Urusan cek dan ricek, Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa para ulama tidak mau menerima riwayat dari orang yang majhul (tidak dikenal kepribadiannya) karena khawatir adanya kefasikan (orang yang masih suka bermaksiat, atau suka melanggar salah satu aturan agama, Imam Al-Alusi) dalam dirinya. Dan caranya adalah hendaklah dengan mengecek ke qiyadah (pemimpin), atau kepada Kitab dan Sunnah.
Tanggapan : Tapi apabila yang menyampaikan orang yang terpercaya,gimana ?
Terima Berita? Klarifikasi-lah Terlebih dahulu, Jangan Berburuk Sangka
Posted: 11 Apr 2011 04:35 PM PDT
Islamedia – Hai orang – orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik dengan membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti. Agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya. Sehingga menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu.
( QS Al Hujurat 49 : 6).
Ada kisah dibalik turunnya ayat (Asbabun Nuzul) di atas, dimana Rasulullah memerintahkan Al Walid bin Uqbah bin Abi Muith untuk mengumpulkan sodaqoh (zakat) ke kampung bani Mustholiq. Ketika akan sampai, Al Walid mendengar kabar burung bahwa penduduk Bani Mustholiq menolak membayar zakat dan berencana membunuh Al Walid. Maka dia segera melapor pada Nabi, lalu Nabi mengirim utusan ke Bani Mustholiq. Ternyata tidak benar maka turunlah ayat ini.
Kisah yang melatar belakangi turunnya ayat ke 6 surat Al Hujurat tersebut sangat kompatibel dengan apa yang terjadi di masyarakat. Di zaman yang telah memasuki era dimana manusia mampu terhubung dalam skala luas dan massif dalam sebuah dunia maya (digital), hubungan manusia antara satu dengan yang lain makin flat, makin “berkurang” jarak dalam berkomunikasi, seperti contohnya berkomunikasi via Internet (jejaring sosial seperti Facebook atau Twitter), berimplikasi pada banyaknya warga masyarakat yang mampu berkomunikasi dan menyebarkan informasi secara langsung dengan para pemimpin negara, baik itu anggota Dewan ataupun para menteri . Berita atau liputan yang berbagai belahan dunia, dalam ataupun luar negeri mampu ditonton secara live.
Dari persebaran informasi yang sangat cepat dan masif ini, banyak case dimana banyak orang mampu membuat sebuah berita atau liputan secara instan (mis : portal berita online) dengan tingkat kevalidan, yang sayangnya, sangat rendah bahkan nihil sehingga terjadi adanya pembiasan informasi.
Dalam hal ini, Rasulullah SAW telah mengajarkan kita, sesuai Asbabun Nuzul ayat 6 surat Hujurat di atas, bagaimana menyikapi sebuah informasi yang didapat : klarifikasi. Dalam ayat tersebut, jelas bagaimana Rasul SAW melakukan cek dan ricek terlebih dahulu dengan mengirim utusan untuk mengecek kebenaran informasi yang didapat.
Urusan cek dan ricek, Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa para ulama tidak mau menerima riwayat dari orang yang majhul (tidak dikenal kepribadiannya) karena khawatir adanya kefasikan (orang yang masih suka bermaksiat, atau suka melanggar salah satu aturan agama, Imam Al-Alusi) dalam dirinya. Dan caranya adalah hendaklah dengan mengecek ke qiyadah (pemimpin), atau kepada Kitab dan Sunnah.
Menyegerakan memberi klarifikasi untuk mencegah timbulnya Fitnah
Dari [Shafiyyah], berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf, kemudian aku datang menjenguk beliau pada malam hari. Lalu aku mengajak beliau berbicara kemudian berdiri dan kembali. Lalu beliau berdiri bersamaku untuk mengantarku, tempat tinggal Shafiyyah adalah di rumah Usamah bin Zaid. Kemudian terdapat dua orang laki-laki anshar yang lewat. Kemudian tatkala mereka melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka mereka mempercepat jalan. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Perlahanlah berjalan. Ia adalah Shafiyyah binti Huyai.” Mereka berkata; subhanallah wahai Rasulullah. Beliau berkata: “Sesungguhnya syetan berjalan pada diri manusia melalui tempat mengalirnya darah. Aku khawatir ia akan melemparkan sesuatu -atau beliau mengatakan: keburukan- pada hati kalian berdua.” Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Yahya bin Faris], telah menceritakan kepada kami [Abu Al Yaman], telah mengabarkan kepada kami [Syu'aib] dari [Az Zuhri], dengan sanadnya; dengan hal inilah Aisyah berkata; kemudian tatkala berada di samping pintu masjid yang berada di samping pintu Ummu Salamah, terdapat dua orang laki-laki yang melewati mereka ….. dan ia menyebutkan hadits secara maknanya. (Sunan Abu Daud)
Ada sekelumit Kisah tentang Shafiyyah Bin Huyay, beliau adalah anak yang paling dicintai ayahnya; Huyay bin Akhtob, seorang tokoh Yahudi Khaibar, yang juga merupakan keturunan Nabi Harun as, sedangkan ibunya berasal dari Yahudi bani Quraidzah. Sebelum menikah dengan Nabi SAW, pernah dua kali menikah sebelumnya. Pada tahun ke – 7 H, saat kampung khaibar ditaklukkan oleh Rasul SAW, Shafiyyah termasuk dalam tawanan. Lalu dipilih oleh Nabi SAW dan dimerdekakan. Pada peristiwa penaklukan wilayah Khaibar ini,, Shafiyyah kehilangan ayah, suami, juga saudara laki – lakinya. Kemudian dinikahkan oleh Nabi sebagai penghormatan bagi Shafiyyah dan usianya saat itu 17 tahun.
Dari kisah ini, jelaslah Rasulullah menyegerakan untuk memberikan klarifiksi kepada sahabatnya, meski sahabatnya belum bertanya, untuk mencegah timbulnya fitnah yang tentunya mampu merusak bangunan dakwah yang telah terbangun.
Utamakan Husnudzhan dalam menerima setiap informasi
Hai orang beriman, jauhilah kebanyakan pra-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari pra-sangka itu dosa. Dan Janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.
(QS Al Hujurat 49 : 12)
Di era digital yang persebaran informasi yang sangat cepat ini, kehidupan pribadi para Ulama/pemimpin pun tidak luput dari liputan media. Hal – hal yang masuknya ke ranah privasi (perceraian, pernikahan, urusan keluarga, tuduhan skandal akibat foto) menjadi ranah publik akibat liputan media, oleh karena itu sebagai sesama Muslim, wajiblah kita dahulukan Husnudzhan (positive thinking) atas informasi yang kita dapat, dan ambillah sikap diam terhadap hal ini dari obrolan – obrolan sehari -hari, insya Allah jauh lebih baik bagi kita untuk terhindar dari praktik Ghibah (gossip).
Manusia tak kan mampu menilai Hati seseorang
Usamah bin Zaid bercerita,”Rasulullah SAW mengutus kami ke suku Huroqoh dari kabilah Juhainah. Pagi hari, kami sampai di sumber air mereka. Bersama seorang sahabat Anshar, aku menjumpai seorang dari mereka (pihak musuh). Ketika kami mendekat dan mengangkat pedang, dia mengucapkan La illaha Illallah. Orang Anshar sahabatku tak jadi menyerangnya, sedangkan aku menusuknya dengan tombak sampai ia terbunuh. Sesampainya di Madinah, berita ini terdengar oleh Nabi SAW, lalu beliau berkata, “Hai Usamah, apakah kamu membunuhnya setelah ia mengucapkan La illaha Illallah?”. Aku jawab, “Benar, Ya Rasulullah. Orang itu mengucapkannya agar selamat dari saja (takut dibunuh)”. Beliau bertanya lagi, “apakah kamu membunuhnya setelah ia mengucapkan La illaha Illallah?”. Beliau terus menerus mengulangi pertanyaan mengulanginya pertanyaan itu sampai – sampai menerus mengulangi pertanyaan mengulanginya pertanyaan itu sampai – sampai aku berharap kiranya aku belum masuk sebelum Islam waktu itu. (Muttafaq Alaih). Dalam riwayat lain Rasulullah bersabda, “Apakah apakah dia mengucapkan La illaha Illallah kamu membunuhnya?”. Beliau bersabda,”Belah saja dadanya biar kamu tahu,dia sungguh –sungguh mengatakannya. Beliau terus mengulangi perkataan itu samapi –sampai aku berharap kiranya aku belum masuk Islam sebelum waktu itu.
Jelas bahwa, Rasulullah SAW mengajarkan pada kita untuk menilai seseorang dari zhahirnya (perkataan dan perbuatan) yang jelas terlihat karena manusia tak kan mampu menilai hati orang lain.
Bagaimana seharusnya sikap kita di zaman ini ?
Dari berbagai kisah yang telah kita dapatkan dari beberapa ayat Al Quran dan dicontohkan oleh Rasul, kita dapat melakukan sikap terhadap informasi yang kita dapat khususnya terhadap informasi dari media :
Sikap pertama kita atas berita – berita buruk yang menimpa kepada sesama Muslim adalah Husnudzan (positive thinking).
Klarifikasi langsung atas kebenaran informasi, jika kita tidak mampu bertemu secara langsung cobalah kita klarifikasi baik itu via telfon, email, sms ataupun media apapun yang mampu “mempertemukan” kita terhadap sumber informasi, dalam hal ini tentu sumber informasi primer (nara sumber), bukanlah sumber informasi sekunder (media). Kalau tidak juga mampu mendapat informasi yang shahih (benar) dari kedua cara itu ambillah sikap diam dari menyebarkan informasi tersebut kepada orang lain, atau tidak men-share nya di dunia jejaring sosial.
Segerakan Klarifikasi untuk mencegah timbulnya fitnah. Hal ini jika kita yang terlibat langsung dari hal – hal yang mampu menimbulkan fitnah.
Sungguh, tiada satupun dari kita yang Ma’shum (terjaga dari melakukan kesalahan) kecuali para Nabi dan Rasul, maka dari itu maafkanlah ketika memang saudara seiman kita yang melakukan khilaf jika apa – apa yang kita klarifikasi secara langsung itu benar dan berdiam diri dari praktik ghibah tentu lebih Allah ridhai.
Wallahu’alam
Aji Teguh Prihatno
Maraji’ :
Al Quran
Al Hadits
http://situs.assunnah.web.id/2010/04/20/apakah-nabi-pernah-berbuat-salah/
http://www.al-ikhwan.net/manhajut-tatsabbut-wat-tabayyun-fil-harakah-manhaj-check-dan-re-check-informasi-dalam-berharakah-bag-1-180/
No comments:
Post a Comment