Thursday, April 22, 2010

[Milis_Iqra] Kontroversi Trinitas



The History of Christian Doctrine Sejarah Perkembangan Ajaran Trinitas L. Berkhof Penerbit CV. Sinar Baru Cetakan pertama: 1992 Bandung


KONTROVERSI TRINITAS

           1. Latar Belakang   Kontroversi Trinitas, yang menimbulkan pertentangan pendapat antara  Arius  dan  Athanasius  berakar  pada  masa  lampau. Seperti  diketahui  bahwa  para  Bapak  Gereja  dulu,  tidak mempunyai  konsepsi yang jelas tentang Trinitas. Sebagian di antara mereka membenarkan Logos sebagai "akal  nonmanusiawi" (impersonal   reason),  yang  menjadi  manusiawi  pada  saat penciptaan,  sementara  yang  lain  memandang  Dia   sebagai manusia  yang  ko-eternal  dengan  Bapak yang memiliki sifat esensi kekekalan, dan  sebagian  lagi  memandangnya  sebagai suruhan (subordination) atau kedudukannya di bawah Bapak Roh Kudus  tidak  mendapat  tempat  penting  dalam   pembicaraan mereka.   Mereka  membicarakan  Dia  (Yesus  Kristus)  dalam kaitannya dengan pekerjaan penebusan jiwa dan hidup manusia. Sebagian  orang  memandang  Dia  sebagai "yang tunduk" bukan hanya kepada  Bapak  tetapi  juga  kepada  Anak.  Tertullian adalah   orang   pertama  yang  secara  gamblang  menyatakan tri-personalitas Tuhan serta mempertahankan pendapat tentang keesaan  substansial ketiga person tersebut. Namun dia belum mampu menerangkan dengan jelas tentang doktrin Trinitas.   Sementara itu muncullah aliran Monarkianisme yang menekankan keesaan  Tuhan  dan  sifat  ketuhanan Kristus, yang meliputi penyangkalan Trinitas (jadi Trinitas tidak diartikan seperti yang  terkandung  dalam  arti kata tersebut). Tertullian dan Hippolytus  memperjuangkan  pandangan-pandangan  mereka   di Barat  sementara Origen menentangnya habis-habisan di Timur. Mereka  membela  kedudukan  kaum   trinitarian   sebagaimana diperlihatkan  dalam keyakinan rasul (Kisah Rasul). Walaupun demikian, pandangan Origen tentang Trinitas tidak seluruhnya memuaskan.  Dia  berkeyakinan  kuat  bahwa baik Bapak maupun anak  merupakan  hipostases  abadi  (kekal)  atau   personal subsistence  di  dalam  Tuhan.  Sementara  dia  adalah orang pertama yang menerangkan hubungan Bapak dengan  anak  dengan menggunakan  ide  eternaI generation, dia menganggap hal ini meliputi subordinasi orang kedua  (second  person)  terhadap orang  pertama (first person) dalam kaitannya dengan esensi. Bapak berkomunikasi dengan  anak  dan  anak  adalah  sebagai spesies  sekunder  kekekalan,  yang  dinamakan Theos, tetapi bukan Ho Theos. Bahkan anak kadang-kadang dipanggil  sebagai Theos  Deuteros.  Ini  merupakan  cacat paling radikal dalam doktrin Origen tentang Trinitas dan memberikan batu loncatan bagi  Arius.  Cacat  lain  yang  terdapat  dalam pendapatnya bahwa, penciptaan anak bukanlah perbuatan  perlu  (necessary act)  dari  Bapak  tetapi  bersumber  pada kehendak-Nya yang berdaulat. Akan tetapi dia  tidak  melontarkan  ide  suksesi temporal.  Dalam  doktrinnya  tentang  Roh  Kudus  dia masih mengesampingkan representasi Kitab Injil.  Dia  bukan  nanya menempatkan  Roh  Kudus  sebagai  "bawahan"  terhadap  anak, tetapi dia juga mengartikannya sebagai ciptaan anak.  Bahkan salah  satu  pernyataannya  berimplikasi  bahwa Dia hanyalah sebagai suata ciptaan belaka.            2. Hakikat Kontroversi      a. Arius dan Arianisme   Perselisihan pendapat terbesar di kalangan pemikir  Trinitas adalah      kontroversi      pandangan     Arius,     karena pandangan-pandangan "anti-trinitas" yang dilontarkan  Arius, seorang   presbyter  Alexandrux  yang  daya  debatnya  besar walaupun jiwanya atau imannya diragukan. Ide  dominan  Arius adalah asas monoteistis aliran Monarkianisme bahwa hanya ada satu Tuhan (tidak mempunyai anak). Ada yang tidak  mempunyai asal  usul,  tanpa  keberadaan  sebelumnya.  Dia  membedakan antara Logos yang tetap ada di dalam Tuhan,  yang  merupakan kekuatan  yang  kekal  dengan  Anak  atau  Logos  yang  pada akhirnya  berinkarnasi.  Anak  atau   Logos   terakhir   ini diciptakan  oleh  Bapak  yang  dalam pandangan Arius berarti bahwa dia diciptakan. Dia diciptakan  sebelum  alam  semesta ini  diciptakan,  dan dengan alasan ini berarti dia bukanlah esensi yang kekal. Dia hanyalah yang terbesar dan pertama di antara  ciptaan-ciptaan  lainnya  dan  melalui  dialah  alam semesta ini diciptakan. Karena itu dia dapat diganti, tetapi dia  dipilih  Tuhan  demi  keselamatan umat manusia, dan dia dinamakan anak Tuhan.  Dalam  pengangkatannya  sebagai  anak dialah yang disembah oleh manusia.   Dalam   mendukung   pandangan-pandangannya,  Arius  mencari; sejumlah ayat Alkitab yang memperlihatkan anak  berkedudukan di  bawah  atau  inferior terhadap Bapak seperti "Prov 8:22, Mateus  28:18,   Markus   13:32,   Lukas   18:19,   Johannes 5:19;14:28,1 Korintus 15:28."      b. Bantahan terhadap Arianisme   Arius  mendapat  bantahan pertama dari bishop Alexander yang meyakini sifat ketuhanan yang sesungguhnya dimiliki anak dan dalam waktu yang sama mempertahankan doktrin anak kekal yang diciptakan. Akan  tetapi  sesuai  dengan  perjalanan  waktu, penentangnya ternyata adalah uskup Alexandria sendiri, yakni Athanasius,  yang  dalam  sejarah  dikenal   sebagai   tokoh kebenaran  yang  tegar,  kukuh,  dan tidak pernah ragu-ragu, Seeberg mengemukakan  tiga  kekuatan  atau  kelebihan  utama Athanasius, yakni:   1.  Keteguhan dan keaslian atau kemurnian karakternya; 2.  Landasannya yang pasti di atas mana dia susun konsepsi     tentang keesaan Tuhan; 3.  Kebijaksanaannya dalam menerangkan kepada umatnya agar     mengakui hakikat dan makna Kristus.   Dia berpendapat bahwa memandang Kristus sebagai ciptaan sama dengan  menyangkal pandangan bahwa iman terhadap dia membawa keselamatan bagi umat manusia.   Dia sangat menekankan keesaan Tuhan dan mau mengakui doktrin Trinitas   yang   tidak  membahayakan  konsep  keesaan  ini. Sementara bapak  dan  anak  sama-sama  memiliki  sifat  atau esensi kekekalan yang sama, sesungguhnya tidak ada pembagian atau pemisahan dalam The essential being of God, dan  adalah salah  bila  disebutkan  Theos  Deuteros.  Tetapi di samping menekankan keesaan Tuhan,  dia  juga  mengakui  adanya  tiga hipostases  dalam  Tuhan.  Dia  menolak untuk meyakini "Anak yang diciptakan sebelum yang lain diciptakan"  seperti  yang dianut   Arius   dan  mempertahankan  eksistensi  kekal  dan independen anak. Dalam waktu yang sama dia berpendapat bahwa ketiga  hipostases  dalam  Tuhan  jangan dilihat sebagai hal yang sendiri-sendiri, karena jika  demikian,  bisa  bermuara kepada   politeisme.   Menurut  dia,  keesaan  Tuhan  maupun perbedaan-perbedaan  dalam   keberadaan-Nya   paling   tepat dinyatakan  dengan  "keesaan esensi." Ini berarti bahwa anak mempunyai substansi sama dengan substansi Bapak, tetapi juga berarti  bahwa  keduanya  bisa  berbeda  dalam  aspek  lain, misalnya dalam personal subsistensinya. Seperti Origen,  dia mengajarkan  bahwa anak adalah hasil penciptaan (begotten by generation), tetapi berbeda dari Origen, dia  menerangkannya penciptaan  ini  merupakan tindakan kerahasiaan Tuhan, bukan sebagai  tindakan   yang   semata-mata   bergantung   kepada kedaulatan Tuhan.                     3. Dewan Nicaea   Dewan   Nicaea   dibentuk   tahun   325   untuk   memecahkan pertentangan pandangan ini. Persoalan atau  kontroversi  ini diperjelas  agar  pembahasannya  lebih mudah. Pengikut Arius menolak pandangan  tentang  penciptaan  eternal  (penciptaan yang   bebas   dari  dimensi  waktu),  sementara  Athanasius mempertahankannya.  Pengikut  Arius  mengatakan  bahwa  anak diciptakan  dari  tidak ada, sementara Athanasius mengatakan bahwa dia  diciptakan  dari  esensi  Bapak.  Pengikut  Arius berpendapat  bahwa anak tidak sama substansinya dengan Bapak sementara   Athanasius   berpendapat   bahwa   anak   adalah homoousios dengan Bapak.   Di samping kedua pihak yang bertentangan itu masih ada pihak tengah yang merupakan  mayoritas  yang  dipimpin  oleh  ahli sejarah  gereja,  yakni  Eusebius  dari  Caesarea,  dan juga dikenal sebagai pihak Origenistik dan landasan  pandangannya adalah  asas-asas yang dikemukakan Origen. Pihak ini condong kepada pihak Arius dan menentang  doktrin  bahwa  anak  sama substansinya dengan Bapak (homoousios). Pihak ini mengajukan suatu pernyataan yang  telah  diketengahkan  Eusebius,  yang menyerahkan  segala  sesuatunya  kepada  pihak Alexander dan Athanasius dengan satu pengecualian yakni doktrin  di  atas; dan  menyatakan  bahwa  istilah homoousios hendaknya diganti dengan homoiousios; jadi mereka mengajarkan bahwa anak  sama substansinya  dengan  Bapak. Setelah melalui perdebatan yang panjang akhirnya pihak Athanasius  berhasil  memenangkannya. Dewan  Nicaea akhirnya mengeluarkan pernyataan: Kita percaya kepada Tuhan Yang Esa, Bapak yang  Mahabisa,  Pencipta  yang tampak  maupun  tidak  tampak.  Dan  percaya pada satu tuhan Yesus Kristus yang  sama  substansinya  (homoousios)  dengan Bapak  dan  seterusnya. Ini merupakan pernyataan yang tegas, dimana esensi anak dinyatakan identik dengan  esensi  Bapak; sama  tingginya  dengan Bapak serta mengakui Kristus sebagai autotheos.            4. Akibat-akibatnya      a. Dampak negatif keputusan tersebut   Keputusan yang dihasiIkan Dewan Nicaea  tidak  menyelesaikan kontroversi  Trinitas,  bahkan  ternyata merupakan awal dari kontroversi tersebut. Penyelesaian yang diberlakukan  Gereja dengan   dukungan   kerajaan  tidaklah  memuaskan  dan  juga diragukan  tidak  akan  bertahan  lama.  Hal  ini  berakibat penentuan   keimanan   orang   Kristen   bergantung   kepada pandangannya atau kekuasaan kerajaan dan  bahkan  bergantung kepada   intrik-intrik   pengadilan.   Athanasius   sendiri, walaupun memenangkan perdebatan, tidak puas dengan cara atau metode  pemecahan masalah kegerejaan atau kerohanian seperti itu. Dia cenderung  berusaha  meyakinkan  para  penentangnya dengan  kekuatan  argumen-argumen  yang diajukan karena dari kenyataan di atas  nyatalah  bahwa  pergantian  kaisar  atau raja,   perubahan   suasana,  bisa  mengubah  seluruh  aspek kontroversi tersebut. Pihak yang dimenangkan  sekarang  bisa menjadi pihak yang dikalahkan atau dipersalahkan di kemudian hari oleh kerajaan. Dan inilah  yang  sering  terjadi  dalam sejarah selanjutnya.      b.  Para penganut temporer semi-arianisme dalam Gereja        Timur   Figur sentral terbesar dalam  masalah  kontroversi  Trinitas pasca-Nicaea adalah Athanasius. Dia merupakan tokoh terbesar pada zaman tersebut; dia seorang  cendekiawan  yang  pintar, karakternya  teguh,  dan  teguh terhadap keyakinannya, serta rela mati atau  menderita  demi  kebenaran.  Gereja  semakin cenderung   menerima   pandangan   Arianisme,  tetapi  masih didominasi pandangan semi-arianisme, dan penguasa (kerajaan) biasanya  berpihak kepada pandangan kaum mayoritas, sehingga akibatnya  timbullah  pernyataan   atau   desas-desus   Unus Athanasius   contra  orbem  yang  artinya  "Satu  Athanasius melawan dunia." Lima kali hamba Tuhan ini  mendapat  hukuman pengasingan  serta mendapat perlakuan-perlakuan buruk, serta dikucilkan dari gereja.   Tantangan terhadap Pernyataan Nicaea (Nicene Creed)  berasal dari  beberapa  pihak  yang  berbeda. Ujar Cunningham: "Para pengikut Arius yang  lebih  ekstrim  mengatakan  bahwa  anak adalah   heteroousios,   substansinya   tidak   sama  dengan substansi Bapak; yang  lain  menyatakan  bahwa  anak  adalah anomoios,  tidak  seperti  Bapak,  dan  sebagian  lagi, yang biasanya  dinamakan  semi-arianisme  menyatakan  bahwa:  dia adalah  homoiousios,  artinya  substansinya  mirip substansi Bapak; tetapi  mereka  semuanya  menolak  fraseologi  Nicaea karena  mereka  menentang  doktrin  Nicaea tentang ketuhanan anak dan mereka melihat serta berkeyakinan bahwa  fraseologi tersebut   secara  akurat  dan  tegas  menyatakan  hal  itu, walaupun mereka kadang-kadang  menambah-nambahkan  keberatan lain   terhadap   pemakaian   fraseologi   tersebut   (lihat Historical Theology I halaman  290).  Aliran  semi-arianisme mendapat  pengikut  di  daerah  Timur  wilayah  Gereja. Akan tetapi,  daerah  Barat  mempunyai  pandangan  yang   berbeda tentang  masalah  tersebut,  dan  mereka  setia kepada Dewan Nicaea. Hal ini terutama dapat  kita  lihat  dari  kenyataan bahwa  sementara  Gereja  Timur  didominasi  oleh  pandangan Origen bahwa anak lebih rendah daripada Bapak, Gereja  Barat sebagian  besar  dipengaruhi oleh pandangan Tertullian serta mengembangkan suatu jenis teologi yang lebih  serasi  dengan pandangan-pandangan yarg diperjuangkan oleh Athanasius. Akan tetapi, di samping itu persaingan atau rivalitas antara Roma dan Konstantinopel hendaknya diperhitungkan juga. Pada waktu Athanasius diusir dari Timur,  dia  diterima  dengan  tangan terbuka  di  Barat;  dan  Dewan Roma (341) dan Sardica (343) secara tanpa syarat mengesahkan doktrin  yang  diperjuangkan oleh Athanasius.   Akan tetapi, kehadirannya di Barat diperlemah serta dihambat oleh naiknya posisi Marcellus dan Ancyra  dalam  tokoh-tokoh teologi   Nicaea.  Dia  kembali  meyakini  perbedaan  antara eternal Logos  dan  impersonal  Logos  yang  terdapat  dalam hakikat Tuhan, yang menyatakan diri di dalam bentuk kekuatan kekal (divine energy) dalam pekerjaan penciptaan, dan  Logos menjadi  personal  pada  saat  reinkarnasi; menyangkal bahwa istilah generation  (kelahiran)  dapat  diterapkan  terhadap Logos  yang  tidak  ada sebelumnya (pre-existent Logosi) dan karena itu membatasi  penggunaan  nama  "Anak  Tuhan"  hanya kepada  Logos yang berinkarnasi; dan berkeyakinan bahwa pada akhir masa hidup inkarnasinya,  Logos  akan  kembali  kepada hubungan  premundanenya  (premundane relation) dengan Bapak. Teorinya ini jelas membenarkan tindakan para  pengikut  atau penganut  paham  Origenis  atau  Eusebius  dalam  menghadapi pandangan  sabellianisme,  dan  karena  itu  juga  merupakan faktor yang memperlebar perbedaan antara Barat (Roma) dengan Timur (Konstantinopel).   Ada berbagai usaha yang telah dilakukan untuk  menyelesaikan perbedaan  pendapat  atau  perselisihan  tersebut.  Berbagai Dewan  telah  mengadakan  persidangan  di  Antiokia;   yaitu dewan-dewan yang mengakui definisi-definisi yang dikeluarkan Dewan Nicaea,  walaupun  dengan  dua  pengecualian  penting. Mereka  mengakui  konsepsi  homoiousios  dan  kelahiran anak sebagai perbuatan kehendak Bapak. Hal ini, sudah tentu tidak memuaskan  pihak  Barat.  Sinode-sinode dan Dewan-dewan lain mengikut, di mana pengikut Eusebius mencari pengakuan  Barat akan  deposisi  Athanasius, dan membentuk mazhab-mazhab lain sebagai perantara. Tetapi, semua usaha  ini  sia-sia  sampai naiknya   Constantius  sebagai  kaisar  tunggal  dan  dengan berbagai taktik cerdik dalam menarik para  bishop  Barat  ke garis Eusebius pada Sinode di Arles dan Milan (355).      c. Pembalikan pasang   Sekali  lagi  terbukti  bahwa  kemenangan  adalah  hal  yang berbahaya jika landasan  kemenangan  itu  adalah  keburukan. Ternyata  hal  serupa  merupakan  sinyal  atau pertanda bagi kekacauan  pihak  anti-Nicene  (penentang  doktrin  Nicaea). Unsur-unsur heterogen yang membentuk pihak ini, dipersatukan oleh sikap menentang mereka terhadap pihak Nicene  (Nicaea). Tetapi,  segera  setelah  tekanan-tekanan  dari luar mereda, kelemahannya; yakni tidak  adanya  kesatuan  intern  menjadi semakin  nyata  dan  menonjol.  Penganut paham Arianisme dan semi-arianisme mulai berselisih, sementara kelompok terakhir ini  sendiri  tidak  mampu bersatu. Pada Dewan Sirmium (357) ada   usaha   untuk   mempersatukan   semua   pihak   dengan mengesampingkan  masalah-masalah  penggunaan istilah-istilah tertentu seperti ousia, homoousios, dan homoiousios,  dengan menyatakannya sebagai di luar jangkauan pengetahuan manusia. Tetapi perpecahan sudah  terlanjur  terjadi.  Para  penganut Arianisme  sejati mulai memperlihatkan belangnya, dan mereka memaksa penganut semi-arianisme yang paling  konservatif  ke dalam kamp Nicene.   Sementara  itu  muncullah  suatu  pihak baru di Nicene, yang terdiri  atas  orang-orang  yang  merupakan   murid   Mazhab Origenis,  tetapi  cenderung  dikelompokkan sebagai pengikut Athanasius  dan  Nicene  Creed  (Pernyataan  Nicaea)  karena mereka  mempunyai  interpretasi  yang lebih sempurna tentang kebenaran. Tokoh-tokohnya antara lain adalah Tiga Bersaudara yaitu:  Cappadocians,  Basil yang Agung, Gregory dari Nyssa, dan  Gregory   dari   Nazianzus.   Mereka   melihat   sumber kesalahpahaman   di   dalam  pemakaian  istilah  hipostases; istilah ini dianggap sinonim dengan  ousia  (esensi)  maupun prosopon   (person),   dan   karena   itu  mereka  membatasi penggunaan istilah ini hanya untuk arti personal subsistence dari  Bapak  dan  anak  (personal  subsistence of Father and Son). Tidak seperti Athanasius yang  mengambil  titik  tolak keesaan  ousia  abadi  dari Tuhan (one divine ousia of God), mereka mencari titik tolak dari ketiga  hipostases  (person) dalam   ada-kekal   (divine   being),  dan  mereka  berusaha memasukkannya di dalam konsepsi ousia kekal atau ousia abadi (divine  ousia).  Gregory  memperbandingkan  hubungan ketiga person dalam Godhead dengan ada-kekal dengan hubungan ketiga orang tersebut dan dengan humanitasnya.   Dengan  penekanan  mereka  terhadap  ketiga hipostases dalam ada-kekal nyatalah bahwa mereka membebaskan  doktrin  Nicaea dari noda Sabellianisme di mata pengikut Eusebius, dan bahwa personalitas Logos adalah cukup jelas. Bersamaan dengan  itu dipertegas  dan  dipertahankannya  ide keesaan ketiga person tersebut di dalam Godhead serta mengilustrasikan  pengertian ini dengan berbagai cara.      d. Perselisihan tentang roh kudus   Hingga  kini,  roh kudus belum banyak mendapat perhatian dan pembahasan,  walaupun  telah  muncul  berbagai  opini   yang simpang-siur  tentang  subyek  tersebut.  Arius  berpendapat bahwa roh kudus adalah sesuatu yang pertama diciptakan  oleh anak,  suatu  pendapat  yang  dalam banyak hal sesuai dengan pandangan Origen. Athanasius berpendapat  bahwa  esensi  roh kudus  sama  dengan  esensi  Bapak  tetapi pernyataan Nicene hanya mengeluarkan satu pernyataan yang tidak pasti  tentang hal  ini,  "Dan (saya percaya) di dalam roh kudus." Kelompok Cappadocian mengikuti atau  menganut  opini  atau  pandangan Athanasius  dan  dengan  penuh semangat mempertahankan opini yang menyatakan homoousios roh kudus. Hilary  dari  Poitiers di  Barat  berpendapat  bahwa roh kudus sebagai pencarian ke dalam Tuhan, bukanlah sesuatu  yang  di  luar  esensi  kekal (divine  essence).  Pendapat  yang  berbeda dikemukakan oleh Macedonius,  bishop  Kota  Konstantinopel,  yang  menyatakan bahwa  roh  kudus  adalah  suatu  ciptaan  yang lebih rendah (subordinate) daripada anak  (tunduk  terhadap  anak),  akan tetapi  pendapat  ini  pada umumnya dianggap heretik (berbau murtad), dan para pengikutnya  digelari  aliran  Pneumatokis (pneuma = spirit, machomai = ucapan iblis). Pada waktu Dewan Umum Konstantinopel mengadakan  pertemuan  pada  tahun  381, dewan  ini  mengumumkan  bahwa  mereka  mengakui  pernyataan Nicaea,  yang  dipimpin  Gregory  dari  Nazianzus   menerima perumusan  berikut  tentang  roh kudus: "Dan kami percaya di dalam roh kudus, Tuhan Pemberi Kehidupan, yang berasal  dari Bapak  yang  akan  dimenangkan oleh Bapak dan anak, dan yang berbicara melalui para nabi."      e. Penyempurnaan doktrin Trinitas   Pernyataan Dewan Konstantinopel ternyata tidak lengkap dalam dua   hal:  pertama,  istilah  homoousios  tidak  digunakan, sehingga   konsubstansialitas   roh   dengan   Bapak   tidak dipastikan secara langsung; kedua, hubungan roh kudus dengan kedua  person  lain  tidak  didefinisikan.  Pernyataan   ini berimplikasi  bahwa  roh kudus berasal dari Bapak, sementara tidak ada sangkalan maupun pembenaran bahwa dia (roh  kudus) juga  berasal  dari  anak.  Tidak  ada  kesepakatan pendapat tentang masalah ini. Mengatakan bahwa roh kudus berasal dari Bapak  saja,  seakan-akan  menyangkal  keesaan  anak  dengan Bapak; dan mengatakan roh  kudus  juga  berasal  dari  anak, bagaikan  menempatkan  roh  kudus  pada kedudukan yang lebih dependen daripada kedudukan  anak  dan  sekaligus  merupakan sangkalan  akan  sifat  ketuhanan  roh  kudus  itu  sendiri. Athanasius,  Basil   dan   Gregory   dari   Nyssa   meyakini keberasalan  roh  kudus  dari  Bapak tanpa menentang doktrin bahwa roh itu juga berasal dari anak. Tetapi Epiphanius  dan Marcellus  dari  Ancyra  secara  positif membenarkan doktrin ini.   Ahli-ahli teologi Barat meyakini  bahwa  roh  kudus  berasal dari  Bapak  dan  anak; dan pada sinode di Toledo pada tahun 589, filioque yang terkenal itu ditambahkan ke dalam lambang aliran Konstantinopel (Constantinopolitan Symbol). Di Timur, perumusan  akhir  doktrin  itu  dibuat  oleh  Johannes  dari Damascus  (John  of  Damascus).  Menurut dia, hanya ada satu esensi kekal (divine essence), tetapi ada tiga  person  atau hipostases.  Ketiga  hipostases  atau  person  ini dipandang sebagai realitas dalam ada-kekal (divine being), tetapi satu sama  lain  berhubungan  tidak  seperti  tiga  orang. Mereka (ketiga  orang)  tersebut  adalah  satu  dalam  segala  hal, kecuali dalam cara penampakannya (pola eksistensinya). Bapak dicirikan   oleh   non-generation,   anak   dicirikan   oleh generation    dan   roh   kudus   dicirikan   oleh   prosesi (procession). Hubungan antarperson  itu  disebutkan  sebagai satu mutual interprenetation (circumincession). Dengan tidak menyangkal penolakannya  atas  pandangan  subordinasionisme, Johannes  dari  Damascus  masih  menyebutkan  Bapak  sebagai sumber Godhead, dan menggambarkan  roh  kudus  sebagai  yang dianugerahkan Bapak melalui Logos. Ini masih tetap merupakan subordinasionisme dalam tafsir Yunani.  Gereja  Timur  tidak pernah  memberlakukan  filioque Sinode Toledo. Inilah sumber perbedaan pandangan antara gereja Timur dan Barat.   Konsepsi Barat  tentang  Trinitas  mencapai  fase  akhir  di tangan  Augustine  melalui  karya  besarnya yang berjudul De Trinitate. Dia juga menekankan atau menitikberatkan  keesaan esensi  dan  trinitas  person tersebut. Masing-masing person tersebut  memiliki  esensi  keseluruhan  dan  sebegitu  jauh identik  dengan  esensi person lainnya. Mereka tidak seperti tiga manusia, karena masing-masing  manusia  hanya  memiliki sebagian  dari  sifat  generik  manusia.  Lebih lanjut, satu person tidak, dan tidak akan  pernah  terpisah  dari  person yang  lain;  hubungan kebergantungan di antara ketiga person tersebut  adalah  hubungan  mutual.  Esensi  kekal  dimiliki ketiga  person  itu  dilihat  dari sudut yang berbeda; yakni sebagai yang menimbulkan, yang ditimbulkan, atau yang diberi jiwa.  Di  antara  ketiga hipostases tersebut terjalin suatu hubungan interpenetrasi dan saling-pendiaman mutual. Istilah person   menurut  Augustine  tidak  cocok  untuk  menyatakan hubungan di mana ketiga person itu ada saling menempati; dia tetap  menggunakan  istilah  itu  bukan  untuk menggambarkan hubungan itu, tetapi untuk tidak berdiam. Dalam konsepsi ini tentang   Trinitas,   roh   kudus   diakui  sebagai  berasal (proceeding) bukan hanya dari Bapak, tetapi juga dari anak.


--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
 
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
 
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-

No comments:

Post a Comment