Oleh Hermawan Kartajaya (Founder & CEO, MarkPlus, Inc)
bersama Hasanuddin (Chief Operations, MarkPlus Insight)
KOMPAS.com - Siapa bilang media sosial hanya untuk anak muda kota. Facebook dan Twitter tidak hanya diminati oleh masyarakat urban. Masyarakat rural pun yang sudah terkoneksi internet juga berlomba menggunakan Facebook dan Twitter.
Melalui Facebook, sekarang saya bisa berkomunikasi dan berteman dengan teman-teman SD di sebuah desa di Gresik, Jawa Timur yang terputus komunikasi lebih dari 15 tahun. Barangkali, kejadian yang sama juga terjadi pada netizen-netizen lain yang kembali terhubung dengan teman-teman lama mereka. Facebook memang memudahkan kita mengenang kembali memori dan romantisme masa lalu.
Lalu, apa yang menyebabkan masyarakat di rural pun bisa Facebookan dan Twitteran? Jawabannya adalah karena handphone! Penetrasi telepon genggam yang menyebar hingga ke pelosok negeri ditambah dengan gencarya provider seluler dalam memasarkan layanan data—tidak sekadar voice dan SMS—menjadikan masyarakat rural pun sekarang sudah banyak yang terkoneksi internet, meskipun mereka kebanyakan sekadar menggunakan internet untuk bermedia sosial saja.
Handphone yang mereka gunakan memang bukan ponsel pintar high end, seperti BlackBerry, iPhone, atau ponsel yang berbasis Android. Dengan keterbatasan sumber daya, masyarakat rural lebih banyak menggunakan merek-merek ponsel pintar lokal yang produknya kebanyakan dari China. Merek China banyak dipilih karena harganya yang relatif lebih dijangkau.
Di samping itu, kalau kita berbicara tentang daerah rural, kita tidak bisa lepas juga untuk membicarakan insititusi pendidikan agama yang sangat terkenal yaitu pesantren. Di rural—terutama di sepanjang Pantai Utara (Pantura) Jawa—dengan mudah kita akan menemui banyak pesantren dengan berbagai model, baik yang masih tradisional maupun sudah modern. Asal tahu saja, ada tiga unsur penting yang mengikat dan membentuk pesantren, yaitu kyai, santri, dan masyarakat. Kyai merupakan unsur sentral dari pesantren. Tidak ada kyai tanpa pesantren dan tidak ada pesantren tanpa kyai.
Lalu, apa hubungannya pesantren, kyai, dan netizen? Untuk menjawab itu pertama-pertama cobalah buka Facebook dan carilah akun yang bernama Si Mbah Kakung. Siapa orang ini? Dia tidak lain adalah KH Musthofa Bisri yang lebih populer dipanggil Gus Mus, seorang budayawan dan pengasuh Pondok Pesantren Raudhatul Thalibien Rembang, Jawa Tengah. Teman Facebook Gus Mus tercatat lebih dari 2.500 orang.
Selain Facebook, Gus Mus juga mempunyai akun Twitter, yakni @gusmusgusmu. Pengikut (follower) dia lebih banyak, yakni lebih dari 5. 000 follower.
Dengan Twitter, Gus Mus cukup aktif nge-tweet hal-hal yang terkait isu-isu aktual baik yang terkait dengan agama maupun budaya. Gus Mus juga cukup telaten meladeni pertanyaan dari pengikutnya terkait berbagai topik bahasan. Menariknya, lewat Twitter kadang Gus Mus juga berbagi puisinya. Misalnya, tweet-tweet-nya berikut ini:
"Langit memimpin/Dzikir malam/Membaca wirid hening/Dalam hitungan/Renyai hujan/Dan manik-manik/Keringat dinginku/Angin mendesirkan/Tasbih bersama/Pucuk-pucuk pohon/Di mulut pori-poriku/Sesekali kilat/Memucatkan rumput-rumput/Mencuatkan Khaufrajaku/lidah-lidah laut/Dalam gemuruh/Tahmid bersama/Khaufrajaku/Sementara petir/Dan guruh bergantian/Meneriakkan takbir/Dari puncak diamku/Langit memimpin/Dzikir malam/Di bumi kelam/Gelisahku.
Selain Gus Mus, beberapa kyai yang cukup aktif di Twitter adalah KH Sholahuddin Wahid yang populer dipanggil Gus Sholah, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dengan akun @gus_sholah. Ada lagi KH Said Aqil Sirodj, Ketua Umum PBNU dengan akun @saidaqil dan Quraish Shihab dengan akun @quraishshihab.
Bolehlah kita menyebut para kyai yang sudah nyemplung di jejaring sosial tersebut sebagai Kyai 2.0. Predikat ini berbeda dengan Kyai 1.0 yang lebih senang menggunakan mimbar-mimbar khotbah untuk menyampaikan petuah-petuah yang lebih bersifat doktrin kepada umatnya. Sementara, Kyai 2.0 menyampaikan gagasannya menggunakan media sosial. Mereka mencoba lebih membumi dan menjadi "teman" bagi umatnya.
Melalui media sosial, "umat" juga bisa langsung berdialog dengan Kyainya. Tak tertutup kemungkinan terjadi komunikasi dua arah yang lebih horizontal. Bukan komunikasi vertikal antara "antara yang tahu" dan "yang belum tahu" lagi.
------------------
Artikel ini ditulis berdasarkan analisis hasil riset sindikasi terhadap 1.500 responden di delapan kota besar di Indonesia, usia 15-64 tahun. Riset ini dilakukan oleh MarkPlus Insight bekerjasama dengan Komunitas Marketeers
F a i z a l
--
This message has been scanned for viruses and
dangerous content by MailScanner, and is
believed to be clean.
No comments:
Post a Comment