebutkan bahwa kita masuk surga bukan karena amal kita tapi karena rahmat Allah, apakah kita mau melupakan 2 ayat diatas?  Allah memerintahkan menaati Beliau dan Rasul dan apa yang diberika Rasul terimalah.

jadi bagaimana mungkin Allah akan memberikan Rahmatnya kepada orang yang tidak taat kepada beliau? tidak taat kepada Rasul? mengingkari apa yang sudah Rasul berikan?

Padahal kita tahu Allah maha adil,

QS An Nisa (4) 40:

Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar

 

Apakah kita akan menuduh Allah tidak adil? sehingga kita menganggap orang yang melanggar perintah Allah mendapat rahmat? sedangkan yang menjalankan perintah Allah-pun mendapat rahmat yang sama?  Sekali lagi, hak Allah-lah menentukan siapa yang di surga siapa yang di neraka.  tapi Allah maha adil dan tidak akan menganiaya hamba - hamba-Nya.

jadi kita pasti harus berusaha dekat dengan Allah dan Rasul, dengan cara menaati perntah dan menjauhi larangan.  Kalo kita tidak dekat, bagaimanamungkin Allah dan Rasul mengenal kita.

 

QS Al 'Ankabuut : 2

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan mengatakan : "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?

 

Bagaimanapun kedaan kita, kaya, miskin, semua adalah ujian.  semua kekayaan akan dimintai pertanggungjawabannya, begitu juga kefakiran.  apakah ketika ditimpa kefakiran mereka berpaling kepada Allah? trus menjadikan alasan untuk tidak melaksanakan perintah allah?

yang kaya punya kewajiabn terhadap yang fakir dan miskin.  memang benar apa yang dikatakan oleh Ahen, tergantung imannya.

 

Saya tidak ingin menyalahkan keadaan orang yang tidak punya tersebut, apalagi sudah punya niat ingin menutup aurat.  tapi benarkah usahanya sudah maksimal?

Sudahkah dia meminta kepada Allah diberikan pakaian yang syar'i?

pernahkan dia datang ke tetangga yang memakai jilbab lalu bilang, ibu saya ingin sekali memakai jilbab tapi saya tidak punya uang untuk membelinya.  Jika ibu berkenan, jilbab ibu yang sudah usang, yang sudah tidak terpakai, saya ingin memintanya. bukan sekedar meminta minta, tapi saya akan datang kepada ibu tiap hari untuk menyapu halaman sebagai gantinya, dsb.  ini misalnya.

Ada banyak cara, ada banyak tetangga juga juka belum mau memberi.  saya yakin diantara 10 orang 1 Insya Allah akan meberikan, dari sini satu, dari sana satu, dari sini pakaian, darisana rok, walaupun usang, ada yang sobek, dijahit sedikit, tidak apa2 kan?

ini menurut saya jika memang ada niat

pasti ada jalan.

 

sekarang soal email ahen yang copas, yang menyebutkan bahwa jilbab bukannya kewajiban bagi masyarakat sekarang.

Menurut saya:

1.  Kita harus tahu sumber mail tersebut

2.  Saya tidak akan pernah menafsirkan Al Qur'an sesuai dengan pemikiran saya.  Ada banyak ulama, ada banyak shahabat yang hidup di jaman Nabi yang langsung diajar oleh nabi.  Meraka sudah menyatakan bahwa kewajiban memakai jilbab dalilnya shahih.  jadi saya akan meng-ignorkan pendapat yang sebaliknya.

Para shahabat adalah sebaik baiknya umat, sudah terkenal mereka berani mati demi membela agama Allah.  jadi penafsiran mereka lebih saya percayai daripada penafsiran orang2 yang mengatasnamakan akal mereka.

 

"Amma ba'du, maka sebaik-baiknya perkataan adalah Kitabullah (Al-Qur'an) dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Dan sejelek-jeleknya perkara adalah perkara yang di ada-adakan dan setiap bid'ah itu sesat. "(HR. Muslim).

 

Jadi karena itu adalah perkataan orang, saya masukkan ke bukan petunjuk.  jadi ya menurut saya tetep saja wajib memakai jilbab.

Dalilnya di lain mail saja kali, sudah panjang banget :-)

 

silahkan kalo saya mau dicounter

 

 

Whe~en
http://wheen.blogsome.com/
 
"Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku." (QS 20 : 25-28)
"Ya Allah jadikan Aku hamba yang selalu bersyukur dan penyabar"
----- Original Message -----
From: Ndy Ndy212
Sent: Thursday, April 30, 2009 9:57 AM
Subject: [Milis_Iqra] Re: Jilbab Buka-tutup



Pada 30 April 2009 09:06, Whe~en (gmail) <whe.en9999@gmail.com> menulis:
Ahen
Sebenarnya niat awal saya adalah cuma ingin menyampaikan pendapat saya ke mba Laila eh jadi panjang ya?, bahwa yang terkena kewajiban memakai jilbab, no excuse harus memakainya, atau tidak bisa keluar rumah bertemu dengan orang yang bukan mahramnya.
Entah dia centil, entah tidak
entah dia pelacur atau lainnya
harus memakai karena saya belum menemukan bahwa profesi bisa menggugurkan kewajiban berjilbab.
Jadi harusnya tidak ada pendapat bahwa yang berjilbab punya kewajiban yang lebih
yang ada yang belum berjilbablah yang kewajibannya lebih, karena belum memakai
Bayangkan saja, sudah melaksanakan salah satu perintah Allah koq jadi tambah beban tambah kewajiban, kalo begitu siapa yang mau memakainya? :-D :-D
Dan yang panjang menutup dada itulah jilbab yang benar.


Memang jadi panjang Mbak. Saya disini bertanya, seandainya (dan memang bukan berandai-andai), kenyataannya ada kok. Sekarang ditanya siap atau tidak masuk neraka ? Saya yakin, tidak seorang pun yang siap dan mau masuk neraka. Cuma setelah saya bada di ayat2 Al-Qur'an dan hadis, ternyata indikator agar seseorang masuk surga itu banyak, tidak hanya jilbab, atau bisa jadi saya yg belum bisa menafsirkannya ?

Beberapa contoh :

Al Mu'min: 40 »

(Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak akan dibalas melainkan sebanding dengan kejahatan itu.Dan barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab. (QS. 40:40)


Maryam: 60 

kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk surga dantidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun. (QS. 19:60)



Hadis-hadis:

Dari Abdullah bin Abbas r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, "Telah ditunjukkan kepadaku keadaan umat yang dahulu hingga aku melihat seorang Nabi dengan rombongan yang kecil dan ada Nabi yang mempunyai pengikut satu dua orang bahkan ada Nabi yang tidak ada pengikutnya. Tiba-tiba terlihat olehku rombongan yang besar, saya kira itu umatku maka diberitahu kepadaku bahwa itu Nabi Musa dan kaumnya tetapi lihatlah ke ufuk kanan dan kirimu. Tiba-tiba di sana aku melihat rombongan yang besar sekali. Dikatakan kepadaku: Itulah umatmu dan di samping mereka ada tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa perhitungan (hisab)." Setelah itu Nabi bangun  dan masuk ke rumahnya sehingga para sahabat saling memperbincangkan orang-orang yang akan masuk surga tanpa hisab itu. Ada yang berpendapat, "Mungkin mereka adalah sahabat-sahabat Nabi saw." Ada pula yang berpendapat, "Mungkin mereka yang lahir dalam Islam dan tidak pernah mempersekutukan Allah." dan berbagai pendapat lainnya yang mereka sebutkan. Kemudian Rasulullah saw kembali dan bertanya, "Apa yang sedang engkau bicarakan?" Mereka memberitahukan segala pembicaraan mereka maka Rasulullah saw bersabda, "Mereka yang tidak pernah menjampi atau dijampikan dan tidak suka menebak nasib dengan perantaraan burung dan kepada Tuhan mereka selalu berserah diri (tawakal). Maka bangunlah 'Ukkasyah bin Mihshan dan berkata, "Ya Rasulullah, doakan semoga Allah memasukkan aku dari golongan mereka." Nabi saw menjawab, "Engkau termasuk golongan mereka." Kemudian berdiri orang lain, izin dan berkata, "Doakan semoga Allah menjadikan aku dari golongan mereka." Nabi saw menjawab, "Engkau telah didahului oleh 'Ukkasyah."
(dishahihkan Bukhari - Muslim)


Hadis 2 :
Ada perspektif yang sama antara hadits tersebut barusan dengan hadits berikut ini. Rasulullah SAW pernah berkata, "Amal soleh yang kalian lakukan tidak bisa memasukkan kalian ke surga". Lalu para sahabat bertanya: "Bagaimana dengan Engkau ya Rasulullah ?". Jawab Rasulullah SAW : "Amal soleh sayapun juga tidak cukup". Lalu para sahabat kembali bertanya : "Kalau begitu dengan apa kita masuk surga?" . Nabi SAW kembali menjawab : "Kita dapat masuk surga hanya karena rahmat dan kebaikan Allah semata". Jadi sholat kita, puasa kita, taqarub kita kepada Allah sebenarnya bukan untuk surga tetapi untuk mendapatkan rahmat Allah. Dengan rahmat Allah itulah kita mendapatkan surga Allah. Amal soleh yang kita lakukan sepanjang hidup kita (walau setiap hari puasa dan sholat malam) tidaklah cukup untuk mendapatkan tiket masuk surga. Amal soleh sesempurna apapun yang kita lakukan seumur hidup kita tidaklah sebanding dengan nikmat surga yang dijanjikan Allah. Surga itu hanyalah sebagian kecil dari rahmat Allah, kita masuk surga bukan karena amal soleh kita, tetapi karena rahmat Allah.

Apa makna dari kedua hadits tersebut diatas ? Yaitu bahwa perbuatan baik (akhlak) dan ibadah kita ternyata tidak mampu untuk mendapatkan tiket ke surga. Hanya karena rahmat-Nya lah kita bisa ke surga. Akhlak dan amal ibadah juga tidak cukup menjamin kita terbebas dari api neraka, hanya ampunan-Nya lah yang bisa membuat kita terbebas dari api neraka. Karena itu kita diminta banyak memohon rahmat dan ampunan Allah. 




Lalu, ada artikel yang saya copas disini. Apa ada tanggapan ?

Al Quran dan hadis tidak pernah secara khusus menyinggung bentuk pakaian penutup muka. Bahkan, dalam hadis, muka dengan tegas masuk dalam pengecualian dan dalam suasana ihram tidak boleh ditutupi. Lagi pula, ayat-ayat yang berbicara tentang penutup kepala tidak ada satu pun disangkutpautkan dengan unsur mitologi dan strata sosial. Dua ayat di atas merupakan tanggapan terhadap kasus tertentu yang terjadi pada masa Nabi. Penerapan ayat seperti ini menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama Ushul Fikih; apakah yang dijadikan pegangan lafaznya yang bersifat umum, atau sebab turunnya yang bersifat khusus.

Dua ayat di atas turun dalam konteks keamanan dan kenyamanan perempuan. Bandingkan dengan chador yang dalam mitologi Sasania-Persia, dianggap pengganti kemah menstruasi (menstrual hut), tempat pengasingan perempuan menstruasi di luar perkampungan. Sementara dalam tradisi Yunani, jilbab dianggap fenomena kelas masyarakat tertentu.

Ayat khimar turun untuk menanggapi model pakaian perempuan yang ketika itu menggunakan penutup kepala (muqani'), tetapi tidak menjangkau bagian dada, sehingga bagian dada dan leher tetap kelihatan. Menurut Muhammad Sa'id al-'Asymawi, QS al-Nur/24:31 turun untuk memberikan pembedaan antara perempuan mukmin dan perempuan selainnya, tidak dimaksudkan untuk menjadi format abadi (uridu fihi wadl' al-tamyiz, wa laisa hukman muabbadan).

Ayat jilbab juga turun berkenaan seorang perempuan terhormat yang bermaksud membuang hajat di belakang rumah di malam hari tanpa menggunakan jilbab, maka datanglah laki-laki iseng mengganggu karena dikira budak. Peristiwa ini menjadi sebab turunnya QS al-Ahdzab/33:33. Menurut Al-'Asymawi dan Muhammad Syahrur, terkait dengan alasan dan motivasi tertentu (illat); karenanya berlaku kaidah: Suatu hukum terkait dengan illat, di mana ada illat di situ ada hukum. Jika illat berubah, maka hukum pun berubah.

Ayat hijab, sangat terkait dengan keterbatasan tempat tinggal Nabi bersama beberapa istrinya dan semakin besarnya jumlah sahabat yang berkepentingan dengannya. Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan (perlu diingat, ayat hijab ini turun setelah kejadian tuduhan palsu/hadis al-ifk terhadap 'Aisyah), Umar mengusulkan agar dibuat sekat (Arab: hijab) antara ruang tamu dan ruang privat Nabi. Tetapi, tidak lama kemudian turunlah ayat hijab.

Sedangkan, hadis yang berhubungan langsung dengan penggunaan jilbab hanya ditemukan dalam dua hadis ahad, hadis yang diriwayatkan perorangan, bukan secara kolektif dan massif (masyhur atau mutawatir). hadis pertama bersumber dari Aisyah, Rasulullah bersabda, "Tidak diperkenankan seorang perempuam yang beriman kepada Allah dan Rasulnya jika sudah sampai usia balig menampakkan (anggota badannya) selain muka dan kedua tangannya sampai di sini," sambil menunjukkan setengah hasta.

Hadis kedua dari Daud yang diterima dari Aisyah, yang menceritakan ketika Asma binti Abi Bakr masuk ke rumah kediaman Rasulullah SAW, lalu Rasulullah mengatakan kepadanya, "Wahai Asma, sesungguhnya perempuan jika sampai usia balig, tidak boleh dipandang kecuali yang ini," sambil Rasulullah menunjukkan wajah dan telapak tangannya.

Menurut Asymawi, kedua hadis tersebut termasuk hadis ahad, bukan hadis mutawatir atau masyhur. Berdasar dengan hadis ahad memang kontroversial di kalangan ulama Ushul Fikih. Salah satu hadis tersebut di-mursal-kan (jaringan penutur terputus) oleh Abu Daud, karena bersumber dari Khalid ibn Darik yang bukan hanya tidak berjumpa (mu'asharah) tetapi juga tidak ketemu (liqa') dengan Aisyah. Di samping itu, hadis ini mulai populer pada abad ketiga Hijriah., dipopulerkan oleh Khalid ibn Darik, yang kemudian dimonumentalkan dalam Sunan Abu Daud. Kalau sekiranya hadis ini direpresentasikan pada umat Islam, maka sejak awal jilbab menjadi tradisi kolektif keseharian (sunnah mutawatirah bi al-fi'l), bukannya dengan kualifikasi hadis ahad-mursal. Tradisi jilbab di kalangan sahabat dan tabi'in, menurut Asymawi, lebih merupakan keharusan budaya daripada keharusan agama.

Muhammad Syahrur dalam bukunya Al-Kitab wa al-Qur'an juga pernah menyatakan hijab hanya termasuk dalam urusan harga diri, bukan urusan halal atau haram. Pada awal abad ke-19 Qasim Amin dalam Tahrir al-Mar'ah sudah mempersoalkan hal ini. Namun perlu ditegaskan, meskipun pemikir itu berpandangan kritis terhadap jilbab, tetapi mereka tetap mengidealkan penggunaan jilbab bagi perempuan. Inti wacana mereka adalah bagaimana jilbab tidak membungkus kreativitas dan produktivitas perempuan, bukannya melarang atau menganjurkan pembukaan jilbab.


 

Dalam kasus yang Ahen sebutkan, saya setuju pendapat mas Fahmi.
Kalau memang kita mampu, kita sumbang

Saya juga setuju.

Bagaimana  mungkin tetangganya membiarkan dia dalam kedaan tidak memenuhi perintah Allah padahal orang tersebut berniat sekali melaksanakan perintah Allah.

Ahlak setiap orang berbeda-bead, ada yang peduli dan ada yang tidak kepada masing2 tetangganya.
 

 

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125

Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63

Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
  Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
  Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
     Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

No comments:

Post a Comment