Saturday, December 18, 2010

[Milis_Iqra] Yogyakarta: Istimewa Sepanjang Masa

http://www.gatra.com/artikel.php?id=143819

Yogyakarta: Istimewa Sepanjang Masa


Penandatanganan Naskah Pengakuan Kedaulatan oleh Belanda Kepada
Indonesia diwakili Sri Sultan HB IX & AHJ Lovink (Dok. Buku Tahta
untuk Rakyat)Sejarah keistimewaan Yogyakarta terentang sebelum
Republik Indonesia berdiri. Eksistensi Kesultanan Yogyakarta bermula
dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan
Mataram menjadi dua: Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang dipimpin
Paku Buwono II dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat di bawah
kekuasan Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono
Senapati Ingalaga Abdul Rakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah atau
Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) I.

Perjanjian Giyanti ditandatangani pada 13 Februari 1755. Lewat
perjanjian itu, Pemerintah Hindia Belanda memfasilitasi penyelesaian
diplomatik untuk mengakhiri pertikaian antara Paku Buwono II dan
Pangeran Mangkubumi. Berikutnya, perjanjian itu menempatkan Kesultanan
Yogyakarta dalam status daerah istimewa atau dalam bahasa Pemerintah
Hindia Belanda disebut zelfbestuurende lanschappen.

Status itu setara dengan dependence state atau hampir seperti negara
bagian. Model ini menempatkan kedaulatan dan kekuasaan pemerintahan
diatur dan dilaksanakan berdasarkan perjanjian atau kontrak politik
yang dibuat Pemerintah Hindia Belanda bersama-sama dengan Raja
Ngayogyakarta Hadiningrat.

Selama penyelenggaraan kekuasaan Hindia Belanda di Indonesia, status
istimewa itu terus disandang Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat. Di
antara rentang itu, pada 1 Maret 1813, atas bantuan Pemerintah
Inggris, Pangeran Notokusumo --adik Sri Sultan HB I-- atau Paku Alam I
memimpin Kadipaten Pakualaman yang masih terletak di dalam wilayah
Ngayogyakarta.

Untuk Kerajaan Ngayogyakarta, kontrak politik terakhir dengan
Pemerintah Hindia Belanda terjadi pada 1940. Perjanjian politik itu
ditandatangani Dr. Lucien Adam mewakili Gubernur Jenderal Hindia
Belanda dan Sri Sultan HB IX mewakili Kesultanan Yogyakarta,
dimasukkan dalam lembaran negara Kerajaan Belanda sebagai Staatsblad
1941 No. 47.

Ketika menandatangani kontrak itu, Sri Sultan HB IX baru berusia 28
tahun dan belum lama pulang dari Nederland untuk menuntut ilmu di
Universitas Leiden. Perjanjian itu menyebut Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat sebagai bagian wilayah Hindia Belanda di bawah kedaulatan
Baginda Ratu Belanda yang diwakili gubernur jenderal. Ngayogyakarta
Hadiningrat menjalankan pemerintahan sipil di Yogyakarta dan mendapat
biaya operasional dari Pemerintah Hindia Belanda sebesar 1.000.000
gulden per tahun.

GATRA (Dok. GATRA)

Status istimewa itu tetap berlangsung ketika masa pendudukan Jepang.
Pemerintah Jepang menyebut Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai
Yogyakarta Kooti Hookookai. Jepang di ambang kekalahan dan tidak dapat
memenuhi janjinya untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.
Hingga akhirnya Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia
pada 17 Agustus 1945.

Dua hari setelah proklamasi kemerdekaan, tepatnya 19 Agustus 1945, Sri
Sultan HB IX selaku penguasa Kesultanan Yogyakarta dan Paku Alam VIII
selaku pemimpin Kadipaten Pakualaman secara sendiri-sendiri dalam
waktu hampir bersamaan mengirim kawat ucapan selamat kepada Soekarno
dan Hatta.

Pada tanggal yang sama, diperkirakan setelah menerima kawat ucapan
selamat itu, Soekarno menandatangani piagam penetapan yang isinya
memberi kepercayaan kepada Sultan HB IX dan Paku Alam VIII untuk
memimpin pada kedudukannya masing-masing. Yakni sebagai pemimpin
Kesultanan Yogyakarta dan penguasa Kadipaten Pakualaman alias status
quo.

Piagam yang ditandatangani pada 19 Agustus 1945 itu baru diterima di
Yogyakarta pada 6 September 1945 melalui dua utusan dari Jakarta.
Sebelumnya, pada 20 Agustus, Sultan HB IX dan Paku Alam VIII kembali
mengirim telegram ke Jakarta, yang berisi dukungan penuh kepada
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.

Dukungan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Pakualaman terhadap kedaulatan
Indonesia dipertegas melalui maklumat yang dikeluarkan masing-masing
pemimpin "kerajaan" itu pada 5 September 1945. Inti maklumat itu
adalah penegasan status kedua kerajaan yang mereka pimpin sebagai
daerah istimewa yang menjadi bagian negara Republik Indonesia.

Maklumat yang terdiri dari tiga pasal itu juga menyebutkan bahwa kedua
raja itu tetap menjadi pemimpin dan pemegang kekuasaan di daerah dan
kerajaan masing-masing, dengan bertanggung jawab kepada Presiden
Republik Indonesia.

Menyusul maklumat tersebut, berikutnya keluar instruksi dari Jakarta
mengenai pembentukan Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta yang
berfungsi sebagai badan pekerja yang memiliki kekuatan legislatif;
sebagai wakil rakyat masing-masing daerah serta bertugas membuat
peraturan dan haluan penyelenggaraan pemerintahan di daerah istimewa
itu.

Setelah badan pekerja terbentuk, Sri Sultan HB IX dan Paku Alam VIII
secara bersama-sama mengeluarkan amanat yang isinya tunduk pada UUD
negara Republik Indonesia dan mengakhiri dualisme kepemimpinan di
antara keduanya melalui pembentukan satu badan legislatif sebagai
perwakilan rakyat kedua daerah.

Sembari menunggu undang-undang yang mengatur susunan daerah yang
bersifat istimewa, seperti diamanatkan Pasal 18 UUD 1945, pada 18 Mei
1946 Sultan HB IX dan Paku Alam VIII --tas persetujuan dewan daerah--
mengeluarkan Maklumat Nomor 18 yang mengatur kekuasaan legislatif dan
eksekutif. Dalam maklumat ini, nama Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
secara resmi digunakan untuk menandai bersatunya Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman.

Pada periode itu, DIY menunjukkan keistimewaannya dalam lintas sejarah
revolusi di Indonesia. Pada 5 Januari 1946, karena alasan keamanan,
ibu kota Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta. Pada masa-masa
genting menjelang agresi militer Belanda I dan II itu, Sri Sultan BH
IX sebagai ketua dewan kota sering menyiarkan maklumat yang
membesarkan hati, dengan memberi kesan bahwa pemerintahan RI yang
berada di Yogya terus berjalan. Dan lambat laun Yogyakarta menjadi
pusat kegiatan perjuangan.

GATRA (Dok. GATRA)

Setelah pengakuan kedaulatan sebagai hasil Konferensi Meja Bundar,
Indonesia memasuki babak sejarah yang baru. Negara Republik Indonesia
yang beribu kota di Yogyakarta sejak 1946 hanyalah negara bagian dari
Republik Indonesia Serikat yang berkedudukan di Jakarta sampai 17
Agustus 1950.

Setelah Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Negeri Belanda, Yogyakarta
juga menjadi tuan rumah dan saksi dalam tahapan sangat penting
penentuan kedaulatan RI. Yakni penyatuan Republik Indonesia Serikat
dengan negara kesatuan Republik Indonesia dan diresmikan sebagai satu
negara berdaulat bernama negara kesatuan Republik Indonesia pada 15
Agustus 1950.

Dengan perubahan sistem ketatanegaraan itu, DIY tidak lagi menjadi ibu
kota RI. Secara resmi, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun
1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, DIY ditempatkan
sebagai daerah istimewa setingkat provinsi. Dan sekitar satu bulan
sebelum peristiwa G-30-S/PKI, tepatnya pada 1 September 1965,
pemerintah mengeluarkan UU Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pemerintahan
Daerah. Dalam undang-undang ini, Yogyakarta dijadikan sebagai sebuah
provinsi.

Sultan HB IX diangkat menjadi Wakil Presiden Indonesia pada 1973.
Dengan begitu, urusan pemerintahan sehari-hari di DIY dijalankan Paku
Alam VIII.

Pada masa itu, kebijakan tentang status Yogyakarta diteruskan
pemerintah pusat dengan UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah
Daerah. Kecuali mengenai status kepala daerah dan wakilnya, undang-
undang itu memiliki semangat menyusun tata pemerintahan DIY sama
dengan daerah lainnya. Keistimewaan Yogyakarta mulai kabur.

Usai berhenti dari posisi Wakil Presiden RI, tahun 1978, Sultan HB IX
kembali aktif melaksanakan tugas sebagai Gubernur/Kepala Daerah
Istimewa Yogyakarta. Untuk merevitalisasi keistimewaan DIY, DPRD DIY
periode 1977-1982 menyatakan pendapat dan kehendak bahwa sifat dan
kedudukan istimewa DIY perlu terus dilestarikan sampai masa mendatang,
sesuai dengan UUD 1945 dan isi serta maksud UU Nomor 3/1950.

Pada 1988, Sultan HB IX wafat, dan pemerintah menunjuk Paku Alam VIII
sebagai penjabat Gubernur atau Kepala Daerah Istimewa Yogyajarta.
Sepuluh tahun kemudian, Paku Alam VIII wafat. Hal ini menimbulkan
masalah bagi Pemerintah Provinsi DIY dalam hal kepemimpinan. Untuk
menanggulangi masalah itu, dalam UU Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan
Daerah, pemerintah pusat mengatur masalah suksesi bagi kepemimpinan di
Provinsi DIY.

Pada tahun 2000, MPR-RI melakukan perubahan kedua UUD 1945. Pada
perubahan ini, status daerah istimewa diperjelas dalam Pasal 18B.
Dalam pasal ini, keistimewaan suatu daerah diatur secara khusus dalam
suatu undang-undang.

Sejak itu, perihal Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta
menjadi wacana berkepanjangan, utamanya menandai benturan antara
konsep pemilihan gubernur secara langsung atau melalui mekanisme
penetapan seperti masa-masa sebelumnya.

Yogyakarta memang istimewa. Hal ini barangkali juga dapat ditandai
dari perdebatan dan wacana tentang keistimewaannya yang tidak kunjung
tuntas.

Bambang Sulistiyo (dari berbagai sumber)
[Laporan Khusus, Gatra Nomor 5 Beredar Kamis, 9 Desember 2010]

--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125

Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63

Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-

No comments:

Post a Comment