ternyata setelah perdebatan yg seru dimilis ini , ternyata ada fakta lain..........
INILAH.COM, Jakarta - Ada kejadian penting yang lepas dari perhatian publik seputar alasan pembatalan perjalanan Presiden SBY ke Belanda 5 Oktober 2010 lalu.
Dari keterangan presiden terkesan Indonesia yang memutuskan pembatalan sepihak. Tapi informasi lain yang beredar, Belanda sengaja memprovokasi Indonesia dengan isu RMS karena hakekatnya negara itu sudah berubah sikap.
Belanda tidak menginginkan lagi kedatangan Presiden SBY walaupun kunjungan itu sebagai pemenuhan undangan Kepala Negara (Ratu) dan Kepala Pemerintahan (Perdana Menteri).
Belanda berubah sikap karena ulah diplomat RI di Den Haag. Kabar yang tidak pernah disinggung adalah dua pekan sebelumnya Belanda sudah menolak kedatangan Presiden RI. Tapi penolakan justru mau dimentahkan Kedutaan Besar RI (KBRI) di Den Haag.
Usaha KBRI ini terkait blunder yang dibuat Dubes JE Habibie di tengah perampungan persiapan kunjungan. Entah keceplosan atau berkelakar, menjelang kedatangan SBY ke Belanda, Habibie diwawancara wartawan setempat.
Dalam wawancara itu Habibie dilaporkan menyebut rakyat Belanda yang memilih PM Jan Peter Balkemende sebagai orang-orang gila. Logika yang digunakan Habibie, seorang PM yang mengaku anti-Islam, jelas bukan manusia sehat.
Akibat wawancara itu, Habibie dipanggil dan ditegur Kementerian Luar Negeri Belanda. Habibie disuruh meminta maaf. Adik kandung mantan Presiden BJ Habibie ini menyanggupi permintaan Belanda. Sampai di situ persoalannya kelihatan selesai.
Namun pada 22 September atau sekitar 13 hari jelang keberangkatan SBY ke Belanda, PM Balkemende dilaporkan masih marah terhadap Indonesia. Kemarahan itu dia lampiaskan di New York, saat menghadiri Sidang Tahunan Majelis Umum PBB.
Kemarahan diperpanjang Balkemende sebab sekalipun kepada Dubes Habibie sudah disarankan agar SBY membatalkan kunjungannya, tetapi saran itu tidak diteruskan ke Jakarta. Sehingga protokol Jakarta pun terus melakukan persiapan.
Pemerintah Belanda yang merasa sudah tidak nyaman jika harus menerima SBY, kemudian merancang sebuah peristiwa. Yaitu menyidangkan gugatan RMS terhadap Presiden SBY.
Persidangan bertepatan dengan kedatangan SBY di Den Haag. Dalam gugatan RMS antara lain pemerintah Belanda diminta menangkap Presiden SBY ketika berada di negara tersebut.
Baru setelah rencana ini tersiar dan KBRI merasa hal ini sebagai sesuatu yang serius, Kemenlu mulai mencari jalan keluar. Tapi untuk menyampaikan apa adanya tentang situasi, Kemenlu tidak berani berterus terang. Sebab terkesan KBRI sudah 'berbohong' kepada presiden.
Karena tidak ada cara paling efektif, dramatisasi pun dilakukan Kemenlu pada jam-jam terakhir keberangkatan, 5 Oktober 2010. Di antaranya meminta wartawan yang ikut rombongan naik ke dalam pesawat satu setengah jam sebelum jadwal keberangkatan.
Sementara wartawan sudah berada di dalam pesawat, presiden baru diberitahu bahwa situasi di Belanda sangat tidak kondusif. Sehingga tindakan paling tepat, presiden sendiri yang memutuskan pembatalan.
Rekayasa gugatan RMS ini memang tidak tercium KBRI. Tetapi akhirnya digunakan Kemenlu merekayasa pembatalan di menit-menit akhir. SBY dibuat merasa tersinggung oleh Belanda sebab bekas penjajah Indonesia ini tidak bisa 'menangani' RMS.
SBY tidak sadar bahwa ia tidak diberi informasi lengkap. Atau ia tidak merasa 'dibohongi' diplomatnya. Dengan peta itulah SBY memutuskan membatalkan perjalanannya. Padahal keputusan itu yang ditunggu Ratu dan PM Belanda.
Tugas selanjutnya bagaimana SBY menjelaskan pembatalan itu. SBY pun terpaksa 'berbohong' kepada rakyat bahwa yang ia lakukan demi menjaga martabat bangsa.
Padahal yang terjadi pemerintah Belanda 'membohongi' KBRI di Den Haag, selanjutnya KBRI melakukan hal serupa kepada Istana. Itu sebabnya sekalipun pengumuman pembatalan itu tersiar ke Belanda, reaksi Den Haag, adem ayem saja.
Tentang pernyataan Habibie yang menohok PM Belanda, harus disebut sebagai sebuah pelanggaran etika dalam dunia diplomasi. Selain itu kebenaran PM Belanda sebagai pemimpin anti-Islam masih perlu pembuktian.
Jika dia benar-benar anti-Islam, semestinya tidak mau bertemu SBY, presiden yang beragama Islam di forum KTT G-20 Toronto, Kanada, Juli. Lagi pula PM Balkenende berkuasa sejak 2002 dan konstituennya disebut-sebut juga ada yang beragama Islam. Lantas pada April 2006 ia juga berkunjung ke Indonesia.
Persoalan ini patut diklarifikasi DPR. Jangan sampai kemarahan Belanda terhadap Dubes Habibie berimbas kemana-mana, termasuk rakyat Indonesia. Apa jadinya misalnya Belanda melarang terbang Garuda, yang membuka kembali rutenya ke Amsterdam.
SBY masih 4 tahun lagi memimpin. Sebuah kurun waktu yang relatif masih panjang. Maka dalam 4 tahun mendatang masih banyak yang bisa dilakukan. Selain itu ada 4 hal pula yang tidak boleh dilakukan SBY. Pertama: jangan berbohong. Kedua: jangan bohong. Ketiga: jangan bohongi rakyat. Keempat: jangan bohongi dirinya sendiri. [mdr]
No comments:
Post a Comment