From: "Satriyo"
Sent: Monday, December 28, 2009 3:25 PM
---------- Forwarded message ----------
From: Koran Digital <korandigital@gmail.com>
Date: 2009/12/28
Subject: [Koran-Digital] CALAK EDU - Illogical Numeric
To: Koran Digital <koran-digital@googlegroups.com>
SELAIN bahasa, matematika adalah bidang studi yang bisa memberikan gambaran
seberapa besar daya jelajah logika yang dimiliki seorang siswa. Jika
kemampuan membaca dan berbicara seorang siswa baik, sangat mungkin logikanya
berfungsi dengan baik, apalagi bila dibarengi dengan kemampuannya untuk
menulis. Begitu juga dengan matematika. Selain berisi rumus dan angka yang
membuat logika bekerja, kemampuan matematis siswa juga akan berakibat
munculnya kemampuan untuk memecahkan masalah (problem solving) secara logis.
Pendek kata, jika ingin mengukur kemampuan logika seorang siswa, logika
berbahasa dan logika matematis adalah tuntutannya.
Tapi bagaimana sebenarnya cara kita mengajarkan logika matematis dan bahasa
di kehidupan nyata? Ada beberapa logika matematis dan bahasa yang tidak
logis dan diterima sebagai kebenaran serta berlaku umum. Beberapa cerita dan
fakta berikut adalah contohnya.
Syamsuardi, anak kelas tiga SMA Sukma yang tidak lulus ujian nasional tahun
lalu, bercerita tentang pengalaman diajak gurunya tidur di hotel. Mendapat
kamar terpisah dari gurunya, dia dan seorang temannya ternyata tak dapat
tidur nyenyak karena hotel begitu panas. Padahal, hotel tersebut seharusnya
sejuk karena dilengkapi dengan AC. Pagi harinya dia bercerita kepada gurunya
bahwa dia tak bisa tidur karena panas. Ketika penyejuk ruangan dicek,
ternyata remote control AC terpasang pada posisi 30 derajat celsius. "Kenapa
kamu pasang pada posisi 30º? Pantas saja AC-nya jadi tidak dingin." Dengan
enteng Syamsuardi menjawab, "Bukankah kalau semakin tinggi angkanya berarti
akan semakin dingin AC-nya, Bu?" "Buktinya, kalau semakin tinggi sebuah
tempat, dia akan semakin dingin, bukan?" Logika numerik yang tidak logis
juga berlaku di sekolah kita. Semakin pintar seorang anak, maka rangkingnya
adalah rangking 1 (satu), bukan 2, 3 dan seterusnya. Padahal, ketika
penilaian diberikan oleh para guru, semakin tinggi angkanya, itu berarti
nilai seorang siswa terhadap mata pelajaran yang dikuasainya semakin tinggi.
Bahkan dalam pengalaman belajar Edu di tahun 70-an, nilai di bawah 5,
seperti 4, 3, 2, dan 1, pasti akan ditulis dengan tinta berwarna merah.
Tidakkah evaluasi belajar kita juga mempertimbangkan penggunaan penilaian
afektif dan kualitatif agar kondisi logika dan psikologis anak dapat
terjaga? Cara sekolah-sekolah memberi penilaian di negara yang sudah maju
dilakukan dengan menuliskan kalimat sangat memuaskan (very satisfied),
memuaskan (satisfied), dan wajar (performed). Pendekatan ini jauh lebih
memberikan apresiasi kepada bakat dan minat siswa, ketimbang nilai angka
yang terkadang menyesakkan.
Keganjilan penggunaan angka yang tidak logis juga terjadi di sekitar
penilaian sebuah produk. Kecap nomor satu, daging nomor satu, sayuran
kualitas satu, hingga keramik kualitas satu. Tetapi mengapa hotel berbintang
memilih angka 5 atau bahkan sekarang ada hotel dengan kualitas bintang 6,
sebagai yang terbaik? Hotel bintang satu kurang diminati orang, apalagi
kelas melati. Bandingkan dengan ruang-ruang kamar di rumah sakit, kelas VIP
paling mahal dan pelayanannya pasti berkualitas. Selanjutnya secara
berurutan adalah kamar kelas 1, kelas 2, kelas 3, kelas 4, dan kelas
bangsal. Semakin ke atas, semakin jelek pelayanannya atau semakin rendah
nilainya.
Logika bahasa dan matematis apa sesungguhnya yang sedang kita ajarkan di
ruang-ruang kelas sekolah kita? Jelas sekali bahwa orientasi kognitif dunia
pendidikan kita sedang kurang sehat. Fakta dan aspek-aspek evaluatif di atas
jelas sekali memberikan kesimpulan bahwa kita kurang memperhatikan aspek
afektif dan psikomotorik siswa dalam proses belajar mengajar. Mengajarkan
aspek kognitif saja penuh dengan kesalahan, apalagi menimbang aspek afektif
dan psikomotorik siswa sebagai bahan pertimbangan untuk menilai siswa.
Dalam buku-buku teks tentang sosiologi pendidikan, ada teori sosial yang
diterima secara umum, yaitu semakin tinggi tingkat pendidikan sebuah
masyarakat, maka akan tinggi kepedulian sosialnya. Sebaliknya, semakin
rendah tingkat pendidikan masyarakat, semakin rendah pula kepedulian sosial
masyarakat. Tetapi, bagaimana logika umum dan fakta yang ada sekarang? Koin
Peduli Prita adalah salah satu indikator, apakah teori tersebut masih bisa
kita pegang secara logis atau tidak. Kesalahankesalahan premis dalam logika
matematis dan logika bahasa di dunia pendidikan kita memang harus terus
dibenahi; dievaluasi dan dipantau secara kritis secara terus-menerus.
--
Groups "Koran Digital"
- One Touch News-
To post to this group : koran-digital@googlegroups.com
To unsubscribe from this group : koran-digital-unsubscribe@googlegroups.com
"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius
Syrus
Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONLINER
- POTONG EKOR EMAIL
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator
Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda.
- Berdiskusilah dengan baik dan bijak.
--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
No comments:
Post a Comment