Bahasa menunjukkan bangsa. Peribahasa lama ini ternyata masih tetap
aktual dan relevan dengan kondisi kita sekarang. Perilaku kita dalam
berbahasa sehari-hari, baik bahasa nasional maupun bahasa daerah,
merupakan penggambaran situasi dan kondisi bangsa atau negara dan
daerah-daerah kita kini.
Berbagai krisis yang terjadi hampir sepuluh tahun ini tergambar jelas
pada perilaku kita dalam berbahasa. Ketidakpatuhan pada hukum resmi
atau anarkisme, main hakim sendiri, bertindak seenaknya, malas, boros,
tak kreatif dan inovatif, serta antilogika merupakan masalah sangat
besar dan serius yang kita hadapi hingga sekarang. Kenyataan ini
sangat jelas tergambar dalam perilaku kita dalam berbahasa, baik
bahasa lisan maupun bahasa tulisan.
Dengarlah nama-nama acara-mereka menyebutnya program acara-yang
mengudara di stasiun-stasiun radio dan televisi siaran di kota
megapolitan, kota-kota metropolitan, bahkan di kota-kota kecil
sekalipun. Simaklah bahasa penyiar atau pembawa acaranya-mereka
memakai istilah presenter. Bacalah nama-nama rubrik di media massa
cetak yang terbit di mana pun.
Dengan mudah kita membaca berbagai rubrik yang nginggris.
Perhatikanlah judul buku-buku fiksi dan nirfiksi karya asli orang-
orang Indonesia yang dijual di toko-toko buku, pasar buku, atau kaki
lima. Isinya 99 atau 100 persen berbahasa Indonesia, tetapi judulnya
nginggris. Simaklah dosen dan guru, terutama yang masih muda, yang
sedang mengajar di depan kelas. Mereka bangga menggunakan bahasa gaul
kaum muda yang nginggris. Dengarkan pula petinggi atau pejabat negara
yang sedang berpidato atau berbicara kepada wartawan, atau ketika
tampil dalam acara bincang-bincang-mereka menyebutnya talkshow-di
berbagai stasiun televisi.
Simaklah bahasa wartawan-mereka menyebut diri reporter-kita, terutama
yang muda-muda. Mereka dengan bangga menggunakan bahasa gaul dan
nginggris. Dengarkanlah dengan cermat ucapan-ucapan anggota DPR dan
DPRD yang sedang bekerja-bersidang atau berdebat-yang tampaknya sedang
memperjuangkan nasib rakyat kecil. Mereka merasa terpelajar dan hebat
karena bisa berbahasa "gado-gado" alias nginggris.
Bahasa buruk
Tiap detik dengan mudah kita mendengarkan bahasa buruk semua pihak
yang kita sebut. Simak-lah contoh-contoh berikut, "gue banget", "gaya
bicaranya dia Soeharto banget", "thank you banget, ya!", "please,
deh", "jangan ngomongin aib pacarnya dia", "biaya maintenance-nya
sangat mahal banget", "ngapain kita repot-repot, outsourcing-kan aja",
"ini benar-benar big bang kita tahun ini", "gua teh lagi nggak fit,
tau?".
Realitas perilaku berbahasa buruk ini telah melanda orang Indonesia,
tidak hanya yang hidup di Pulau Jawa, tetapi di hampir semua kota di
Tanah Air. Bila Anda sering menginap di berbagai kota, dengarkanlah
radio-radio anak muda. Tonton juga tayangan stasiun- stasiun televisi
daerah setempat. Dengan cepat Anda menyimpulkan, bahasa mereka sama
dengan bahasa penyiar radio atau televisi Jakarta.
Penyeragaman bahasa nasional yang "sok nginggris-Betawi" tersebut
pastilah berkat "ajaran" (terpaan) stasiun-stasiun televisi nasional
yang sangat intensif sejak awal tahun 1990-an, di samping andil media
massa cetak.
Mulut munsyi dan pakar linguistik kita sudah lama berbuih-buih ketika
mengkritik perilaku berbahasa buruk banyak orang Indonesia tersebut,
baik melalui media massa cetak dan elektronik maupun melalui forum-
forum ilmiah dan buku-buku. Ada dua tokoh bahasa (munsyi), meskipun
bukan doktor lingusitik, yang sangat sering mengungkapkan kegeraman
atas perilaku buruk berbahasa orang-orang Indonesia, yakni Prof Dr
Sudjoko yang meninggal beberapa bulan lalu dan Yopie Tambayong alias
Remy Sylado alias Alif Danya Munsyi alias Dova Zila.
Namun, anjing menggonggong, khafilah tetap berlalu. Gejala apa ini?
Perilaku buruk dalam berbahasa ini tampaknya menunjukkan penyakit
bangsa kita yang disebut xeno mania alias tergila-gila terhadap asing.
Hukum D-M
Sampai detik ini, pemerintah, munsyi, dan ahli linguistik belum pernah
mengubah hukum diterangkan-menerangkan (D-M) menjadi hukum menerangkan-
diterangkan (M-D). Akan tetapi, lihatlah nama-nama stasiun televisi
dan radio di Tanah Air, baik yang berlingkup nasional maupun daerah.
Tanpa merasa bersalah sedikit pun mereka memberi nama stasiun televisi
menggunakan hukum M-D.
Penggunaan hukum M-D yang lazim diterapkan dalam bahasa Inggris ini
juga dengan mudah kita saksikan pada nama-nama radio lokal dan toko
atau usaha.
Simpulan kita, semakin lama semakin banyak orang Indonesia yang
berbahasa Indonesia dengan seenaknya, tak mengindahkan aturan yang
berlaku resmi. Kata ahli bahasa hukum, ini merupakan perilaku
berbahasa yang anarkistis. Berbagai aturan bagus dalam berbahasa
nasional mereka abaikan saja karena aturan itu dianggap menghalangi
kebebasan berbahasa, atau mungkin mereka mau hidup (berbahasa) tanpa
aturan.
Memang benar, bahasa menunjukkan bangsa. Untuk mengetahui dan mengurai
"wajah" negara atau bangsa dan daerah-daerah kita kini, kita tak usah
mendatangkan ahli dari negara-negara maju. Perilaku kita dalam
berbahasa nasional dan daerah telah sangat jelas menunjukkan wajah
kita. Salah satu ciri buruk yang sangat menonjol pastilah suka
bertindak seenak sendiri atau anarkis.
Perilaku buruk kita lainnya dalam berbahasa, terutama bahasa tulisan,
adalah pengabaian dan penjungkirbalikan logika, terutama logika
bahasa, salah diksi, kemalasan menerjemahkan istilah-istilah asing
(tak kreatif dan inovatif), salah struktur atau rancu, salah ejaan,
salah tanda baca, salah kaprah, dan lain-lain.
Untuk mengobati "penyakit" berbahasa yang sudah sangat parah ini, kini
perlu ada usaha bersama semua pemangku kepentingan bahasa Indonesia
untuk kembali menumbuhkan rasa bangga sebagai bangsa atau orang
Indonesia dan sebagai suku bangsa tertentu. Warga negara yang sangat
bangga sebagai orang Indonesia dan suku bangsa tertentu tentu
(seharusnya) juga mencintai bahasa nasional dan daerahnya sendiri.
Untuk mendukung usaha serius ini, pemerintah dan DPR perlu segera
membuat undang-undang tentang kebahasaan. Ini sebenarnya telah lama
direncanakan, tetapi tak kunjung diwujudkan. Banyak bangsa lain,
termasuk Filipina dan India, merasa iri dan sangat terkagum-kagum
terhadap bangsa kita karena memiliki ratusan bahasa daerah, tetapi
sepakat menggunakan satu bahasa persatuan.
Bahasa nasional ini merupakan salah satu kebanggaan dan jati diri asli
bangsa kita. Akan tetapi, mengapa justru kita sendiri tak bangga
memiliki dan menggunakan bahasa daerah dan nasional kita dengan baik,
benar, dan indah?
Tulisan:
S SAHALA TUA SARAGIH Dosen Jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu
Komunikasi Universitas
Padjadjaran Bandung
Pada Blog : Lesbumi
--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
No comments:
Post a Comment