Wednesday, April 7, 2010

[Milis_Iqra] Fw: Mendidik Anak Ala Ulama

Era Moslem Care
Fwd: [AlManar Wordpress] - Mendidik Anak Ala Ulama
Posted by: "Nugroho Laison" nugon19@yahoo.com nugon19
Tue Apr 6, 2010 5:31 pm (PDT)


Semoga bisa diambil hikmah dan teladan-nya bagi kita semua.
Sehingga kita semakin menghargai 'ulama, terlebih dgn kegigihan dan
perjuangan serta pengorbanannya yg begitu luar biasa dalam menuntut ilmu,
bahkan dimulai sedari masa kanak.

Dan hikmah ilmu serta barokahnya ada bukan hanya pada pemahamannya, tetapi
juga perjuangan untuk mendapatkannya.

Wassalam,

Nugon

Kebanyakan sumber permasalahan adalah cara berkomunikasi!!!

http://nugon19.blogs.friendster.com/my_blog/

http://nugon19.multiply.com/journal

http://almanar.wordpress.com/2008/12/05/mendidik-anak-ala-ulama/

Mendidik Anak Ala Ulama

Desember 5, 2008 at 8:15 am

Mewariskan Harta dan
Buku, untuk Pendidikan Anak

Sebagaimana dikatakan oleh Imam As Syafi'i, bahwa ilmu tidak akan diperoleh
kecuali dengan 6 perkara, salah satunya adalah harta atau materi. Oleh
karena itu, para ulama tidak tanggung-tanggung merogoh kocek, guna
kelangsungan pendidikan anak-anak mereka.

Siapa yang tidak mengenal Imam As Suyuthi (991 H),seorang ulama besar yang
memiliki lebih dari 600 karya. Menguasai berbagai macam disiplin keilmuan
dalam Islam, hafal lebih dari 200 ribu hadits. Bahkan ia mengakui bahwa
parangkat ijtihad sudah ia miliki. Dan waktu berumur 21 sudah menghasilkan
karya. Salah satu karya yang amat populer bagi masyarakat muslim Indonesia
adalah Tafsir al Jalalain

Kehebatan beliau tidak lepas dari pendidikan dan jerih payah ayahnya dalam
mempersiapkan pendidikannya. Ayahnya telah mempersiapkan sebuah perpustakaan
yang langkap dengan berbagai macam kitab, sebelum As Suyuthi lahir, sehingga
ulama Syafi'iyyah ini dijuluki sebagai Ibnu Al Kutub (anak buku), karena
beliau terlahir di sela-sela tumpukan buku. Maka tidaklah heran, jika semasa
mudah As Suyuthi sudah menguasai banyak rujukan.

Ibnu Al Jauzi (510 H), seorang ulama ternama dalam madzhab Hambali juga
banyak mendapatkan warisan dari sang ayah, guna menopangpendidikannya. Hal
ini terungkap, tatkala ia memberi nasehat
kepada anak-anaknya, agar senantiasa bersabar dalam mencari ilmu, dan
senantiasa menjaga kehormatan diri. Beliau menulis dalam Laftah Al Kabid, fi
Nashihati Al Walad, tentang nasehatnya kepada anaknya, sewaktu mereka masih
kecil: "Ketahuilah wahai anakku, bahwa ayahku adalah seorang yang kaya, dan
telah meninggalkan ribuan harta. Ketika aku baligh, ia memberiku 20 dinar
dan 2 rumah. Lalu aku mengambi dinar untuk kubelanjakan buku, lalu aku jual
rumah dan aku gunakan uangnya unyuk mencari ilmu, hingga harta itu habis
tidak tersisa. Ayahmu tidak terhina dikarenakan mencari ilmu, sehingga
berkeliling ke negeri-negeri untuk mencari belas kasih orang lain. Aku
merasa kecukupan, Allah berfirman: "Barang siapa bertaqwa kepada Allah, maka
Allah akan memberikan jalan keluar dan member rizki dengan cara yang tidak
disangka-sangka".

Lalu beliau mengatakan, "Maka, bersungguh-sungguhlah wahai anakku untuk
tetap menjaga kehormatanmu, hingga tidak mencari-cari dunia yang akan
menghinakan pemiliknya. Ada yang mengatakan bahwa, barang siapa qona'ah
terhadap roti, maka ia tidak akan menjadi hamba bagi manusia"
.
Ibnu Al Jauzi berani menempuh kesusahan di saat beliau mencari ilmu, antara
lain kesusahan dalam rezeki, akan tetapi beliau tetap bersabar. Hingga
ketika ilmu yang beliau peroleh sudah amat banyak, maka rezekilah yang
mendatanginya (Lihat biografi beliau dalam Tadzkirah
Huffadz, Imam ad Dzahabi, 4/1347).

Yahya bin Ma'in (233 H) juga tidak kalah hebatnya, guru Imam Bukhari ini
mendapatkan warisan dari ayahnya sebesar 1 juta dirham dan 50 ribu dinar.
Semua itu dihabiskan Yahya untuk mencari hadits, sehingga sandalpun ia tidak
memilikinya. Dari harta itu, Yahya memiliki 114 rak yang penuh buku (lihat,
Tahdzib At Tahdzib, Al Atsqalani, 11/282).

Begitu juga Imam As Syaibani Al Kufi (189 H), salah satu murid Imam Abi
Hanifah, beliau pernah mengatakan:"Ayahku mewariskan kepadaku 30 ribu
dirham. Aku gunakana 15 ribu untuk ilmu nahwu dan syair, dan sisanya untuk
hadits dan fiqih (lihat, Tarikh Al Bagdad, Khotib, 2/173)

Begitu pula yang dialami Hisham bin Ammar At Tsulami (245 H), guru dari Imam
Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa'i dan yang lain. Ayahnya relah menjual
rumah mereka seharga 20 dinar, untuk ongkos ke Madinah, dalam rangka
mendengar hadits dari Imam Malik (lihat, Tahdzib Al Kamal, Al Mizzi, 3/1144)

Tidak jauh beda dengan pengorbanan orang tua dari Ali Bin Ashim Al Wasithi
(201 H), salah seorang Hafidz Bagdad, yang juga menjadi syeikh Imam Ahmad
dan Yahya Ad Duhli (guru Imam Al Bukhari). Dimana suatu saat, ayahnya
mengatakan kepadanya, "Telah aku berikan uang sebesar 100 ribu dinar, dan
aku tidak mau melihat wajahmu, kecuali setelah kamu mendapatkan 100 ribu
hadits" (lihat, Tadzkirah Al Huffadz, Ad Dzahabi,
1/317).

Tidak jauh bereda antara ulama klasik dan ulama kontemporer, Syeikh Badru Al
Alim, Muhadits India, yang ikut memberi ta'liq (komentar) kepada Faidhu Al
Bari, syarah (penjelasan) dari Shohih Al Bukhari, yang ditulis oleh Al
Muhadits Anwar Syah Al Kashmiri, juga mempersiapkan pendidikan anak-anaknya
dengan baik. Saat awal-awal ia bermukim di Madinah, beliau membeli kitab Al
Ajwibah Al Fadhilah, yang ditulis oleh Imam Laknawi, padahal usia beliau
sudah tua, dan tidak mampu lagi membaca.

Akhirnya beliau menyatakan kepada Syeikh Abu Ghuddah, muridnya "Kamu tahu
bahwa aku tidak mampu lagi membacanya, akan tetapi, aku membelinya untuk
kuwariskan kepada keluarga dan anak-anakku,
itu lebih baik bagi mereka daripada warisan yang berupa harta". (Lihat,
Shofhat min Shabri Al Ulama, 300)

Memilih Rezeki Halal,
untuk Pendidikan Anak

Para ulama tidak hanya mewariskan harta untuk pendidikan anak-anak mereka,
akan mereka juga menjaga agar harta yang diberikan kepada anak-anak mereka
adalah harta yang bersih syubhat dan halal. Karena, bersih tidaknya harta
juga mempengaruhi bersih tidaknya ilmu yang diperoleh.

Adalah Kamal Al Ambari (513 H), penulis Nuzhah Al Auliya, yang juga seorang
ulama nahwu, yang memiliki harta pas-pasan. Mendapat rumah dari warisan
ayahnya, dan hanya mengandalkan sewa kedai, yang dalam sebulan cuma
menghasilkan setengah dinar.

Suatu saat khalifah Al Mustadhi' mengirimkan utusan kepadanya, dengan
membawa uang 500 dinar, untuk diberikan kepadanya. Akan tetapi Al Ambari
menolak. Akan tetapi utusan tersebut mengatakan, "Kalau engkau tidak mau,
berikanlah harta ini kepada anakmu". Al Ambari menjawab,"Jika aku yang
menciptakannya, maka akulah yang memberinya rezeki"


Perkataan Al Ambari menunjukkan bahwa Allah telah mengatur rizki anaknya,
hingga ia tidak perlu menerima memberikan hadiyah itu kepada anaknya, yang
mana ia sendiri enggan menerima harta pemberian penguasai, karena
wara'(hati-hati).

Ulama: Guru dan Sahabat
Anaknya dalam Mencari Ilmu

Hal yang tidak bisa ditinggalkan dalam mendidik adalah keteladanan. Jika
orang tua menginginkan anaknya mencintai ilmu, maka ia sendiri juga harus
mencintai ilmu, hingga bisa menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya.

Para ulama sendiri mengajak anak-anaknya untuk bersama-sama melakukan
perjalanan dan belajar dengan para ulama lain. Semisal Asad bin Al Furat
(213 H), seorang murid Imam Malik, yang sudah diajak ayahnya menjelajah
sejak ia berumur 2 tahun, untuk mencari ilmu, bersama-sama dengan pasukan
Arab, menuju Qairawan, Tunis, dan belajar Al Qur'an di negeri itu, lalu
meriwayatkan Al Muwatha’ dari Ibnu Ziyad. (lihat, Syajarah
An Nura Az Zakiyah, 62).

Begitu pula Imam As Suyuthi (991 H), sejak berumur 3 tahun sudah dibawah
ayahnya menghadiri majelis Ibnu Hajar Al Atsqalani. Wafatnya sangh ayah
tidak bererti pendidikan si anak harus dilalaikan. Ayah Suyuthi sebelum
wafat sudah berwashiyat kepada Kamaluddin bin Hammam, ulama masa itu untuk
mendidik As Suyuthi.

Hal yang sama dilakukan oleh ayah dari Ibnu Mulaqqin, guru dari Ibnu Hajar
Al Atsqalani dari Mesir. Sebelum menjadi yatim, ayahnya telah menitipkan
pendidikannya kepada seoarang ulam yang bernama Syeikh Isa Al Maghribi,
seorang yang biasa mentalqin (membacakan) Al Qur'an, kepada para penuntut
ilmu, hingga ia lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Mulaqqin (anak pentalqin).
Beliau adalah ulama yang paling banyak karyanya di
zaman itu.

Imam Samani (562 H), sejak berumur 4 tahun, ayahnya, Imam Abu Bakar
menghadirkannya ke beberapa ulama, seperti Ali Abdu Al Ghaffar As Sairazi,
Abu 'Ala Al Qushairi, dan beberapa ulama. Lalu saat ia berumur 9 tahun,
ayahnya membawanya ke Naisabur. Tidak hanya itu, setelah ia pulang ke Marwa
pada umur 38 dan menikah, anaknya yang bernama Abu Mudhafar yang masih
berumur 3 tahun pun ia bawa bersamanya kembali ke
Naisabur dalam rangka berguru kepada beberapa ulama di sana. (lihat,
Thabaqat As Syafiiyah, As Subki, 7/180).

Imam Abu Al Waqt As Sijzi (553 H), yang disebut Imam Ad Dzahabi sebagai
Syeikh Al Islam, yang juga merupakan guru Ibnu Al jauzi, sudah melakukan
perjalanan mencari ilmu sejak umur 7 tahun. Ia memiliki kisah yang amat
dahsyat, tatkala melakukan perjalanan mencari ilmu bersama ayahnya.

Suatu saat ia bertutur kepada salah satu muridnya Yusuf bin Ahmad As
Syairazi:"Wahai anakku, aku telah melakukan perjalanan untuk menyimak As
Shahih dengan berjalan bersama ayahku, dari Harat menuju Dawudi. Umurku
belum ada 10 tahun. Saat melakukan perjalanan, ayahku memberiku dua batu,
jika aku terlihat lelah, maka ia menyuruhku untuk
melempar satu batu, lalu aku melanjutkan perjalanan. Kadang ia
bertanya,"engkau sudah lelah?", maka aku menjawab,"belum. Kenapa jalanmu
lamban?. Maka aku cepatkan langkahku, hingga aku tidak mempu lagi, lalu ia
menggendongku.

Suatu saat mereka berpapasan dengan rombongan petani. Dan mereka menyeru
kepada ayah As Sijzi, wahai Syeikh Isa, biarkan anak ini naik kendaraan
bersama kami, kita bersama-sama menuju Bushanj. Maka ayahnya mengatakan,
"Aku berlindung kepada Allah, dari naik
kendaraan ketika mencari hadits, akan tetapi kami memilih jalan".

Ketika bertemu dengan Abdul Baqi Al Harawi, ia menawariku manisan, aku
menjawab,†Wahai tuan, saya lebih mencintai satu juz dari Abu Jahm lebih
baik daripada makan manisan. Ia tersenyum dan
mengatakan,"jika yang masuk makanan, yang keluar adalah omongan"


Lihat, bagaimana ayah As Sijzi dalam mendidik anaknya, hingga anak yang
masih kecil itu sudah memiliki kecintaan yang tinggi terhadap hadits. Dan
bagaimana ayah As Sijzi, mengajari anaknya menjaga azzam, guna melawan rasa
capek selam melakukan perjalanan. dengan menggunakan sarana batu.

Begitu pula banyak para ulama, disamping menjadi ayah, juga menjadi guru
bagi anak-anaknya, semisal Kamal Al Ambari (077 H) memperolah hadits dari
ayahnya, Tajuddin As Subki (771 H), mengambil ilmu dari ayahnya, Taqiyuddin
As Subki. Bagitu pula Abu Zur'ah Al Iraqi mendapatkan ilmu dari ayahnya
Hafidz Al Iraqi, hingga ia meneruskan syarah Tharhu At Tasrib yang telah
disyarah Hafidz Al Iraqi sebelum wafat. Juga amat banyak periwayat hadits
yang mengambil dari ayah, kakek dan seterusnya.

Begitu juga Imam As Syaukani penulis Nail Al Authar, telah membaca kitab Al
Azhar, fiqih madzhab Zaidiyah dari ayahnya. Ada kisah menarik dalam hal ini,
yang mencerminkan kekritisan Imam As Syaukani. Di sela-sela proses belajar
dengan ayahnya, ia bertanya: "Ayah mengatakan, ini madzhab Hanafi, ini
madzhab Fulani, mana yang benar dari pendapat-pendapat ini? Ayahnya
menjawab: "yang benar adalah pendapat yang dirajihkan Imam Al Hadi'. Imam As
Syaukani pun menanggapi:"Tidak mungkin ijtihad
Imam Al Hadi benar semua, pasti ada yang salah. Maka, bagaimana kita tahu
pendapat itu benar? Akhirnya ayah Syaukani membawanya berguru kepada
beberapa ulama di Yaman.

Selalu memantau hasil belajar anak

Tidak hanya mengajar atau memilih guru yang baik. Akan tetapi para ulama
juga memantau hasil belajar si anak. Simak penuturan Tajuddin As Subki
(771H):"Aku jika datang dari seoarang syeikh, maka ayahku (Taqiyuddin As
Subki) berkata kepadaku,"tunjukkan apa yang telah kamu peroleh, yang kamu
baca dan yang kamu dengar. Maka, aku menerangkan tentang hal-hal yang telah
kuperoleh dalam majelis. Jika aku pulang dari Ad Dzahabi, ia
berkata,"tunjukkan yang telah engkau dapat dari syeikhmu". Jika aku
pulang dari Syeikh Najmuddin Al Qahfazi, ia mengatakan, "yang kau dapat dari
masjid Thingkiz. Jika aku pulang dari Syeikh Syamsuddin Ibnu Naqib, maka ia
mengatakan,"yang kamu dapati dari Syamiyah". Jika aku
pulang dari Syeikh Abu Abbas Al Andarsy, ia mengatakan, "yang kau
dapati dari masjid". Jika aku pulang dari Hafidz Al Mizzi, ia mengatakan,
yang kamu peroleh dari As Syeikh†. Ia melafadzkan kata As Syeikh dengan
fashih, dan meninggikan suaranya. Aku mengerti, bahwa itu bertujuan agar aku
juga ikut merasakan kebesaran nama Al Mizzi, hingga aku lebih banyak
mendatangi majelisnya. (lihat, Thabaqat As Syafiâiyah, As Subki, 10/399).

Hasilnya, tidak diragukan lagi. Tajuddin As Subki menjadi ulama yang cukup
diperhitungkan, khususnya di kalangan muhaditsin dan madzhab As Syafii.
Sehingga Al Mizzi menginginkan murid-muridnya mencatat As Subki dalam
kelompok ulama thabaqat ulya (tingkatan tertinggi), begitu juga Imam Ad
Dzahabi, menginginkan hal yang sama, walau usia As Subki masih relatif muda,
Ad Dzahabi menilainya sebagai muhadits jayyid (baik). Akan
tetapi orang tuanya, Taqiyuddin memprotes, cukup thabaqat pemula. Akan
tetapi para gurunya juga tidak terima. Akhirnya As Subki dimasukkan thabaqat
wustha (tingkatan pertengahan).

Secara tidak langsung, Taqiyuddin mengajari anaknya, Tajuddin, agar
senantiasa rendah hati, walau ilmunya sudah hamper setara dengan para
gurunya.


--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125

Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63

Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-

To unsubscribe, reply using "remove me" as the subject.

No comments:

Post a Comment