Monday, December 20, 2010

[Milis_Iqra] Sejarah Kata "Amin" dan Hubungannya Terhadap Paganisme Mesir

Saya pernah memposting artikel ini namun tidak ada satupun yang
menanggapi, karena masalah ini penting untuk ibadah kita maka saya
coba untuk repost, dan mohon pendapat rekan-rekan miliser yang semoga
diberkahi Allah:

Link locationnya adalah : http://free-minds.org/articles/history/amen.htm

Sejarah Kata "Amin" dan Hubungannya Terhadap Paganisme Mesir
Oleh Azfar Samin (god1quran1@yahoo.com)
Terjemahan Adley (adley194@gmail.com)
Judul asli: The History of "Amen" and Its Links to Egyptian Paganism

Pendahuluan
Kebanyakan dari kita yang pernah menghadiri kegiatan berkumpul di hari
Jum'at akan langsung menyadari pentingnya kata "amin" atau "aamiin"
dalam kehidupan kaum Muslim tradisional. Bagi anda yang tidak terlalu
mengetahui dengan penggunaannya, kaum Muslim diharuskan mengucapkan
"amin" setelah melantunkan Surah al-Fatihah dan setelah membaca doa.
Sebenarnya, ini adalah satu-satunya kata yang diucapkan dengan keras
saat shalat Jum'at bagi kaum Muslim tradisional setelah si imam
menyelesaikan bacaan. Tujuan dari artikel ini adalah berusaha untuk
mengetahui arti kata tersebut dan melacak sumber asli kata tersebut
dalam sejarah.

Alasan Mengapa Kaum Muslim Mengatakan Amin
Merupakan suatu fakta yang diketahui, atau hampir diketahui, oleh
semua orang bahwa kata ini sama sekali tidak terdapat di dalam Al-
Qur'an. Lalu mengapa kaum Muslim tradisional begitu menganggap suatu
kata yang bahkan tidak bisa ditemukan dalam kitab terakhir sebagai
kata yang begitu penting? Ya, tebakan anda benar, bahwa kata ini bisa
ditemukan di dalam Hadits, sumber kedua mengenai (dis)informasi urusan
agama bagi kaum Muslim tradisional setelah Al-Qur'an. Dalam Shahih
Bukhari Volume 6, Buku 2, terjemahan Inggris oleh Dr. M. Muhsin Khan,
kita menemukan lagi suatu permata dari buah tulisan Abu Huraira. (Bila
anda mengunjungi http://www.usc.edu/dept/MSA/fundamentals/hadithsunnah/bukhari/,
maka hadits tersebut terletak dalam Volume 1, Buku 12, Hadits nomor
749)
Asli:
Narrated Abu Huraira: Allah's Apostle said, "When the Imam says:
'Ghair-il-Maghdubi 'Alaihim Walad-Dallin [i.e. not the path of those
who earn Your anger, not the path of those who went astray' (1:7)],
then you must say, 'Amin', for if one's utterance of 'Amin' coincides
with that of the angels then his past sins will be forgiven."

Terjemahan:
Narasi oleh Abu Huraira: Nabi Allah bersabda, "Ketika sang Imam
mengucapkan: 'Ghairil-maghdhuubi 'alaihim waladh-dhaalliin [bukan
jalan yang Engkau murkai, dan bukan jalan mereka yang sesat (1:7)],
maka kamu harus mengatakan, 'Amin,' karena jika ucapan 'Amin'
seseorang bertepatan dengan ucapan para malaikat, maka seluruh dosa-
dosanya pada masa lampau akan dimaafkan."

Kesimpulan yang jelas dari Hadits di atas adalah bahwa fokusnya
terletak pada waktu pengucapan ketimbang isinya. Saya harus berkata
lain.

Jadi mengapa Nabi mengharuskan kaum Muslim untuk mengucapkan suatu
kata dari Surah yang paling sering dibaca, dimana kata tersebut sama
sekali tidak ada di dalam Al-Qur'an? Selain itu, pesan apa sebenarnya
yang ingin beliau sampaikan kepada kaum Muslim dengan menyuruh mereka
untuk "mengatur waktu" pengucapan 'Amin' dengan para malaikat agar
dosa-dosa mereka di masa lampau diampuni? Nabi mustahil pernah
mengatakan hal yang sangat menghinakan tersebut, karena kita bisa
belajar dari Surah al-A'raf (QS 7) ayat 188 bahwa meskipun beliau,
seorang rasul Allah, tidak mengetahui nasibnya sendiri.
Katakanlah: "Aku tidak berkuasa atas kemanfaatan atau kemudaratan bagi
diriku kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui
yang gaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku
tidak akan ditimpa kemudaratan. Aku tidak lain hanyalah pemberi
peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman".
(7:188)

Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Pemelihara semesta
alam.Seandainya dia mengada-adakan perkataan apapun atas nama Kami,
niscaya benar-benar kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian
benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak
ada seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi dari pemotongan urat
nadi itu. (69:43-47)

Satu-satunya penjelasan yang masuk akal dari Hadits tersebut, seperti
banyak Hadits lainnya, adalah ia merupakan suatu kedustaan yang
diatasnamakan kepada Nabi Muhammad.

Asal-Usul Amin
Kata ini bisa diperkirakan masuk ke dalam ajaran tradisional Islam
dari sumber-sumber ajaran Krisitani atau Yahudi hampir 200-300 tahun
setelah kematian nabi ketika buku-buku Hadits mulai tercipta. Fakta
bahwa 'Amin' datang dari sumber Yahudi masuk ke dalam ajaran Kristiani
diakui oleh Catholic Encyclopedia Vol. 1 1907:

Asli:
"The word Amen is one of a small number of Hebrew words which have
been imported unchanged into the liturgy of the Church ... 'So
frequent was this Hebrew word in the mouth of Our Saviour', observes
the catechism of the Council of Trent, "that it pleased the Holy Ghost
to have it perpetuated in the Church of God."

Terjemahan:
"Kata Amin adalah satu dari beberapa kata Hebrew (Ibrani) yang
diadopsi tanpa perubahan ke dalam liturgi Gereja… 'Sangat sering kata
Ibrani ini diucapkan Juru Selamat Kami,' berdasarkan observasi
catechism (doktrin manual Kristiani) Council of Trent (Konsili Trent),
sehingga menyenangkan Ruh Kudus untuk mengabadikan kata itu di dalam
Gereja Allah."

Merupakan sesuatu yang ironis bawa Ruh Kudus (bentuk spiritual dari
Tuhan) akan memohon untuk mengimplementasikan sesuatu setelah
mendengarnya dari mulut Sang Juru Selamat (Yesus Kristus)!

Kata 'Amin' didefinisikan dalam Concise Oxford English Dictionary
sebagai suatu interjeksi sekaligus kata benda yang bermakna 'so be it
(maka jadilah/tetapkanlah)' dan diucapkan di akhir doa atau hymne.
Huruf akarnya, AMN, mempunyai konotasi berikut dalam bahasa Ibrani
modern: mendidik, melatih, benar, terpercaya, membenarkan, kepercayaan
diri, kesetiaan, perjanjian. Akar kata ini nampak sinonim dengan akar
kata Arab yaitu Alif-Mim-Nun. Dengan mempelajari akar kata ini di
dalam Lughat-ul-Quran (Leksicon Al-Qur'an) karya G. A. Parwez Edisi
ke-4, 1998 mengkonfirmasikan bahwa tidak terdapat penyebutan secara
eksplisit kata 'Amin' atau 'Aamiin' di dalam Al-Qur'an.

Hubungan Terhadap Paganisme
Seorang Muslim tradisional mungkin akan mengatakan bahwa meskipun
'Amin' tidak disebutkan di dalam Al-Qur'an, namun Nabi benar-benar
menyuruh kita untuk diucapkan di dalam doa-doa kita. Selain itu,
karena tidak ada yang salah dengan makna kata tersebut, maka tidak ada
yang salah dengan penerimaan penggunaan kata tersebut.

Namun, asumsi ini dapat mempunyai implikasi yang serius jika kita
telusuri asal-usul kata ini dalam sejarah, karena kita dapat menemukan
bahwa kata 'Amin' memiliki konotasi berhala kaum Pagan. Dalam Columbia
Encyclopedia, 6th Edition 2001 tertulis:
Asli:
"Amon or Amen, Egyptian deity. He was originally the chief god of
Thebes; he and his wife Mut and their son Khensu were the divine
Theban triad of deities. Amon grew increasingly important in Egypt,
and eventually he (identified as Amon Ra; see Ra) became the supreme
deity. He was identified with the Greek Zeus (the Roman Jupiter).
Amon's most celebrated shrine was at Siwa in the Libyan desert; the
oracle of Siwa later rivaled those of Delphi and Dodona. He is
frequently represented as a ram or as a human with a ram's head."

Terjemahan:
"Amon atau Amen (Amin), berhala Mesir. Dia pada aslinya merupakan dewa
tertinggi Thebes; dia dan istrinya Mut dan anaknya Khensu merupakan
tuhan-tuhan trinitas Thebes. Amon tumbuh menjadi penting di Mesir, dan
pada akhirnya dia (dikenal sebagai Amon Ra, lihat Ra) menjadi dewa
yang tertinggi. Dia diidentifikasikan dengan Zeus Yunani (Yupiter
Romawi). Kuil Amon yang paling tersohor terletak di Siwa di gurun
pasir Libya; peramalan Siwa lalu akan menjadi rival dari Delphi dan
Dodona. Dia seringkali direpresentasikan sebagai kambing (ram) atau
manusia berkepala kambing."

The Egypt Travel and Antiquities Guide dalam artikel mereka mengenai
'Amin' mendeskripsikan maknanya sebagai berikut:
Asli:
"Of the attributes ascribed to Amen in the Ancient Empire nothing is
known, but, if we accept the meaning "hidden" which is usually given
to his name, we must conclude that he was the personification of the
hidden and unknown creative power which was associated with the
primeval abyss, gods in the creation of the world, and all that is in
it. The word or root amen, certainly means "what is hidden," "what is
not seen," "what cannot be seen," and the like, and this fact is
proved by scores of examples which may be collected from texts of all
periods. In hymns to Amen we often read that he is "hidden to his
children, "and "hidden to gods and men," and it has been stated that
these expressions only refer to the "hiding," i.e., "setting" of the
sun each evening, and that they are only to be understood in a
physical sense, and to mean nothing more than the disappearance of the
god Amen from the sight of men at the close of day. Now, not only is
the god himself said to be "hidden," but his name also is "hidden,"
and his form, or similitude, is said to be "unknown;" these statements
show that "hidden," when applied to Amen, the great god, has reference
to something more than the "sun which has disappeared below the
horizon," and that it indicates the god who cannot be seen with the
mortal eyes, and who is invisible, as well as inscrutable, to gods as
well as men."

Terjemahan:
"Dari semua atribut yang diberikan kepada Amen (Amin) dalam Kekaisaran
Kuno tidak ada yang diketahui, namun, jika kita menerima arti 'hidden/
tersembunyi' yang biasanya diberikan kepada namanya, kita harus
menyimpulkan bahwa dia adalah personifikasi dari suatu kekuatan
pencipta yang tersembunyi dan tidak diketahui yang diasosiasikan
dengan masa awal yang penuh kegelapan (primeval abyss), dewa-dewa
dalam penciptaan dunia, dan segala yang ada di dalamnya. Kata atau
akar kata amen/amin, sudah pasti bermakna 'yang tersembunyi,' 'yang
tidak terlihat,' 'yang tidak bisa dilihat,' dan semacamnya, dan fakta
ini dibuktikan oleh banyak contoh yang dapat dikumpulkan dari teks
bermacam-macam periode. Dalam hymne kepada Amen/Amin kita sering
membaca bahwa dia 'tersembunyi terhadap anak-anaknya,' dan
'tersembunyi terhadap para dewa dan manusia,' dan telah dinyatakan
bahwa ungkapan-ungkapan semacam ini hanya mengacu kepada 'bersembunyi'
yakni 'terbenamnya' matahari setiap malam, dan ungkapan-ungkapan
tersebut hanyalah harus dimengerti secara fisik, dan tidak memiliki
arti lebih selain menghilangnya tuhan Amen/Amin dari penglihatan
manusia di akhir hari. Nah, tidak hanya sang tuhannya sendiri yang
dikatakan sebagai 'yang tesembunyi,' namun namanya pun 'tersembunyi,'
dan bentuknya, or perumpamaannya, dikatakan sebagai sesuatu 'yang
tidak diketahui'; pernyataan-pernyataan ini menunjukkan bahwa 'yang
tersembunyi,' ketika diaplikasikan kepada Amen/Amin, sang tuhan besar,
memiliki referensi kepada sesuatu yang lebih dari 'matahari yang
menghilang di bawah horizon,' dan bahwa ia mengindikasikan suatu tuhan
yang tidak dapat dilihat oleh mata manusia, dia yang tidak terlihat,
sekaligus tidak dapat diteliti, baik terhadap dewa-dewa maupun
manusia."

Dapat diasumsikan bahwa "tuhan yang tersembunyi" ini tidak lain adalah
Iblis yang telah berhasil untuk menipu tidak hanya kaum Muslim, naum
juga kaum Yahudi dan Kristiani sampai hari ini!

Fakta bahwa penyembahan "Amen" dan "Amen-Ra" telah menjadi popular
tidak hanya di kalangan orang Mesir namun orang asing yang tinggal di
daerahnya atau pada masa tersebut dapat ditangkap dari kutipan berikut
dari artikel mengenai "Amen":
"Pemujaan Amen-Ra menyebar ke segala penjuru negeri baik utara maupun
selatan Thebes, dan monument-monumen membuktikan bahwa hal tersebut
berhasil masuk ke dalam seluruh wilayah kekuasaan Mesir di Syria, dan
Nubia, dan di Oasis. Di bagian Mesir Atas pusatnya terletak di Thebes,
Herakeopolis Magna; di Mesir Bawah pusatnya terletak di Memphis, Sais,
Xois, Metelis, Heliopolis, Babylon, Mendes, Thmuis, Diospolis, Butus,
dan Kepulauan Khemmis; di gurun pasir Libya ada di Oasis Kenemet,
(yakni Farafra), dan Oasis Yupiter Ammon; di Nubia, terletak pada Wadi
Sabua, Abu Simbel, Napata, dan Meroe; dan di Syria terletak di
beberapa tempat yang pada saat itu dikenal sebagai Diospolis."

Amen/Amin, lalu istrinya, Mut beserta si anak Khensu adalah
representasi dari Triad Thebe, keluarga suci dari kaum Thebes. Amen/
Amin dikenal sebgai "Raja para dewa" pada masa Kekaisaran Baru di
Mesir pada 1550-1070 SM ketika Thebes merupakan ibukota Mesir, dan
pada periode inilah kaum Yahudi berada di sana sebagai budak. Selama
400 tahun perbudakan, nampak jelas bahwa kaum Yahudi kehilangan
keyakinan monotheisme mereka dan jatuh ke dalam paganisme Mesir. Jika
dalam rentang waktu 40 tahun selama eksodus mereka dapat menciptakan
berhala lembu emas yang konon bisa berbicara, apakah terlalu mengada-
ada untuk mengasumsikan bahwa kata 'Amin' menyusup ke dalam ritual
keagamaan mereka – kata yang dinamai setelah dewa Mesir – yang tidak
hanya kaum Yahudi gagal untuk menghilangkannya namun juga diwariskan
kepada kaum Kristiani dan Muslim?

Bagi para skeptis, yang mungkin berargumentasi terhadap koneksi antara
dewa Mesir "Amen" terhadap kata dalam penggunaannya zaman modern ini,
saya akan mengutip bagian akhir dari paragraf di bawah judul "Amen"
dari Catholic Encyclopedia, Vol 1 1907, yang entah secara sengaja atau
tidak mengakui koneksi tersebut:
Asli:
"Finally, we may note that the word Amen occurs not infrequently in
early Christian inscriptions, and that it was often introduced into
anathemas and gnostic spells. Moreover, as the Greek letters which
form Amen according to their numerical values total 99 (alpha=1,
mu=40, epsilon=8, nu=50), this number often appears in inscriptions,
especially of Egyptian origin, and a sort of magical efficacy seems to
have been attributed to this symbol. It should be mentioned that the
word Amen is still employed in the ritual both of Jews and
Mohammedans."

Terjemahan:
"Pada akhirnya, kita dapat mencatat bahwa kata Amen/Amin tidak jarang
muncul dalam inskripsi-inskripsi (tulisan-tulisan) kaum Kristiani
awal, dan kata tersebut sering diperkenalkan ke dalam mantra-mantra
anathema (sesuatu yang terkutuk atau terusir) dan gnostis. Lebih
lanjut, berdasarkan huruf-huruf Yunani yang membentuk kata Amen/Amin
menurut nilai numericnya berjumlah 99 (alpha=1; mu=40; epsilon=8;
nu=50), angka ini seringkali muncul dalam inskripsi-inskripsi,
terutama yang berasal dari Mesir, dan suatu macam efek magis seperti
diatributkan kepad simbol tersebut. Perlu juga dicatat bahwa kata Amen/
Amin masih digunakan dalam ritual kaum Yahudi dan Muhammadan
(Muslim)."

Kesimpulan
Terdapat beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari artikel ini.
Pertama, tidak ada penyebutan kata 'Amim' di dalam Al-Qur'an dan
saying sekali bahwa kata ini menyusup ke dalam Islam melalui Hadits.
Meskipun pada umumnya seorang Muslim mengakui bahwa 'Amin' merupakan
kata yang juga digunakan oleh kaum Kristiani dan Yahudi dalam doa
mereka, dia membuat suatu asumsi yang implicit bahwa kata itu
merupakan kata Qur'ani yang juga dapat ditemukan di dalam Bibel dan
Taurat. Mungkin dia juga akan berargumentasi bahwa tidak ada yang
salah dengan mengucapkan 'Amin' di dalam doa kita dikarenakan makna
yang dimengerti pada saat ini. Namun demikian, pembaca yang cerdas
haruslah menanyakan kepada dirinya sendiri apakah dia masih ingin
terus menggunakannya setelah mengetahui konotasi pagan yang meragukan
yang dimiliki kata ini? Tidakkah kita bisa mencari kata lain untuk
mengekspresikan keyakinan kita kepada Sang Maha Kuasa?

Hasil alamiah artikel ini adalah bahwa ia mempertanyakan filosofi
imbalan bersih dari dosa dengan mengucapkan kata ini yang dianut kaum
Muslim tradisional yang sangat didukung oleh Hadits. Sekarang di mana
kita bisa menemukan ayat yang mengusulkan bahwa kita bisa menebus dosa
kita hanya dengan mengucapkan suatu "mantra sakti mandraguna"? Hanya
dengan pembelajaran yang tuluslah terhadap Al-Qur'an seseorang akan
mendapatkan kedamaian di dunia dan akhirat.

Akhir kata, terdapat suatu peringatan kepada mereka yang "di tengah-
tengah" yang mengatakan bahwa hanya mempercayai Hadits yang "Shahih"/
Otentik. Setelah membaca artikel ini, dapatkah seseorang benar-benar
bisa memisahkan gula dari air gula ketika diharuskan untuk membedakan
antara Hadits yang benar dan yang salah? Oleh karena itu penting
sekali untuk kita semua untuk memverifikasi semua informasi yang kita
terima.
Dan janganlah kamu pegang teguh apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan
hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (17:36)

Saya harap pembaca yang cerdas akan menolak semua sumber sekunder dan
berpegang teguh kepada petunjuk SATU-SATUNYA – Al-Qur'an.
Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu; tidak ada
Tuhan selain Dia; dan berpalinglah dari orang-orang musyrik. (6:106)

--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125

Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63

Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-

No comments:

Post a Comment