---------- Forwarded message ----------
From: Abu Abdillah <abdullah_abu@hotmail.com>
To: assunnah assunnah assunnah@yahoogroups.com
ANTARA ADAT DAN IBADAH
Oleh : Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari
http://www.almanhaj.or.id/content/2136/slash/0
Ini adalah sub kajian yang sangat penting yang membantah anggapan orang
yang dangkal akal dan ilmunya, jika bid'ah atau ibadah yang mereka buat
diingkari dan dikritik, sedang mereka mengira melakukan kebaikan, maka
mereka menjawab : "Demikian ini bid'ah ! Kalau begitu, mobil bid'ah,
listrik bid'ah, dan jam bid'ah!"
Sebagian orang yang memperoleh sedikit dari ilmu fiqih terkadang merasa
lebih pandai daripada ulama Ahli Sunnah dan orang-orang yang mengikuti
As-Sunnah dengan mengatakan kepada mereka sebagai pengingkaran atas
teguran mereka yang mengatakan bahwa amal yang baru yang dia lakukan
itu bid'ah seraya dia menyatakan bahwa "asal segala sesuatu adalah
diperbolehkan".
Ungkapan seperti itu tidak keluar dari mereka melainkan karena
kebodohannya tentang kaidah pembedaan antara adat dan ibadah.
Sesungguhnya kaidah terseubut berkisar pada dua hadits.
Pertama : Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Barangsiapa melakukan hal yang baru dalam urusan (agama)
kami ini yang tidak ada di dalamnya, maka amal itu tertolak".
Hadits ini telah disebutkan takhrij dan syarahnya secara panjang lebar.
Kedua : Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam peristiwa penyilangan serbuk sari kurma yang sangat masyhur.
"Artinya : Kamu lebih mengetahui tentang berbagai urusan duniamu"
Hadits ini terdapat dalam Shahih Muslim (1366) dimasukkan ke dalam bab
dengan judul : "Bab Wajib Mengikuti Perkataan Nabi Shallallahu Alaihi
Wa Sallam Dalam Masalah Syari'at Dan Yang Disebutkan Nabi Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam Tentang Kehidupan Dunia Berdasarkan Pendapat", dan
ini merupakan penyusunan bab yang sangat cermat
Atas dasar ini maka sesungguhnya penghalalan dan pengharaman, penentuan
syari'at, bentuk-bentuk ibadah dan penjelasan jumlah, cara dan
waktu-waktunya, serta meletakkan kaidah-kaidah umum dalam muamalah
adalah hanya hak Allah dan Rasul-Nya dan tidak ada hak bagi ulil amri
[1] di dalamnya. Sedangkan kita dan mereka dalam hal tersebut adalah
sama. Maka kita tidak boleh merujuk kepada mereka jika terjadi
perselisihan. Tetapi kita harus mengembalikan semua itu kepada Allah
dan Rasul-Nya.
Adapun tentang bentuk-bentuk urusan dunia maka mereka lebih mengetahui
daripada kita. Seperti para ahli pertanian lebih mengetahui tentang apa
yang lebih maslahat dalam mengembangkan pertanian. Maka jika mereka
mengeluarkan keputusan yang berkaitan dengan pertanian, umat wajib
mentaatinya dalam hal tersebut. Para ahli perdagangan ditaati dalam
hal-hal yang berkaitan dengan urusan perdagangan.
Sesungguhnya mengembalikan sesuatu kepada orang-orang yang berwenang
dalam kemaslahatan umum adalah seperti merujuk kepada dokter dalam
mengetahui makanan yang berbahaya untuk dihindari dan yang bermanfaat
darinya untuk dijadikan santapan. Ini tidak berarti bahwa dokter adalah
yang menghalalkan makanan yang manfaat atau mengharamkan makanan yang
mudharat. Tetapi sesungguhnya dokter hanya sebatas sebagai pembimbing
sedang yang menghalalkan dan mengharamkan adalah yang menentukan
syari'at (Allah dan Rsul-Nya), firmanNya.
"Artinya : Dan menghalalkan bagi mereka segala hal yang baik dan
mengharamkan bagi mereka segala hal yang buruk" [Al-Araf : 157] [2].
Dengan demikian anda mengetahui bahwa setiap bid'ah dalam agama adalah
sesat dan tertolak. Adapun bid'ah dalam masalah dunia maka tiada
larangan di dalamnya selama tidak bertentangan dengan landasan yang
telah ditetapkan dalam agama [3]. Jadi, Allah membolehkan anda membuat
apa yang anda mau dalam urusan dunia dan cara berproduksi yang anda
mau. Tetapi anda harus memperhatikan kaidah keadilan dan menangkal
bentuk-bentuk mafsadah serta mendatangkan bentuk-bentuk maslahat." [4]
Adapun kaidah dalam hal ini menurut ulama sebagaimana dikatakan Ibnu
Taimiyah [5] adalah : "Sesungguhnya amal-amal manusia terbagi kepada :
Pertama, ibadah yang mereka jadikan sebagai agama, yang bermanfaat bagi
mereka di akhirat atau bermanfaat di dunia dan akhirat. Kedua, adat
yang bermanfaat dalam kehidupan mereka. Adapun kaidah dalam hukum
adalah asal dalam bentuk-bentuk ibadah tidak disyari'atkan kecuali apa
yang telah disyariatkan Allah. Sedangkan hukum asal dalam adat [6]
adalah tidak dilarang kecuali apa yang dilarang Allah".
Dari keterangan diatas tampak dengan jelas bahwa tidak ada bid'ah dalam
masalah adat, produksi dan segala sarana kehidupan umum".
Hal tersebut sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Mahmud Syaltut dalam
kitabnya yang sangat bagus, Al-Bid'ah Asabbuha wa Madharruha (hal. 12
–dengan tahqiq saya), dan saya telah mengomentarinya sebagai berikut,
"Hal-hal tersebut tiada kaitannya dengan hakikat ibadah. Tetapi hal
tersebut harus diperhatikan dari sisi dasarnya, apakah dia bertentangan
dengan hukum-hukum syari'at ataukah masuk di dalamnya".
Di sini terdapat keterangan yang sangat cermat yang diisyaratkan oleh
Imam Syathibi dalam kajian yang panjang dalam Al-I'tisham (II/73-98)
yang pada bagian akhirnya disebutkan, "Sesungguhnya hal-hal yang
berkaitan dengan adat jika dilihat dari sisi adatnya, maka tidak ada
bid'ah di dalamnya. Tetapi jika adat dijadikan sebagai ibadah atau
diletakkan pada tempat ibadah maka ia menjadi bid'ah".
Dengan demikian maka "tidak setiap yang belum ada pada masa Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan juga belum ada pada masa Khulafa
Rasyidin dinamakan bid'ah. Sebab setiap ilmu yang baru dan bermanfaat
bagi manusia wajib dipelajari oleh sebagian kaum muslimin agar menjadi
kekuatan mereka dan dapat meningkatkan eksistensi umat Islam.
Sesungguhnya bid'ah adalah sesuatu yang baru dibuat oleh manusia dalam
bentuk-bentuk ibadah saja. Sedangkan yang bukan dalam masalah ibadah
dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syari'at maka bukan bid'ah
sama sekali" [7]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Qawa'id An-Nuraniyah Al-Fiqhiyah
(hal. 22) berkata, " Adapun adat adalah sesuatu yang bisa dilakukan
manusia dalam urusan dunia yang berkaitan dengan kebutuhan mereka, dan
hukum asal pada masalah tersebut adalah tidak terlarang. Maka tidak
boleh ada yang dilarang kecuali apa yang dilarang Allah. Karena
sesungguhnya memerintah dan melarang adalah hak prerogratif Allah. Maka
ibadah harus berdasarkan perintah. Lalu bagaimana sesuatu yang tidak
diperintahkan di hukumi sebagai hal yang dilarang?
Oleh karena itu, Imam Ahmad dan ulama fiqh ahli hadits lainnya
mengatakan, bahwa hukum asal dalam ibadah adalah tauqifi (berdasarkan
dalil). Maka, ibadah tidak disyariatkan kecuali dengan ketentuan Allah,
sedang jika tidak ada ketentuan dari-Nya maka pelakunya termasuk orang
dalam firman Allah.
"Artinya : Apakah mereka mempunyai para sekutu yang mensyari'atkan
untuk mereka agama yang tidak dizinkan Allah?" [Asy-Syuraa : 21]
Sedangkan hukum asal dalam masalah adat adalah dimaafkan (boleh). Maka, tidak boleh dilarang kecuali yang diharamkan Allah.
"Artinya : Katakanlah. Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang
diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan
(sebagiannya) halal. 'Katakanlah, 'Apakah Allah telah memberikan izin
kepadamu (tentang ini) ataukah kamu mengada-adakan saja terhadap
Allah?" [Yunus : 59]
Ini adalah kaidah besar yang sangat berguna. [8]
Yusuf Al-Qaradhawi dalam Al-Halal wal Haram fil Islam (hal.21)berkata,
"Adapun adat dan muamalah, maka bukan Allah pencetusnya, tetapi
manusialah yang mencetuskan dan berinteraksi dengannya, sedang Allah
datang membetulkan, meluruskan dan membina serta menetapkannya pada
suatu waktu dalam hal-hal yang tidak mendung mafsadat dan mudharat".
Dengan mengetahui kaidah ini [9], maka akan tampak cara menetapkan
hukum-hukum terhadap berbagai kejadian baru, sehingga tidak akan
berbaur antara adat dan ibadah dan tidak ada kesamaran bid'ah dengan
penemuan-penemuan baru pada masa sekarang. Dimana masing-masing
mempunyai bentuk sendiri-sendiri dan masing-masing ada hukumnya secara
mandiri.
[Disalin dari kitab Ilmu Ushul Al-Fiqh Al-Bida' Dirasah Taklimiyah
Muhimmah Fi Ilmi Ushul Fiqh, edisi Indonesia Membedah Akar
Bid'ah,Penulis Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari,
Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari, Penerbit Pustaka Al-Kautsar]
__________
Foote Note
[1]. Maksudnya ulama dan umara
[2]. Ushul fil Bida' was Sunan : 94
[3]. Ini batasan yang sangat penting, maka hendaklah selalu mengingatnya!
[4]. Ushul fil Bida' was Sunan : 106
[5]. Al-Iqtidha II/582
[6]. Lihat Al-I'tiham I/37 oleh Asy-Syatibi.
[7]..Dari ta'liq Syaikh Ahmad Syakir tentang kitab Ar-Raudhah An-Nadiyah I/27
[8]. Sungguh Abdullah Al-Ghumari dalam kitabnya "Husnu At-Tafahhum wad
Darki" hal. 151 telah mencampuradukkan kaidah ini dengan sangat buruk,
karena menganggap setiap sesuatu yang tidak terdapat larangannya yang
menyatakan haram atau makruh, maka hukum asal untuknya adalah
dipebolehkan. Dimana dia tidak merincikan antara adat dan ibadah. Dan
dengan itu, maka dia telah membantah pendapatnya sendiri yang juga
disebutkan dalam kitabnya tersebut seperti telah dijelaskan sebelumnya.
[9]. Lihat Al-Muwafaqat II/305-315, karena di sana terdapat kajian
penting dan panjang lebar yang melengkapi apa yang ada di sini.
From: Abu Abdillah <abdullah_abu@hotmail.com>
To: assunnah assunnah assunnah@yahoogroups.com
ANTARA ADAT DAN IBADAH
Oleh : Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari
http://www.almanhaj.or.id/content/2136/slash/0
Ini adalah sub kajian yang sangat penting yang membantah anggapan orang
yang dangkal akal dan ilmunya, jika bid'ah atau ibadah yang mereka buat
diingkari dan dikritik, sedang mereka mengira melakukan kebaikan, maka
mereka menjawab : "Demikian ini bid'ah ! Kalau begitu, mobil bid'ah,
listrik bid'ah, dan jam bid'ah!"
Sebagian orang yang memperoleh sedikit dari ilmu fiqih terkadang merasa
lebih pandai daripada ulama Ahli Sunnah dan orang-orang yang mengikuti
As-Sunnah dengan mengatakan kepada mereka sebagai pengingkaran atas
teguran mereka yang mengatakan bahwa amal yang baru yang dia lakukan
itu bid'ah seraya dia menyatakan bahwa "asal segala sesuatu adalah
diperbolehkan".
Ungkapan seperti itu tidak keluar dari mereka melainkan karena
kebodohannya tentang kaidah pembedaan antara adat dan ibadah.
Sesungguhnya kaidah terseubut berkisar pada dua hadits.
Pertama : Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Barangsiapa melakukan hal yang baru dalam urusan (agama)
kami ini yang tidak ada di dalamnya, maka amal itu tertolak".
Hadits ini telah disebutkan takhrij dan syarahnya secara panjang lebar.
Kedua : Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam peristiwa penyilangan serbuk sari kurma yang sangat masyhur.
"Artinya : Kamu lebih mengetahui tentang berbagai urusan duniamu"
Hadits ini terdapat dalam Shahih Muslim (1366) dimasukkan ke dalam bab
dengan judul : "Bab Wajib Mengikuti Perkataan Nabi Shallallahu Alaihi
Wa Sallam Dalam Masalah Syari'at Dan Yang Disebutkan Nabi Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam Tentang Kehidupan Dunia Berdasarkan Pendapat", dan
ini merupakan penyusunan bab yang sangat cermat
Atas dasar ini maka sesungguhnya penghalalan dan pengharaman, penentuan
syari'at, bentuk-bentuk ibadah dan penjelasan jumlah, cara dan
waktu-waktunya, serta meletakkan kaidah-kaidah umum dalam muamalah
adalah hanya hak Allah dan Rasul-Nya dan tidak ada hak bagi ulil amri
[1] di dalamnya. Sedangkan kita dan mereka dalam hal tersebut adalah
sama. Maka kita tidak boleh merujuk kepada mereka jika terjadi
perselisihan. Tetapi kita harus mengembalikan semua itu kepada Allah
dan Rasul-Nya.
Adapun tentang bentuk-bentuk urusan dunia maka mereka lebih mengetahui
daripada kita. Seperti para ahli pertanian lebih mengetahui tentang apa
yang lebih maslahat dalam mengembangkan pertanian. Maka jika mereka
mengeluarkan keputusan yang berkaitan dengan pertanian, umat wajib
mentaatinya dalam hal tersebut. Para ahli perdagangan ditaati dalam
hal-hal yang berkaitan dengan urusan perdagangan.
Sesungguhnya mengembalikan sesuatu kepada orang-orang yang berwenang
dalam kemaslahatan umum adalah seperti merujuk kepada dokter dalam
mengetahui makanan yang berbahaya untuk dihindari dan yang bermanfaat
darinya untuk dijadikan santapan. Ini tidak berarti bahwa dokter adalah
yang menghalalkan makanan yang manfaat atau mengharamkan makanan yang
mudharat. Tetapi sesungguhnya dokter hanya sebatas sebagai pembimbing
sedang yang menghalalkan dan mengharamkan adalah yang menentukan
syari'at (Allah dan Rsul-Nya), firmanNya.
"Artinya : Dan menghalalkan bagi mereka segala hal yang baik dan
mengharamkan bagi mereka segala hal yang buruk" [Al-Araf : 157] [2].
Dengan demikian anda mengetahui bahwa setiap bid'ah dalam agama adalah
sesat dan tertolak. Adapun bid'ah dalam masalah dunia maka tiada
larangan di dalamnya selama tidak bertentangan dengan landasan yang
telah ditetapkan dalam agama [3]. Jadi, Allah membolehkan anda membuat
apa yang anda mau dalam urusan dunia dan cara berproduksi yang anda
mau. Tetapi anda harus memperhatikan kaidah keadilan dan menangkal
bentuk-bentuk mafsadah serta mendatangkan bentuk-bentuk maslahat." [4]
Adapun kaidah dalam hal ini menurut ulama sebagaimana dikatakan Ibnu
Taimiyah [5] adalah : "Sesungguhnya amal-amal manusia terbagi kepada :
Pertama, ibadah yang mereka jadikan sebagai agama, yang bermanfaat bagi
mereka di akhirat atau bermanfaat di dunia dan akhirat. Kedua, adat
yang bermanfaat dalam kehidupan mereka. Adapun kaidah dalam hukum
adalah asal dalam bentuk-bentuk ibadah tidak disyari'atkan kecuali apa
yang telah disyariatkan Allah. Sedangkan hukum asal dalam adat [6]
adalah tidak dilarang kecuali apa yang dilarang Allah".
Dari keterangan diatas tampak dengan jelas bahwa tidak ada bid'ah dalam
masalah adat, produksi dan segala sarana kehidupan umum".
Hal tersebut sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Mahmud Syaltut dalam
kitabnya yang sangat bagus, Al-Bid'ah Asabbuha wa Madharruha (hal. 12
–dengan tahqiq saya), dan saya telah mengomentarinya sebagai berikut,
"Hal-hal tersebut tiada kaitannya dengan hakikat ibadah. Tetapi hal
tersebut harus diperhatikan dari sisi dasarnya, apakah dia bertentangan
dengan hukum-hukum syari'at ataukah masuk di dalamnya".
Di sini terdapat keterangan yang sangat cermat yang diisyaratkan oleh
Imam Syathibi dalam kajian yang panjang dalam Al-I'tisham (II/73-98)
yang pada bagian akhirnya disebutkan, "Sesungguhnya hal-hal yang
berkaitan dengan adat jika dilihat dari sisi adatnya, maka tidak ada
bid'ah di dalamnya. Tetapi jika adat dijadikan sebagai ibadah atau
diletakkan pada tempat ibadah maka ia menjadi bid'ah".
Dengan demikian maka "tidak setiap yang belum ada pada masa Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan juga belum ada pada masa Khulafa
Rasyidin dinamakan bid'ah. Sebab setiap ilmu yang baru dan bermanfaat
bagi manusia wajib dipelajari oleh sebagian kaum muslimin agar menjadi
kekuatan mereka dan dapat meningkatkan eksistensi umat Islam.
Sesungguhnya bid'ah adalah sesuatu yang baru dibuat oleh manusia dalam
bentuk-bentuk ibadah saja. Sedangkan yang bukan dalam masalah ibadah
dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syari'at maka bukan bid'ah
sama sekali" [7]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Qawa'id An-Nuraniyah Al-Fiqhiyah
(hal. 22) berkata, " Adapun adat adalah sesuatu yang bisa dilakukan
manusia dalam urusan dunia yang berkaitan dengan kebutuhan mereka, dan
hukum asal pada masalah tersebut adalah tidak terlarang. Maka tidak
boleh ada yang dilarang kecuali apa yang dilarang Allah. Karena
sesungguhnya memerintah dan melarang adalah hak prerogratif Allah. Maka
ibadah harus berdasarkan perintah. Lalu bagaimana sesuatu yang tidak
diperintahkan di hukumi sebagai hal yang dilarang?
Oleh karena itu, Imam Ahmad dan ulama fiqh ahli hadits lainnya
mengatakan, bahwa hukum asal dalam ibadah adalah tauqifi (berdasarkan
dalil). Maka, ibadah tidak disyariatkan kecuali dengan ketentuan Allah,
sedang jika tidak ada ketentuan dari-Nya maka pelakunya termasuk orang
dalam firman Allah.
"Artinya : Apakah mereka mempunyai para sekutu yang mensyari'atkan
untuk mereka agama yang tidak dizinkan Allah?" [Asy-Syuraa : 21]
Sedangkan hukum asal dalam masalah adat adalah dimaafkan (boleh). Maka, tidak boleh dilarang kecuali yang diharamkan Allah.
"Artinya : Katakanlah. Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang
diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan
(sebagiannya) halal. 'Katakanlah, 'Apakah Allah telah memberikan izin
kepadamu (tentang ini) ataukah kamu mengada-adakan saja terhadap
Allah?" [Yunus : 59]
Ini adalah kaidah besar yang sangat berguna. [8]
Yusuf Al-Qaradhawi dalam Al-Halal wal Haram fil Islam (hal.21)berkata,
"Adapun adat dan muamalah, maka bukan Allah pencetusnya, tetapi
manusialah yang mencetuskan dan berinteraksi dengannya, sedang Allah
datang membetulkan, meluruskan dan membina serta menetapkannya pada
suatu waktu dalam hal-hal yang tidak mendung mafsadat dan mudharat".
Dengan mengetahui kaidah ini [9], maka akan tampak cara menetapkan
hukum-hukum terhadap berbagai kejadian baru, sehingga tidak akan
berbaur antara adat dan ibadah dan tidak ada kesamaran bid'ah dengan
penemuan-penemuan baru pada masa sekarang. Dimana masing-masing
mempunyai bentuk sendiri-sendiri dan masing-masing ada hukumnya secara
mandiri.
[Disalin dari kitab Ilmu Ushul Al-Fiqh Al-Bida' Dirasah Taklimiyah
Muhimmah Fi Ilmi Ushul Fiqh, edisi Indonesia Membedah Akar
Bid'ah,Penulis Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari,
Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari, Penerbit Pustaka Al-Kautsar]
__________
Foote Note
[1]. Maksudnya ulama dan umara
[2]. Ushul fil Bida' was Sunan : 94
[3]. Ini batasan yang sangat penting, maka hendaklah selalu mengingatnya!
[4]. Ushul fil Bida' was Sunan : 106
[5]. Al-Iqtidha II/582
[6]. Lihat Al-I'tiham I/37 oleh Asy-Syatibi.
[7]..Dari ta'liq Syaikh Ahmad Syakir tentang kitab Ar-Raudhah An-Nadiyah I/27
[8]. Sungguh Abdullah Al-Ghumari dalam kitabnya "Husnu At-Tafahhum wad
Darki" hal. 151 telah mencampuradukkan kaidah ini dengan sangat buruk,
karena menganggap setiap sesuatu yang tidak terdapat larangannya yang
menyatakan haram atau makruh, maka hukum asal untuknya adalah
dipebolehkan. Dimana dia tidak merincikan antara adat dan ibadah. Dan
dengan itu, maka dia telah membantah pendapatnya sendiri yang juga
disebutkan dalam kitabnya tersebut seperti telah dijelaskan sebelumnya.
[9]. Lihat Al-Muwafaqat II/305-315, karena di sana terdapat kajian
penting dan panjang lebar yang melengkapi apa yang ada di sini.
Whe~en
http://wheen.blogsome.com/
"Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku." (QS 20 : 25-28)
"Ya Allah jadikan Aku hamba yang selalu bersyukur dan penyabar"
-- http://wheen.blogsome.com/
"Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku." (QS 20 : 25-28)
"Ya Allah jadikan Aku hamba yang selalu bersyukur dan penyabar"
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
No comments:
Post a Comment