Ahlusunnah mengimani bahwa Allah Ta'ala di atas Arsy-Nya dan Bagaimana memahami Kebersamaan Allah dengan makhlukNya?
A. Ahlusunnah mengimani bahwa Allah Ta'ala di atas Arsy-Nya
Ayat-ayat al-Qur'an yang menyatakan bahwa Allah Maha tinggi di atas 'Arsy-Nya sangat banyak. Diantaranya firman Allah:
Sesungguhnya Rabb kalian ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia beristiwa' di atas 'Arsy… (al-A'raaf: 54 dan Yunus: 3)
Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia beristiwa' di atas 'Arsy …. (Ar-Ra'd: 2)
Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia beristiwa' di atas Arsy…(al-Furqan: 59)
(Yaitu) Ar-Rahman yang beristiwa' di atas 'Arsy. (Thaha: 5)
..Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shalih dinaikkan-Nya… (Faathir: 10)
Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitungan kalian. (as-Sajdah: 5)
Dan masih banyak ayat-ayat lainnya yang menunjukkan Maha Tingginya Allah di atas 'Arsy-Nya.
Dengan banyaknya ayat-ayat yang muhkamat (jelas dan tidak tersamar) tersebut, maka Ahlus Sunnah wal Jama'ah sejak para Shahabat, Tabi'in dan para pengikut mereka dari kalangan ahlul hadits mengimani dengan yakin dan mempersaksikan bahwa Allah tinggi di atas 'Arsy-Nya. Mereka memahami makna istiwa' dalam bahasa Arab yaitu "Tinggi, di Atas". Hanya saja mereka tetap menyatakan bahwa ketinggian Allah di atas 'Arsy-Nya tidak sama dengan mahluk-Nya; tidak seperti seorang raja di atas singgasananya dan tidak pula seperti seseorang di atas kendaraannya. Ahlus Sunnah wal Jama'ah menyatakan bahwa tingginya Allah di atas 'Arsy-Nya sesuai dengan kemuliaan-Nya.
Dan mereka tidak mempermasalahkan bagaimana dan seperti apa istiwa'nya Allah di atas 'Arsy-Nya. Karena mereka meyakini bahwa dzat Allah tidak sama dengan mahluk-Nya, maka mereka tidak mungkin menerangkan bagaimana istiwa'nya Allah di atas 'Arsy-Nya. Apalagi tidak ada satu sumberpun dari al-Qur'an dan as-Sunnah yang menerangkan tentang kaifiyahnya.
Seperti kisah yang terjadi pada Imam Malik sebagaimana dinukil oleh imam ash-Shabuni dalam kitabnya Aqidatus Salaf wa ashhabul Hadits. Imam Malik ketika didatangi oleh seseorang di majlisnya, kemudian bertanya: "Ar-Rahman 'alal 'Arsy istawa, bagaimana istiwa'-Nya?". Beliau tertunduk dan marah. Dan tidaklah beliau pernah marah seperti marahnya ketika mendengarkan pertanyaan tersebut. Beliau pun meneteskan butiran-butiran keringat dari dahinya; sementara para hadirin pun terdiam dan tertunduk, semuanya menunggu apa yang akan terjadi dan apa yang akan dikatakan oleh Imam Malik. Beberapa saat kemudian beliau pun tersadar dan mengangkat kepalanya, seraya berkata:
"Tentang bagaimananya tidak bisa diketahui dengan akal, tentang makna istiwa' sudah diketahui; beriman dengannya adalah wajib, dan bertanya tentangnya (tentang kaifiyah) adalah bid'ah. Dan sungguh aku khawatir bahwa engkau adalah orang yang sesat."
Maka orang itupun diperintahkan untuk diusir dari majlisnya. (Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin al-Manshuri, hal. 45)
Demikianlah sikap keras para ulama ahlus sunnah terhadap pertanyaan takyif yang tidak mungkin bisa dipikirkan dengan akal, karena masalah dzat Allah dan sifat-sifat-Nya adalah masalah ghaib yang kita tidak mungkin dapat mengenalinya kecuali melalui al-Qur'an dan sunnah.
Dan para ulama ahlus sunnah pun tidak ada yang berselisih tentang istiwa'nya Allah di atas 'Arsy-Nya, dan 'Arsy-Nya di atas langit. Mereka menetapkan hal ini sesuai dengan apa yang telah Allah tetapkan; mengimani, membenarkan Allah azza wa jalla dalam berita-berita yang telah disampaikan-Nya dan mengucapkan sesuai dengan apa yang telah Allah ucapkan tentang istiwa'Nya di atas 'ArsyNya. Mereka melangsungkannya atas dhahir (ayat-ayat)nya dan menyerahkan tentang kaifiyahnya kepada Allah. (Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin al-Manshuri, hal.44)
Ahlus sunnah tidak pula berani menarik makna istiwa kepada makna-makna lain yang sama sekali tidak berkaitan dengan lafadznya, seperti apa yang dilakukan oleh ahlul bid'ah yang menarik makna "istiwa'" kepada "istaula". Kalimat ini bukan tafsir, bukan pula makna istiwa', karena sama sekali tidak berkaitan dengan lafadz maupun maknanya. Perbuatan ini termasuk tahrif yaitu mengganti kalimat al-Qur'an dengan kalimat yang lain yang tidak saling berhubungan, baik secara lafadz maupun secara makna.
Pantas kalau dikatakan oleh para ulama, bahwa apa yang dilakukan oleh mereka sama persis seperti yang telah dilakukan oleh kaum Yahudi terhadap kitab mereka. Mereka mengganti kalimat 'hithah' menjadi 'hinthah'.
Sebagaimana Allah kisahkan tentang tahrif mereka ini dalam ayat-Nya:
…dan katakanlah: Hiththah ("Bebaskanlah kami dari dosa"), niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahan kalian, dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik". Maka orang-orang yang zalim mengganti kalimat yang diperintahkan kepada mereka dengan kalimat lain. Sebab itu Kami timpakan atas orang-orang yang zalim itu kehinaan dari langit, karena mereka berbuat fasik. (al-Baqarah: 58-59)
Dijelaskan dalam tafsirnya, bahwa kaum Yahudi mengganti kalimat Hiththah menjadi Hinthah (gandum) untuk memperolok-olok perintah Nabinya.
Seperti inilah tahrif yang dilakukan oleh para penolak sifat terhadap kalimat "istiwa'" yang bermakna "Tinggi di atas" dengan kalimat "istaula" yang bermakna "menguasai" untuk menolak sifat Tinggi-nya Allah dan mendukung keyakinan batil mereka bahwa Allah menyatu dengan hamba-Nya di alam ini. Jika kaum Yahudi menambah huruf 'nun' pada Hiththah, sedangkan ahlul bid'ah menambah huruf 'lam' pada Istawa'.
Adapun ijma, maka para sahabat, orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik serta para imam ahlussunnah telah bersepakat bahwa Allah Ta'ala berada di atas langit-langit-Nya, di atas arsy-Nya. Ucapan-ucapan mereka sangat banyak menunjukkan hal tersebut dengan ucapan yang tegas dan jelas.
Al-Auzai berkata, "Kami berkata -sementara para tabi'in masih banyak yang hidup-: Sesungguhnya Allah -Yang Maha Tinggi penyebutan-Nya- berada di atas arsy-Nya dan kami mengimani setiap sifat-Nya dan kami mengimani semua sifat yang disebutkan dalam As-Sunnah." Al-Auzai mengucapkan hal ini setelah munculnya mazhab Jahm yang menafikan sifat-sifat Allah dan ketinggian-Nya, agar manusia mengetahui bahwa mazhab salaf itu bertentangan dengan mazhab Jahm.
Abu Al-Ma'ali Al-Juwaini pernah berkata dalam majelisnya, "Allah sudah ada dari dahulu dan ketika itu belum ada apa-apa, dan sekarang Dia tetap sebagaimana keadaan-Nya dahulu." Dia mengucapkan ini untuk mengingkari sifat istiwa` Allah di atas arsy-Nya. Maka Abu Ja'far Al-Hamdani berkata, "Tidak usah kamu menyinggung-nyinggung tentang arsy di hadapan kami -maksudnya arsy itu jelas ada berdasarkan wahyu-, tapi terangkanlah kepada kami tentang keharusan yang kami rasakan dalam hati-hati kami. Tidak ada seorang pun yang mengenal Allah yang berkata, "Ya Allah." Kecuali dia merasakan di dalam hatinya keharusan untuk mencari ke arah atas, tidak menoleh kekanan dan tidak pula ke kiri. Bagaimana bisa kami menolak sesuatu yang pasti ini dari dalam hati kami!?" Maka Abu Al-Ma'ali berteriak sambil memukul kepalanya seraya berkata, "Al-Hamdani telah membuatku bingung, Al-Hamdani telah membuatku bingung." (Lihat As-Siar (18/475))
Berkata Abu Utsman Ismail bin Abdurrahman Ash-Shabuni: "Ashhabul hadits meyakini dan mempersaksikan bahwa Allah di atas tujuh lapis langit, di atas 'Arsy-Nya sebagaimana Ia sebutkan dalam kitab-Nya". (Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin al-Manshuri, hal.44)
Berkata Abdullah ibnul Mubarak; "Kami mengenali Rabb kami di atas tujuh lapis langit, tinggi di atas 'Arsy-Nya, terpisah dari mahluk-Nya. Dan kami tidak berkata seperti ucapan Jahmiyah bahwa Dia ada di sini (sambil menunjuk ke bumi)". (Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin al-Manshuri, hal. 46-47)
Berkata Muhammad bin Ishak ibnu Huzaimah: "Barangsiapa yang tidak mengatakan bahwa Allah azza wa jalla di atas 'Arsy-Nya, tinggi di atas tujuh lapis langit, maka dia kafir kepada Rabb-nya; halal darahnya, diminta taubat kalau mau bertaubat; kalau tidak mau bertaubat, maka dipenggal lehernya dibuang jasadnya ke tempat-tempat pembuangan sampah agar tidak mengganggu kaum muslimin dan para mu'ahad dengan busuknya bau bangkai mereka. Hartanya menjadi fa'i (pampasan perang untuk baitul maal). Tidak boleh mewarisinya seorang pun dari kaum muslimin, karena seorang muslim tidak mewarisi dari seorang kafir sebagaimana ucapan Nabi yang diriwayatkan dari Usamah bin Zaid:
Orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim. (HR. Bukhari Muslim) (Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin al-Manshuri, hal. 47)
Al-Qurthuby dalam Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an (7/219) berkata, "Tidak ada seorang salaf pun yang mengingkari bahwa Allah beristiwa di atas Arsy-Nya secara hakiki. Arsy dikhususkan karena ia merupakan makhluk Allah yang terbesar. Para salaf tidak (berusaha) mengetahui cara (kaifiyyah) Allah beristiwa, karena sifat beristiwa itu tidak bisa diketahui hakekatnya.
Al-Hafizh Abu Umar Ibnu Abdil Barr berkata dalam At-Tamhid (7/129), "Di dalamnya terdapat dalil yang menunjukkan bahwa Allah berada di atas Arsy, di atas langit ketujuh sebagaimana yang ditegaskan oleh Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Itu juga merupakan hujjah mereka terhadap orang-orang Mu'tazilah yang berkata: "[Allah berada di mana-mana, bukan di atas Arsy]". Dalil yang mendukung kebenaran madzhab Ahlul Haq/Ahlis Sunnah dalam hal ini adalah firman Allah : "Ar-Rahman beristiwa di atas Arsy" dan firman-Nya : " Kemudian Dia beristiwa di atas Arsy…".
Imam Al-Qurthuby berkata dalam Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an (4/162): "Jahmiyyah terbagi menjadi 12 kelompok … (di antaranya) Al-Multaziqoh, mereka menganggap bahwa Allah berada di mana-mana …".
Shodaqoh berkata, "Saya mendengar At-Taimy berkata,"Andaikan aku ditanya : Dimana Allah Tabaraka wa Ta'ala?, niscaya aku akan jawab: Dia di langit". [Lihat Syarah I'tiqod Ahlis Sunnah (3/401/671)]
Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya, "Allah berada di atas langit yang ketujuh, di atas Arsy terpisah dari makhluk-Nya. kemampuan dan ilmu-Nya berada di mana-mana?" Beliau Jawab : "Ya, Dia berada di atas Arsy. Sedang tidak ada satu tempat pun yang kosong dari ilmu-Nya". [Lihat Syarah I'tiqod Ahlis Sunnah (3/401-402/674)]
Imam Ahmad juga berkata, "Jika anda ingin mengetahui bahwa seorang Jahmiyyah itu berdusta atas nama Allah, yaitu saat ia menyangka bahwa Allah berada dimana-mana".[Lihat Ar-Rodd ala Az-Zanadiqoh wa Al- Jahmiyyah (1/40)]
Dari semua dalil-dalil, dan pernyataan ulama salaf tersebut menunjukkan bahwa Allah beristiwa di atas Arsy (singgasana), sedang Arsy Allah berada diatas langit, bukan dimana-mana. Merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk mengimani dengan keimanan yang kokoh, tanpa ragu terhadap semua dalil-dalil yang menerangkan hal tersebut, dan menghadapinya sebagaimana ia datang, tanpa takwil, dan tanpa menanyakan cara Allah beristiwa, atau
menyerupakannya dengan makhluk-Nya.
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata, "Adapun firman Allah :
"Lalu Dia beristiwa di atas Arsy".
Orang-orang memiliki pendapat yang sangat banyak dalam masalah ini, tapi sekarang bukan saatnya kita paparkan. Dalam masalah ini kita harus mengikuti madzhab Salafush Sholeh, seperti Imam Malik, Al-Auza'iy, Ats- Tsaury, Al-Laits bin Sa'd, Asy-Syafi'i, Ahmad, Ishaq bin Rohuyah, dan lainnya dari kalangan ulama-ulama kaum muslimin baik dulu maupun sekarang. Madzhab mereka adalah menjalankan dan memahami sifat-sifat tersebut sebagaimana ia datang, tanpa perlu dibicarakan cara/bentuknya, atau diserupakan dengan sifat makhluk dan dihilangkan maknanya. Sedang yang terbayang dalam benak orang-orang Musyabbih (orang yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya) tersucikan dari Allah, karena tidak ada seorang makhlukpun
yang menyerupai-Nya ['Tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya. Sedang Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat']. Bahkan inti permasalahannya
sebagaimana yang telah ditegaskan oleh para ulama, seperti Nu'aim bin Hammad Al-Khuza'iy. Beliau berkata :
'Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk- Nya, maka ia telah kafir. Barangsiapa yang menolak sesuatu yang Allah sifatkan untuk diri-Nya, maka ia telah kafir. Tidak ada penyerupaan pada sesuatu yang Allah sifatkan untuk diri-Nya. Barangsiapa yang menetapkan (sifat) bagi Allah sebagaimana yang terdapat dalam ayat-ayat yang gamblang, dan hadits-hadits shohih dengan bentuk yang sesuai dengan kemuliaan Allah dan menyucikan segala kekurangan dari Allah, maka sungguh ia telah menempuh jalan yang lurus". [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (2/221)]
Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi'i rahimahullah berdalil atas tidak bolehnya memerdekakan budak yang kafir untuk kaffarah dengan riwayat dari Mu'awiyah bin Hakam, ketika ia ingin memerdekakan budak perempuan hitam sebagai kaffarah. Maka Rasulullah pun mengujinya dengan bertanya kepadanya: "Di mana Allah?" Dia menjawab: "Di langit". Kemudian beliau bertanya lagi: "Siapa Aku?" Maka budak itu menjawab dengan mengisyaratkan dengan jarinya kepada beliau dan ke langit. Yakni engkau adalah utusan yang di langit. Maka Rasulullah bersabda:
Merdekakanlah dia, karena dia adalah seorang mukminah. (HSR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Huzaimah).
Dengan riwayat ini Rasulullah menyatakan keislaman budak tersebut dengan pernyataannya bahwa Allah Maha Tinggi di atas langit. Dan Imam Syafi'i berdalil dengan hadits ini karena beliau meyakini Allah Maha Tinggi di atas 'Arsy-Nya, dan bahwasanya seseorang yang mengikrarkan yang demikian adalah seorang mukmin.
Tidak mungkin seorang seperti imam Syafi'I, tidak sependapat dengan hadits yang telah diriwayatkannya. Sebagaimana telah dikisahkan dari beliau ketika pada suatu hari beliau meriwayatkan hadits, ada seorang yang bertanya kepadanya: "Wahai Abu Abdillah (kunyah dari Imam Syafi'I –pent.) apakah engkau sependapat dengan hadits ini?" Maka beliau marah seraya berkata:
Apakah engkau melihat aku (keluar) dari biara atau gereja?! Apakah engkau melihat aku memakai pakaian orang kafir?! Bukankah engkau melihat aku berada dalam masjid kaum muslimin, dengan pakaian kaum muslimin, menghadap kiblat kaum muslimin? Apakah apabila aku telah meriwayatkan hadits dari Nabi kemudian aku tidak sependapat dengannya?! (Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin al-Manshuri, hal. 47-48)
Ini adalah bukti kalau imam Syafi'i tentu sependapat dengan hadits ini, bahwa seseorang dikatakan mukmin jika mengikrarkan dan meyakini bahwa Allah Maha Tinggi di Atas tujuh lapis langit di atas 'Arsy-Nya.
Lafadz 'naik' yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan al-Hadits bisa berupa al-'uruuj atau as-Shu'uud. Seperti dalam firman Allah:
" dari Allah yang memiliki al-Ma'aarij. Malaaikat dan Ar-Ruuh naik menuju Ia "(Q.S al-Ma'aarij:3-4).
Mujahid (murid Sahabat Nabi Ibnu Abbas) menafsirkan: (yang dimaksud) dzil Ma'aarij adalah para Malaikat naik menuju Allah (Lihat dalam Shahih al-Bukhari). Dalam hadits disebutkan:
" Bergantian menjaga kalian Malaikat malam dan Malaikat siang. Mereka berkumpul pada sholat 'Ashr dan Sholat fajr. Kemudian naiklah malaikat yang bermalam bersama kalian, sehingga Allah bertanya kepada mereka –dalam keadaan Dia Maha Mengetahui- Allah berfirman: Bagaimana kalian tinggalkan hambaKu? Malaikat tersebut berkata: "Kami tinggalkan mereka dalam keadaan sholat, dan kami tinggalkan mereka dalam keadaan sholat" (H.R Al-Bukhari dan Muslim).
Ibnu Khuzaimah menyatakan:
" Di dalam khabar (hadits) telah jelas dan shahih bahwasanya Allah 'Azza Wa Jalla di atas langit dan bahwasanya para Malaikat naik menujuNya dari bumi. Tidak seperti persangkaan orang-orang Jahmiyyah dan Mu'aththilah (penolak Sifat Allah) (Lihat Kitabut Tauhid karya Ibnu Khuzaimah halaman 381)
Wallahu a'lam.
Sumber: www.salafy.or.id yang diringkas dari berbagai artikel.
B. Bagaimana memahami Kebersamaan Allah dengan makhlukNya?
Dalam memahami ayat-ayat tentang dekatnya Allah dengan makhluk-Nya, seringkali terjadi kesalahan pada kaum muslimin. Kebanyakan mereka mengira bahwa ayat-ayat tersebut bertentangan dengan dalil-dalil 'uluw (tinggi)nya Allah di atas 'Arsy-Nya. Seperti ayat-ayat yang menyatakan kebersamaan Allah dengan makhluk-Nya sebagai berikut:
…Dan Dia bersama kalian di mana saja kalian berada... (al-Hadiid: 4)
Juga ayat yang menyatakan dekatnya Allah dengan makhluk-Nya. Diantaranya Allah berfirman:
… dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya. (Qaaf: 16)
Ayat-ayat yang menyatakan Allah sebagai ilah di bumi. Seperti Ucapan Allah:
Dan Dialah ilah di langit dan ilah di bumi dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (az-Zukhruf: 84)
Ayat-ayat yang tersebut di atas dan yang semakna dengannya seringkali menyebabkan sebagian kaum muslimin keliru dalam memahaminya. Sebagian diantara mereka menyatakan "Allah ada di mana-mana", "Allah di hati" atau "Allah menyatu dengan makhluk-Nya", seperti ucapan Jahm bin Sofwan -pencetus aliran Jahmiyah:"Allah di segala sesuatu, bersama setiap sesuatu". Hingga akhirnya mereka menentang sekian banyak ayat dan hadits yang menyatakan tingginya Allah di atas seluruh makhluk-Nya.
Bantahan dan penjelasannya
A. Kebersamaan (Ma'iyyah) Allah
Secara bahasa makna ma'iyyah (kebersamaan) tidak mesti bermakna bersatu dalam satu tempat, tetapi bermakna kebersamaan secara mutlak, apakah bersama-sama dalam satu amalan yang sama di tempat yang berbeda atau bersama dalam artian mengawasi atau memperhatikan dan lain-lain. Maka ma'iyyah Allah harus ditafsirkan sesuai dengan dlahir ayatnya masing-masing. (Lihat ucapan Syaikh Utsaimin dalam Qawa'idul Mutsla hal. 103).
Maka ayat-ayat tentang tentang kebersamaan Allah dengan makhluk-Nya, sama sekali tidak bertentangan dengan ayat-ayat yang menyatakan tingginya Dzat Allah di atas seluruh makhluk-Nya. Hal itu karena bagi Allah semuanya dekat, karena Allah Maha Besar, Maha Mendengar, Maha Melihat dan Maha Mengetahui, bahkan mengetahui bisikan-bisikan yang masih ada dalam dada.
Kalau kita perhatikan lebih lanjut ayat-ayat di atas secara lengkap, akan terlihat kalau ayat-ayat tersebut berbicara tentang ilmu, pendengaran, penglihatan, atau dukungan dan pembelaan Allah. Diantaranya:
1. Kebersamaan dengan ilmu-Nya
Seperti Ucapan Allah:
Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia beristiwa' di atas 'arsy. Dia Maha Mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya; apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kalian di mana saja kalian berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan. (al-Hadiid: 4)
Imam Sufyan ats-Tsauri pernah ditanya tentang ayat di atas, maka beliau menjawab: "Dia bersama kalian yakni dengan ilmunya" (diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad yang Hasan dalam kitab Asma' wa sifat, hal. 341)
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: "Dlahir ayat ini menunjukkan bahwa makna ma'iyyah yang sesuai dengan konteksnya adalah memperhatikan, menyaksikan, menjaga, dan mengetahui tentang kalian. Inilah maksud perkataan salaf: 'Bersama mereka dengan ilmu-Nya'. Dan ini adalah dlahir ayat dan hakikatnya (bukan ta'wil –pent.) (Majmu' Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, juz V hal. 103)
Faedah lain dalam ayat ini adalah tidak adanya pertentangan antara tinggi ('uluw)nya Allah di atas 'Arsy dan kebersamaan (ma'iyyah)-Nya dengan makhluk-Nya, karena dalam ayat ini kedua-duanya disebutkan bersama-sama.
Berkata Ibnul Qayyim: "Dalam ayat ini Allah menghabarkan bahwa diri-Nya tinggi di atas 'Arsy-Nya, dan sekaligus menyatakan bersama makhluk-Nya, melihat dan memperhatikan amalan mereka dari atas 'Arsy-Nya. Seperti dalam hadits: ("Allah di atas 'Arsy-Nya melihat apa yang kalian kerjakan"). Maka 'uluw-Nya Allah tidak bertentangan dengan ma'iyyahnya; dan maiyahnya tidak membatalkan 'uluwnya. Kedua-duanya adalah benar". (Mukhtashar Shawa'iq al-Mursalah, hal. 410).
Demikian pula ayat berikut menunjukkan ilmu Allah:
Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? Tidak ada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya. Dan tidak ada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dialah yang keenamnya. Dan tidak ada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia bersama mereka di mana pun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (al-Mujadalah: 7)
2. Kebersamaan dengan makna mendengar dan melihat
Seperti dalam firman-Nya:
Allah berfirman:"Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat". (Thaha: 46)
Demikian pula ayat Allah:
Allah berfirman: "Jangan takut (mereka tidak akan dapat membunuhmu), maka pergilah kamu berdua dengan membawa ayat-ayat Kami. Sesungguhnya Kami bersama kalian mendengarkan (apa-apa yang mereka katakan). (asy-Syu'ara: 15)
3. Kebersamaan dengan makna dukungan dan pembelaan
Allah berfirman:
Janganlah kalian lemah dan minta damai padahal kalianlah yang di atas dan Allah pun bersama kalian. Dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi pahala amal-amal kalian. (Muhammad: 35).
Dan juga ayat Allah:
(Ingatlah), ketika Rabb-mu mewahyukan kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku bersama kalian. Maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman". Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir. Maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka.… (al-Anfaal: 12)
B. Kedekatan Allah
Demikian pula dengan ayat-ayat yang menunjukkan kedekatan Allah dengan makhluk-Nya, bermakna dekat dengan ilmunya, mendengarkan doa dan mengabulkannya atau bermakna malaikat-malaikat yang diperintahkan-Nya. Dengan tidak menafikan dekatnya Allah secara Dzat-Nya.
Walaupun kita meyakini tingginya Allah di atas 'Arsy-Nya, tetapi bagi Allah semuanya dekat, karena besarnya Dzat Allah. Dunia dan seisinya serta langit di sisi-Nya tidak lebih seperti biji khardalah (partikel terkecil). Tentu saja secara Dzat-Nya Allah sangat dekat dengan hamba-Nya.
1. Dekat dengan makna Maha Mengetahui, Maha Mendengar do'a dan mengabulkan
Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwa Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (al-Baqarah: 186)
Dan firman-Nya:
Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu ilah selain Dia. Dia telah menciptakan kalian dari bumi (tanah) dan menjadikan kalian pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Rabb-ku amat dekat lagi memperkenankan (do'a hamba-Nya)." (Huud: 61)
2. Dekat dengan makna para malaikat yang diperintahkan-Nya
Seperti firman-Nya
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. (Qaaf: 16)
Syaikh Utsaimin menyatakan bahwa makna 'dekat' pada kalimat di atas adalah dengan para malaikat yang diperintahkan-Nya. Karena ini berkaitan dengan ayat selanjutnya:
Tidak ada satu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. (Qaaf: 18) (Lihat Qawa'idul Mutsla, Syaikh Utsaimin)
Demikian pula dalam firman-Nya:
Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat. (al-Waqiaah:85)
Makna 'kedekatan' dalam ayat ini adalah berkaitan dengan kematian ketika mendatangi seseorang. Maka yang dimaksud adalah para malaikat yang diperintahkan-Nya. Karena ayat sebelumnya membahas tentang kematian, yang tentunya Allah memerintahkan kepada malaikat pencabut nyawa. Jadi, yang dimaksud 'dekat' di sini adalah malaikat yang diperintahkan-Nya.
Dan sering dalam al-Qur'an disebutkan apa yang dilakukan oleh para malaikat dengan 'kami' karena mereka melakukan semua apa yang diperintahkan oleh Allah. Maka Allah nisbatkan apa yang mereka lakukan kepada diri-Nya. (Lihat Qawa'idul Mutsla, Syaikh Utsaimin, hal. 120)
C. Allah sebagai ilah di bumi
Adapun ayat-ayat yang menyatakan Allah sebagai ilah di bumi maka bermakna diibadahi di langit dan di bumi. Seperti ayat Allah:
Dan Dialah ilah di langit dan ilah di bumi dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (az-Zukhruf: 84)
Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanadnya yang shahih, bahwa Qatadah berkata tentang ayat ini: "Dialah yang diibadahi di langit dan di bumi".
Adapun ayat lainnya dalam surat al-An'aam: 3:
Dan Dialah Allah di langit maupun di bumi; Dia mengetahui apa yang kalian rahasiakan dan apa yang kalian lahirkan; dan mengetahui apa yang kalian usahakan. (al-An'aam: 3)
Sebagian para ulama membacanya dengan waqaf (berhenti) pada kalimat "fis samaawati', sehingga bermakna "Dialah Allah yang di langit". Kemudian memulai membaca dari 'fil ardli ya'lamu sirrakum…' sehingga bermakna "Dan Dia di bumi maha Mengetahui apa yang kamu usahakan".
Sedangkan sebagian yang lain membacanya dengan waqaf pada kalimat 'fil ardli', sehingga bermakna "Dialah Allah di langit dan di bumi". Maka dengan bacaan kedua ini kita katakan seperti pada ayat di atas, bahwa Allah adalah sesembahan yang diibadahi oleh penduduk langit dan penduduk bumi. Hal ini sama sekali tidak menunjukkan Dzat Allah menyatu dengan makhluk atau berada di bumi bersama makhluk-Nya.
Wallahu a'lam
Sumber: www.salafy.or.id
---=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. -Qs. 16 an-Nahl :125
Berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. -Qs. 4 an-Nisa' : 63
Gabung : Milis_Iqra-subscribe@googlegroups.com
Keluar : Milis_Iqra-unsubscribe@googlegroups.com
Situs 1 : http://groups.google.com/group/Milis_Iqra
Mod : moderator.milis.iqra@gmail.com
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=--=-=-=-=-=-=-=-
No comments:
Post a Comment