Kisruh Monarki (1)
Ketika Demokrasi di Yogya Dipersoalkan
Laporan wartawan KOMPAS.com Caroline Damanik
Kamis, 2 Desember 2010 | 09:15 WIB
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Abdi dalem Darno Pawoko berjaga di seberang Bangsal Kencono di kompleks Keraton Yogyakarta,
TERKAIT:
- Menanti Penjelasan Presiden
- Adipati Puro Pakualaman nan Sederhana
- RUUK DIY Dijelaskan Sebelum Sidkab
- Patrialis: Yogya Bukan Tak Demokratis
- Pendukung Keistimewaan Mulai Demo
KOMPAS.com — Terus tertundanya pembahasan RUU Keistimewaan Yogyakarta lebih dari tujuh tahun menyisakan polemik di pengujung tahun 2010. Padahal, RUU ini menjadi salah satu prioritas Program Legislasi Nasional di DPR tahun ini. Sementara pemerintah tak kunjung menyerahkan draf RUU kepada Dewan.
Rasa jenuh masyarakat, terutama warga
SBY menyebutkan ada tiga pilar yang harus diperhatikan dalam penyusunan RUU ini, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia, keistimewaan DIY berkaitan dengan sejarah dari aspek-aspek lain yang harus diperlakukan sesuai dengan UU, serta aspek Indonesia sebagai negara hukum dan negara demokrasi. Setelah itu SBY melontarkan pernyataan yang menjadi kontroversi hingga hari ini.
"Nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan dengan konstitusi maupun nilai-nilai demokrasi," katanya.
Kontan, publik terkejut. Pernyataan SBY dinilai mengada-ada. Reaksi keras pun terus bermunculan. Apalagi, SBY hingga kini belum pernah mengonfirmasi pernyataannya itu secara langsung.
Di berbagai media Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X juga mengaku bingung dengan pernyataan SBY, terutama dengan penggunaan istilah "monarki". Menurut Sultan, pemerintahan daerah di DI Yogyakarta memiliki sistem dan manajemen organisasi yang sama dengan provinsi lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang Dasar, UU, serta peraturan pelaksanaannya.
Bahkan, Sultan menegaskan akan mempertimbangkan kembali jabatannya jika pemerintah pusat mengganggu penataan pemerintahan di DIY terkait dengan pemilihan atau penetapan gubernur. Sultan juga tidak ingin masyarakat luas menilai bahwa pemerintahan daerah di DI
Pernyataan Sultan disusul oleh berbagai pernyataan dari berbagai kalangan. Seperti ada amarah di balik pernyataan yang susul-menyusul dan menggelembungkan monarki sebagai isu nasional yang menghiasi halaman media dalam sepekan ini.
Nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan dengan konstitusi maupun nilai-nilai demokrasi.
-- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Mengapa rakyat marah?
Mengapa rakyat marah? Pengamat politik Burhanuddin Muhtadi dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) menegaskan, SBY salah menempatkan strategi komunikasinya dan juga salah momentum. Karena pernyataan beberapa menit, SBY menyebar dampak yang kontraproduktif kepada dirinya sendiri dan polemik kepada masyarakat.
Salah strategi komunikasi karena SBY tidak menyasar langsung pokok persoalan tertundanya pengajuan draf RUU Keistimewaan Yogyakarta, yaitu pasal yang terkait dengan tata cara penetapan Kepala Daerah di DI Yogyakarta.
"SBY malah muter-muter ke arah monarki yang dikontraskan dengan demokrasi. Pokok persoalan di RUU ini
Burhanuddin menilai SBY membuat blunder dengan melontarkan pernyataan tersebut. Menurutnya, ada dua macam monarki, yaitu monarki konstitusional dan monarki absolut. Sayangnya, lanjut Burhanuddin, SBY hanya menyebutkan monarki yang tidak sejalan dengan demokrasi. Padahal monarki konstitusional adalah monarki yang sejalan dengan demokrasi.
"Ketika SBY hanya menyebut monarki yang tidak kompatibel dengan demokrasi, jelas membuat masyarakat
Anggota Komite I DPD, Paulus Yohanes Sumino, juga mengatakan, wajar saja jika masyarakat
Menurutnya pula, demokrasi berarti kekuasaan ada di tangan rakyat. Selama ini, demokrasi di
"Karena rakyat Yogyakarta
Selain itu, Burhanuddin ataupun Paulus juga menilai pernyataan SBY dilontarkan dalam momen yang tidak tepat ketika
No comments:
Post a Comment