jika menyerahkan seorang wanita kepada suaminya, maka mereka
memerintahkan isteri agar berkhidmat kepada suaminya dan memelihara
haknya."
Ummu Humaid berkata, "Para wanita Madinah, jika hendak menyerahkan
seorang wanita kepada suaminya, pertama-tama mereka datang kepada
'Aisyah dan memasukkannya di hadapannya, lalu dia meletakkan tangannya
di atas kepalanya seraya mendo'a-kannya dan memerintahkannya agar
bertakwa kepada Allah serta memenuhi hak suami"[1]
'Abdullah bin Ja'far bin Abi Thalib berwasiat kepada puterinya,
"Janganlah engkau cemburu, sebab itu adalah kunci perceraian, dan
janganlah engkau suka mencela, karena hal itu menimbulkan kemurkaan.
Bercelaklah, karena hal itu adalah perhiasan paling indah, dan parfum
yang paling baik adalah air."
Abud Darda' berkata kepada isterinya, "Jika engkau melihat-ku marah,
maka redakanlah kemarahanku. Jika aku melihatmu marah kepadaku, maka
aku meredakanmu. Jika tidak, kita tidak harmonis."
Ambillah pemaafan dariku, maka engkau melanggengkan cintaku.Janganlah
engkau berbicara dengan keras sepertiku, ketika aku sedang marah.
Janganlah menabuhku (untuk memancing kemarahan) seperti engkau menabuh
rebana, sekalipun. Sebab, engkau tidak tahu bagaimana orang yang
ditinggal pergi
Janganlah banyak mengeluh sehingga melenyapkan dayaku
Lalu hatiku enggan terhadapmu; sebab hati itu berbolak-balik
Sesungguhnya aku melihat cinta dan kebencian dalam hati
Jika keduanya berhimpun, maka cinta pasti akan pergi
'Amr bin Hajar, Raja Kindah, meminang Ummu Ayyas binti 'Auf. Ketika
dia akan dibawa kepada suaminya, ibunya, Umamah binti al-Haris menemui
puterinya lalu berpesan kepadanya dengan suatu pesan yang menjelaskan
dasar-dasar kehidupan yang bahagia dan kewajibannya kepada suaminya
yang patut menjadi undang-undang bagi semua wanita. Ia berpesan:
"Wahai puteriku, engkau berpisah dengan suasana yang darinya engkau
keluar, dan engkau beralih pada kehidupan yang di dalamnya engkau naik
untuk orang yang lalai dan membantu orang yang berakal. Seandainya
wanita tidak membutuhkan suami karena kedua orang tuanya masih cukup
dan keduanya sangat membutuh-kanya, niscaya akulah orang yang paling
tidak membutuhkannya. Tetapi kaum wanita diciptakan untuk laki-laki,
dan karena mereka pula laki-laki diciptakan.
Wahai puteriku, sesungguhnya engkau berpisah dengan suasana yang
darinya engkau keluar dan engkau berganti kehidupan, di dalamnya
engkau naik kepada keluarga yang belum engkau kenal dan teman yang
engkau belum terbiasa dengannya. Ia dengan ke-kuasaannya menjadi
pengawas dan raja atasmu, maka jadilah engkau sebagai abdi, niscaya ia
menjadi abdimu pula. Peliharalah untuknya 10 perkara, niscaya ini akan
menjadi kekayaan bagimu.
Pertama dan kedua, tunduk kepadanya dengan qana'ah (merasa cukup),
serta mendengar dan patuh kepadanya.
Ketiga dan keempat, memperhatikan mata dan hidungnya. Jangan sampai
matanya melihat suatu keburukan darimu, dan jangan sampai mencium
darimu kecuali aroma yang paling harum.
Kelima dan keenam, memperhatikan tidur dan makannya. Karena terlambat
makan akan bergejolak dan menggagalkan tidur itu membuat orang marah.
Ketujuh dan kedelapan, menjaga hartanya dan memelihara keluarga dan
kerabatnya. Inti perkara berkenaan dengan harta ialah menghargainya
dengan baik, sedangkan berkenaan dengan keluarga ialah mengaturnya
dengan baik.
Kesembilan dan kesepuluh, jangan menentang perintahnya dan jangan
menyebarkan rahasianya. Karena jika engkau menyelisihi perintahnya,
maka hatinya menjadi kesal dan jika engkau menyebar-kan rahasianya,
maka engkau tidak merasa aman terhadap pengkhianatannya. Kemudian
janganlah engkau bergembira di hadapannya ketika dia bersedih, dan
jangan pula bersedih di hadapannya ketika dia bergembira"[2]
Seseorang menikahkan puterinya dengan keponakannya. Ketika ia hendak
membawanya, maka dia berkata kepada ibunya, "Perintahkan kepada
puterimu agar tidak singgah di kediaman (suaminya) melainkan dalam
keadaan telah mandi. Sebab, air itu dapat mencemerlangkan bagian atas
dan membersihkan bagian bawah. Dan janganlah ia terlalu sering
mencumbuinya. Sebab jika badan lelah, maka hati menjadi lelah. Jangan
pula menghalangi syahwatnya, sebab keharmonisan itu terletak dalam
kesesuaian."
Ketika al-Farafishah bin al-Ahash membawa puterinya, Nailah, kepada
Amirul Mukminin 'Utsman bin 'Affan Radhitallahu 'anhu, dan beliau
telah menikahinya, maka ayahnya menasihatinya dengan ucapannya, "Wahai
puteriku, engkau didahulukan atas para wanita dari kaum wanita Quraisy
yang lebih mampu untuk berdandan darimu, maka peliharalah dariku dua
hal ini: bercelaklah dan mandilah, sehingga aromamu adalah aroma
bejana yang terguyur hujan."
Abul Aswad berkata kepada puterinya, "Jangalah engkau cemburu, sebab
kecemburuan itu adalah kunci perceraian. Berhiaslah, dan sebaik-baik
perhiasan ialah celak. Pakailah wewangian, dan sebaik-baik wewangian
ialah menyempurnakan wudhu.'"
Ummu Ma'ashirah menasihati puterinya dengan nasihat berikut ini yang
telah diramunya dengan senyum dan air matanya: "Wahai puteriku, engkau
akan memulai kehidupan yang baru… Suatu kehidupan yang tiada tempat di
dalamnya untuk ibumu, ayahmu, atau untuk seorang pun dari saudaramu.
Engkau akan menjadi teman bagi seorang pria yang tidak ingin ada
seorang pun yang menyekutuinya berkenaan denganmu hingga walaupun ia
berasal dari daging dan darahmu. Jadilah engkau sebagai isteri, wahai
puteriku, dan jadilah engkau sebagai ibu baginya. Jadikanlah ia merasa
bahwa engkau adalah segalanya dalam kehidupannya dan segalanya dalam
dunianya. Ingatlah selalu bahwa suami itu anak-anak yang besar, jarang
sekali kata-kata manis yang membahagia-kannya. Jangan engkau
menjadikannya merasa bahwa dengan dia menikahimu, ia telah
menghalangimu dari keluargamu.
Perasaan ini sendiri juga dirasakan olehnya. Sebab, dia juga telah
meninggalkan rumah kedua orang tuanya dan meninggalkan keluarganya
karenamu. Tetapi perbedaan antara dirimu dengannya ialah perbedaan
antara wanita dan laki-laki. Wanita selalu rindu kepada keluarganya,
kepada rumahnya di mana dia dilahirkan, tumbuh menjadi besar dan
belajar. Tetapi dia harus membiasakan dirinya dalam kehidupan yang
baru ini. Ia harus mencari hakikat hidupnya bersama pria yang telah
menjadi suami dan ayah bagi anak-anaknya. Inilah duniamu yang baru,
wahai puteriku. Inilah masa kini dan masa depanmu. Inilah mahligaimu,
di mana kalian berdua bersama-sama menciptakannya.
Adapun kedua orang tuamu adalah masa lalu. Aku tidak me-mintamu
melupakan ayah dan ibumu serta saudara-saudaramu, karena mereka tidak
akan melupakanmu selama-lamanya. Wahai sayangku, bagaimana mungkin ibu
akan lupa belahan hatinya? Tetapi aku meminta kepadamu agar engkau
mencintai suamimu, mendampingi suamimu, dan engkau bahagia dengan
kehidupanmu bersamanya."
Diriwayatkan bahwa Ibnu Abi 'Udzr ad-Du'ali -pada hari-hari
pemerintahan 'Umar Radhiyallahu 'anhu- menceraikan wanita-wanita yang
dinikahinya. Sehingga muncullah kepadanya beberapa peristiwa yang
tidak disukainya berkenaan dengan para wanita tersebut dari hal itu.
Ketika dia mengetahui hal itu, maka dia memegang tangan 'Abdullah bin
al-Arqam sehingga membawanya ke rumahnya. Kemudian dia berkata kepada
isterinya: "Aku memintamu bersumpah demi Allah, apakah engkau benci
kepadaku?" Ia menjawab, "Jangan memintaku bersumpah demi Allah." Dia
mengatakan, "Aku memintamu bersumpah demi Allah." Ia menjawab, "Ya."
Kemudian dia berkata kepada Ibnul Arqam, "Apakah engkau dengar?"
Kemudian keduanya bertolak hingga sampai kepada 'Umar bin al-Khaththab
Radhiyallahu 'anhu lalu mengatakan, "Kalian mengatakan bahwa aku
menzhalimi kaum wanita dan menceraikan mereka. Bertanyalah kepada al-
Arqam." Lalu 'Umar bertanya kepadanya dan mengabarkannya. Lalu beliau
mengirim utusan kepada isteri Ibnu Abi 'Udzrah (untuk datang kepada
'Umar). Ia pun datang bersama bibinya, lalu 'Umar bertanya, "Engkaukah
yang bercerita kepada suamimu bahwa engkau marah kepadanya?" Ia
menjawab, "Aku adalah orang yang mula-mula bertaubat dan menelaah
kembali perintah Allah kepadaku. Ia memintaku bersumpah dan aku takut
berdosa bila berdusta, apakah aku boleh berdusta, wahai Amirul
Mukminin?" Dia menjawab, "Ya, berdustalah. Jika salah seorang dari
kalian tidak menyukai salah seorang dari kami, janganlah menceritakan
hal itu kepadanya. Sebab, jarang sekali rumah yang dibangun di atas
dasar cinta, tetapi manusia hidup dengan Islam dan mencari pahala"[3]
Kepada setiap muslimah yang memenuhi hak-hak suaminya dan takut
terhadap murka Rabb-nya karena dia mengetahui hak suaminya atasnya!
Inilah contoh sebagian pria yang mensifati isterinya yang tidak
mengetahui hak suaminya dan tidak pula memelihara kebaikannya. Ia
tidak mempercantik diri dan tidak berdandan untuknya, serta bermulut
kasar. Ia mensifatinya dengan sifat yang membuat hati bergetar dan
telinga terngiang-ngiang. Camkanlah sehingga engkau tidak jatuh ke
tempat yang menggelincirkan ini.
[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi
Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh
Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit
Pustaka Ibnu Katsair]
[aisyah]
http://www.muslimdaily.net/wanita/1464/pesan-pesan-untuk-istri
--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
No comments:
Post a Comment