Monday, May 4, 2009

[Milis_Iqra] Wawasan Al-Qur'an - Jilbab

Sumber : http://media.isnet.org/islam/Quraish/Wawasan/Pakaian4.html

Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.


PAKAIAN                                                  (4/4)   Riwayat berikut juga dijadikan alasan,        Pemuda, Al-Fadhl bin Abbas, ketika haji Wada'      menunggang unta bersama Nabi Saw., dan ketika itu ada      seorang wanita cantik, yang ditatap terus-menerus oleh      Al-Fadhl. Maka Nabi Saw. memegang dagu Al-Fadhl dan      mengalihkan wajahnya agar ia tidak melihat wanita      tersebut secara terus-menerus.   Demikian  diriwayatkan  oleh  Bukhari  dari  saudara  Al-Fadhl sendiri, yaitu Ibnu Abbas.   Bahkan penganut pendapat ini merujuk kepada ayat A1-Quran,        Dan apabila kamu meminta sesuatu dan mereka, maka      mintalah dari belakang tabir (QS Al-Ahzab 133]: 53).   Ayat  ini  walaupun  berkaitan  dengan permintaan sesuatu dari istri Nabi, namun dijadikan oleh ulama penganut kedua pendapat di atas, sebagai dalil pendapat mereka.   Ketõga,  memahami  "kecuali  apa  yang tampak" dalam arti yang yang biasa dan atau dibutuhkan keterbukaannya  sehingga  harus tampak."  Kebutuhan  disini  dalam  arti menimbulkan kesulitan bila bagian badan tersebut ditutup. Mayoritas  ulama  memahami penggalan  ayat  tersebut  dalam arti ketiga ini. Cukup banyak hadis yang mendukung pendapat ini. Misalnya:        Tidak dibenarkan bagi seorang wanita yang percaya      kepada Allah dan hari kemudian untuk menampakkan kedua      tangannya, kecuali sampai di sini (Nabi kemudran      memegang setengah tangan belõau) (HR Ath-Thabari).        Apabila wanita telah haid, tidak wajar terlihat darinya      kecuali wajah dan tangannya sampai ke pergelangan (HR      Abu Daud).   Pakar tafsir Al-Qurthubi, dalam tafsirnya  mengemukakan  bahwa ulama  besar  Said  bin Jubair, Atha dan Al-Auzaiy berpendapat bahwa yang boleh dilihat hanya  wajah  wanita,  kedua  telapak tangan  dan  busana  yang dipakainya. Sedang sahabat Nabi Ibnu Abbas, Qatadah, dan Miswar bin  Makhzamah,  berpendapat  bahwa yang  boleh  termasuk  juga  celak mata, gelang, setengah dari tangan  yang  dalam  kebiasaan  wanita  Arab  dihiasi/diwarnai dengan  pacar  (yaitu  semacam zat klorofil yang terdapat pada tumbuhan  yang  hijau),  anting,   cincin,   dan   semacamnya. Al-Qurthubi juga mengemukakan hadis yang menguraikan kewajiban menutup setengah tangan.   Syaikh Muhammad Ali As-Sais, Guru Besar  Universitas  Al-Azhar Mesir,  mengemukakan  dalam  tafsirnya-yang menjadi buku wajib pada Fakultas Syariah Al-Azhar bahwa Abu  Hanifah  berpendapat kedua  kaki,  juga  bukan aurat. Abu Hanifah mengajukan alasan bahwa ini lebih menyulitkan dibanding dengan tangan, khususnya bagi  wanita-wanita  miskin  di  pedesaan  yang  (ketika  itu) seringkali berjalan (tanpa alas kaki) untuk memenuhi kebutuhan mereka.  Pakar  hukum Abu Yusuf bahkan berpendapat bahwa kedua tangan wanita bukan aurat, karena dia menilai bahwa mewajibkan untuk menutupnya menyulitkan wanita.   Dalam  ajaran  Al-Quran memang kesulitan merupakan faktor yang menghasilkan kemudahan. Secara tegas Al-Quran menyatakan bahwa Allah tidak berkehendak menjadikan bagi kamu sedikit kesulitan pun (QS Al-Ma-idah [5]: 6) dan bahwa  Allah  menghendaki  buat kamu kemudahan bukan kesulitan (QS Al-Baqarah [2): 185).   Pakar tafsir Ibnu Athiyah sebagaimana dikutip oleh Al-Qurthubi berpendapat:        Menurut hemat saya, berdasarkan redaksi ayat, wanita      diperintahkan untuk tidak menampakkan dan berusaha      menutup segala sesuatu yang berupa hiasan.      Pengecualian, menurut hemat saya, berdasarkan keharusan      gerak menyangkut (hal-hal) yang mesti, atau untuk      perbaikan sesuatu dan semacamnya.   Kalau  rumusan  Ibnu  Athiyah  diterima,  maka  tentunya  yang dikecualikan  itu  dapat  berkembang  sesuai  dengan kebutuhan mendesak yang dialami seseorang.   Al-Qurthubi berkomentar:        Pendapat (Ibnu Athiyah) ini baik. Hanya saja karena      wajah dan kedua telapak tangan seringkali (biasa)      tampak --baik sehari-hari maupun dalam ibadah seperti      ketika shalat dan haji-- maka sebaiknya redaksi      pengecualian "kecuali yang tampak darinya" dipahami      sebagai kecuali wajah dan kedua telapak tangan yang      biasa tampak itu.   Demikian terlihat pakar hukum ini  mengembalikan  pengecualian tersebut  kepada  kebiasaan  yang  berlaku.  Dari  sini, dalam Al-Quran  dari  Terjemah-nya  susunan  Tim  Departemen  Agama, pengecualian  itu  diterjemahkan  sebagai kecuali yang (biasa) tampak darinya.   Nah, Anda boleh bertanya,  apakah  "kebiasaan"  yang  dimaksud berkaitan dengan kebiasaan wanita pada masa turunnya ayat ini, atau kebiasaan wanita di setiap masyarakat Muslim  dalam  masa yang  berbeda-beda?  Ulama  tafsir memahami kebiasaan dimaksud adalah kebiasaan pada masa  turunnya  Al-Quran,  seperti  yang dikemukakan Al-Qurthubi di atas.   Sebelum  menengok  kepada pendapat beberapa ulama kontemporer, ada baiknya kita melanjutkan sedikit lagi uraian ayat di atas, menyangkut kerudung.        Hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke atas      juyubi-hinna (dada mereka).   Juyub  adalah  jamak jaib yaitu lubang yang terletak di bagian atas pakaian yang biasanya menampakkan (sebagian) dada.   Kandungan ayat ini berpesan agar dada ditutup dengan  kerudung (penutup  kepala).  Apakah  ini  berarti bahwa kepala (rambut) juga harus ditutup? Jawabannya, "ya". Demikian  pendapat  yang logis,    apalagi   jika   disadari   bahwa   "rambut   adalah hiasan/mahkota wanita". bahwa ayat ini tidak  menyebut  secara tegas  perlunya  rambut  ditutup,  hal ini agaknya tidak perlu disebut. Bukankah mereka telah memakai kudung  yang  tujuannya adalah menutup rambut?   PENDAPAT BEBERAPA ULAMA KONTEMPORER TENTANG JILBAB   Di  atas  --semoga  telah  tergambar--  tafsir serta pandangan ulama-ulama mutaqaddimin (terdahulu) tentang persoalan  jilbab dan  batas  aurat wanita. Tidak dapat disangkal bahwa pendapat tersebut didukung oleh banyak ulama kontemporer. Namun  amanah ilmiah  mengundang  penulis  untuk  mengemukakan pendapat yang berbeda  --dan  yang  boleh   jadi   dapat   dijadikan   bahan pertimbangan  dalam menghadapi kenyataan yang ditampilkan oleh mayoritas wanita Muslim dewasa ini.   Muhammad Thahir bin Asyur seorang ulama besar dari Tunis, yang diakui juga otoritasnya dalam bidang ilmu agama, menulis dalam Maqashid Al-Syari'ah sebagal berikut:        Kami percaya bahwa adat kebiasaan satu kaum tidak boleh      --dalam kedudukannya sebagai adat-- untuk dipaksakan      terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat      dipaksakan pula terhadap kaum itu.   Bin Asyur kemudian memberikan beberapa  contoh  dari  Al-Quran dan  Sunnah Nabi. Contoh yang diangkatnya dari Al-Quran adalah surat Al-Ahzab (33): 59, yang memerintahkan kaum Mukminah agar mengulurkan jilbabnya. Tulisnya:        Di dalam Al-Quran dinyatakan, Wahai Nabi, katakan      kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan      wanita-wanita Mukmin; hendak1ah mereka mengulurkan      jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, yang demikian itu      supaya mereka lebih mudah dikenal sehingga tidak      diganggu. Ini adalah ajaran yang mempertimbangkan adat      orang-orang Arab, sehingga bangsa-bangsa lain yang      tidak menggunakan jilbab, tidak memperoleh bagian      (tidak berlaku bagi mereka) ketentuan ini.        Dalam kitab tafsirnya ia menulis bahwa:        Cara memakai jilbab berbeda-beda sesuai dengan      perbedaan keadaan wanita dan adat mereka. Tetapi tujuan      perintah ini adalah seperti bunyi ayat itu yakni "agar      mereka dapat dikenal (sebagai wanita Muslim yang baik)      sehingga tidak digangu" (Tafsir At-Tahrir, jilid XXII,      hlm. lO).   Tetapi   bagaimana  dengan  ayat-ayat  ini,  yang  menggunakan redaksi perintah?   Jawabannya --yang sering  terdengar  dalam  diskusi--  adalah: Bukankah  tidak  semua  perintah yang tercantum dalam Al-Quran merupakan  perintah  wajib?  Pernyataan  itu,  memang   benar. Perintah  menulis  hutang-piutang  (QS  Al-Baqarah  [2]:  282) adalah salah satu contohnya.   Tetapi bagaimana  dengan  hadis-hadis  yang  demikian  banyak? Jawabannya  pun  sama.  Bukankah seperti yang dikemukakan oleh Bin Asyur di atas bahwa ada hadis-hadis  Nabi  yang  merupakan perintah,   tetapi   perintah  dalam  arti  "sebaiknya"  bukan seharusnya. (Lihat  kembali  uraian  tentang  memakai  pakaian sutera, cincin, emas pada buku ini).   Memang, kita boleh berkata bahwa yang menutup seluruh badannya kecuali wajah dan (telapak) tangannya, menjalankan bunyi  teks ayat  itu, bahkan mungkin berlebih. Namun dalam saat yang sama kita tidak wajar menyatakan terhadap mereka yang tidak memakai kerudung,   atau  yang  menampakkan  tangannya,  bahwa  mereka "secara  pasti  telah  melanggar  petunjuk  agama".   Bukankah Al-Quran  tidak  menyebut  batas  aurat? Para ulama pun ketika membahasnya berbeda pendapat.   Namun demikian, kehati-hatian amat dibutuhkan, karena  pakaian lahir  dapat  menyiksa  pemakainya  sendiri  apabila  ia tidak sesuai dengan bentuk badan si pemakai.  Demikian  pun  pakaian batin.  Apabila tidak sesuai dengan jati diri manusia, sebagai hamba Allah, yang paling mengetahui ukuran dan patron  terbaik buat manusia.   ***   Sebagai  akhir  dari  uraian  tentang wawasan Islam menyangkut pakaian, ada baiknya digarisbawahi dua hal.   Pertama: Al-Quran dan  Sunnah  secara  pasti  melarang  segala aktivitas  --pasif  atau aktif-- yang dilakukan seseorang bila diduga  dapat  menimbulkan  rangsangan  berahi  kepada   1awan jenisnya. Di sini tidak ada tawar-menawar.   Kedua,  Tuntunan  Al-Quran menyangkut berpakaian --sebagaimana terlihat dalam surat Al-Ahzab dan  Al-Nur--  yang  dikutip  di atas,  ditutup dengan ajakan bertobat (QS Al-Nur [24]: 31) dan pernyataan bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang pada surat Al-Ahzab (33): 59.   Ajakan  bertobat  agaknya  merupakan isyarat bahwa pelanggaran kecil atau besar terhadap tuntunan memelihara pandangan kepada lawan jenis, tidak mudah dihindari oleh seseorang. Maka setiap orang  dituntut  untuk  berusaha  sebaik-baiknya  dan   sesuai kemampuannya.  Sedangkan kekurangannya, hendaknya dia mohonkan ampun  dari  Allah,  karena  Dia  Maha  Pengampun  lagi   Maha Penyayang.   Pernyataan  bahwa  Allah  Maha  Pengampun  lagi Maha Penyayang --semoga-- mengandung arti bahwa  Allah  mengampuni  kesalahan mereka  yang  lalu  dalam  hal  berpakaian.  Karena  Dia  Maha Penyayang dan mengampuni pula  mereka  yang  tidak  sepenuhnya melaksanakan tuntunan-Nya dan tuntunan Nabi-Nya, selama mereka sadar akan kesalahan dan kekurangannya  serta  berusaha  untuk menyesuaikan diri dengan petunjuk-petunjuk-Nya.   Wa Allahu A'lam.[]   ---------------- WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Penerbit Mizan Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124 Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038 mailto:mizan@ibm.net


--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125

Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63

Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
  Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
  Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
     Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

No comments:

Post a Comment