Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT
Calon Buat Ajeng
Penulis : Asma Nadia
===================
Calon Suami????!!!!!
Pfui, kuhembuskan nafasku kuat-kuat. Bosan
aku. Lagi-lagi calon suami yang dibicarakan. Bayangin, sudah dua bulan ini
tidak ada topik yang lebih trend di rumah, selain soal suami.
Mulai dari Papi yang selalu nyindir, sudah
pengen menimang cucu. Mami yang berulang-ulang menasihatiku agar jangan terlalu
pilih-pilih tebu. Lalu Bambang, adikku, yang kuharap bisa menetralisir suasana,
tak urung ikut menggoda. Bahkan si kembar Rani-Rano, yang masih es em pe pun,
ikut-ikutan menceramahiku.
"Mbak Ajeng kan udah jadi insinyur, udah waktunya dong,
mikirin berkeluarga. Lagian, Rani sama Rano kan udah pengen dipanggil 'Tante dan Oom'.
Tika aja yang baru kelas enam, keponakannya udah empat!"
"Iya, Mbak. Jaman sekarang, perempuan itu
harus agresif. Mbak Ajeng sih, kerjanya belajar ama ngaji melulu!" Rano
menimpali kata-kata kembarnya.
Aku hanya bisa melotot, nemu di mana lagi
pendapat kayak gitu.
"Udah sana kalian belajar!" hardikku agak keras.
"Tuh, kaaaan?!?" seru mereka berdua
kompak.
Huhh, dasar kembar!
***
"Ajeng…!"
Kudengar panggilan Mami dari depan. Pelan
aku bangkit dari meja belajar. Setelah merapikan jilbab, aku keluar.
"Ada
apa, Mi?" tanyaku lunak. Sekilas sempat kulihat sosok seorang lelaki, duduk di
sudut ruangan.
Kedua bola mata Mami tampak
bersinar-sinar. Oo…Oo…! Pasti ada yang nggak beres, gumamku dalam hati.
Iiih..su'udzon! Tapi….
Benar saja.
"Ajeng, kenalin. Ini tangan kanan Papi di
kantor. Hebat, ya! Masih muda sudah jadi Wakil Presiden Direktur. Ayo, kenalin
dulu. Ini Nak Bui…."
"Boy, Tante!"
"Eh, iya. Boi!"
Aku hanya bisa menahan geli. Mami…Mami…!
Rasa geliku mendadak hilang, ketika selama
dua jam berikutnya aku harus mendengarkan obrolan Mami dengan Si Boi tadi.
Bukan main, lagaknya! Batinku menggerutu
sendiri, mendengar cerita-ceritanya yang melulu berbau luar negeri.
"Jadi, Tante, selama belajar di Harvard,
saya sudah coba-coba berbisnis sendiri. Hasilnya lumayan. Saya bisa jalan-jalan
keliling Amerika, bahkan Eropa setiap kali holiday!"
Hihhh, gemas aku! Terlebih melihat
pancaran kagum di wajah Mami. Benar-benar nggak peka nih anak. Kok bisa sih
nggak merasa dicuekin? Tetap aja ngomong. Tak perduli aku yang cuma diam dan
sesekali manggut. Kupanjatkan syukur yang tak terkira ketika akhirnya Si Boi
pulang. Alhamdulillah!
***
Kulihat Bambang tertawa. Kesal,
kulemparkan bantal ke arahnya. Orang cerita panjang lebar minta advise, kok
cuma diketawain?!?
"Bang, serius, dong! Pokoknya kalau nanti
Mami nanyain kamu soal Boy, awass kalau kamu setuju!" ancamku serius. Bambang
masih cengar-cengir.
"Mbak Ajeng gimana, sih? Biasanya Mbak
yang nyuruh aku sabar menghadapi segala sesuatu. Lho, kok sekarang malah
panasan gini? Tenang aja, Mbak, sabar! Innallaha ma'ashshabirin!" balasnya
sambil mengutip salah satu ayat di Al-Quran.
Iya, ya. Kenapa aku jadi nggak sabaran
gini. Baru juga ngadepin si Boy. Astaghfirullah!
"Mbak bingung, Bang! Habis serumah pada
mojokin semua. Kamu ngerti, kan,
milih suami itu nggak mudah. Nyari yang shalih sekarang susah. Mbak nggak pengen
gambling. Salah-salah pilih, resikonya besar. Nggak main-main, dunia akhirat!"
Sekejap, kulihat keseriusan di matanya.
Cuma sekejap, sebelum ia kembali menggodaku.
"Apa perlu Bambang yang nyariin???!"
Lemparan bantalku kembali melayang.
***
Kriiiiing…!!!
Ups, kumatikan bunyi weker yang
membangunkanku. Jam tiga lebih seperempat. Aku bangun dari tempat tidur,
bergegas ke kamar mandi untuk berwudhu. Kuperhatikan lampu kamar Bambang masih
menyala. Sayup-sayup suara kaset murattal terdengar.
Tercapai juga niatnya untuk begadang malam
ini, pikirku. Heran, kebiasaan menghadapi ujian dengan pola SKS (Sistem Kebut
Semalam) masih membudaya rupanya.
Cepat kuhapuskan pikiran tentang Bambang
dan ujiannya. Mataku nanar menyaksikan pantulan wajahku di cermin. Kuhapus tetesan
air wudhu yang tersisa dengan handuk kecil. Oooohh, begini rupanya gadis di
penghujung usia dua puluh sembilan? Kuperhatikan bentuk wajahku yang makin
tirus. Baru kusadari, betapa pucatnya wajah itu. Entah kemana perginya rona
merah yang biasa hadir di sana.
Mungkin hilang termakan usia. Ya Rabbi, pantas saja Papi dan Mami begitu
khawatir. Sudah sulung mereka tak cantik, menjelang tua, lagi!
"Ir. Ajeng Prihartini." Kueja namaku
sendiri.
"Jangan cemas ya ukhti, ini bukan nasib
buruk!" Bisikku menghibur. Bagaimana pun aku harus tetap tawakkal pada Allah.
Jodoh, rizki, dan maut, Dia yang menentukan. Berjodoh di dunia bukanlah satu
kepastian yang akan kita raih dalam hidup. Tidak, ada hal lain yang lebih
penting, lebih pasti. Ada
kematian, maut yang pasti kita hadapi. Sesuatu yang selama ini sering kuucapkan
kepada saudaraku muslimah yang lain, ketika mereka ramai meresahkan calon suami
yang tak kunjung datang.
"Sebetulnya kita ini lucu, ya? Lebih
sering mempermasalahkan pernikahan, hal yang belum tentu terjadi. Maksud Ajeng,
bergulirnya waktu dan usia, nggak seharusnya membuat kita lupa untuk berpikir
positif terhadap Allah. Boleh jadi calon kita ini nggak buat di dunia, tapi
disediakan di surga. Mungkin Allah ingin memberikan yang lebih baik, who
knows?" ujarku optimis, dua tahun yang lalu.
Astaghfirullah! Ishbiri ya ukhti, isbiri….
Tanganku masih menengadah, berdoa, saat
kudengar azan Subuh berkumandang. Hari baru kembali hadir. Alhamdulillah,
terima kasih ya Allah, untuk satu hari lagi kesempatan beramal dan taubat, yang
masih Kau berikan.
***
Selesai berurusan dengan Mami untuk
masalah Boy, gantian aku harus menghadapi Tante Ida yang siap mempromosikan
calonnya. Duhh! Lagi-lagi aku cuma bisa manggut-manggut.
"Tante sih terserah Ajeng. Pokoknya lihat
aja dulu. Syukur-syukur Ajeng suka. Dia anak lurah. Bapaknya termasuk juragan
kerbau yang paling kaya di Jawa. Tapi nggak kampungan, kok. Anak kuliahan juga
seperti kamu!" promosi Tante Ida bersemangat.
Dua hari kemudian, Tanteku itu kembali
datang dengan 'balon'nya.
"Junaedi. Panggil aja Juned!"
Aku hanya mengangguk. Tak membalas uluran
tangan yang diajukannya.
Selama pembicaraan berikutnya,
berkali-kali aku harus menahan diri, untuk tidak lari ke dalam. Aku tidak ingin
menyinggung perasaan Tante Ida. Apalagi beliau bermaksud baik. Hanya saja, asap
rokok Juned benar-benar membuatku mual. Malah nggak berhenti-henti. Habis
sebatang, sambung sebatang. Persis lokomotif uap jaman dulu!
Dengan berani pula ia mengomentari
penampilanku.
"Eng…jangan tersinggung ya, Jeng. Aku suka
bingung sendiri ngeliat perempuan yang memakai kerudung. Kenapa sih tidak
pintar-pintar memilih warna dan mode?! Aku kalau punya isteri, pasti tak suruh
beli baju yang warna-warnanya cerah, menyala. Sekaligus yang bervariasi.
Seperti yang dipakai artis-artis kita yang beragama Islam itu lho, sekarang.
Ndak apa-apa toh sedikit kelihatan leher atau betis?! Maksudku biar tidak
terlihat seperti karung berjalan gitu lho, Jeng! Hahaha…."
Kontan raut mukaku berubah. Tanpa menunggu
rokok keenamnya habis, aku mohon diri ke dalam. Tak lama kudengar suara Juned
pamitan. Alhamdulillah.
Ketika Tante Ida menanyakan pendapatku,
hati-hati aku menjawab.
"Maaf ya, Tan…, rasanya Ajeng nggak sreg.
Terutama asap rokoknya itu, lho. Soalnya Ajeng punya alergi sama asap rokok.
Mana kelihatannya Juned perokok berat, lagi. Maaf ya, Tan…, udah ngerepotin."
Bayang kekecewaan tampak menghiasi raut
muka Tante Ida.
"Bener, nih…nggak nyesel? Tante cuma
berusaha bantu. Ajeng juga mesti memikirkan perasaan Mami sama Papi. Susah lho, nyari yang seperti Juned. Udah ganteng,
dokterandes lagi! Terlebih kamu juga sudah cukup berumur."
Bujukan Tante Ida tak mampu
menggoyahkanku. Dengan masih kecewa, beliau beranjak keluar. Sempat kudengar
Tante Ida berbicara dengan Papi dan Mami. Sempat pula kudengar
komentar-komentar mereka yang bernada kecewa, sedih. Ya Allah, kuatkan
hamba-Mu!
Hari berangsur malam. Aku masih di kamar,
mematung. Beragam perasaan bermain di hatiku. Sementara itu, hujan turun
rintik-rintik.
***
Siang begitu terik. Langkahku lesu
menghampiri rumah. Capek rasanya jalan setengah harian, dari satu perpustakaan
ke perpustakaan IPB lainnya. Namun buku yang kucari belum juga ketemu. Padahal
buku itu sangat kuperlukan untuk menghadapi ujian pasca sarjanaku sebentar
lagi. Sia-sia harapanku untuk bisa beristirahat pulang ke Depok. Kereta yang
kutumpangi benar-benar penuh. Sudah untung bisa berdiri tegak, dan tidak doyong
ke sana ke
mari, terdesak penumpang yang lain.
"Assalamu'alaikum!" perasaanku kembali
tidak enak, melihat Mami yang tidak sendirian. Seorang lelaki berjeans, dengan
sajadah di pundak, dan kopiah di kepala, tampak menemani beliau.
Jangan…jangan….
"Wa'alaikumussalam. Nah, ini Ajengnya
sudah pulang. Ajeng, sini sayang. Kenalkan, Saleh. Putera Pak Camat yang baru
lulus dari pondok pesantren di Kalimantan.
Kalian pasti bisa bekerja sama mengelola kegiatan masjid di sini. Lho, Ajeng…,
kok malah diam? Maaf Nak Saleh, Ajeng memang pemalu orangnya."
Duhh, Mami!
Kali ini Mami membiarkanku berdua dengan
tamunya itu. Risih, kuminta Rani mendampingiku. Dia setuju setelah aku janji
akan menemaninya mendengar ceramah di Wali Songo, pekan depan.
Selama Saleh berbicara, aku menunduk
terus. Bisa kurasakan pandangannya yang jelalatan ke arahku. Dengan gaya bahasa yang tinggi,
Saleh bercerita tentang berbagai kitab berbahasa Arab yang telah dia kuasai.
Bukan main. Lalu ia mulai membahas satu persatu perbedaan pendapat di kalangan
umat Islam. Soal doa qunut, perbedaan doa iftitah, masalah posisi telunjuk
ketika tahiyat, dan lain-lain yang senada.
Terus terang, aku tidak begitu setuju
dengan caranya. Betul bahwa semuanya harus kita ketahui. Tapi bagiku, dengan
makin meributkannya, hanya akan memperuncing perbedaan yang ada. Cukuplah bahwa
masing-masing berpegang pada sunnah Rasulullah. Tentunya akan lebih baik, jika
kita justru berusaha mencari titik temu atau persamaan, dan bukan malah
memperlebar jurang perbedaan.
"Kalau menurut Saleh, kasus Bosnia itu
bagaimana?" tanyaku mengalihkan perhatian.
"Oooh, itu. Ane sangat tidak setuju.
Menurut pendapat dan analisa ane, tidak seharusnya masalah Bosnia itu
digembar-gemborkan. Itu akan membuat sikap tersebut kian membudaya. Sudah
saatnya pola sikap ngebos, dan penghargaan masyarakat terhadap orang-orang yang
punya kedudukan, diarahkan sewajarnya. Agar tidak berlebihan." ulasnya panjang
lebar.
Gantian aku yang bingung.
"Saya…saya tidak paham apa yang Saleh
maksudkan." ujarku sedikit gagap.
"Kenapa? Apa karena bahasa yang ane
gunakan terlalu tinggi atau bagaimana, hingga Ajeng sulit memahami?"
Aku tambah melongo.
"Bukan itu, ini…, Bosnia yang
mana, yang Saleh maksudkan?" tanyaku makin bingung.
"Lha, yang nanya kok malah bingung?! Yang
ane bicarakan tadi ya tentang Bosnia,
Boss-Mania, kan
maksud Ajeng?!!"
Ufh, kutahan tawa yang nyaris meledak.
Bingung aku, ternyata masih saja ada orang yang meributkan hal-hal yang relatif
lebih kecil, dan melupakan masalah lain yang lebih besar. Dari sudut mataku,
kulihat Rani pringas-pringis menahan geli, sambil mempermainkan kerudung
pink-nya. Lucu sekali.
"Bukan, yang Ajeng maksudkan adalah
penindasan yang terjadi pada saudara-saudara muslim kita di Negara Bosnia." aku
berusaha menjelaskan dengan sabar.
Tampak Saleh manggut-manggut.
"Ooooh, yang itu. Ya…jelas penindasan itu
tidak bisa dibenarkan. Tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan keadilan," ujar
Saleh optimis, lalu….
"Ngomong-ngomong,
Bosnia itu di
mana, sih?"
Tawa Rani meledak.
Duhhh, Mami!!!
***
Malamnya, waktu aku protes ke Mami, soal
calon-calon itu, tanpa diduga, malah Mami yang marah.
"Lho, kamu itu gimana toh? Kata Bambang
kamu maunya sama Saleh. Pas Mami temuin, kamu bilang bukan yang seperti itu
yang kamu inginkan. Jadi sebenarnya, Saleh yang mana calon kamu itu?" suara
Mami meninggi.
Aku terhenyak. Bambang yang duduk di kursi
makan tersenyum simpul. Awas, kamu de'! Bisikku gemas.
"Bukan yang namanya Saleh, Mi. Ajeng ingin
orang yang saleh, yang taat beribadah. Orang yang punya pemahaman paling tidak
mendekati menyeluruhlah, tentang Islam. Yang Islamnya nggak cuma teori, tapi
ada bukti. Yang nggak jelalatan memandang Ajeng terus-terusan dari ujung jilbab
sampai kaos kaki, seperti hendak menawar barang dagangan. Ajeng tahu, usia
Ajeng sudah jauh dari cukup. Ajeng juga pengen segera menikah. Perempuan mana
sih, yang tidak ingin berkeluarga, dan punya anak?" lanjutku hampir menangis.
"Tapi…, tolong. Jangan menyudutkan Ajeng.
Tolong Mami bantu Ajeng agar bisa tetap sabar, tetap tawakkal sama Allah. Kita
memang harus berusaha, tapi jangan memaksakan diri. Biar Ajeng mesti nunggu
sampai tua, Ajeng siap. Daripada bersuamikan orang yang akhlaknya tidak Islami.
Tolong Ajeng, Mi…tolong!" Kusaksikan mata Mami berkaca-kaca. Diraihnya aku ke
dalam pelukannya. Berdua kami berisakan. Papi turut menghampiri, menepuk-nepuk
pundakku. Rani dan Reno
terdiam di kursinya.
"Maafin Mami, sayang…." suara Mami lirih,
memelukku makin erat.
***
Kesibukanku menulis diary terhenti.
"Mbak Ajeng…telepon tuh!" pekik Rano
keras.
"Dari siapa? Kalau dari Anto Boy, Didin,
Juned, atau Saleh, Mbak nggak mau terima!" balasku agak keras.
Hening, tidak ada panggilan lanjutan dari
Rano. Aku lega.
Alhamdulillah, sejak kejadian malam itu,
perlahan topik trend kami bergeser. Mami tidak lagi menyodorkan calon-calonnya,
sebelum menanyakan kesediaanku. Beberapa Oom dan Tante yang datang, harus
pulang dengan kecewa karena promosi dibatalkan. Aku masing ingin menenangkan
diri dulu.
Kuraih pena. Dengan hati seringan kapas,
aku mulai menulis:
Kepada Calon Suamiku….
Usiaku hari ini bertambah setahun
lagi.
Tiga puluh tahun sudah. Alhamdulillah.
Kuharap, tahun-tahun yang berlalu, meski memudarkan keremajaanku, namun tidak
akan pernah memudarkan ghirah Islamiah yang ada. Mudah-mudahan aku bisa tetap
istiqamah di jalan-Nya.
Ujian pasca sarjanaku sudah selesai.
Sebentar lagi, satu embel-embel gelar kembali menghiasi namaku. Belum lama ini
aku juga mengambil kursus jahit dan memasak. Dengan besar hati pula, Mami mesti
mengakui, bahwa kemahirannya di dapur, kini sudah tersaingi.
Alhamdulillah, sekarang aku lebih bisa
berkonsentrasi untuk menulis, dan memberikan berbagai ceramah di beberapa
kampus dan masjid. Baru sedikit itulah, yang bisa kulakukan sebagai perwujudan
syukurku atas nikmat-Nya yang tak terhitung.
Calon suamiku….
Aku maklum, bila sampai detik ini kau
belum juga hadir. Permasalahan yang menimpa kaum muslimin begitu banyak.
Kesemuanya membentuk satu daftar panjang dalam agenda kita. Aku yakin
ketidakhadiranmu semata-mata karena kesibukan dakwah yang ada. Satu kerja
mulia, yang hanya sedikit orang terpanggil untuk ikut merasa bertanggung jawab.
Insya Allah, hal itu akan membuat penantian ini seakan tidak pernah ada.
Calon suamiku….
Namun jika engkau memang disediakan
untukku di dunia ini, bila kau sudah siap untuk menambah satu amanah lagi dalam
kehidupan ini, yang akan menjadi nilai plus di hadapan Allah (semoga), maka
datanglah. Tak usah kau cemaskan soal kuliah yang belum selesai, atau pekerjaan
yang masih sambilan. Insya Allah, iman akan menjawab segalanya. Percayakan
semuanya pada Allah. Jika Dia senantiasa memberikan rizki, padahal kita tidak
dalam keadaan jihad di jalan-Nya, lalu bagaimana mungkin Allah akan
menelantarkan kita, sedangkan kita senantiasa berjihad di sabil-Nya?!
Banyaklah berdoa, Calon Suamiku, di
manapun engkau berada. Insya Allah, doaku selalu menyertai usahamu.
Wassalam,
Adinda
NB: Ngomong-ngomong, nama kamu siapa,
sih?
"Syahril… Nama saya Syahril."
Deg! Aku tersentak. Pena yang kugenggam
jatuh. Rasa-rasanya kudengar satu suara. Sedikit berjingkat, aku melangkah ke
depan. Sebelum aku sempat menyibak tirai yang membatasi ruang makan dengan
ruang tamu, kudengar suara Papi memanggilku.
"Ajeng…!"
Hampir aku terjatuh, saking tergesanya
menghampiri beliau. Sekilas mataku menyapu bayangan seorang lelaki berkaca
mata, yang berdiri tak jauh dari Papi, dengan wajah tertunduk, rapat ke dada.
Di belakangnya, Bambang berdiri dengan senyum khasnya.
"Nah, Nak Syahril, kenalkan, ini yang
namanya Ajeng. Puteri sulung Oom. Lho, kok malah nunduk?" suara ngebas Papi
kembali terdengar.
Aku menoleh sesaat, yang dipanggil Syahril
tetap menunduk.
"Ayo, salaman. Ini lho, Jeng…puteranya Mas
Wismoyo, sahabat Papi sejak jaman revolusi dulu, sekaligus Ass Dos-nya Bambang
di FISIP. Baru lulus ya Nak?"
Syahril mengangguk. Tapi, tetap tak ada
uluran tangan.
"Assalamu'alaikum, Ajeng. Saya Syahril."
Masya Allah! Aku masih melongo, terpana.
"Insya Allah, hari ini saya akan
berta'aruf dengan Ajeng. Kalau Ajeng setuju, khitbahnya bisa dilaksanakan
besok. Sesudah itu…mudah-mudahan kita bisa jihad bareng…."
Agak samar kudengar kalimatnya yang
terakhir. Kulihat Papi tersenyum lebar, melirikku.
"Apa, Jeng …..khitbah? Ngelamar, ya…??"
Aku mengangguk pendek, tersipu. Tawa Papi
makin lebar.
Aku masih terpana.
Masya Allah, calon suamiku…eng…engng…ups,
apakah…apakah…ini, kamu???
* Pemenang Harapan I LMCPI Annida.
Sumber : Majalah Annida, No. 12 1415
H/1994 M
Jadikanlah Sabar dan Shalat Sebagai Penolongmu. Dan Sesungguhnya Yang Demikian itu Sungguh Berat, Kecuali Bagi Orang-Orang yang Khusyu [ Al Baqarah : 45 ]
[Non-text portions of this message have been removed]
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================
No comments:
Post a Comment