Koruptor dan Tirani Peradilan
Rabu, 12 Januari 2011 00:01 WIB
Oleh Sunardi, Doktor Ilmu Hukum dari PPS Unibrawi
Apa jadinya suatu negara yang bertitel negara hukum (rechstaat), yang
idealnya setiap aparatur hukumnya menunjukkan komitmen tinggi dalam
penegakan hukum, justru terlibat dalam perkara mengamankan atau
memberi jalan licin (mulus) bagi koruptor? Atau masih pantaskah
Indonesia bergelar negara hukum kalau aparatnya terjebak dalam
lingkaran setan sebagai aparat penghalal malapraktik profesinya?
Suatu saat filsuf kenamaan Socrates ditahan pejabat kepolisian dengan
tuduhan melakukan pelanggaran hukum. Sang murid yang bernama Creto dan
sudah menjadi pengusaha sukses datang mengunjunginya (Socrates).
Maksud kunjungannya adalah membebaskan Socrates, karena Creto menilai
gurunya tidak mungkin bersalah. Maukah Socrates menerima 'jasa baik'
muridnya ini?
Ternyata Socrates menolaknya sambil berkata, "Aku memang tidak
bersalah, tetapi cara salah tidaklah benar jika digunakan untuk
memperjuangkan tegaknya kebenaran dan keadilan hukum. Apa jadinya
masyarakat jika mengetahui aku dibebaskan dari jeratan hukum dengan
cara mengkhianati hukum. Kelak masyarakat akan meniru caraku. Bukan
untuk memperjuangkan kebenaran hukum saja, tetapi juga untuk
melecehkan hukum." (Bambang Satriya, 2010)
Paparan Socrates itu seharusnya bisa terbaca dengan kebeningan nalar,
bahwa opsi di luar hukum tidak sepatutnya digunakan untuk mengelabui
atau mengamputasi kinerja elemen sistem hukum semisal peradilan pidana
(criminal justice system).
Hukum selayaknya harus dikonstruksikan tempat yang steril dari
gangguan tangan-tangan kotor (the dirty hands) yang bermaksud
menghalangi dan mematikan idealisme norma-norma yuridis, termasuk
pihak-pihak yang 'sepertinya' berambisi dan beridealisme mewujudkan
penegakan hukum seperti aparat penegak hukum. Namun faktanya,
menerapkan politik tebang pilih atau mengorupsi sakralitas sistem
hukumlah yang mengakibatkan cedera dan bopengnya wajah hukum
Indonesia.
Akibat korupsi sistemik yang ikut dilakukan aparat, bukan hanya citra
Indonesia saja yang terluka parah pada 2010, tetapi juga bisa
menciptakan atmosfer buruk dan memprihatinkan yang bernama tirani
peradilan di tahun ini.
Beban negara hukum yang terkorup pada 2010 setidaknya ditunjukkan oleh
berbagai temuan. Emerson Yunto (2011) menyebut bahwa institusi penegak
hukum yang diharapkan mampu menegakkan hukum dan memberantas korupsi
juga tersandung dugaan korupsi tahun ini. Dimulai dari lembaga
pemasyarakatan, dengan terbongkarnya sel mewah Artalyta Suryani,
terpidana kasus suap. Selanjutnya terungkapnya rekening tidak wajar
pada sejumlah petinggi di lingkungan kepolisian. Skandal pajak Gayus
Tambunan pada faktanya juga mengungkapkan adanya mafia hukum di tubuh
kepolisian dan kejaksaan. Terakhir adalah mencuatnya isu suap di tubuh
Mahkamah Konstitusi.
Faktanya, tingkat korupsi di Indonesia dinilai masih tinggi dalam
persepsi masyarakat internasional dan nasional. Political and Economic
Risk Consultancy (PERC), sebuah lembaga survei di Hong Kong, Maret
2010 lalu menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup dari 16 negara
di Asia. Hasil serupa juga disiarkan Transparency International
Indonesia, bulan Oktober yang lalu, yang menempatkan Indonesia pada
2010 berada di posisi 110 dari 178 jumlah negara, tidak berubah jika
dibandingkan dengan tahun 2009.
Label seperti itu berelasi dengan kinerja aparat yang menoleransi
politik tebang pilih. Padahal, politik tebang pilih dalam penegakan
hukum jelas bertentangan dengan prinsip mendasar konstitusi kita, yang
sudah menggariskan bahwa setiap warga negara berkedudukan sederajat di
dalam hukum (equality before the law). Prinsip ini sudah menentukan
kata 'setiap' yang menunjuk pada siapa pun saja tanpa kecuali, tanpa
didiskriminasi, tanpa dipilah dan dipilih, yang jika ada bukti
permulaan memadai, secara egaliter seseorang harus
dipertanggungjawabkan secara hukum.
Dalam Artikel 6 UDHR (Universal Declaration of Human Rights) atau yang
dipopulerkan sebagai Deklarasi HAM PBB, disebutkan bahwa di mana pun
semua orang berhak untuk mendapat pengakuan sebagai seseorang di depan
hukum (recognition everywhere as a person before the law). Artikel 7
UDHR ini mempertegas: semua orang mempunyai kedudukan yang sama di
depan hukum, dan tanpa kecuali berhak untuk mendapat perlindungan
hukum yang sama. Semua orang berhak untuk mendapat perlindungan
terhadap diskriminasi apa pun yang melanggar deklarasi ini dan juga
terhadap semua hasutan yang menganjurkan diskriminasi itu (against any
incitement to such discrimination).
Dalam Pasal 17 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga
diingatkan bahwa setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk
memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan
gugatan, dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta
diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai
dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim
yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.
Baik dalam konstitusi, UDHR hingga ke UU HAM sudah jelas digariskan
tentang kewajiban menghormati prinsip egaliter dalam penegakan hukum,
dan bukan prinsip tebang pilih.
Pola tebang pilih dalam penegakan hukum merupakan bentuk pengkhianatan
konstitusi dan pelanggaran HAM, yang bisa mengundang kekuatan jahat
untuk menggencarkan tumbuh kembangnya korupsi di negara ini.
Yang punya kewajiban secara terorganisasi menerapkan prinsip egaliter
adalah negara. Kemudian negara memberikan mandat kepada aparat penegak
hukum untuk menerapkannya supaya menjadi 'hukum yang hidup' yang
berbasiskan keadilan dan persamaan derajat.
Aparat penegak hukum memegang kunci utama yang menentukan arah dan
warna penegakan hukum. Meski aparat penegak hukum menjadi kunci dalam
penerapan hukum, secara umum rezim yang sedang berkuasalah yang bisa
menciptakan atmosfer yang mendukung kinerja aparat ataukah tidak.
Ketika rezim sekarang, misalnya, tidak mempunyai political will yang
baik dan maksimal dalam penegakan hukum, yang diperoleh pun tidak
merupakan hasil maksimal, dan bahkan boleh jadi sekadar mengisi ruang
wacana yang seolah-olah pemerintah telah berbuat. Terbukti, tersangka
korupsi tertentu masih mendapatkan perlakuan istimewa, sedangkan
lainnya jadi korban ketajaman pedang hukum yang diayunkan aparat. Pola
penanganan seperti itu jelas potensial melahirkan tirani peradilan
gaya baru.
Implementasi sistem peradilan bisa membuat seseorang atau beberapa
orang dikorbankan dan ditumbalkan secara mengenaskan. Mereka yang
tidak berasal dari rezim yang berkuasa diposisikan tidak berdaya dan
tidak punya nilai tawar saat berhadapan dengan peradilan. Dunia
peradilan akhirnya tak ubahnya suatu ruang eksklusif bagi tiran-tiran
baru yang merajalela dalam menentukan hitam putihnya norma hukum.
Itu artinya, jagat peradilan masih belum bisa diharapkan berpihak pada
pencari keadilan yang egaliter, karena politik tebang pilih yang
memperlakukan kader, rekanan, dan asal partai politik masih sangat
kuat mencengkeramnya. Dunia peradilan masihlah jadi medan keadigungan
elite durjana yang sangat lihai berkolaborasi dengan mesin-mesin
politik tingkat tinggi, yang kesemua aksinya mengerucut pada
pembenaran penyalahgunaan secara kolektif.
--
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
No comments:
Post a Comment