Mengapa Pembunuhan Marak di Negeri Ini?
Rabu, 12/08/2009
Kasus pembunuhan masih menjadi kejahatan yang paling sering terdengar
di negeri ini. Bahkan, belakangan pembunuhan telah mengalami
improvisasi berupa mutilasi. Tak jarang pula pembunuhan itu disertai
perampokan, dan terkadang di'bumbui' pemerkosaan. Sudah begitu banyak
pembunuhan terjadi di negeri ini dengan berbagai latar belakang,
sehingga bisa dikatakan setiap hari ada saja nyawa melayang karena
penganiayaan oleh sesama manusia.
Berbagai factor jadi pemicunya, ada yang dibunuh oleh pembunuh
bayaran, ada yang dirampok oleh mantan pembantunya, ada pula karena
cinta ditolak pisau bertindak. Tapi muaranya satu, bahwa pembunuhan
sangat gampang dilakukan dan banyak orang merasa pembunuhan adalah
jalan paling aman menuntaskan sakit hati.
Di negeri yang menggunakan hukum manusia seperti Indonesia ini, hukum
sangat terasa tidak berpihak kepada korban atau keluarganya. Mereka
harus menanggung kesedihan karena ditinggal mati sanak saudara, yang
bisa jadi adalah tulang punggung ekonomi keluarga. Sementara pelaku,
sudah aman tak bisa diganggu oleh siapapun, terutama keluarga korban
yang mungkin ingin membalas dendam, sambil menunggu ketok palu hakim.
Dalam KUHP sebenarnya sebuah pembunuhan bisa saja dikenai hukuman
mati. Tapi sistem hukuman yang berlaku dalam undang-undang yang
dipakai di Indonesia ini menyatakan bahwa hukuman yang disebut dalam
diktum UU adalah hukuman maksimal. Artinya, seorang hakim bisa saja
menjatuhkan hukuman yang lebih ringan berdasarkan berbagai
pertimbangan.
Akibatnya, tak jarang kasus pembunuhan disertai perampokan atau
pemerkosaan hanya dijatuhi hukuman penjara. Ada yang seumur hidup, 20
tahun, 15 tahun, 10 tahun, 5 tahun, bahkan ada pula yang selesai
dengan selesainya masa penahanan.
Setelah menjalani hukuman penjara, narapidana juga akan mendapatkan
remisi setidaknya dua kali, yaitu pada setiap tanggal 17 Agustus dan
salah satu hari besar keagamaan narapidana bersangkutan, misalnya
kalau dia orang Islam maka dia akan mendapat remisi pada hari raya
Idul Fitri. Akhirnya, masa hukuman akan semakin pendek, karena tak
jarang remisi itu berjumlah cukup banyak misalnya saja 6 bulan
pemotongan masa hukuman. Tak heran kalau Tomi Suharto yang divonis 10
tahun penjara bisa bebas –kalau tidak salah- hanya dalam waktu lima
tahun sejak dia dimasukkan ke dalam kerangkeng.
Sementara keluarga korban hanya bisa pasrah dan bersabar, karena
memang tak ada pilihan lain. Tak ada ganti rugi materi dan non materi
yang bisa mereka dapatkan dari hukuman atas diri pelaku pembunuhan
keluarga mereka.
Bila kita hitung secara ekonomi hukuman penjara sebenarnya tidak
memberikan efek jera, malah merugikan keuangan negara. Hitunglah
berapa biaya akomodasi untuk setiap narapidana yang harus ditanggung
oleh negara. Katakan saja misalnya biaya makan seorang pembunuh plus
pemerkosa atau perampok ini adalah Rp.7500,- perhari, berarti untuk
hukuman selama lima tahun saja negara harus mengeluarkan uang sebesar
7500 x 365 x 5 = Rp.13.687.500,-. Itu belum termasuk biaya pemondokan
di penjara yang tentu saja memerlukan berbagai fasilitas seperti
listrik, air, perawatan dan lain-lain. Bagaimana kalau pembunuh yang
dipenjara itu ada puluhan ribu orang. Berarti angka di atas tinggal
ditambahkan empat nol di belakangnya sehingga mencapai angka ratusan
milyar.
Dengan demikian bisa jadi seorang ayah dari anak wanita yang telah
dibunuh plus diperkosa oleh pelaku memberi makan gratis untuk pembunuh
plus pemerkosa anaknya ini. Caranya adalah ketika dia membayarkan
pajak, bukankah salah satu penggunaan dana pajak adalah untuk
membiayai tanggungan negara termasuk masalah memberi makan narapidana.
Tapi memang inilah kenyataan, sehingga setiap orang yang merasa
beriman di negeri ini wajib memberi andil demi terciptanya hukum dan
undang-undang yang benar sesuai dengan petunjuk ilahi yang tertuang
dalam kitab suci. Paling tidak, semua kita sudah harus merasakan
ketidakadilan hukum buatan manusia dan mendesak untuk diberlakukannya
hukum buatan Tuhan. Sebab, Tuhanlah yang menciptakan manusia, sehingga
Dia pula yang maha tahu mana yang baik dan mana yang buruk untuk
manusia itu sendiri.
Andai yang berlaku hukum Islam maka yang paling diperhatikan dalam
kasus ini adalah keluarga korban. Hukuman bagi pembunuh diserahkan
kepada keluarga korban, bukan hakim. Mereka boleh memilih antara
melakukan qishash, menuntut diyat (ganti rugi materi) maksimal seharga
seratus ekor unta (mungkin sekitar satu milyar) untuk satu nyawa, atau
memaafkan begitu saja. Cukup adil bukan?!! Bukan, justru itulah
keadilan satu-satunya dan tak ada yang adil selain itu!!
Ini baik untuk keluarga korban, pelaku dan negara, karena tidak perlu
mengeluarkan biaya besar untuk memberi makan seorang penjahat. Secara
psikologis dipastikan hukum ini akan membawa efek jera, karena seorang
pembunuh dieksekusi di depan umum membuat orang lain berpikir seribu
kali bila ingin membunuh tanpa alasan yang benar.
Maha benar Allah yang telah berfirman, "Dan dalam qishaash itu ada
(jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal,
supaya kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 179).
Sangat ironis ketika setiap acara keagamaan terutama maulid dan Isra`
Mi'raj para pembesar negeri ini selalu berpidato, "Marilah kita
mengikuti teladan Rasulullah SAW", padahal ada teladan utama yang
mereka tinggalkan yaitu teladan dalam penerapan hukum. Di akhir acara
biasanya ada kiyai yang berdoa, "Ya Allah berikanlah kami bimbingan
untuk memimpin bangsa ini...bla...bla... dst." Bimbingan apa lagi yang
diminta, bukankah bimbingan Allah itu sudah tertuang semua dalam Al-
Qur`an dan Sunnah?!! Persoalannya, adakah kemauan para pemimpin negeri
ini menerapkan bimbingan Allah itu, salah satunya penerapan hukum
pidana dan perdata Islam?!!
Ketika Allah memberikan bimbingan itu kita malah membuangnya dan lebih
memilih pedoman hukum buatan Belanda. Seolah para pemimpin negeri ini
mengatakan, "Maaf ya Allah, bimbingan-Mu berupa penerapan hukum kami
tolak, karena kami punya hukum yang lebih baik, yaitu buatan Belanda
yang sesuai dengan kehidupan kami yang berbineka tunggal Ika. Silahkan
bawa bimbingan hukum ini kepada tempat agama ini berasal saja, yaitu
kepada orang-orang Wahhabi di Arab Saudi sana, mungkin mereka mau
menerima." Astaghfirullah!! Wa laa hawla walaa Quwwata illaa billaah!!
Menerapkan syariat di negeri ini memang tidak semudah membalikkan
telapak tangan. Tulisan ini hanyalah upaya sederhana mengajak setiap
orang yang mengaku beriman untuk berpikir betapa pentingnya penerapan
hukum Allah di negeri tercinta ini, tanpa memaki-maki atau
mengeluarkan kata-kata yang malah membuat orang makin takut dengan
dakwah Islam.
Paling tidak, semua kita mulai menyadari pada tingkat kesadaran yang
tinggi, lalu mensosialisasikannya kepada mereka yang belum sadar. Bila
semakin banyak orang yang sadar, insya Allah bisa dilaksanakan gerakan
sosial yang mengawal pelaksanaan hukum Allah ini secara pelan tapi
pasti.
Profil Singkat :
Anshari Taslim; Alumni Fakultas Syariah LIPIA lulusan tahun 2005;
Pengalaman organisasi : Aktifis Himpunan Mahasiswa Islam Antar Kampus
(HAMMAS) Indonesia 1998 - 2003e-mail dan facebook:
antas_borneo@yahoo.comweb; site : http://alponti.multiply.com
No comments:
Post a Comment