Friday, December 3, 2010

[Milis_Iqra] Agresi SBY "Mencabik Sultan"

Refleksi:
Kalau kita flash back ke sebelum kemerdekaan, Yogya adalah suatu
kesultanan yang berdaulat dan diakui olej Belanda (VOC) dokumen-
dokumen ini konon masih tersimpan lengkap di Leiden Balanda, maka pada
saat Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, Soekarna bertemu dengan
Sultan HB IX untuk menanyakan sikap kesultanan, dan saat itu Sultan
menyatakan "ikut bergabung ke dalam NKRI"

Kalau rakyat Yogya sampai meminta peradilan Internasional di Denhaag
dan dokumen ini diungkap, maka Yogya untuk menyatakan "tidak
bergabung" lagi dengan NKRI adalah suatu hal yang sangat-sangat dapat
diterima seusai dengan hukum International.

Kalau dinyatakan Yogya tidak bisa hidup sebagai negara yang berdiri
sendiri itu suatu ungkapan yang mustahil, Singapore meski dalam
keadaan dan kapasitas negara yang berbeda bisa hiudp, Timor Lest juga
bisa hidup, kenapa Yogya tidak.

Tapi saya yakin Sultan tidak akan berbuat seperti oitu, namun kalau
rakyat Yogya yang menghendaki? Wallahu a'alam, yang jelas presiden
kita ingin membangun monarki baru yang tanpa saingan "Puri Cikeas"


http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=section&layout=blog&id=15&Itemid=131

Agresi SBY "Mencabik Sultan"

Oleh : Arfanda Siregar

Belum lagi hilang duka dan nestapa yang memayungi Yogyakarta akibat
erupsi Gunung Merapi, kini mendadak pemerintah pusat menyerang jantung
pemerintah Yogyakarta .

Meski, tidak sedahsyat wedhus gembel, debu ,dan material vulkanik
Merapi yang mampu meluluhlantakkan pemukiman penduduk, namun agresi
dari pusat mampu mengoncangkan singasana Kasultanan Yogyakarta yang
telah berumur ratusan tahun.

Agresi yang berasal dari pusat dipicu oleh pernyataan Presiden SBY
ketika rapat kabinet terbatas, Jumat (26/11) bahwa tidak mungkin
sistem monarki dapat diterapkan di negara demokrasi seperti Indonesia.
Oleh karenanya, seiring dengan penggodokan RUU Keistimewaan DIY,
pemerintah akan memprosesnya bersama DPR suapaya tidak lahir UU yang
tumpang tindih dengan realitas demokrasi di Indonesia.

Gayung bersambut, sehari kemudian, Sultan Yogyakarta Sri Sultan
Hamengku Buwono X yang merangkap Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY) menanggapi," DIY bukanlah monarki. Namun, jika jabatan gubernur
yang juga dijabat Sultan Yogyakarta dianggap pemerintah pusat sebagai
penghambat proses penataan DIY, saya bersedia meninjau kembali jabatan
gubernur tersebut."

Tampilan Berbeda SBY

Agak aneh memang kali ini, Presiden SBY yang biasanya tampil kalem dan
dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya seakan lepas kontrol
menanggapi keistimewaan Yogyakarta. Sungguh tidak bijaksana
memersoalkan kekuasaan di tengah 22.000 ribu pengungsi Merapi yang
masih bertahan di tenda-tenda pengungsi di seantero Yogyakarta.
Apalagi curah hujan yang lebat akhir-akhir ini telah menimbulkan
kekhawatiran baru bagi penduduk,terutama yang bermukim di sekitar
bentaran kali,atas ancama banjir lahar dingin yang berasal dari puncak
Merapi.

Tentu saja pernyataan presiden itu ditanggapi dengan nada emosional,
bukan saja dari Sultan namun berbagai elemen masyarakat Yogya yang
saat ini membutuhkan bantuan cepat dan tanggap atas nasib mereka yang
terkena bencana. Keadaan ini persis seperti ungkapan Jawa ," ngono yo
ngono ,mbok ojo ngono". Boleh-boleh saja memersoalkan sesuatu, tetapi
jangan keterlaluan,pertimbangkan dulu masak-masak,lihat-lihat dulu
keadaan sebelum bertindak.

Apalagi persoalan keistimewaan Yogyakarta yang diperdebatkan SBY bukan
masalah subtansial,tapi hanya persoalan bagi-bagi kekuasaan. Rakyat di
negeri ini pun sudah muak dengan persoalan kekuasaan. Entah sudah
berapa banyak uang dihabiskan untuk menyelenggarakan pemilu dan
pilkada, namun tak satu pun produk politik itu mampu membawa rakyat
negeri sumringah, sentosa, dan tenteram. Meski negeri ini sudah
termasuk negara demokrasi, tapi capaiannya belum dirasakan rakyat
sebagai berkah.

Yang didambakan masyarakat Yogya pasca erupsi Merapi adalah kiprah
pemerintah merehabilitasi berbagai kehancuran yang disebabkan oleh
amuk Merapi. Areal pertanian, ternak, pemukiman, transportasi,
irigasi, dan berbagai kehancuran sarana serta prasarana yang menopang
kehidupan masyarakat lebih penting diurus ketimbang memersoalkan
singgasana Sultan Hamangkubuwono. Mengambil hati masyarakat Yogya,
terutama korban bencana jauh lebih penting.

Mengapa Harus Diungkit

Sebagai presiden yang juga berasal dari Jawa, sepertinya SBY lupa
dengan salah satu perih bahasa kuno yang berbunyi aja nggege
mangsa,jangan mempercepat musim atau waktu. Makna sejatinya adalah,
jangan memaksakan diri dalam memperoleh hasil sebelum waktunya, karena
apa yang didapat pasti tidak memuaskan.

SBY tidak boleh lupa akan sumbangan besar yang telah diberikan
Kesultanan Yogyakarta terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Ketika terjadi agresi Belanda terhadap Indonesia, pusat pemerintahan
terpaksa pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Belanda tidak berani
berbuat lebih jauh ke Yogyakarta karena mereka tahu seperti apa
keberadaan Kesultanan Yogyakarta.

Kalau presiden konsisten dengan nilai konstitusi dan demokrasi yang
dianut, seharusnya bukan hanya Yogyakarta yang dipaksa mengikuti
kemauan presiden. DKI Jakarta ,Aceh Nanggroe Darussalam dan Papua pun
dengan nyata melanggar konstitusi dan nilai demokrasi,namun tidak
pernah diusik keberadaanya. Seharusnya kita tidak harus keberatan
memberikan keistimewaan kepada Yogyakarta. Apalagi keistimewaan itu
tidak diberikan atas hal-hal yang aneh seperti atas nama agama maupun
suku bangsa.

Keistimewaan kepada Yogyakarta malah bisa membuat kita memiliki
kekhasan. Kalau Perancis bisa memberi hak hidup kepada Monaco,
seharusnya kita bisa menjadikan Yogyakarta seperti itu. Bahkan kalau
kita mau, bisa menjadikan Yogyakarta seperti Monaco yang memberikan
sumbangan ekonomi bagi Perancis.

Kalaupun ada hal-hal yang kurang berkenan dari tindak-tanduk Sultan
yang merasa "berdarah biru" sehingga menampilkan rivalitas ketimbang
patner tentu tidak dapat dijadikan dasar kebijakan nasional.Jangan
sampai persoalan pribadi masuk pada ranah publik. Hal ini bisa saja
terjadi karena Sultan pernah mendeklarasikan diri  sebagi Capres dan
dalam beberapa hal banyak statemennya   menabrak kepentingan politik
SBY.

Sultan/Gubernur DIY yang menolak bantuan pemerintah kepada pengungsi
Merapi kalau berasal dari pinjaman itu, juga dikenal sebagai tokoh
netral dan kritis, sering bergabung dengan gerakan ekstra parlemen,
bersama  dengan Surya Paloh mendirikan Ormas Nasional Demokrat
(NASDEM). Sikap Sultan seperti itu tidak ditemui pada Kepala Daerah
lain yang lebih menampilkan sikap tunduk dan sendiko dawuh atas titah
SBY.

Dalam konteks agresi SBY kepada Sultan sesungguhnya lebih terasa
berbau rivalitas diantara keduanya ketimbang persoalan-persoalan yang
lebih teknis yang relatif mudah dikompromikan. Panasnya isu seputar
pencabutan keistimewaan DIY  lebih karena "aura"  kepemimpinan pusat
yang ingin menegakkan kedaulatan kepemimpinan nasional secara
absolut, tak tertandingi, tak terlawan, dan tersaingi oleh  tokoh
lainnya. SBY seakan lupa agresi yang dilandasi ambisi dan dominasi
kepemimpinan itulah sesungguhnya ciri dari kekuasaan monarki yang
absolut.***

Penulis adalah Dosen Politeknik Negeri Medan/Alumni Pascasarjana UGM

--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125

Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63

Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-

No comments:

Post a Comment