Wednesday, December 2, 2009

[Milis_Iqra] Re: Terjemahan al-kitabkah yang direvisi? [to Rizal] : was Re: Sejarah Nabi Isa Al-Masih A.s

Sebagian besar umat Islam mempercayai bahwa Quran NGEGELUNDUNG DARI SURGA
dan sudah ada sebelum manusia diciptakan dan disisi Allah.

Dan tulisan ini saya dapatkan dari beberapa pakar Islam yaitu dari
beberapa orang intelektual Muslim dari UN.PARAMEDINA


Merenungkan Sejarah Alquran

Bulan Ramadhan adalah bulan Alquran dan sekaligus
merupakan bulan
puji-pujian terhadap kitab suci ini. Tanggal 17
Ramadhan dianggap
sebagai puncak dari ritual pengagung-agungan terhadap
Alquran, karena
pada tanggal inilah Alquran diyakini diturunkan oleh
Allah kepada
Nabi Muhammad. Di bulan yang suci ini, saya ingin
merenungkan sejarah
Alquran yang panjang, yang berproses, yang berjuang
dengan berbagai
tantangan zaman, hingga menjadi wujud dalam bentuknya
yang kita kenal

sekarang.

Pengkajian sejarah Alquran bukan hanya dimaksudkan
untuk mengungkap
dimensi-dimensi tersembunyi yang selama ini tak
terpikirkan oleh umat
Islam, tapi juga merupakan modal intelektual untuk
memahami kitab
suci yang hingga hari ini terus menjadi sumber
inspirasi hukum dan
moral kaum Muslim. Saya ingin berangkat dari sebuah
pijakan bahwa
kajian ilmiah tidaklah merusak akidah. Kajian ilmiah
juga tidak
bertentangan dengan semangat dasar Islam yang
mendukung kebenaran dan
menjunjung tinggi kebebasan.

* * *

Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa Alquran dari
halaman
pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang
diturunkan
kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik
kata-katanya (lafdhan)
maupun maknanya (ma'nan). Kaum Muslim juga meyakini
bahwa Alquran
yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis
seperti yang ada
pada masa Nabi
lebih dari seribu empat ratus tahun
silam.

Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan
formulasi dan
angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat
oleh para ulama
sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam.
Hakikat dan
sejarah penulisan Alquran sendiri sesungguhnya penuh
dengan berbagai
nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari
perdebatan,
pertentangan, intrik, dan rekayasa.

Alquran dalam bentuknya yang kita kenal sekarang
sebetulnya adalah
sebuah inovasi yang usianya tak lebih dari 79 tahun.
Usia ini
didasarkan pada upaya pertama kali kitab suci ini
dicetak dengan
percetakan modern dan menggunakan standar Edisi Mesir
pada tahun
1924. Sebelum itu, Alquran ditulis dalam beragam
bentuk tulisan
tangan (rasm) dengan teknik penandaan bacaan
(diacritical marks) dan
otografi yang bervariasi.

Hadirnya mesin cetak dan teknik
penandaan bukan saja
membuat Alquran
menjadi lebih mudah dibaca dan dipelajari, tapi juga
telah membakukan
beragam versi Alquran yang sebelumnya beredar menjadi
satu standar
bacaan resmi seperti yang kita kenal sekarang.

Pencetakan Edisi Mesir itu bukanlah yang pertamakali
dalam upaya
standarisasi versi-versi Alquran. Sebelumnya, para
khalifah dan
penguasa Muslim juga turun-tangan melakukan hal yang
sama, kerap
didorong oleh keinginan untuk menyelesaikan
konflik-konflik bacaan
yang muncul akibat beragamanya versi Alquran yang
beredar.

Tapi pencetakan tahun 1924 itu adalah ikhtiyar yang
luar biasa,
karena upaya ini merupakan yang paling berhasil dalam
sejarah
kodifikasi dan pembakuan Alquran sepanjang masa.
Terbukti kemudian,
Alquran Edisi Mesir itu merupakan versi Alquran yang
paling banyak
beredar dan digunakan oleh kaum Muslim.

Keberhasilan
penyebarluasan Alquran Edisi Mesir tak
terlepas dari
unsur kekuasaan. Seperti juga pada masa-masa
sebelumnya, kodifikasi
dan standarisasi Alquran adalah karya institusi yang
didukung oleh --
dan menjadi bagian dari proyek-- penguasa politik.
Alasannya
sederhana, sebagai proyek amal (non-profit), publikasi
dan penyebaran
Alquran tak akan efektif jika tidak didukung oleh
lembaga yang
memiliki dana yang besar.

Apa yang telah dilakukan oleh pemerintah Saudi Arabia
mencetak
ratusan ribu kopi Alquran sejak tahun 1970-an
merupakan bagian dari
proyek amal yang sekaligus juga merupakan upaya
penyuksesan
standarisasi kitab suci. Kendati tidak seperti Uthman
bin Affan yang
secara terang-terangan memerintahkan membakar seluruh
versi (mushaf)
Alquran yang bukan miliknya (kendati tidak benar-benar
berhasil),
tindakan penguasa Saudi membanjiri pasar Alquran hanya
dengan satu

edisi, menutupi dan perlahan-lahan menyisihkan edisi
lain yang diam-
diam masih beredar (khususnya di wilayah Maroko dan
sekitarnya).

Agaknya, tak lama lagi, di dunia ini hanya ada satu
versi Alquran,
yakni versi yang kita kenal sekarang ini. Dan jika ini
benar-benar
terwujud (entah kapan), maka itulah pertama kali kaum
Muslim (baru)
boleh mendeklarasikan bahwa mereka memiliki satu
Alquran yang utuh
dan seragam.

Edisi Mesir adalah salah satu dari ratusan versi
bacaan Alquran
(qiraat) yang beredar sepanjang sejarah perkembangan
kitab suci ini.
Edisi itu sendiri merupakan satu versi dari tiga versi
bacaan yang
bertahan hingga zaman modern. Yakni masing-masing,
versi Warsh dari
Nafi yang banyak beredar di Madinah, versi Hafs dari
Asim yang banyak
beredar di Kufah, dan versi al-Duri dari Abu Amr yang
banyak beredar
di Basrah. Edisi Mesir adalah edisi yang
menggunakan
versi Hafs dari
Asim.

Versi bacaan (qiraat) adalah satu jenis pembacaan
Alquran. Versi ini
muncul pada awal-awal sejarah Islam (abad pertama
hingga ketiga)
akibat dari beragamnya cara membaca dan memahami
mushaf yang beredar
pada masa itu. Mushaf adalah istilah lain dari
Alquran, yakni
himpunan atau kumpulan ayat-ayat Allah yang ditulis
dan dibukukan.

Sebelum Uthman bin Affan (w. 35 H), khalifah ketiga,
memerintahkan
satu standarisasi Alquran yang kemudian dikenal dengan
"Mushaf
Uthmani," pada masa itu telah beredar puluhan --kalau
bukan ratusan--
mushaf yang dinisbatkan kepada para sahabat Nabi.
Beberapa sahabat
Nabi memiliki mushafnya sendiri-sendiri yang berbeda
satu sama lain,
baik dalam hal bacaan, susunan ayat dan surah, maupun
jumlah ayat dan
surah.

Ibn Mas'ud, seorang sahabat dekat Nabi, misalnya,
memiliki mushaf
Alquran yang
tidak menyertakan surah al-Fatihah (surah
pertama).
Bahkan menurut Ibn Nadiem (w. 380 H), pengarang kitab
al-Fihrist,
mushaf Ibn Mas'ud tidak menyertakan surah 113 dan 114.
Susunan
surahnyapun berbeda dari Alquran yang ada sekarang.
Misalnya, surah
keenam bukanlah surah al-An'am, tapi surah Yunus.

Ibn Mas'ud bukanlah seorang diri yang tidak
menyertakan al-Fatihah
sebagai bagian dari Alqur'an. Sahabat lain yang
menganggap
surah "penting" itu bukan bagian dari Alquran adalah
Ali bin Abi
Thalib yang juga tidak memasukkan surah 13, 34, 66,
dan 96. Hal ini
memancing perdebatan di kalangan para ulama apakah
al-Fatihah
merupakan bagian dari Alquran atau ia hanya merupakan
"kata
pengantar" saja yang esensinya bukanlah bagian dari
kitab suci.

Salah seorang ulama besar yang menganggap al-Fatihah
bukan sebagai
bagian dari Alquran adalah Abu Bakr al-Asamm (w. 313
H).
Dia dan
ulama lainnya yang mendukung pandangan ini berargumen
bahwa
al-Fatihah hanyalah "ungkapan liturgis" untuk memulai
bacaan
Alqur'an. Ini merupakan tradisi populer masyarakat
Mediterania pada
masa awal-awal Islam. Sebuah hadis Nabi mendukung
fakta ini: "siapa
saja yang tidak memulai sesuatu dengan bacaan
alhamdulillah [dalam
hadis lain bismillah] maka pekerjaannya menjadi
sia-sia."

Perbedaan antara mushaf Uthman dengan mushaf-mushaf
lainnya bisa
dilihat dari komplain Aisyah, isteri Nabi, yang
dikutip oleh
Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitabnya, al-Itqan, dalam
kata-kata
berikut: "pada masa Nabi, surah al-Ahzab berjumlah 200
ayat. Setelah
Uthman melakukan kodifikasi, jumlahnya menjadi seperti
sekarang
[yakni 73 ayat]." Pandangan Aisyah juga didukung oleh
Ubay bin Ka'b,
sahabat Nabi yang lain, yang di dalam mushafnya ada
dua surah yang
tak dijumpai dalam
mushaf Uthman, yakni surah al-Khal'
dan al-Hafd.

Setelah Uthman melakukan kodifikasi dan standarisasi,
ia
memerintahkan agar seluruh mushaf kecuali mushafnya
(Mushaf Uthmani)
dibakar dan dimusnahkan. Sebagian besar mushaf yang
ada memang
berhasil dimusnahkan, tapi sebagian lainnya selamat.
Salah satunya,
seperti kerap dirujuk buku-buku `ulum al-Qur'an,
adalah mushaf
Hafsah, salah seorang isteri Nabi, yang baru
dimusnahkan pada masa
pemerintahan Marwan ibn Hakam (w. 65 H) beberapa puluh
tahun kemudian.

Sebetulnya, kendati mushaf-mushaf para sahabat itu
secara fisik
dibakar dan dimusnahkan, keberadaannya tidak bisa
dimusnahkan dari
memori mereka atau para pengikut mereka, karena
Alquran pada saat
itu lebih banyak dihafal ketimbang dibaca. Inilah yang
menjelaskan
maraknya versi bacaan yang beredar pasca-kodifikasi
Uthman. Buku-buku
tentang varian-varian bacaan
(kitab al-masahif) yang
muncul pada awal-awal abad kedua dan ketiga hijriah,
adalah bukti tak
terbantahkan dari masih beredarnya mushaf-mushaf
klasik itu. Dari
karya mereka inilah, mushaf-mushaf sahabat yang sudah
dimusnahkan
hidup kembali dalam bentuk fisik (teks tertulis).

Sejarah penulisan Alqur'an mencatat nama-nama Ibn Amir
(w. 118 H), al-
Kisai (w. 189 H), al-Baghdadi (w. 207 H); Ibn Hisyam
(w. 229 H), Abi
Hatim (w. 248 H), al-Asfahani (w. 253 H) dan Ibn Abi
Daud (w.
316 H) sebagai pengarang-pengarang yang menghidupkan
mushaf-mushaf
klasik dalam karya masahif mereka (umumnya diberijudul
kitab al-
masahif atau ikhtilaf al-masahif). Ibn Abi Daud
berhasil
mengumpulkan 10 mushaf sahabat Nabi dan 11 mushaf para
pengikut
(tabi'in) sahabat Nabi.

Munculnya kembali mushaf-mushaf itu juga didorong oleh
kenyataan
bahwa mushaf Uthman yang disebarluaskan ke
berbagai
kota Islam tidak
sepenuhnya lengkap dengan tanda baca, sehingga bagi
orang yang tidak
pernah mendengar bunyi sebuah kata dalam Alquran, dia
harus merujuk
kepada otoritas yang bisa melafalkannya. Dan tidak
sedikit dari
pemegang otoritas itu adalah para pewaris varian
bacaan non-Uthmani.

Otoritas bacaan bukanlah satu-satunya sumber yang
menyebabkan
banyaknya varian bacaan. Jika otoritas tidak dijumpai,
kaum Muslim
pada saat itu umumnya melakukan pilihan sendiri
berdasarkan kaedah
bahasa dan kecenderungan pemahamannya terhadap makna
sebuah teks.
Dari sinilah kemudian muncul beragam bacaan yang
berbeda akibat
absennya titik dan harakat (scripta defectiva).
Misalnya bentuk
present (mudhari') dari kata a-l-m bisa dibaca
yu'allimu, tu'allimu,
atau nu'allimu atau juga menjadi na'lamu, ta'lamu atau
bi'ilmi.

Yang lebih musykil adalah perbedaan kosakata
akibat
pemahaman makna,
dan bukan hanya persoalan absennya titik dan harakat.
Misalnya,
mushaf Ibn Mas'ud berulangkali menggunakan kata
"arsyidna"
ketimbang "ihdina" (keduanya berarti "tunjuki kami")
yang biasa
didapati dalam mushaf Uthmani. Begitu juga, "man"
sebagai
ganti "alladhi" (keduanya berarti "siapa"). Daftar ini
bisa
diperpanjang dengan kata dan arti yang berbeda,
seperti "al-talaq"
menjadi "al-sarah" (Ibn Abbas), "fas'au" menjadi
"famdhu" (Ibn
Mas'ud), "linuhyiya" menjadi "linunsyira" (Talhah),
dan sebagainya.

Untuk mengatasi varian-varian bacaan yang semakin
liar, pada tahun
322 H, Khalifah Abbasiyah lewat dua orang menterinya
Ibn Isa dan Ibn
Muqlah, memerintahkan Ibn Mujahid (w. 324 H) melakukan
penertiban.
Setelah membanding-bandingkan semua mushaf yang ada di
tangannya, Ibn
Mujahid memilih tujuh varian bacaan dari para qurra
ternama, yakni

Nafi (Madinah), Ibn Kathir (Mekah), Ibn Amir (Syam),
Abu Amr
(Bashrah), Asim, Hamzah, dan Kisai (ketiganya dari
Kufah).
Tindakannya ini berdasarkan hadis Nabi yang mengatakan
bahwa "Alquran
diturunkan dalam tujuh huruf."

Tapi, sebagian ulama menolak pilihan Ibn Mujahid dan
menganggapnya
telah semena-mena mengesampingkan varian-varian lain
yang dianggap
lebih sahih. Nuansa politik dan persaingan antara
ulama pada saat itu
memang sangat kental. Ini tercermin seperti dalam
kasus Ibn Miqsam
dan Ibn Shanabudh yang pandangan-pandangannya
dikesampingkan Ibn
Mujahid karena adanya rivalitas di antara mereka,
khususnya antara
Ibn Mujahid dan Ibn Shanabudh.

Bagaimanapun, reaksi ulama tidak banyak punya
pengaruh. Sejarah
membuktikan pandangan Ibn Mujahid yang didukung
penguasa itulah yang
kini diterima orang banyak (atau dengan sedikit
modifikasi menjadi
10 atau
14 varian). Alquran yang ada di tangan kita
sekarang adalah
salah satu varian dari apa yang dipilihkan oleh
Mujahid lewat tangan
kekuasaan. Yakni varian bacaan Asim lewat Hafs.
Sementara itu,
varian-varian lain, tak tentu nasibnya. Jika
beruntung, ia dapat
dijumpai dalam buku-buku studi Alquran yang sirkulasi
dan pengaruhnya
sangat terbatas.

***

Apa yang bisa dipetik dari perkembangan sejarah
Alquran yang saya
paparkan secara singkat di atas? Para ulama, khususnya
yang
konservatif, merasa khawatir jika fakta sejarah
semacam itu dibiarkan
diketahui secara bebas. Mereka bahkan berusaha
menutup-nutupi dan
mengaburkan sejarah, atau dengan memberikan
apologi-apologi yang
sebetulnya tidak menyelesaikan masalah, tapi justru
membuat
permasalahan baru.

Misalnya, dengan menafsirkan hadis Nabi "Alquran
diturunkan dalam
tujuh huruf" dengan cara menafsirkan
"huruf" sebagai
bahasa, dialek,
bacaan, prononsiasi, dan seterusnya yang
ujung-ujungnya tidak
menjelaskan apa-apa. Saya sependapat dengan beberapa
sarjana Muslim
modern yang mengatakan bahwa kemungkinan besar hadis
itu adalah
rekayasa para ulama belakangan untuk menjelaskan
rumitnya
varian-varian dalam Alquran yang beredar. Tapi,
alih-alih
menjelaskan, ia malah justru mengaburkan.

Mengaburkan karena jumlah huruf (bahasa, dialek,
bacaan,
prononsiasi), lebih dari tujuh. Kalau dikatakan bahwa
angka tujuh
hanyalah simbol saja untuk menunjukkan "banyak," ini
lebih parah
lagi, karena menyangkut kredibilitas Tuhan dalam
menyampaikan ayat-
ayatnya.

Apakah kita mau mengatakan bahwa setiap varian bacaan,
baik yang
berbeda kosakata dan pengucapan (akibat dari jenis
penulisan dan
tatabahasa) merupakan kata-kata Tuhan secara verbatim
(apa adanya)?
Jika tidak
terkesan rewel dan simplistis, pandangan
ini jelas tak
bertanggungjawab, karena ia mengabaikan fakta kaum
Muslim pada awal-
awal sejarah Islam yang sangat dinamis.

Lalu, bagaimana dengan keyakinan bahwa Alquran dari
surah al-Fatihah
hingga al-Nas adalah kalamullah (kata-kata Allah) yang
diturunkan
kepada Nabi baik kata dan maknanya (lafdhan wa
ma'nan)? Seperti saya
katakan di atas, keyakinan semacam ini hanyalah
formula teologis yang
diciptakan oleh para ulama belakangan. Ia merupakan
bagian dari
proses panjang pembentukan ortodoksi Islam.

Saya cenderung meyakini bahwa Alquran pada dasarnya
adalah kalamullah
yang diwahyukan kepada Nabi tapi kemudian mengalami
berbagai
proses "copy-editing" oleh para sahabat, tabi'in, ahli
bacaan, qurra,
otografi, mesin cetak, dan kekuasaan. Proses-proses
ini pada dasarnya
adalah manusiawi belaka dan merupakan bagian
dari
ikhtiyar kaum
Muslim untuk menyikapi khazanah spiritual yang mereka
miliki.

Saya kira, varian-varian dan perbedaan bacaan yang
sangat marak pada
masa-masa awal Islam lebih tepat dimaknai sebagai
upaya kaum Muslim
untuk membebaskan makna dari kungkungan kata,
ketimbang
mengatribusikannya secara simplistis kepada Tuhan.
Seperti dikatakan
seorang filsuf kontemporer Perancis, teks --dan
apalagi teks-teks
suci-- selalu bersifat "repressive, violent, and
authoritarian."
Satu-satunya cara menyelamatkannya adalah dengan
membebaskannya.

Generasi awal-awal Islam telah melakukan pembebasan
itu, dengan
menciptakan varian-varian bacaan yang sangat kreatif.
Jika ada
pelajaran yang bisa diambil dari sejarah pembentukan
Alquran, saya
kira, semangat pembebasan terhadap teks itulah yang
patut ditiru,
tentu saja dengan melakukan kreatifitas-kreatifitas
baru dalam
bentuk
yang lain.


--- On Tue, 1/12/09, rizal lingga <nyomet123@yahoo.com> wrote:

From: rizal lingga <nyomet123@yahoo.com>
Subject: [Milis_Iqra] Re: Terjemahan al-kitabkah yang direvisi? [to Rizal] : was Re: Sejarah Nabi Isa Al-Masih A.s
To: milis_iqra@googlegroups.com
Date: Tuesday, 1 December, 2009, 18:04

Tolong berikan mana ayat-ayat yang kamu maksud. Tapi
tolong jelaskan makna kata KONTRADIKSI seperti yang kamu maksud. Terima kasih.

--- On Thu, 11/26/09, bambang widodo <bmwidodo@yahoo.com> wrote:

From: bambang widodo <bmwidodo@yahoo.com>
Subject: [Milis_Iqra] Re: Terjemahan al-kitabkah yang direvisi? [to Rizal] : was Re: Sejarah Nabi Isa Al-Masih A.s
To: milis_iqra@googlegroups.com
Date: Thursday, November 26, 2009, 3:51 PM

kok ya masih dipake juga tuh
ayat2 yang banyak kontradiksinya pak.
From: rizal lingga <nyomet123@yahoo.com>
To: milis_iqra@googlegroups.com
Sent: Sat, November 14, 2009 3:19:31 PM
Subject: [Milis_Iqra] Re: Terjemahan al-kitabkah yang direvisi? [to Rizal] : was Re: Sejarah Nabi Isa Al-Masih A.s

Maaf saya tidak
bisa menuliskan huruf aslinya, jadi saya latinkan saja Markus 9:29 itu.dari Perjanjian baru Interlinear Jilid I , penerbit LAI tahun 2004, hlm 236

Kai einen autois (lalu Ia berkata kepada mereka) touto to genos (ini - jenis) en oudeni dunatai ( {tiada cara} - dapat ) exelthein ei un en proseukhe (mengeluarkan{nya} kecuali dengan doa .
Demikianlah Arman, kalimat aslinya.


--- On
Sat, 11/14/09, Armansyah <armansyah.skom@gmail.com>
wrote:

From: Armansyah <armansyah.skom@gmail.com>
Subject: [Milis_Iqra] Re: Terjemahan al-kitabkah yang direvisi? [to Rizal] : was Re: Sejarah Nabi Isa Al-Masih A.s
To: milis_iqra@googlegroups.com
Date: Saturday, November 14, 2009, 8:45 AM

My Friend, jawaban anda pada Sdr. Heriyadi masih ada korelasinya dengan pertanyaan saya pada posting khusus yang anda jawab agar saya sabar menunggu dengan tenang jawabannya. Praktis bahwa jawaban anda pada Sdr. Heriyadi sama sekali belum menjawab apapun karena saya meminta jawaban anda secara ilmiah dan jujur sehingga segala sesuatunya bisa kita pertanggung jawabkan.

2009/11/13 rizal lingga <nyomet123@yahoo.com>


Naskah aslinya tetap mengatakan hal yang sama, bahwa berdoa itu penting. Dalam terjemahan, cara mengatakannya yang berbeda. Sekali lagi, tak ada revisi doktriner dalam naskah aslinya, yang ada hanyalah beberapa versi kalimat yang mengatakan hal yang sama dengan cara yang berbeda.


--- On Thu, 7/16/09, Heriyadi Heriyadi <Heriyadi.Heriyadi@id.flextronics.com> wrote:


From: Heriyadi Heriyadi <Heriyadi.Heriyadi@id.flextronics.com>
Subject: [Milis_Iqra] Re: Terjemahan al-kitabkah yang direvisi? [to Rizal] : was Re: Sejarah Nabi Isa Al-Masih A.s

To: Milis_Iqra@googlegroups.com
Date: Thursday, July 16, 2009, 7:57 AM


Kalau begitu bung Rizal, naskah aslinya
mengatakan seperti apa?

From:
Milis_Iqra@googlegroups.com [mailto:
Milis_Iqra@googlegroups.com ] On Behalf Of rizal lingga

Sent: Wednesday, July 15, 2009
7:30 PM

To: Milis_Iqra@googlegroups.com

Subject: [Milis_Iqra] Re:
Terjemahan al-kitabkah yang direvisi? [to Rizal] : was Re: Sejarah Nabi Isa
Al-Masih A.s




Sdr Armansyah,

Anda tahu bahwa setiap penterjemahan tidak bisa tidak akan masuk kedalam
penafsiran makna. Dan setiap version Bible masa kini mempunyai misi dan
tujuannya masing-masing, dan karena itu cara redaksi penterjemah akan saling
berbeda dalam mengartikan suatu kata atau kalimat. Maka yang terbaik
tetaplah: BACA NASKAH ASLINYA.

Yang dibawah komentar anda, yang penting adalah bahwa BERDOA itu PENTING,
bagaimanapun cara penterjemah mengatakan menurut versi mereka masing-masing.
Perbezaan itu adalah dalam cara mengatakan dan mengartikan, namun bukanlah
dari segi perbezaan doktriner, seperti misalnya ada perubahan dalam
pemberitaan kebangkitan Kristus dari kematian. Dalam hal ini semua versi
mengatakan hal yang sama, bagaimana berbedanya cara mereka membahasakannya.

Yang pasti, tak ada versi yang mengatakan bahwa Yudas diubah jadi seperti
Yesus, seperti yang banyak dari kalian menyakininya. Tak ada versi yang
mengatakan bahwa Parakletos (Holy Spirit) itu adalah Ahmad. Dahn tak ada
versi yang mengatakan bahwa Yesus itu sholat, seperti yang Injil Barnabas
mengatakannya.

--- On Sun, 7/12/09, Armansyah <armansyah.skom@gmail.com>
wrote:

From: Armansyah <armansyah.skom@gmail.com>

Subject: [Milis_Iqra] Terjemahan al-kitabkah yang direvisi? [to Rizal] : was
Re: Sejarah Nabi Isa Al-Masih A.s

To: " Milis_Iqra@googlegroups.com "
<milis_iqra@googlegroups.com>

Date: Sunday, July 12, 2009, 11:02 PM

From:Milis_Iqra@googlegroups.com
[mailto: Milis_Iqra@googlegroups.com
] On Behalf Of rizal lingga

Sent: Tuesday, June 30, 2009 5:40 PM

To: Milis_Iqra@googlegroups.com

Subject: [Milis_Iqra] Re: Sejarah Nabi Isa Al-Masih A.s
Yang
direvisi adalah TERJEMAHANNYA, BUKAN BAHASA ASLINYA. Hal ini disebabkan oleh
karena bahasa manusia itu berkembang dinamis, sesudah 50 tahun, banyak kosa
kata baru masuk dan kebalikannya banyak kosa kata lama tak dipakai lagi.

Test:

Kamu tahu artinya ARAKIAN? ini bahasa Indonesia lama.

Bahwasanya. Gelojoh. Berhobat/Hobatan. Pakal.

Ini sebagai contoh. Istilah2 ini dipakai di Alkitab
terjemahan lama, dan karena kata2 tersebut sudah usang, maka Alkitab
terjemahan baru diterbitkan tahun 1975.

yang direvisi adalah terjemahannya. Paham?









Arman :

Rizal, sekali lagi maaf menyela pembicaraan anda ...

Saya tertarik untuk menanyakan kasus terjemahan berikut ini ... bagaimana
menurut anda ?

Injil karangan Markus pasal 9 ayat 29 yang bisa anda semua cek pula dari
software e-Sword ( http://www.e-sword.net
), perhatikan yang saya beri tanda garis bawah dan tanda merah :




(ASV)

And he said unto them, This kind can come out by nothing, save by prayer.



(BBE)

And he said to them, Nothing will make this sort come out but prayer.



(DRB)

And he said to them: This kind can
go out by nothing, but by prayer and fasting.

(ITB)

Jawab-nya kepada mereka: "Jenis ini tidak dapat
diusir kecuali
dengan berdoa."

(KJV+) And2532 he said2036 unto them,846 This5124
kind1085 can1410 come forth1831 by1722 nothing,3762 but1508 by1722 prayer4335
and2532 fasting.3521


(KJVA) And he said unto them, This kind can come forth by
nothing, but by prayer and fasting.


(SVD) فَقَالَ لَهُمْ: «هَذَا الْجِنْسُ
لاَ يُمْكِنُ أَنْ يَخْرُجَ بِشَيْءٍ إلاَّ بِالصَّلاَةِ
وَالصَّوْمِ».






(The Scriptures '98) And He said to them, "It is
impossible for this kind to come out except through prayer and fasting."






Tampak disana, beberapa terjemahan menyebutkan berdoa saja
(prayer) tetapi dibeberapa terjemahan lain ada penambahan prayer and fasting
atau berdoa dan berpuasa atau dalam kitab berbahasa Arabnya ditulis
"Bissholati Wassaumi".; Perbedaan ini pasti salah satunya ada yang dikurangi atau
salah satunya pasti ada yang ditambahkan !!!





Perbedaan ini mungkin dianggap enteng oleh sejumlah
kalangan, tetapi harus di-ingat, berpuasa dan berdoa adalah hal yang berbeda
( dua syariat atau dua ajaran yang berbeda ) sehingga klaim bahwa ayat
alkitab tidak pernah terdistorsi ajarannya buat saya sama sekali bohong
besar, fakta yang bisa diakses oleh semua orang justru mengatakan sebaliknya.

Apakah ini cuma berbeda dalam penterjemahan ataukah pendistorsian terjemahan
?














Silahkan.,










--

Salamun 'ala manittaba al Huda

ARMANSYAH




Legal Disclaimer:
The information contained in this message may be privileged and confidential. It is intended to be read only by the individual or entity to whom it is addressed or by their designee. If the reader of this message is not the intended recipient, you are on notice that any distribution of this message, in any form, is strictly prohibited. If you have received this message in error, please immediately notify the sender and delete or destroy any copy of this message




--
Salamun 'ala manittaba al Huda

ARMANSYAH


--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125

Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63

Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

No comments:

Post a Comment